“Aaggh, uumm ….” Kedua tangan Lala berusaha mendorong tubuh Levine dengan sekuat tenaga.
Semua yang Levine lakukan, sama sekali tak ada kenikmatannya. Justru rasa takut dan rasa benci yang semakin menumpuk.
“Mam—”
Kalimat yang hampir berteriak itu tertelan. Levine mencekik leher Lala, kedua mata Levine menyorot tajam tepat di kedua mata Lala yang hampir meneteskan embun. Lalu satu tangan Levine meremas kencang salah satu d**a Lala.
“Gue nggak Cuma ngancam, bitchh!” ngomongnya, tepat di depan mulut Lala yang basah. “Vidio blue yang dimainkan lo sendiri, bakalan gue kirim ke papa dan Vera. Atau … lo mau lihat vidio itu lebih dulu sebelum papa melihatnya?”
Seringai kejam yang ada di bibir Levine seperti setann yang berasal dari neraka. Bulir bening benar-benar telah menetes membasahi kedua pipi putihnya. Lala menggigit bibir bagian dalam melihat dirinya sendiri sedang bermain hina di layar ponsel yang Levine tunjukkan.
“Gue bakalan bilang kalo lo cari duit dengan menjadi seorang model vidio dewasa. Gimana? Menarik, kan?” lanjut Levine, lalu mengecup bibir Lala yang basah.
“La, kamu di dapur?”
Levine melirik ke belakang, di mana ada sekat tembok yang menjadi pembatas dapur dan ruang makan. Tangan yang berada di leher itu berpindah, menggenggam erat lengan Lala, lalu menyeret gadis itu ke belakang wastafle. Tepat di depan pintu kamar mandi umum.
“Tunggu Vera pergi, lo ke kamar gue.” Perintah Levine.
“Kak—”
“Kalo lo mau selamet, mending nurut! Temani gue sampai pagi.” Keinginan yang tak mau ada penolakan.
**
Pagi menyapa.
Kedua mata Lala kembali sembab. Dia tidur karena badannya lelah, tenaganya benar-benar telah habis untuk melayani nafsuu Levine yang brutal. Tanda yang kemarin belum hilang, sekarang sudah bertambah di mana-mana. Kedua tonjolan di dadanya sampai tak terlihat warna kulit aslinya saking penuhnya bekas bibir Levine yang berwarna biru sedikit keunguan.
Lala mendesah panjang, memijat kepala yang terasa berdenyut. Bayangan wajah Levine semalam tak akan pernah bisa dia lupakan. Dulu, saat pertama tau wajah kakak tirinya, dia sempat kagum, sempat terpesona dengan sikap dingin dan senyum manisnya. Namun, setelah semua seperti ini, rasa kagum itu telah berubah menjadi benci yang mendalam.
Pelan, Lala menyingkirkan tangan Levin yang melingkar di perut. Dia bangun, menurunkan kedua kaki di lantai dingin. Menggigit bibir dengan tangan yang bergetar. Sakit banget liat cupangan yang ada di pahanya. Lalu tangan bergetar itu mengepal, menahan rasa sakit, rasa dendam yang kini memenuhi hati.
Lala beranjak, memunguti baju dan roknya. Tanpa menoleh, dia melangkah menuju pintu. Keluar begitu saja menuju ke kamarnya. Ini masih pukul empat pagi, semua masih tidur, bik Puji juga belum datang, jadi tak akan ada yang melihatnya berlari dalam kondisi bugil.
Begitu sampai di kamar, Lala langsung mengunci pintu. Dia terisak, kulit punggungnya menyandar di pintu, melorot ke bawah dengan kedua tangan yang memeluk pakaiannya erat.
Jika sudah seperti ini, apa yang bisa ia banggakan? masihkah dia bisa memiliki mimpi duduk di depan banyak orang bersama dengan Algi? Lalu, kekecewaan apa yang akan Algi ucapkan saat tau dia yang ternyata sudah dijamah?
Lala tergugu, menjambak rambut kencang untuk melampiaskan rasa sakit yang membuat tubuhnya semakin bergetar. “Aku benci dia! Aku benci dia, Tuhan ….” Ucapnya serak di sela tangis.
Mungkin sekitar satu jam, dia baru bisa berhenti menangis. Sepertinya stok air matanya sedang produksi, jadi dia bisa sedikit lebih tenang. Pelan-palan, Lala beranjak. Masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebentar. Setelah mandi besar, dia duduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang sangat tak enak di pandang.
Kedua matanya benar-benar membengkak, lalu bibir bawahnya juga membengkak. cupangan di bagian leher tak hanya ada dua atau pun tiga. Lalu di d**a … astaga!
“Aarrg!” teriak Lala, melemparkan handuk yang tadi dia gunakan untuk mengeringkan rambut. Tangannya memegangi kepala yang benar-benar teramat pusing. Memejamkan mata dalam, memikirkan nasibnya yang entah akan seperti apa.
Menit kemudian dia meraih ponsel yang sejak semalam tergeletak di meja. Ada beberapa chat dan panggilan masuk dari Algi dan beberapa teman-temannya.
[Yaang, aku diterima di akutansi. Kelas kita sama.]
[Besok jam tiga sore ke rumahku ya. Aku jemput]
[Melodi ulang tahun yang ke lima. Kak Melati suruh kamu datang. nggak usah bawa kado, ntar aku aja yang beli kadonya]
[yaang, kamu udah tidur]
Panggilan tak terjawab ….
[med tidur, Lala sayang. I lov yu]
Lala meneguk ludah dengan kedua pipi yang dialiri bulir bening. Tak ingin menangis, tapi membaca chat dari Algi yang begitu menyayangi dan mengharapkannya, membuat hatinya semakin terasa perih. Terlebih keluarga Algi sudah tau hubungan dia dan Algi. Bahkan Melati—kakak kedua Algi yang tinggal serumah—sangat akrab dengannya. Memang baru saja lulus SMA, tetapi Lala dan Algi sudah pernah merangkai mimpi tentang kehidupan mereka setelah sarjana nanti.
Hape lama Lala, memang tak sebagus hape yang kemarin dia banting, tetapi masih bisa digunakan. Hape itu kembali bergetar, sebuah panggilan telpon masuk, dan itu dari Algi. Kedua mata Lala sempat melotot tak percaya membaca nama kontak yang tertera. Dengan sedikit ragu dia menggeser tombol berwarna hijau di layar yang sudah retak itu.
“Hallo,” sapanya, menempelkan hape di telinga.
“Yaang, kamu baik-baik aja, kan?” suara yang terdengar sangat khawatir.
Satu tangan Lala menyugar rambut, dia memejam dengan bulir yang masih menetes di kedua pipi. “Iya, aku baik, Al.”
Terdengar sentaan nafas penuh kelegaan dari sebrang sana. “Aku khawatir banget, yaang. Chatku dari jam delapan nggak kamu bales. Nggak mungkin banget jam segitu kamu udah tidur. Kamu sibuk ngapain?”
Lala mendesah pelan. Sepulang dari kencan kemarin dia langsung ke kamar untuk membersihkan diri, lalu membaca buku sampai dia lupa waktu. Setelahnya dia keluar dari kamar karna perutnya merasa perih; kelaparan. Dan … kejadian itu terulang kembali.
“Aku lupa mau bales, Al. maaf ya. Dua hari yang lalu aku nemu drakor bagus banget. Aku sampai lupa waktu, lupa sama apa pun.”
“Sailaaah, yaang ….” Seru Algi dengan sentaan nafas kasar. “Tapi aku seneng kalo kamu baik-baik aja. Aku semalam nggak bisa tidur nyenyak, kepikiran banget sama kamu.”
Lala tertawa getir. ‘Iya, Al, aku semalam nggak baik-baik aja.’ batinnya berucap.
“Al, aku ngantuk. Dari semalam aku belum tidur. Aku mau tidur dulu ya,” ijinnya, karna dia memang merasa sangat pusing.
“Yaudah, besok jangan nonton lagi deh. Aku nggak mau kamu jadi sakit lho, yaang.”
Bibir Lala mengulas senyum dengan anggukan kecil. “Iya, Al.”
“Aku sayang kamu.” ungkap Algi. “Jan lupa, ntar sore aku jemput.”
Lala menggigit bibir dengan kedua mata yang kembali berembun. “Iya, Al. aku nggak akan lupa.”
Menarik ponsel setelah telpon mati. Meletakkan benda berwarna hitam itu di atas meja. Kedua tangan menjambak rambut lagi, dia frustasi.
**
“Lala kok nggak kelihatan?” tanya Bayu ketika sudah duduk di meja makan. Pasalnya sejak kemarin dia tak melihat anak tirinya itu.
Vera menyendok nasi, menaruh ke piring milik suaminya. “Tadi pagi-pagi banget dia kirim chat. Katanya baru kelar nonton drakor. Dan belum lama tidur. Biarin dulu, nanti kalo udah sedikit lama, aku bangunin dia.” Tutur Vera, lalu meletakkan piring yang sudah penuh itu di depan Bayu.
“Di bilangin, Ver. Nggak bagus lho begadang terus-terusan begitu. Lama-lama dia seperti alien. Nggak tau waktu istirahat.” Nasehat Bayu yang memang menganggap Lala seperti anak sendiri.
Vera tersenyum, mengalungkan tangan ke pundak Bayu. Bahagia bisa menikahi lelaki seperti Bayu yang juga menyayangi anaknya. “Iya, nanti aku nasehati dia.”
Levine melirik tajam melihat kemesraan papa dan wanita yang dia benci sedalam-dalamnya itu. Mood paginya langusng menghilang. Menyentak nafas kasar, tangan yang menggenggam kunci mobil semakin kencang. Berlalu begitu saja, karna dia tak minat untuk sarapan dengan pemandangan yang seperti itu.
“Vin,”
Panggilan dari Bayu menghentikan langkahnya. Tak menoleh, hanya diam dengan wajah menahan emosi, lalu tangannya terkepal kencang.
“Nanti malam Papa ingin bicara sama kamu.”
Levine tak menanggapi, tetap diam menunggu kata apa lagi yang akan papanya katakan.
“Sarapan dulu sebelum berangkat.”
“Makan dulu, Vin. Mama sud—”
Kalimat yang akan Vera ucapkan tertelan angin. Belum selesai dia bicara, Levine sudah melangkah pergi meninggalkan ruang makan. Menyisakan Vera yang menyentak nafas panjang, sampai kedua bahunya melemah.
Bayu menggenggam tangan Vera, tersenyum menguatkan hati wanita keduanya ini. “Sabar, masih butuh waktu untuk membuat Levine menerima semua ini.”
Menunduk, menatap tangan yang mengaduk nasi di piringnya. “Sejak awal hubungan kita memang salah, mas.” Menoleh, menatap Bayu yang mulai memasukkan nasi ke mulut. “Seharusnya kamu memang tak perlu menikahiku.”
“Kamu tau, kita di grebek warga, Ver. Kita di nikahkan paksa di sana. Apa salahnya meresmikan pernikahan itu? Toh, mamanya Levine juga sudah tidak ada.” Ungkapnya, mengingat kejadian dahulu.
Sejak awal memang Bayu tak mencintai Naima; mama kandung Levine. Dia dan Naima menikah karna sebuah perjodohan, mampu bertahan puluhan tahun dengan Naima itu tak mudah baginya. Tiga tahun sebelum Naima meninggal, Bayu bertemu kembali dengan Vera; mantan kekasihnya. Dia diam-diam sering menemui Vera yang saat itu sudah berstatus sebagai janda beranak satu. Suami Vera meninggal karna sebuah kecelakaan kerja. Cinta yang dulu, kembali bersemi setelah melihat Vera yang tentu semakin menawan dan begitu menarik di matanya.
Tanpa dia pikir seperti apa perasaan istri sah dan anak kandungnya sendiri. Ya, terkadang butanya cinta memang seperti itu.
Pukul 11 siang.
Vera masuk ke kamar Lala setelah mengetuk pintu dan berteriak beberapa kali. Duduk di tepi tempat tidur menatap anak gadisnya yang kembali masuk ke dalam selimut. Dia tersenyum, seakan tak percaya memiliki anak gadis secantik Lala.
“La,” panggilnya. “Kemarin nenek telpon. Katanya kangen sama kamu. liburan ini, kamu nggak mau ngunjungi nenek?”
Mendengar kabar itu, kedua mata Lala terbuka sempurna. “Nenek sakit, ma?”
Vera menggeleng. “Enggak, sayang. Dia sehat kok. Uumm … kapan kamu mulai masuk kuliahnya?”
Lala terdiam sebentar. Kepalanya mulai berputar mengingat memiliki nenek yang tinggal di kota Lombok. Lala bangun, duduk dengan menyandar di papan ranjang. “Ma, aku boleh ke sana?”
Vera mengangguk. “Boleh. Nanti mama bilang ke papa.”
Ada beban yang seperti terlepas dari dalam d**a. Akhirnya dia memppunyai cara untuk menjauh dari Levine.
**
Ini tuh cuma gw up di hari selasa doang ya. Sambil menunggu kontraknya turun tahta. ya, begitulah kira-kira