2. Perbedaan Dua Prasangka

1129 Words
Malam sudah larut, Devan masih mengobrol dengan kakaknya di ruang tamu berduaan saja. "Dev, kakak tidak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan. Arafa gadis yang cantik dan baik, kenapa kamu tidak tertarik dengannya?" "Entahlah Kak Yuta, aku sendiri juga tidak tahu." Devan memainkan kunci mobil miliknya dengan jari, sedari tadi kakaknya mencoba menasihatinya untuk segera menikah. Namun, dia memang belum bisa membuka hati. "Kamu ini lelaki normal kan?" tanya Yuta. Devan langsung terkejut mendengar pertanyaan kakaknya. "Kak, kakak lupa ya jika aku ini dalam semalam bisa memuaskan dua sampai empat wanita sekaligus?" sergah Devan tersinggung. Yuta tertawa, sebab tidak menyangka jika Devan bereaksi seperti ini. "Maaf, beneran kakak lupa. Kalau begitu kenapa tidak segera menikah saja? Jika kamu merasakan indahnya menikah kakak yakin hidupmu akan tertata lebih baik. Lagian usia kamu sudah lebih dari cocok untuk menikah," balas Yuta menahan tawanya. "Sudahlah, aku mau balik dulu," sergah Devan kesal. "Kakak beri tantangan ya, kalau dalam satu bulan kamu belum belum menemukan calon istri dengan terpaksa kakak akan menikahkan kamu dengan Arafa," sela Yuta serius. "Ish... Ish... Jaman apa ini? Baiklah, aku ini tampan dan sukses. Aku bisa mencari istri sendiri," balas Devan berlalu pergi. Saat Devan hendak membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara kakak iparnya. "Dev, ini oleh-oleh dari orang tua Arafa tadi. Sebaiknya kamu bawa pulang!" Devan berbalik arah dengan langkah yang kurang semangat. "Kau ini, semangat sedikitlah Dev," sindir Lintang. "Aku pulang," sela Devan agak merengut. Sesampainya di luar Devan hanya menatap bungkusan yang barusan diterimanya. Jika barusan bukan Lintang yang menyerahkan mungkin saat ini barang yang dibawanya akan langsung dibuang. "Memang hidup ini kejam sekali,apalagi ketika mencintai wanita yang pada akhirnya menjadi kakak ipar sendiri. Dev, jangan kamu siksa hidupmu sendiri dengan hinaan dari orang lain. Kamu tampan, kaya raya, dan juga memiliki pesona tinggi. Kamu pasti bisa mendapatkan wanita yang kamu inginkan," gumam Devan pada diri sendiri. Dalam menuju jalan pulang, Devan melewati lagi area konter yang tadi siang. Dia ingat jika tadi bertemu dengan seorang gadis yang memakai cincin lamaran yang seharusnya diberikan untuk Lintang. "Aku heran, kenapa cincin itu bisa ada di jarinya? Aku benar-benar tidak ingat dengan apa yang sudah aku lakukan saat aku mabuk kemarin," batin Devan penasaran. Tapi mengingat wajah penjaga konter yang berumur baru belasan tahun itu Devan yakin jika gadis itu jujur dan baik. "Ah, palingan aku dalam keadaan tidak sadar membuangnya dan ditemukan oleh gadis itu," duga Devan. Kemudian mata Devan tertuju pada sosok yang berjalan ke arah Halte, Devan yakin jika gadis itu adalah penjaga konter yang tengah dipikirkannya. Devan segera menghentikan mobilnya tepat di samping gadis itu. Melihat nama di kartu identitas yang dikalungkan, Devan langsung tahu jika gadis manis tersebut bernama Warda. "Hey, Warda," sapa Devan manis. Namun hal yang tidak terduga terjadi, gadis bernama Warda itu tampak ketakutan dan justru berlari menghindarinya. Devan semakin heran dengan sikap gadis itu. "Kenapa dia? Memangnya aku pernah berbuat salah?" batin Devan mengerutkan dahinya. Devan hanya melihat Warda berlari berlawanan arah dari halte, tapi gadis itu justru langsung menghentikan taksi dan segera pergi. "Dia kenapa sih? Tadi berjalan ke arah halte, tapi begitu melihat aku langsung berlari berlawanan arah dan naik taksi. Apa saat aku mabuk aku sudah berbuat hal yang membuatnya takut?" Devan semakin pusing memikirkan gadis asing yang aneh itu. "Ah, dari pada pusing sebaiknya aku pergi ke bar saja," gumam Devan Devan meraih ponselnya dan menelpon Adit, sahabat sejatinya semenjak masa sekolah. "Dit, temani aku minum yuk?" "Maaf, Dev. Jika aku ketahuan menyelinap keluar malam begini pasti aku dihajar istriku," Devan langsung memutuskan sambungan teleponnya karena kesal. "Ah, pulang saja dan tidur deh!" pekik Devan kesal. Devan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di rumah hanya ada kesunyian semata. Kadang Devan berpikir, jika dia menikah dan punya anak mungkin rumahnya tidak akan terasa hampa. Kemudian Devan tertawa dengan pikirannya yang dirasa konyol. *************************** Di dalam taksi Warda panik mencoba melepaskan cincin itu dari jemarinya, tapi masih saja sulit. "Kenapa Devan tadi mencariku? Apakah dia mau meminta cincin ini? Tidak! Aku tidak boleh menyerahkannya. Karena hanya cincin ini yang bisa menyelamatkan panti. Lagian aku juga tidak mencuri jadi aku tidak perlu takut mempertahankan cincin ini," batin Warda. Warda menatap ke arah jendela, dia tidak menyangka menjadi gadis yang serakah. Akan tetapi semua itu dia lakukan demi adik-adik tersayang yang berjumlah banyak. Jika mereka tidak memiliki bagaimana nasibnya nanti? Akankah menjadi gelandangan yang tidur di jalanan? Warda tidak sanggup membayangkan semua itu, apalagi di panti juga ada belasan anak balita yang masih membutuhkan perlindungan. "Aku tidak boleh takut, besok pagi cincin ini harus segera aku jual," tekad Warda. Setelah sampai di panti Warda segera membayar biaya taksi. Sebenarnya Warda merasa sayang, sebab jika dibandingkan dengan biaya bus mini tentu saja ongkosnya terpaut jauh. Tapi mau bagaimana lagi, tadi dia begitu takut saat Devan mendekatinya. Jika pemuda itu berniat meminta lagi cincinnya nanti pasti asuhan tidak bisa diselamatkan lagi. Malam ini di saat semua orang sudah tertidur Warda masih di ruang tamu berusaha melepaskan cincin di jemarinya, akan tetapi masih saja belum bisa. "Aku tidak boleh nyerah, pokoknya cincin ini harus lepas dan besok aku jual!" gumam Warda. Sampai sayu jam cincin itu masih belum mau lepas, bahkan jarinya sampai memerah dan agak perih. Namun Warda masih belum mau menyerah. "Warda, kenapa malam ini kamu belum tidur, Nak? Bukankah besok bekerja?" tanya Bu Atin yang tiba-tiba muncul. "Kemari, Buk. Warda mau menceritakan sesuatu," pinta Warda pelan agar tidak mengganggu orang lain. "Ada apa?" bisik Bu Atin. Kemudian Warda menceritakan tentang pertemuan dia dengan seorang pemuda yang ditolong lalu memberinya cincin, dan juga tentang keaslian cincin itu yang harganya ratusan juta. "Apa? Kenapa orang itu bisa menyerahkan cincin yang harganya sangat mahal pada orang asing?" tanya Bu Atin cemas. "Awalnya aku juga berpikir begitu, Bu. Tapi melihat dia yang mabuk dan putus asa sepertinya lamarannya di tolak," duga Warda. "Melihat dari model cincin ya sih memang seperti cincin untuk melamar. Mungkin ini takdir untuk menyelamatkan panti asuhan ini," gumam Bu Atin senang. "Tapi cincin ini tidak bisa aku lepaskan, Bu," rengek Warda. "Sebentar, biar ibu ambilkan sesuatu," sela Bu Atin berlalu pergi. Tapi lama kemudian ibu asuhnya Warda tersebut membawa baskom yang berisi sabun dan air. "Ayo, kemarikan tanganmu!" pinta Bu Atin. Warda hanya patuh saja ketika jarinya di lumuri sabun, dan betapa ajaibnya jika cincin itu bisa terlepas dengan mudah. "Ya ampun, semudah ini? Kenapa aku tidak kepikiran dari tadi?" pekik Warda senang. "Sst... Jangan keras-keras. Nanti adik-adik kamu terbangun!" sela Bu Atin sambil tersenyum. "Besok lagi kita langsung jual saja, Bu. Dengan begitu nanti kita bisa tenang," saran Warda. "Iya, terima kasih, Warda. Karena kamu mau memikirkan panti ini," ucap Bu Atin bangga. Warda memeluk ibu asuhnya dengan erat, karena di dunia ini hanyalah panti ini yang dia miliki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD