6- Susahnya Mencari Pekerjaan

1143 Words
Jika semua hal yang seminggu belakangan Nindy alami adalah mimpi, rasanya gadis itu ingin segera bangun dari tidurnya. Tidak ingin terlalu berlama- lama dalam mimpi buruk itu. Nindy tidak ingin terlarut dan tenggelam dalam mimpi buruk itu untuk selamanya. Ia ingin segera terbebas dalam mimpi buruk yang mengekangnya itu. Namun sayangnya, semua yang terjadi padanya itu bukanlah mimpi. Nindy meyakinkan dirinya untuk ke sekian kalinya bahwa yang menimpanya dan keluarganya adalah kenyataan, bukan mimpi belaka. Meski rasanya masih asing, dan sangat cepat Tuhan membalikkan hidupnya, namun ia terus meyakinkan dirinya bahwa semua ini adalah kenyataan. Bahwa Tuhan mungkin tengah mengujinya sekarang. Nindy marah, kesal, dan geram atas semua yang menimpanya sekarang namun ia tidak bisa melakukan apa- apa. Yang ia bisa saat ini adalah menerima dengan lapang d**a. Seperti yang terjadi padanya sekarang, ketika semua teman- temannya meninggalkannya sendirian, dan adiknya yang memintanya untuk membiayai kuliah. Sekali lagi Nindy hanya bisa menerima semua keadaan yang menimpanya itu. Ketika ia berada di kampus dan teman- temannya mengabaikannya, bahkan tak menganggapnya ada, Nindy tidak apa- apa. Bahkan ketika ia tidak mengikuti wisuda universitasnya yang selama ini ia idam- idamkan itu, Nindy masih tidak apa- apa. Gadis itu pada akhirnya menerima semua kenyataan di hidupnya sekarang. "Gue harus cari kerja di mana lagi?" Nindy berjalan ke sana- ke mari mencari pekerjaan sepanjang hari. Namun belum juga ia temukan. Ijazah yang baru saja sehari ia terima itu langsung ia gandakan banyak, kemudian ia siapkan sebagai berkas lamaran. Nindy sudah menjadi jobseeker tepat sehari setelah ia menerima ijazah kuliahnya. Nindy kini menepi. Ia duduk di halte bus dekat trotoar seorang diri. Terik matahari sejak tadi membakar kulitnya itu yang hanya berjalan kaki sejak tadi. Nindy mengipas- ngipasi tubuhnya sendiri dengan amplop coklat berisi lamarannya yang masih tersisa itu. Keringat sebesar biji jagung sejak tadi terus mengalir, bahkan blouse yang ia kenakan sudah tampak basah di beberapa bagian. Ia telah mendatangi sepuluh perusahaan dan semuanya hasilnya nihil. Bahkan sejak semalam ia sudah mencoba untuk mengirim lamaran via email, dan masih belum menerima hasilnya. Nindy lelah, bahkan baru sehari ia mencari pekerjaan, ia sudah selelah ini. Ternyata memang mencari pekerjaan di masa sekarang sangat susah, apalagi baginya yang freshgraduate tanpa pengalaman kerja apapun. Ponsel Nindy bergetar. Segera ia keluarkan ponsel dari dalam tasnya itu. Kemudian ia lihat notifikasi apa yang masuk ke ponselnya. Ia malah lupa bahwa mungkin sejak tadi ada pesan penting yang masuk ke ponselnya. "Mama?" Nindy menggumam pelan. Layar ponselnya itu menampilkan wajah Mamanya. Ternyata Mamanya itu meneleponnya sekarang. Dengan cepat gadis itu mengangkatnya. "Halo." Nindy menjawab panggilan dari Mamanya itu sembari memperhatikan jalanan Jakarta yang padat itu. "Sayang, gimana? Udah ada hasil?" Pertanyaan dari Mamanya itu sebenarnya tak mengandung niat untuk menyakiti perasaan Nindy, dan pertanyaan itu sebenarnya hanya pertanyaan biasa. Namun entah mengapa membuat Nindy seketika kesal. Hawa panas dan terik matahari yang menyengatnya mempengaruhi mood- nya. "Belum, Ma." Namun bagaimanapun kesalnya ia pada Mamanya, ia tak pernah mengucap kata kasarnya itu. Nindy selalu pandai menyembunyikan emosinya. Mamanya di sebrang sana tampak menghela napasnya. Tampak sedih mendengar jawaban dari anak gadisnya itu. Kemudian dengan cepat Mamanya itu mengucap kalimat selanjutnya. "Kalau begitu lebih baik kamu pulang dulu, Sayang. Makan siang dulu sini." Oh, iya. Bahkan Nindy baru ingat bahwa sedari tadi ia belum makan siang. Pantas saja sejak tadi perutnya meraung minta untuk diisi. Nindy mengangguk dengan cepat. Gadis itu tahu meskipun Mamanya tak melihatnya, namun tetap saja ia mengangguk. "Iya, Ma." Lebih baik sekarang ia pulang ke rumah dan mengisi perutnya yang keroncongan itu. "Nindy pulang sekarang." Hari itu, setelah pulang ke rumahnya dan makan siang, Nindy tak kembali lagi untuk mencari pekerjaan. Ia terlalu lelah dan marah akan keadaan. Bahkan rasanya ingin menangis saja. °°°° Sudah seminggu Nindy mencari pekerjaan. Namun selama itu pula hasilnya nihil. Sudah belasan perusahaan yang ia datangi, namun tak ada yang membuka lowongan pekerjaan. Bahkan lamarannya lewat email hingga kini belum tampak hilalnya. Nindy sudah mencoba untuk meminta bantuan pada teman- temannya yang telah bekerja, namun tetap saja nihil. Teman- teman Nindy itu kebanyakan memberinya alasan, bahkan ada yang terang- terangan menolak untuk membantu Nindy. Rasanya Nindy ingin menyerah saja. Namun ia tidak boleh menyerah, bukan? Pagi ini saat Nindy tengah sibuk mengirim lamaran kembali lewat email di ruang tamu, tak sengaja ia membaca sebuah email yang masuk ke ponselnya. Email itu ternyata berisi panggilan interview untuknya, dari sebuah kafe. "Aaa!" Nindy sontak menjerit. Gadis itu senang bukan main. Akhirnya lamarannya membuahkan hasil. Ada satu lamaran pekerjaan yang ia kirim kini membuahkan hasil. Interview untuknya akan berlangsung hari ini. "Ada apa, Sayang?" Ratih yang sejak tadi berada di kamarnya itu kini segera ke luar. Dengan cepat wanita itu mendatangi Nindy. "Ma, Nindy dapat panggilan interview kerja!" seru Nindy dengan girang. Gadis itu langsung melompat berangsur memeluk Mamanya. "Nindy senang banget!" Ratih tersenyum dalam pelukan Nindy. "Selamat, Sayang." Ia segera melerai pelukan anak gadisnya itu dan menatapnya dengan teduh. "Terima kasih sudah berjuang susah payah selama ini, ketika Mama gak bisa berbuat apa- apa." Ratih berujar sembari berkaca- kaca. Nindy tersenyum. Dengan cepat ia hapus sudut mata Mamanya yang mulai berair itu. Ia sangat mengerti apa yang dirasakan oleh Mamanya itu. Ketika Nindy sangat tahu bahwa Mamanya itu sejak kecil tidak pernah melakukan pekerjaan rumah karena sudah terlahir kaya. Mamanya itu tak bisa berbuat apa- apa, tak pernah kerja apapun, dan tak memiliki keterampilan apapun. Jadi, setelah ia mengetahui segalanya, Nindy melangkah paling depan untuk menggantikan tugas Mamanya mencari pekerjaan. Lagipula selama ini Nindy sudah merepotkan kedua orangtuanya. Kini saatnya Nindy yang membalas budi atas jasa kedua orangtuanya itu. "Mama tenang aja. Sudah menjadi tugas Nindy sekarang untuk membahagiakan Mama dan Papa," ucap Nindy dengan senyum yang masih bertengger di wajahnya itu. Gadis itu melebarkan senyumnya. "Mulai sekarang, Nindy akan mencari uang yang banyak, untuk Mama, Papa, dan Nandiro." Ratih sudah tak bisa berkata apa- apa lagi. Airmata yang tadi dihapus oleh Nindy, kini kembali mengalir dengan derasnya. Segera ia peluk anak gadisnya itu dengan lembut yang juga dibalas oleh Nindy. Lalu kembali ia ucapkan kalimat terima kasih berulang kali. "Terima kasih, Sayang." Dari kamarnya, Nandiro mendengarkan percakapan yang terjadi di ruang tamu itu. Tentang Nindy yang mendapat panggilan interview, juga tentang Mamanya yang sangat berterima kasih padanya itu. Mungkin sekarang ia tampak seperti anak durhaka bagi kedua orangtuanya. Atau bahkan adik durhaka bagi Nindy. Di saat keadaan keluarga mereka sedang berada di titik terendah itu, Nandiro bahkan meminta untuk dibiayai kuliah. Namun seperti yang Nandiro ucapkan waktu itu pada Nindy, ia pun sangat ingin berkuliah. Memang benar ia kini meminta jatah untuknya, ketika dulu Nindy lah yang selalu menerima kasih sayang lebih dari kedua orangtua mereka. Nandiro mungkin tidak tega pada kakaknya itu karena sudah bersusah payah mencari pekerjaan itu, namun sekali lagi ia tak punya pilihan lain. Yang ia bisa saat ini, hanya mendoakan yang terbaik untuk kakaknya, juga keluarganya. °°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD