Bab 14. Kesempatan Terakhir

1045 Words
"Cantikan Ibu apa Adik?" "Adik." "Oh, gitu? Berarti Ibu ngga cantik nih? Kalau Ibu ngga cantik, cantiknya kamu dari mana coba?" "Ayah." "Heh!" Rania tertawa geli mendengar sahutan Ayna. Tubuh mungilnya mundur, tetapi tidak lama kemudian maju lagi. Tangan anak itu terulur menyisir rambut panjang Ayna. Sisirannya tidak betul memang, tetapi Ayna membiarkan saja walaupun sesekali dia meringis kesakitan. "Benar loh, Ibu tanya. Ibu cantik ngga?" "Engga!" Entah itu jawaban sungguhan atau bercanda, Ayna hanya bisa berdecak. Hari ini seperti hari-hari biasanya. Setelah suami berangkat kerja, antar anak sulung ke sekolah, hal yang Ayna lakukan ya main bersama Rania. Anak gadisnya belum sekolah, mungkin tahun depan saat usianya menginjak empat tahun. Ada rasa tidak ikhlas di hati Ayna karena anak-anaknya semakin beranjak dewasa. Padahal dulu masih berupa bayi. "Nia sayang sama Ibu ngga?" tanya Ayna lagi. Kali ini Rania mengangguk mengiyakan. Walaupun begitu dia masih asik dengan rambut panjang Ayna. Karena gemas Ayna berusaha meraih tubuh Rania, namun anak itu menghindar sambil tertawa geli. Ayna cemberut, tubuhnya kembali bersandar di sofa. "Rania? Rania mau ice cream ngga?" "Mau, Buna!" Ayna terkekeh. Mudah sekali membujuk anak perempuannya itu. Sekali tangkap, Ayna membawa tubuh Rania ke atas pangkuannya. Dengan gemas dia memeluk walaupun anknya memberontak karena geli. Saking gemasnya Ayna ingin sekali menggigit bahu dan pipinya. Tapi keinginan itu Ayna urungkan mengingat yang akan dia hadapi kalau anaknya kenapa-napa adalah Varrel. Varrel walaupun sibuk, tetapi jika terjadi sesuatu pada anaknya, dia akan jadi garda terdepan. "Mbak Ayna? Mbak nanti siang mau masak apa biar bahannya Bibi siapkan." Dari arah dapur Ani datang ke ruang tamu. Ayna yang sejak tadi asik menciumi anaknya langsung mengangkat kepala. Masak untuk makan siang? Sejenak Ayna berfikir. Karena sepertinya semua masakan sudah pernah dia masak. Ternyata perkara makanan saja membuatnya pusing. Selain itu entah kenapa hari ini Ayna sedang malas untuk masak. Tapi kalau tidak masak nanti suaminya menunggu. "Kayaknya aku mau bikin sop daging aja, Bi. Eh, lebih baik sup atau pasta ya? Tapi kalau pasta apa Varrel kenyang?" Ayna berbalik tanya ke Ani. "Dua-duanya juga oke, Mbak." Jawaban yang kurang memuaskan. Ayna kembai berfikir, dagunya dia taru di atas kepala Rania. "Kayaknya aku mau bikin sambel goreng ati sama sup daging aja, Bi. Sama aku mau bikin tahu isi buat cemilan. Ah, iya, apa buah masih ada di kulkas, Bi?" "Masih ada anggur sama apel, Mbak." "Oke, Bi, siapkan aja bahan-bahannya seperti biasa ya. Terima kasih," jawab Ayna sambil menciumi rambut Rania. Ani dengan senang hati mengacungkan kedua jempolnya. Dirasa tugasnya bertanyanya sudah selesai wanita itu kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan. Rania kembali berdiri dari pangkuan Ayna, dengan riang dia menyisiri rambut Ayna dengan sisir bergambar barbie miliknya. Ayna pasrah, yang terpenting anaknya anteng tanpa ada drama nangis. Itu saja sudah cukup untuk Ayna. *** "Aku udah kabarin bunda, ayah, Ayna, bahkan Varrel. Maaf kalau acara kemarin sempat tertunda, tapi nanti malam kita dinner sama-sama. Aku juga udah reservasi, jadi tinggal berangkat." Aktivitas Allysa terhenti, tubuhnya berputar menghadap ke arah Wildan. "Apa tujuan kamu ini cuma mau bikin drama baru, Dan? Padahal aku udah ikhlas kalau emang kamu mau kita cerai. Aku ngga akan nuntut apapun, tapi maaf aku ngga bisa kasih Rena sepenuhnya ke kamu. Setelah kita cerai kamu bebas mau ngapain aja, atau mau deketin Ayna lagi. Cuma ya kamu harus bisa hadapin Varrel dulu. Kal–" "Kamu bicara apa sih, Sa? Aku udah ngga ada lagi fikiran ke sana. Aku benar-benar mau memperbaiki semuanya sama kamu. Nanti malam murni cuma dinner keluarga, ngga ada maksud apapun. Aku mau perbaiki semuanya sama kamu, demi Rena. Rena masih butuh kita, Allysa." Tidak ada jawaban apapun dari Allysa. Wanita itu memilih menelisik wajah suaminya dengan seksama. Wajahnya memang terlihat serius, tidak ada keterpaksaan atau raut kebohongan. Tapi ... rasanya Allysa masih ragu kalau Wildan benar-benar mau berubah. Perlahan Wildan mendekatkan dirinya kepada Allysa, meraih kedua tangan istrinya lalu menggenggam dengan erat. "Kasih aku satu kesempatan lagi, Sa. Engga lebih, cuma satu kali. Aku janji ngga akan ingkar, aku akan tepatin semua janji yang udah aku buat. Sa, aku sadar Ayna udah bahagia sama Varrel. Mereka juga udah punya Alaska sama Rania. Sama, Sa, sama kita. Kita udah punya Rena." Kata demi kata yang Wildan utarakan hampir membuat hati Allysa tersentuh. Semua yang keluar dari mulut pria itu terdengar manis dan tulus. Setelah beberapa hari mengasingkan diri, apa ini udah saatnya Allysa memberi kesempatan kedua pada suaminya? "Kita mulai semuanya dari awal, ya?" "Kamu ... kamu serius sama yang kamu bicarain tadi, Dan?" "Sangat serius, Allysa." "Kesempatan kamu tinggal sekali, setelah itu ngga akan ada kesempatan kedua dan ketiga. Apa kamu yakin? Atau berubah fikiran?" Wildan menggelengkan kepalanya. Alih-alih menjawab dia justru menarik tubuh Allysa ke dalam dekapannya. Ada perasaan lega di dalam hati Allysa, apalagi pelukan Wildan masih terasa nyaman seperti dulu. "Love you, Allysa," bisik Wildan tepat di telinga Allysa. *** Setelah selesai memasak Ayna bergegas ganti baju. Tak lupa dia menggantikan baju Rania karena anaknya tidak tidur. Karena tidak tidur otomatis dia akan ikut menjemput Alaska lalu ke kantor Varrel. Tidak apa, Ayna sudah terbiasa. Setelah semuanya beres Ayna mengajak Rania turun, berjalan beriringan menuju halaman. Dibukakannya pintu penumpang, lalu dengan hati-hati Ayna membantu Rania masuk. "Sudah?" tanya Ayna memastikan. Rania mengangguk, Ayna tersenyum melihatnya. Sebelum ikut masuk tangannya mengusap pucuk kepala Rania yang terkuncir dua. Setelah memastikan anaknya aman Ayna memutari mobil lalu masuk. "Ayo kita jemput Abang!" seru Ayna, dibalas tepukan tangan oleh Rania. Anak-anaknya memang aneh. Dekat suka berantem, tetapi kalau terpisah selalu dicari. Sepertinya hubungan sedarah memang semuanya seperti itu. Mobil Ayna meninggalkan rumah. Karena merasa belum telat dia memacu mobil dengan kecepatan sedang. Dua puluh menit berlalu, mobil Ayna telah sampai di area sekolah Alaska. Ayna turun, disusul oleh Rania. Sambil menggandeng tangan putrinya Ayna masuk mencari keberadaan Alaska. "Buna!" Baru saja ingin mencari di kelas, tiba-tiba seruan Alaska terdengar. Anak laki-laki itu berlari menuju Ayna. Rania yang melihat Abangnya berlari hanya tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya. "Udah ngga ada yang ketinggalan, Bang?" "Engga ada, Buna." "Oke, mari kita pulang. Tapi sebelum pulang kita mampir ke kantor ayah, ya?" "Horee! Ke kantor ayah!" Lagi-lagi Alaska berseru heboh sambil melompat-lompat. Hal serupa juga Rania lakukan karena meniru Alaska. Anak perempuannya memang peniru handal. 'Semoga Varrel ngga meeting lagi,' batin Ayna. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD