Lala kembali menatap pantulan diri di cermin besar yang menempel pada lemari kamar. Sungguh, di depan sana dia terlihat sangatlah sempurna. Outfit dress yang atasannya berupa batik, di bagian d**a berkerut dan melekat pas sesuai ukuran. Dia lebih mendekat, meraba bagian leher dan atas d**a yang tadi sempat ia olesi dengan make up agar warna biru keunguan itu tak terlihat. Setelah yakin semua baik-baik saja, dia meraih tas warna merah maroonnya, menyantelkan ke bahu lalu keluar dari kamar.
“Udah siap?” tanya Vera basa-basi ketika melihat Lala yang muncul di ruang tamu.
Lala mengangguk sembari menatap Algi yang duduk di sofa sana. Kekasihnya pun terlihat begitu tampan dengan kemeja berwarna merah maroon, sama seperti warna dress yang ia pakai. Cowok ganteng itu berdiri, mengambil kunci mobilnya dan mengulurkan tangan ke Vera.
“Ijin bawa Lala ke rumah ya, Tan,” ngomongnya, mengulangi apa yang tadi sudah dia katakan ke Vera.
Vera menerima uluran tangan Algi dengan anggukan kecil. “Hati-hati ya. Pulangnya jangan sampai kemalaman.”
“Iya, tan.”
“Aku pergi dulu ya, ma,” pamit Lala yang juga menjabat tangan mamanya.
Sengaja, hari ini Algi jemput Lala pakai mobil. datang ke acara ulang tahun, nggak mungkin juga kalau kekasihnya nggak dandan. Kalau pakai motor pasti riasan Lala bakalan rusah kena angin. Lalu rambutnya yang udah dibuat curly itu akan terbang kemana-mana, nggak cantik lagi.
Sekitar tiga puluh menit, mobil warna hitam yang Algi bawa berhenti di depan rumah besar orang tuanya. Tak langsung membuka pintu, cowok yang memang tampan itu melepaskan sabuk pengaman lebih dulu lalu beringsut untuk menatap Lala yang sedang melepaskan sabuk pengaman.
“Al, kamu ngapain?” tanya Lala, menatap Algi heran.
Tatapan yang selalu memuja, kagum dan penuh cinta. Senyum manis yang selalu Algi tunjukkan pada Lala, hanya Lala. “Kamu cantik banget, sayang,” ucapnya dengan kekaguman.
Mendengar pujian itu, Lala menunduk, menyembunyikan rasa panas di wajah. Dia jadi salah tingkah, pujian dari Algi selalu membuatnya melayang. Wajahnya terangkat saat tangan Algi meraih dagunya, lalu saling tatap dengan jarak yang dekat. Algi memajukan wajah, sedikit miring lalu mengecup bibir Lala yang sedikit terbuka.
“Aku cinta banget sama kamu, La,” ngomongnya tepat di depan bibir Lala.
Tangan Lala mencengkeram kain dress dengan d**a yang berdebar luar biasa. Dia pun mencintai dan menyayangi algi, sangat. “Al,” ucapnya tertahan. Hanya bisa diam saat Algi kembali mendaratkan kecupan di bibir. Tapi mulai mendorong d**a Algi saat bibir itu mulai menyesap bibir bawahnya. “Al, kita udah ditungguin kak Melati, kan?” ngomongnya begitu bibir mereka terlepas.
Kedua mata Algi fokus menatap bibir Lala yang terlapisi lipstik merah muda itu. Sedikit basah dan lisptiknya rusak karena bibirnya tadi. “La,” serunya dengan tangan yang mengelus pipi sebelah Lala, lalu kembali mendaratkan kecupan di bibir manis itu. Gadis ini memang terlalu cantik, dan tubuh sexi Lala selalu membuatnya gemas, tak sabar dan ingin melakukan hal yang lebih. Walau memang sejauh ini dia tak pernah melakukan hal lain selali ciuman seperti saat ini.
“Al,” kembali Lala mendorong dadanya, lalu bibir manis itu sedikit melengkung ke bawah. “Lipstikku rusak,” keluhnya dengan tangan yang sekarang jadi sedikit bergetar.
Entah kenapa, bayangan Levine yang menciumnya dengan tak sabar dan sangat brutal itu datang seperti iklan yang membuatnya hilang fokus. Lalu d**a berdebar lebih cepat karna ingatan tentang hal b***t itu telah kembali. Rasa kesal, rasa sakit dan rasa ingin membunuh lelaki berstatus kakak tiri itu kembali muncul. Lala langsung beringsut, segera membuka pintu dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menyembunyikan tangis yang tak bisa ia tahan.
“La,” panggil Algi yang tentu merasa bingung.
Hanya ciuman, dan mereka sudah sangat sering melakukan ini. Jadi … kenapa sampai Lala menangis? Jika ciuman tadi menyakitinya, sepertinya itu tak mungkin. Algi segera membuka pintu, lalu turun dan memutar. Meraih kedua bahu Lala, membuka tangan yang menutupi wajah itu.
“Yaang,” seru Algi, mulai panik karena kekasihnya benar-benar menangis. “Yaang,” bingung, nggak tau kenapa. Dia meraih kepala itu ke dalam dekapan. “Maaf kalau aku nyakiti kamu. maafin aku, sayang.” Ungkapnya, memeluk gadis itu erat.
Lala makin terisak, membalas pelukan Algi tanpa mengatakan apa pun. Di rasa … dia mulai mengalami fase … trauma.
**
Pukul 6.30pm
Bayu menegakkan tubuh, memerhatikan putranya yang duduk di depan sana, berhalang meja ruang tamu. Tinggal serumah, tetapi mereka berdua hampir tak pernah ngobrol atau saling berbicara. Seperti orang asing yang tinggal dalam satu kontrakan saja.
“Kamu … serius akan menikah dalam waktu dekat ini?” tanya Bayu, ingin meyakinkan keputusan anaknya.
Terlihat Levine menyentak nafas, lalu kepala berambut sedikit panjang itu mengangguk. Dia memang benar-benar mencintai Sabina, tapi sebenarnya juag belum siap jika harus menikah di usia sekarang. Namun … keadaan yang menjepitnya.
Bayu mengangguk, dia menarik napas lebih dulu, lalu mengeluarkannya dengan pelan. “Menikah itu berarti kamu akan masuk ke dalam kehidupan yang baru, Vin. Baru dimulai, lembaran yang masih kosong dan akan ada banyak ujiannya. Jadi—"
Levine mencibir dengan kekehan. “Nggak usah sok nasehati. Mending ngaca aja,” ucapnya, memotong penuturan Bayu. Lalu berdiri dan melangkah menuju pintu. “Aku mau berangkat sekarang. Kalo mau ngelamarin, ikuti dibelakang. Kalo nggak mau, aku juga nggak paksa.” Ngomongnya tanpa menoleh atau pun menatap papanya.
Bayu menunduk, meremas tangan sendiri dengan perasaan kesal. Dia sadar dulu memang dia salah, tapi cinta itu kan nggak bisa dipaksakan. Selama menjadi suami Naima, dia juga tak pernah membentak atau pun bersikap kasar. Walau tak mencintai, tapi tetap ada rasa sayang di dalam hatinya. Hanya saja … saat Vera kembali hadir, rasa itu tak lagi bisa ia tutupi. Ah, itu sudah kejadian masa lalu. Naima sudah meninggal, jadi sekarang dia hanya perlu memulai semuanya dengan yang baru. Levine masih butuh waktu untuk menerima semua ini. Ya, hanya perlu menunggu Levine menerima keadaan saja.
“Mas,”
Sapuan lembut yang menyentuh bahu membuat lamunan Bayu buyar. Dia menengadah, menatap istri cantiknya yang sekarang berdiri di samping sofa.
Vera menyimak pembicaraan suami dan anak suaminya tadi. Dia memang sengaja nggak ikut bergabung di ruang tamu karena tak ingin membuat Levine dimarahi papanya. “Sebaiknya … kita berpisah saja, Mas,”
Bayu langsung menggenggam tangan Vera. Kedua mata menatap tajam tepat di wajah wanita yang dari dulu sudah mengisi hatinya. “Jangan pernah bicara seperti itu, Ver. Aku mencintaimu, aku sudah menunggu lama untuk bisa hidup sama kamu. Aku tak akan pernah membiarkanmu pergi lagi dari hidupku. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mempertahankan pernikahan kita.”
“Tapi Levine—”
Bayu berdiri, menatap tepat di kedua mata yang terlihat sedih itu. “Dia sudah dewasa, sebentar lagi dia juga sudah akan menikah. Seharusnya dia bisa paham. Biarkanlah, kita hanya perlu bersabar saja.”
Tin! Tin! Tin! Tin! Tin!
Mendengar klakson mobil di halaman sana, tangan Bayu yang hampir memeluk Vera itu urung. Dia menghela, menoleh menatap di luar sana.
“Ayok berangkat,” ajak Bayu, tak ingin mengecewakan putranya.
**
Rumah yang sederhana. Rumah orang tua Sabina tidak besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Rumahnya memiliki halaman selebar lima meter, jadi dua mobil milik Levine dan Bayu bisa masuk ke halaman yang tanpa pagar itu.
Melihat mobil kekasihnya sudah berada di depan, Sabina memapah bapaknya menuju ke ruang tamu. Duduk di sana menunggu tamu yang sudah mereka harapkan sejak lama. Begitu Levine dan orang tuanya masuk, Sabina menyambut mereka dengan senyum ramah dan sopan.
“Silakan duduk, Om, tante,” suruh Sabina setelah saling berjabatan tangan. Lalu dia masuk ke dalam untuk membuatkan minuman.
“Maaf ya, Pak, jadi menyita waktu pak Bayu,” ucap pak Basir dengan senyuman tak nyaman.
Bayu mengangguk. “Enggak kok, pak. Hari sabtu memang kantor pulangnya lebih awal. Minggu ini pekerjaan tak terlalu banyak, jadi tak ada lemburan.”
“Itu perusahaan tekstil ya, kalau nggak salah.”
Bayu mengangguk. “Iya, pak. Mentahan sampaike pembuatannya.”
Obrolan mereka terjeda saat Sabina keluar dengan nampan berisi beberapa toples dan gelas minum. Lalu gadis cantik itu duduk di sebelah bapaknya.
“Seadanya ya, pak, bu,” ucap pak Basir, mempersilakan tamunya untuk mencicipi yang di suguhkan.
“Iya, pak. Makasih. malah jadi ngerepotin ini,” jawab Vera dengan senyuman.
“Skripsi kamu gimana, Bi?” tanya Bayu yang juga tau kalau Sabina sedang dalam skripsi.
Sabina tersenyum. “Alhamdulilah diterima judulnya.”
Bayu melirik anaknya yang sejak datang tadi hanya diam saja. Wajahnya sih terlihat santai, tapi Bayu tau, ada ketegangan di kedua mata Levine. “Pak Basir, Sabina,” panggil Bayu kemudian. “Jadi kedatangan saya dan istri saya ke sini adalah untuk meminta pada pak Basir. Apa boleh jika Sabina kami minta untuk diperistri Levine?” dirasa terlalu lama berbasa-basi tak akan baik juga. Terlebih memang tujuan mereka ke sini untuk hal ini.
Pak Basir menegakkan duduk, dia melirik Levine yang sejak tadi memang lebih banyak menunduk saja. Lalu beralih melirik anak gadisnya yang wajahnya terlihat berbinar. Ya, dia pun tau jika Sabina sangat menyukai Levine. “Kalau saya, memang sangat setuju jika anak-anak menikah dalam waktu dekat ini, Pak,” jawabnya, langsung ke intinya. “Umur tidak ada yang pernah tau. Hanya saja … saya sudah merasa sangat lelah. Penyakit di dalam tubuh saya sudah menumpuk, tak hanya satu. Sabina dan Levine juga sudah saling kenal. Nggak baik juga jika terus berpacaran dan tidak segera diresmikan.”
“Jadi … bapak menyetujui lamaran kami?” tanya Bayu yang belum tau jika memang ini adalah permintaan pak Basir.
Pak Basir mengangguk. “Saya malah menginginkan mereka berdua langsung menikah dalam waktu dekat ini, Pak. Bagaimana menurut pak Bayu?”
Bayu meneguk ludah, melirik Levine yang tetap diam. “Tapi … Levine belum lulus kuliah, Pak. Judul skripsi Levine saja baru saja ditolak. Umur mereka juga masih sangat muda. Apa tak lebih baik jika mereka bertunangan dulu?” usul Bayu. Sungguh, dia sudah pernah mengalami masa di mana penyesalan itu tak bisa di salahkan. Dan waktu tak bisa kembali lagi. Menikah muda, itu tak mudah.
Pak Basir menggeleng. “Saya ini, seminggu sekali masuk ke rumah sakit untuk cuci darah, pak,” ucapnya, lalu melirik Sabina. “Keinginan dalam hidup saya, semua sudah terpenuhi. Hanya satu yang masih sangat mengganjal di kepala.” Dia menjeda, menatap Bayu, Vera dan Levine dengan bergantian. “Saya ingin menyaksikan sendiri saat Sabina menikah, melepas masa lajang.”
Bayu kembali menghela napas, lalu melirik Levine lagi. “Vin,” panggilnya.
Mendengar panggilan itu, Levine mengangkat kepala, balas menatap papanya. Ada keraguan di dalam hati, entah apa itu. Tapi semua sudah seperti ini, masa’ iya harus mundur. “Ya, aku ngikut aja.” keputusan yang sangat bertolak belakang dengan hati di dalam sana.
**
Gadis cantik berbalut dress mewah berwarna pink itu memeluk Lala dengan senyum bahagia. “Tante besok ke sini lagi ya,” ucapnya, enggan berpisah dengan Lala.
Lala mengangguk, mengecup kening Melodi. Tangannya menyibakkan helaian rambut keriting yang tergerai ke wajah. “Udah malam, tante pulang ya.”
Melodi mengangguk, membiarkan Lala melangkah pergi menuju ke mobil. lalu melambaikan tangan saat mobil warna hitam yang dikendarai oleh om-nya itu melaju meninggalkan halaman rumah. berbalik, berdiri di depan mamanya yang juga mengantar kepulangan Lala.
“Ma, besok kalo gede, aku mau seperti tante Lala. Tante Lala cantik dan pintar.” Ngomongnya, khas bocah lima tahun.
Melati meraih tangan anaknya, menuntuk gadis kecil itu masuk ke dalam rumah. “Didi besok juga cantik dan pinter kok.” Lalu pintu besar bercat hitam itu tertutup rapat.
Di jalanan sana, Algi beberapa kali melirik kekasihnya melalui kaca depan yang memang sengaja dia arahkan ke Lala. Wajah gadisnya terlihat sangat biasa, santai tak ada masalah apa pun di wajah itu. Jadi … tadi Lala nangis karena apa?
Mobil berhenti saat mendapati lampu merah. Algi menoleh, menatap Lala yang diam menatap jalanan depan. “Yaang,” panggilnya yang membuat Lala menatapnya. “Kamu baik-baik aja?”
Tanpa ragu kepala itu memberinya anggukan, lalu tersenyum manis. “Kenapa?”
Algi diam untuk sesaat, mencoba berpikir. Lalu menggeleng dengan senyum tipis. “Mampir makan, mau?”
Lala langsung mengangguk tanpa perlu berpikir lama. “Aku juga lapar.”
“Di tempat biasanya ya,” ajaknya.
Resto yang jauh dari jalan raya, dan biasanya memang mereka makan di sini bersama dengan teman-teman yang lainnya. Algi sudah masuk mencari tempat duduk lebih dulu, membiarkan Lala yang memesan untuk mereka. Kedua mata menyipit dengan kening yang berkeryit. Di tempat duduk bagian pojok sana, ada Bianca dan Angga yang sedang menikmati makanan di meja sana.
“Cckk, di mana-mana perasaan ada kalian,” ucap Algi, langsung menarik kursi dan ikut gabung di meja keduanya.
“Eh, Al,” seru Angga, mendongakkan kepala.
Bianca menoleh, celikukan mencari orang yang datang bareng sama Algi. “Lo … sama siapa?”
“Sama ibu negara lah,” jawabnya, langsung mengambil gelas minum dan meneguknya.
Bianca merebut gelas itu. “Punya gue, bego!” galaknya.
“Minta dikit doang, Bi,”
Gadis bertubuh semok itu manyun, meneguk minuman dinginnya. “Gue nggak suka bagi-bagi ya!”
Sementara Angga terkekeh melihat pacarnya yang memang paling nggak suka berbagi makanan atau minuman. Cckk, lebih tepatnya memang Bianca nggak suka kalo lagi makan tuh digangguin.
Algi yang tau jika pacarnya datang, langsung menarik kursi sampingnya dan menyuruh gadisnya itu untuk duduk di sana.
“Eh, kalian dari mana? Pake couplean gitu?” tanya Angga, memerhatikan baju Lala dan Algi.
Algi melingkarkan tangan ke pundak Lala, merangkul pacarnya. “Dari KUA.” Jawabnya ngasal.
“Njir, ngimpi! KUA punya jin yang buka sampe malam.” Timbrung Bianca.
“Eh, yang jadi penghulu bapak gue, Bi,” Algi menimpali.
Santai tangan Bianca mendarat di kepala Algi. “Bokap lo sibuk nerbangin pesawat! Semua juga tau. Mana sempet dia ngirusin KUA.”
Algi menggeleng dengan kekehan kecil. “Ngga, cewek lo kalo sama gue sukanya nyalahin mulu. Heran deh.”
Angga dan Lala sama-sama tertawa melihat Algi dan Bianca yang memang kalo ketemu selalu saja berantem begini.
“Eh, kalian udah tau?” tanya Angga tetiba.
Algi dan Lala sama-sama mengeryit, nggak paham.
“Tau apa?” tanya Lala.
“Varis nggak jadi masuk kuliah.”
“Kenapa?” sahut Algi cepat.
“Wulan hamil. Dia suruh nikahin Wulan.”
Jawaban Angga membuat Algi dan Lala melotot, terkejut tentunya. Varis teman seangkatan, satu kelas dengan Algi dan Angga. Dan Wulan ini masih duduk di kelas sebelas. Adik kelas mereka, tetapi memang sudah pacaran sama Varis sejak kenaikan kelas satu tahun yang lalu.
“Kok bisa sampai hamil?” tanya Lala yang seakan tak percaya.
“Mereka udah sering gituan, ya wajar kalo Wulan hamil. Pertanyaan lo retoris, La.” Bianca yang menyahut.
“Enggak, maksud gue gini. Mereka udah sering, tapi kenapa hamilnya sekarang? Padahal dulu-dulu mereka baik-baik aja.” Lala menerangkan yang di maksud.
“Keknya lupa nggak pake pengaman.”
Jawaban Algi membuat kedua tangan Lala meremas kain dress dengan kencang. Pengaman? Levine sudah lebih dari sekali menidurinya. Dan kakaknya itu tak pernah memakai penghalan apa pun. Apa itu juga akan terjadi padanya?