Part 6 I Don't Deserve Her

1903 Words
Karena aku tak layak untuknya! -|- Arya hanya diam saja, tak berusaha mengelak atau membalas pukulan Shano. Dia hanya meringis merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya. "Kenapa berhenti, Shan? Lanjutkan saja. Aku memang b******n. Aku pantas kamu pukuli." Teriak Arya saat Shano berhenti memukulinya. Sudah ada beberapa orang yang menonton mereka. "Kenapa kamu tega berkata hal seperti itu pada Ana? Kamu tahu sepanjang perjalanan tadi, dia diam saja, cuma terisak. Aku yang gak ada sangkut pautnya aja merasa sakit, Ar! Apalagi Ana!" Sesal Shano sambil memberikan sekaleng minuman dingin pada Arya, setelah berhenti memukuli Arya, Shano mengajaknya ke minimart terdekat. Beli obat merah, dettol dan minuman dingin. "Entahlah! Aku sendiri juga tak tahu kenapa aku bisa setega itu pada Ana. Sepertinya mulut dan otakku sedang gak sinkron." "Minta maaflah pada Ana! Secepatnya. Sebelum semuanya tambah ribet. Gila kamu. Kamu memalukan Ana di depan kami semua." "Did she tell you something?"  (Apakah dia bercerita sesuatu padamu?) Tanya Arya penasaran. "Ana? Enggak. Aku bilang, kalau dia belum siap untuk bercerita, lebih baik jangan cerita dulu. Tapi pastinya tadi, aku benar-benar ingin menghajarmu, tahu gak?" Nada suara Shano kentara kesalnya. "Emangnya ada apa sih di antara kalian? Kalau aku perhatikan, sikap kalian berubah setelah makan malam waktu itu." Arya menghela nafas panjang, sebelum akhirnya berkata, "We almost did it, Shan. Two weeks ago, almost!" "Did what? Ngapain? Apaan?" Shano masih belum mengerti dengan perkataan Arya. Sementara Arya hanya diam saja, menengadahkan kepalanya, melihat gemintang yang tampak terlihat jelas malam ini. "Kalian hampir ngapain sih? Kalian ham.. whaaaatttt?? Gila kamu, Ar!" Seketika Shano berdiri. Tampak tak percaya ketika akhirnya paham dengan maksud perkataan Arya. "You lost your mind? Dia Ana, Ar! Ana! Sahabat kita. Gila kamu. Untung belum jadi. Eeh belum kejadian kan?" Shano tampak meragu dengan kalimatnya sendiri. Arya menggeleng, kemudian menyalakan sebatang rokok, dan menghisapnya dalam-dalam. "Entah apa yang merasukiku saat itu, aku sendiri juga tak tahu. Hanya saja aaah entahlah..." Arya mengacak rambutnya kasar. "Pastinya kamu tahu kalau Ana suka sama kamu kan, Ar? Selama ini dia suka padamu. Atau kamu pura-pura gak tahu?" "Ya aku tahu itu. Tapi, entahlah, susah sekali untuk membalas perasaan Ana. Kamu tahu kan, kami bertetangga, orang tua kami juga berteman, Mbak Tyas - kakak pertamaku - juga berteman akrab sama Mas Gibran." Arya diam sejenak untuk menghisap kembali rokoknya. "Akan ribet urusannya kalau aku hanya main-main sama Ana. Lagian kalau iya, itu artinya aku harus terikat pada satu perempuan saja, Ana seorang. Aku... entahlah, aku masih mau menikmati hidupku. Menikmati kebebasanku. Heii... kita masih muda untuk hanya terikat pada satu orang saja." "Terus, kenapa tadi sikapmu begitu jahat ke Ana?" Arya melihat Shano, diperhatikannya wajah sahabatnya itu. "Aku tak suka Ana dekat sama laki-laki lain, walaupun itu kamu, Shan!" "Kamu egois, tak mau bersama Ana tapi juga tak mau Ana dekat dengan laki-laki lain. Maumu sebenarnya itu apa sih?" Arya mengambil nafas dan membuangnya kasar, sebelum berkata, "Ada satu alasan lagi, alasan yang paling utama." "Alasan utama? Apa itu?" Terdengar helaan nafas panjang dari Arya, "Ana berhak mendapatkan laki-laki yang baik. Jauh lebih baik daripada aku. Aku kotor, aku tak pantas untuk Ana. Dia perempuan baik-baik." "Maksudmu, aku bisa jadi salah satunya? Aku laki-laki baik-baik, cocok buat Ana kan?" Shano berkata tenang sambil tersenyum. Terlihat Arya mengepalkan kedua tangannya, dia sengaja memalingkan wajah, tak mau melihat ke arah Shano yang tampak senang. "Kuberi nasehat, Ar. Semoga berguna, aku pernah baca kalimat ini tapi lupa di mana, kayanya sih di timeline salah seorang pesohor di negeri ini. Kang Maman kalau gak salah deh." Tampak Shano seperti memikirkan sesuatu. "Bila engkau tak mungkin memberi, jangan mengambil. Bila engkau terlalu sulit mengasihi, jangan membenci. Bila engkau tak bisa menghibur orang lain, jangan membuatnya sedih. Bila engkau tak bisa memuji, jangan menghujat. Bila engkau tak bisa menghargai, jangan menghina." Shano tampak mengambil nafas. "Intinya sih Ar, bila kamu tak bisa membahagiakan Ana, mencintai Ana, biarkan Ana bahagia dengan laki-laki lain." Tepukan Shano di pundaknya, membuat Arya tersadar. Dia tersenyum kecut.  Shano benar, selama ini aku memang egois. Aku tak bisa mencintai Ana, tapi juga tak bisa merelakan dia bersama laki-laki lain. "Sudah selesai kan curhatnya, Ar. Saranku segeralah minta maaf ke Ana.!" Pagi hari, Arya sudah siap di depan kost Ana. Dengan muka yang masih memar karena dipukuli Shano kemarin, dia menunggu Ana dengan sabar. Tapi sampai jam 7 lewat, Ana belum juga keluar. Padahal dia sudah menghabiskan sebungkus nasi uduk dan segelas teh manis dari warung di dekat kost Ana. Penasaran, akhirnya dia bertanya ke satpam. "Permisi pak, maaf mau tanya, Mbak Ana emm Riana maksud saya, apakah ada di dalam?" "Maaf mas ini siapa?" Selidik si satpam. "Saya temannya pak, dari kampung." "Ooo Mbak Ana sudah berangkat tadi jam 4. Katanya mau ke bandara." "Bandara? Mau ke mana pak?" "Waduuh, saya ndak tahu." Lunglai, Arya kembali ke mobilnya. Mencoba menelpon Ana beberapa kali tapi ponselnya masih belum aktif. Heeem... ponselnya masih belum aktif. Apa masih di pesawat? Kamu ke mana sih, An? Diraihnya ponsel, ditelponnya Givi dan Shano, barangkali mereka tahu Ana pergi ke mana dan kapan pulang. Tapi semua menjawab sama, tak tahu. Akhirnya Arya mengirimkan pesan w******p ke Ana untuk mengabarinya jika sudah bisa dihubungi. Tapi sampai jam makan siang, belum ada balasan dari Ana. Arya mencoba menelpon, masuk tapi tidak diangkat.  Membuat kerjaannya kacau hari ini. Dan setelah percobaan yang kesekian kalinya, akhirnya direspon. "Hallo An..." "Ya, Ar? Ada apa? Maaf aku lagi ada meeting." Suara Ana terdengar berbisik. "Kamu lagi di mana? Ngapain? Sama siapa? Kapan balik ke Jakarta?" Dan otomatis Arya juga ikut sedikit berbisik, sampai dia sendiri juga heran. "Eeeh..." Ana melihat ke layar ponselnya, seperti tak percaya yang menelponnya adalah Arya, bukan Gibran kakaknya. "Aku lagi di Kupang. Ada tugas kantor. Balik ke Jakarta sih gak tahu kapan, wong belum beli tiket pulangnya." "Kalau sudah sampai Jakarta, kabari aku ya, An. Aku ingin ketemu. Ada yang ingin kubicarakan." "Tentang apa?" "Ten..." Tapi seketika terdengar background suara seorang lelaki memanggil Ana untuk segera melanjutkan pertemuan penting mereka. "Ar, maaf, aku sudah dipanggil lagi." Dan tanpa memunggu jawaban Arya, Ana segera memutuskan pembicaraan via ponsel itu. "An... tung... Yaah, udah dimatiin." Tak hilang akal, Arya segera mengirimkan pesan w******p. Berharap Ana segera membacanya. Aku ingin minta maaf atas kejadian kemarin, An. Maaf.. Tapi sampai sore hari, menjelang jam kantor usai, Ana bahkan belum membaca pesannya. --- Sabtu menjelang siang, Arya uring-uringan di kamar apartemennya. Sebal karena tiada respon dari Ana, dia segera mengambil kunci mobilnya dan mengemudi tak tahu arah. Diputuskannya untuk menelpon seseorang, untuk diajaknya kencan sesaat. Entah kenapa pilihannya jatuh pada Tisa. Kebetulan Tisa juga sedang free, jadi mau menerima ajakannya. Saat sedang tertidur karena kelelahan, tanpa sadar Arya mengigau memanggil nama Ana beberapa kali. Membuat Tisa tertegun. Ana? Bukankah dia gadis yang pernah ketemu waktu itu di lobi gedung kantor? Ada apa di antara mereka? Hubungannya dengan Arya memang hanya just for fun. Hanya untuk bersenang-senang saja. Tidak ada perasaan yang terlibat di dalamnya. Dia suka pada keperkasaan Arya, dan Arya membutuhkannya untuk pelampiasan birahinya. Mereka klop, cocok. Tapi tetap saja dia kesal, hari ini dia yang melayani nafsu Arya tapi ternyata di alam bawah sadar lelaki itu ada perempuan lain. "Ar... bangun! Bangun cepetan! Pulang sana! Kurang ajar kamu, aku yang kamu tindih sedari tadi tapi di otakmu malah adanya perempuan lain. Pulang sana, minta jatah ke Ana Ana itu!" Teriak Tisa kesal sambil memukuli Arya. Arya yang terbangun karena teriakan Tisa hanya bisa terbengong-bengong saja. "Kamu kenapa sih?" "Sana pulang! Kamu sudah tahu pintunya kan! Dan jangan balik lagi sebelum Ana itu hilang dari otakmu!" "Iyaa, aku mau pulang, tapi numpang ke kamar mandi dulu." Santai, seperti tanpa ada beban, Arya beranjak ke kamar mandi. Memunguti pakaiannya yang berserakan. Tak berapa lama kemudian, dia keluar kamar mandi. Sudah rapih, harum, sudah mandi pula. "Sana pergi ke Ana! Siapa tahu dia juga lagi ena-ena sama cowok lain." Kata Tisa kesal. Arya membalikkan badannya, tanpa sadar mengepalkan tangannya, "Jangan hina Ana. Dia perempuan baik-baik." "Haaa..! Yakin kamu? Bukannya semua perempuan yang kamu kencani, sudah kamu nikmati tubuhnya? Pasti Ana juga kan?" "Sudah kubilang Ana perempuan baik-baik. Dia masih suci! Jangan hina dia!" Kata Arya keluar kamar apartemen Tisa sambil membanting pintu. Dia kesal karena Tisa menjelekkan Ana. An, di mana kamu? Kenapa pesanku tak ada satupun yang kamu balas. Arya kembali mencoba menghubungi Ana. Dilihatnya pesan w******p yang dia kirim kemarin sudah dibaca Ana tapi tak ada balasan. Arya mendesah kesal, saat melihat foto profil Ana yang sudah berganti. Tertulis caption : With my sister in law (to be?? ). Tapi yang membuatnya tambah kesal karena di foto itu ada sosok Shano yang tampak mesra memeluk pundak Ana dan disebelahnya ada seorang perempuan cantik sekira umur kakak tertuanya. Dibuangnya ponselnya ke jok belakang mobil. Dia melajukan mobilnya cukup kencang. Berharap bisa segera sampai di apartemennya untuk bisa segera melepas kesal. --- Arya tak mau kecolongan lagi, Senin sore dia sengaja membuat janji meeting di dekat kantor Ana. Dia akan menunggu Ana, dan tentu saja untuk menghindari bertemu dengan Tisa setelah kemarin lusa mereka bertengkar karena alasan tak jelas Arya memutuskan menunggu di ruang tunggu kantor Ana. Petroleum Company milik asing. Setelah sabar menunggu selama hampir dua jam, akhirnya Ana keluar juga. Seperti biasa Ana asik dengan ponselnya, masuk ke dalam lift bersama beberapa rekan kantornya. "Mbak Ana pulang sendiri? Mau ikut kita hang out dulu gak? Nanti saya antar. Kita kan searah." Tawar seorang lelaki yang tak Arya kenal. Arya sengaja berdiri di belakang Ana, agak mojok. "Maaf, Ana akan pulang bareng saya." Sebelum Ana sempat menjawab, tiba-tiba suara yang familier itu mengagetkannya. Ana menoleh ke sumber suara, tampak sedikit kaget melihat Arya. Terlebih Arya yang tanpa sungkan memeluk pundaknya, posesif! Risih, Ana berusaha menurunkan tangan Arya dari pundaknya. Tapi sayang, tenaganya tak sekuat Arya. Jadi dibiarkannya saja tangan kokoh itu di pundaknya. "Kita mau ke mana, Ar?" Tanya Ana karena sudah lama Arya berkendara tapi belum tahu tujuannya. "Aku udah laper banget nih. Makan dulu yuk." Pinta Ana memelas, perutnya sudah berasa sedikit perih. Arya menoleh ke arah Ana, tampak sedikit khawatir. "Bentar lagi ya, ada tempat makan enak baru, masih lumayan sepi. Biar kita bisa ngobrol dengan tenang." "Ar, aku laper banget, bener deh. Makan di pinggir jalan situ juga gak papa kok, gak perlu ke resto, yang penting halal dan enak. Perutku sudah melilit nih. Warung mie instant juga gak pa pa kok." Akhirnya tak berapa lama kemudian, Arya memakirkan mobilnya di sebuah restoran. Resto itu tampak masih baru, masih belum begitu ramai. Arya menuntun Ana untuk masuk ke resto dan pesan makanan yang menurutnya praktis dan cepat. "Maaf lama, jauh pula. Tapi aku ingin ngobrol denganmu lebih privat, An." Kata Arya memulai percakapan. Dilihatnya Ana yang makan sambil nyengir, seperti menahan sakit. "Maagmu kambuh lagi ya, An? Aduuh aku tadi salah ya milih restorannya? Kejauhan?" "Gak papa, untuk kali ini. Aku juga bawa obat maag andalanku kok." Jawab Ana sambil tersenyum, sebenarnya untuk menyembunyikan rasa melilit di perutnya yang semakin menjadi. "Ada perlu apa, Ar?" Arya mengambil nafas panjang, baru kali ini dia grogi di hadapan seorang perempuan. "Aku... mmm aku mau minta maaf, An." "Maaf? Padaku? Untuk apa? Memangnya kamu bikin salah apa ke aku?" Ana pura-pura lupa kejadian beberapa hari lalu. "Maaf untuk semua perkataanku waktu kita makan malam saat ulang tahun Givi. Maaf. Aku kelepasan bicara." Ana tampak tersenyum manis seraya berkata, "You're forgiven kok Ar, but..." | | | Jakarta, 6 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD