Nindy pulang ke rumah kontrakannya dengan berjalan kaki. Gadis itu menenteng beberapa paperbag dan buket bunga maupun snack pemberian teman- temannya itu. Wajahnya muram, padahal seharusnya hari ini menjadi hari yang membahagiakan di hidupnya. Sayangnya semua hal tentang kebahagiaan lulus kuliah yang dulu ia bayangkan kini telah sirna.
Nindy menghela napasnya berat sembari terus berjalan menyusuri gang sempit itu. Ia masih senantiasa mendekap paperbag pemberian Anes, Rike dan juga Tiara itu. Paperbag itu tak jadi ia buang tadi. Menurut Nindy, tidak ada gunanya ia membuang hadiah- hadiah itu. Lebih baik ia simpan, atau bahkan dijual nanti jika benar- benar tak punya uang. Setidaknya ia masih mempunyai hati nurani untuk tidak membuang hadiah- hadiah itu.
"Nindy pulang."
Gadis berambut sebahu itu memasuki rumahnya dengan lesu. Begitu sampai di kursi ruang tamu, segera gadis itu letakkan semua paperbag yang sejak tadi membuatnya repot itu.
"Kamu udah pulang, Sayang?"
Ratih dari arah dalam yang pertama kali ke luar untuk menyambut anak gadisnya itu. Segera ia hampiri Nindy yang kini sudah duduk dengan lesu itu.
"Gimana sidang skripsi kamu, Sayang? Lancar, 'kan?" tanyanya lagi. Wanita itu mendudukkan dirinya di kursi di samping kursi Nindy.
Ruang tamu di rumah kontrakan mereka sangat kecil, hanya memuat tiga buah kursi dan meja berukuran satu meter persegi. Sehingga membuat kursinya harus berjejer dengan rapat bahkan hampir tanpa jarak.
Nindy mengangguk dalam diam. Lalu ia hanya mengacungkan jempol kanannya ke atas dan mengangguk lagi.
Ratih tersenyum. Ia mengambil seluruh paperbag yang diletakkan Nindy ke atas meja dan ada yang dilempar begitu saja di lantai. Kemudian dengan cekatan Ratih membawanya bersamanya ke dalam kamar Nindy.
"Kamu istirahat dulu di situ, nanti Mama bawain minuman."
Setelah mengucap kalimat itu, Ratih kembali beranjak untuk membawa beberapa buket yang dibawa Nindy tadi itu ke kamar anak gadisnya itu.
Nindy hanya mengangguk berulang kali. Ia menatap Mamanya dalam diam. Lalu kembali menatap Mamanya saat wanita yang telah melahirkannya itu kini beranjak menuju dapur untuk mengambilkannya minuman.
Nindy menghela napasnya untuk ke sekian kalinya. Perlahan ia membuka slingbag- nya untuk mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya itu. Seharian bahkan ia belum sempat menyentuh ponselnya sama sekali.
Dengan malas ia memeriksa notifikasi yang masuk. Semuanya dari w******p dan langsung ia buka aplikasi pesan itu.
Mata Nindy perlahan mulai mengabsen satu per satu isi pesan di ponselnya itu -tanpa perlu membuka pesannya- dan mendapati kebanyakan isi pesan itu adalah pesan ucapan selamat karena telah menyelesaikan sidang skripsi hari ini. Jumlahnya lebih dari dua puluh pesan yang memberinya ucapan itu. Hingga akhirnya mata Nindy memicing ketika melihat isi pesan dalam grup chat keluarganya. Tepatnya saat membaca pesan dari Nandiro, adik laki- lakinya itu.
"Apaan?"
Ada sebuah foto yang dibagikan di grup chat keluarganya itu. Nindy mencoba membesarkan isi pesan dalam foto itu yang ternyata adalah sebuah brosur.
Brosur pendaftaran kuliah.
Tunggu dulu! Apa adiknya yang memang baru lulus dari SMA itu kini berniat untuk melanjutkan studinya ke universitas?
Nindy dengan cepat mendongak dengan garang. Tepat saat itu pula Mamanya membuka tirai pembatas ruang tamu dengan dapur. Kedua orang itu segera bertemu pandang.
"Ada apa?" tanya Mama Nindy itu.
Ratih meletakkan segelas air ke atas meja di depan Nindy sembari memandang anak gadisnya itu dengan raut bingung.
Nindy kini bangkit dengan cepat. "Mama udah tahu tentang ini?" tanya gadis itu dengan napas menggebu. Ia memajukan ponselnya yang layarnya kini tengah menampilkan foto brosur yang dikirim oleh Nandiro itu.
Ratih menarik ponsel milik Nindy itu dan segera membaca dengan seksama isi foto tersebut. Ekspresinya langsung berubah begitu selesai membaca isi foto itu.
"Iya. Mama dan Papa udah tahu tentang itu," ucap Ratih dengan nada pelan dan terdengar penuh penyesalan.
Nindy menatap Mamanya dengan tidak percaya. "Nandiro mau kuliah, Ma? Di saat keadaan ekonomi keluarga kita lagi kayak gini?" tanyanya.
Ratih yang sedari tadi berdiri berhadapan dengan Nindy itu kini tampak kebingungan di tempatnya. Ia bingung menjelaskan semuanya.
"Adik kamu ingin kuliah. Mama dan Papa gak punya pilihan lain, Nindy."
Nindy masih menatap Mamanya dengan tak percaya. Sampai akhirnya Sang Mama menarik tangan Nindy dan menggenggamnya erat.
"Kamu juga udah lulus kuliah 'kan, Sayang. Sebentar lagi cari kerja, terus bisa bantu biaya kuliah adik kamu itu."
Ratih masih mencoba memelankan suaranya dan membujuk Nindy agar tidak meledak.
Namun sayangnya Nindy tak merespon bujukan dari Sang Mama itu. Gadis itu yang sejak tadi sudah dilingkupi oleh pikiran tak karuan akibat ulah Anes dan teman- temannya, kini harus dihadapkan oleh kenyataan ini.
"Di mana Nandiro, Ma?" Nindy menepis genggaman tangan Mamanya dengan cepat. "Dia di kamar, 'kan?"
Tanpa berlama- lama lagi, Nindy segera melangkah mendekati kamar adiknya yang bersebelahan dengan kamarnya itu.
"Nindy ..." Ratih mencoba kembali meraih tangan anak gadisnya itu namun terlambat. Nindy sudah melangkah dengan cepat meninggalkannya.
"Nandiro!"
Dengan satu sibakan, tirai berwarna merah di kamar adiknya itu terbuka dan tak menghalangi jalan Nindy lagi. Gadis itu memasuki kamar adiknya dengan napas menggebu.
"Apaan, sih?"
Nandiro yang sejak tadi tengah rebahan sembari bermain game di ponselnya kini bangkit duduk. Ia terkejut mendapati kakaknya itu mencak- mencak memasuki kamarnya.
"Nandiro, ini apa?"
Nindy dengan cepat menyodorkan ponselnya ke hadapan adiknya itu. Ia sangat marah saat ini.
Nandiro membaca foto yang ditunjukkan oleh Nindy itu. Kemudian menarik sudut bibirnya sembari berujar santai, "Oh, itu brosur pendaftaran kuliah."
Nindy dengan geram menarik kembali ponselnya dari hadapan Nandiro. "Lo mau kuliah?! Di saat keadaan keluarga kita buat makan aja susah?!" tanyanya dengan nada tinggi.
Nindy sangat marah saat ini. Nandiro menambah daftar beban di keluarga mereka. Ketika dirinya masih susah payah untuk beradaptasi dengan kehidupan baru mereka yang berbanding 180 derajat itu. Dan kini Nandiro ingin berkuliah di saat kondisi keluarganya sedang dalam masa sulit itu.
"Lo gila?!" Nindy bertanya dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Bukannya takut akan nada tinggi yang Nindy tunjukkan itu padanya. Nandiro malah memberi kakaknya itu tatapan yang jauh lebih menantang. Seolah tak takut sama sekali pada kakaknya itu.
"Kenapa? Gue gak boleh kuliah?" tanya Nandiro dengan kesal.
Cowok berusia delapan belas tahun itu kini beranjak dari duduknya di atas tempat tidur. Kemudian dengan cepat ia mendekati kakaknya itu dan melanjutkan kalimatnya.
"Lo aja bisa kuliah, kenapa gue enggak?!" tanya cowok itu lagi dengan nada tak kalah tinggi dari kakaknya.
Nindy tercengang. Gadis itu mengerjapkan matanya. "Lo gila beneran, ya?" Ia masih tak percaya bahwa kini Nandiro benar- benar menantangnya.
Nandiro berkacak pinggang. "Gue gak minta dikuliahin di kampus mahal kayak kampus lo itu. Gue cuma ingin kuliah. Titik."
"Tapi lo tahu 'kan kalau keadaan ekonomi keluarga kita lagi kayak gini? Gimana bisa lo minta untuk dibiayain kuliah sekarang?" Nindy menatap cowok itu dengan tatapan tak percaya. "Bahkan biaya per semesternya aja mahal, Nan."
Nandiro masih tak gentar. Ia masih tak mau mendengar perkataan Nindy.
"Selama ini lo yang paling disayang sama Mama dan Papa. Semua yang lo inginkan, pasti akan dituruti sama mereka. Sedangkan gue? Gue gak pernah digituin." Nandiro mengucap kalimat panjang itu dengan napas berderu. Kemudian tanpa memberi jeda panjang, cowok itu menyambung lagi.
"Sekarang gue cuma ingin kuliah dan gak boleh? Apa kalian sejahat itu sama gue?"
Nindy masih menatap adiknya itu dengan bibir terbuka, saking tercengangnya.
"Tapi ... kita aja buat makan susah, Nan. Harusnya lo tahu itu dong!" Nindy tentu saja tak mau kalah.
Jika Nandiro mewarisi sifat keras kepala itu, begitu pula dengan Nindy. Sejak dulu mereka berdua memang jarang sekali akur. Selalu saja ada yang mereka ributkan.
"Gue gak minta kuliah di kampus mahal, Kak. Gue bakal cari kampus dengan biaya murah, dan masih di dalam kota." Nandiro tetap tak mau luluh. Masih keras dengan pendiriannya.
Nindy berdecih. "Mana ada kampus di Jakarta yang murah?"
"Ada! Gue akan cari sampai ketemu. Tapi asal kalian bersedia bayar biayanya." Nandiro tetap keukeuh. Cowok itu kini melangkah mendekati Nindy kemudian mencengkram kedua bahu Nindy. Mata Nandiro memancarkan sorot sendu.
"Lo udah lulus 'kan, bisa mulai cari kerja sekarang. Maka dari itu gue butuh bantuan lo." Kini cowok itu mulai memelankan suaranya.
Nindy yang mendapatkan tatapan seperti itu hanya bisa berdecih. "Gue bahkan belum ada 24 jam menyandang gelar sarjana itu. Ijazah aja belum gue terima, dan lo udah suruh gue cari kerja?"
Nandiro dengan sekejap kembali mengubah sorot matanya. Cowok itu melepaskan cengkramannya di bahu Nindy dengan mendorongnya.
"Pokoknya gue gak mau tahu, gue mau kuliah! Titik!" seru cowok itu.
Tepat setelah berseru kalimat itu, cowok itu meninggalkan kamarnya sendiri dan melangkah ke luar.
"Nandiro! Nan!" Nindy berseru untuk memanggilnya namun Nandiro sudah ke luar.
Bahkan saat Nindy mengejarnya, cowok itu sudah ke luar dari rumah mereka. Membuat Nindy mendesah frustrasi sendirian.
Harusnya siang tadi Nindy tak perlu berharap tentang hal buruk selanjutnya yang akan terjadi. Karena nyatanya ucapannya langsung terkabul.
Hari ini semestinya adalah hari paling membahagiakan bagi Nindy karena akhirnya telah berhasil menyelesaikan studinya daan mendapatkan gelar sarjana. Namun sayangnya kebahagiaan itu hanyalah sesaat karena pada akhirnya ia harus bersedih.
Hari ini adalah hari paling buruk dalam hidupnya.
°°°°°