14- Mengejar

1135 Words
Nindy berlari dengan cepat begitu ia pada akhirnya bisa mengejar Alex. Pria berwajah dingin itu pasti sengaja berjalan dengan cepat seolah memberi tahu Nindy agar tidak sembarangan mengejarnya. Alex melenggang begitu saja dengan santai, sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Pria itu memasuki ruangnya begitu saja. Nindy mempercepat langkah kakinya, bahkan ia sedikit berlari. Walaupun kini gadis itu mengenakan heels- nya, namun ia tak gentar. Ia tak mau begitu saja menyerah. "Pak Alex!" seru Nindy sembari memasuki ruang Alex itu. Seruannya menggema ke seluruh ruangan. Dan ajaibnya, Alex tiba- tiba memberhentikan langkahnya. Alex berhenti tepat di depan meja kerjanya. Berhentinya langkah Alex yang tiba- tiba itu menyebabkan Nindy tak sengaja membuat kening Nindy terantuk punggung pria itu. "Aw!" Nindy mengaduh saat dirasanya keningnya sakit akibat menabrak punggung lebar Alex di depannya. Gadis itu segera mengusap- usap keningnya sembari merasakan rasa sakitnya. Nindy bahkan baru tahu bahwa punggung Alex sangat keras. Dan ia sesakit itu. Tepat saat Nindy tengah mengusap keningnya, Alex membalik badannya. Alex yang tinggi menjulang itu memandang Nindy yang mulai menciut. Bahkan meskipun Nindy mengenakan heels- nya yang bertinggi empat sentimeter, ia masih kalah saing dengan Alex. Alex masih terdiam memandang Nindy itu. Dengan wajah datar nan dinginnya itu yang membuat Nindy lama- kelamaan merinding. Gadis berambut sebahu itu menyengir lebar dengan kikuk. Alex mulai membuka bibirnya dan berucap, "Kamu ..." Nindy mengangkat sebelah alisnya. "Iya, Pak?" Alex menatap Nindy lebih tajam dari sebelumnya. Kini pria itu menaikkan tangannya ke depan dadanya sembari melipatnya. Lalu dengan nada penasaran pria itu mengatakan kalimatnya. "Siapa namamu?" tanyanya. Nindy yang masih menyengir itu kini mengubah raut mukanya. Ia mendadak bersemangat karena Alex menanyakan namanya. "Nindy Camelia, Pak!" serunya penuh antusias. Alex tersentak mendengar seruan Nindy itu. Ia hampir menurunkan tangannya namun tak jadi, tentu saja ia masih mempertahankan kesan cool- nya. Pria itu berdehem pelan. "Oh, Nindy ...," lirihnya. Kemudian Alex kembali terdiam, yang membedakan hanyalah kini matanya yang seolah menjadi mesin scan. Alex melakukan scanning pada Nindy di depannya. Seolah menelisik sosok gadis muda yang akan menjadi Sekretarisnya itu. Nindy memiliki tinggi yang hanya sekitar 160- an sentimeter. Rambut coklat sebahunya yang tampak diwarnai itu menambah kesan mudanya. Mata Nindy yang bulat itu sangat indah. Pipi tirus gadis itu ditambah blush- on yang menyebar di area pipinya itu terkesan sangat cantik. Hidung mungil bangirnya, serta bibir ranumnya yang siang ini diberi warna pink kemerahan itu membuat kesan dewasa. Nindy mengenakan blouse berwarna biru muda dengan rok selututnya yang hitam kelam sangat cocok di tubuhnya. Dilengkapi dengan heels yang berwarna hitam senada dengan roknya itu. Nindy benar- benar tampak cantik bagi siapapun yang pertama kali bertemu dengannya. Alex diam- diam mengangguk. Ia memang membutuhkan sosok Sekretaris yang sempurna. Dalam arti lain sosok yang setiap hari menemaninya rapat itu haruslah good looking. Dan Nindy mempunyai syarat itu. "Kenapa, Pak?" tanya Nindy dengan canggung. Ditatap tajam seolah tengah di- scan itu tentu membuat siapa saja menjadi risih. Termasuk Nindy. Gadis itu tanpa sadar mengangkat tangannya mencoba menutupi bagian dadanya itu. Alex masih menatap Nindy dengan tajam. "Berapa usia kamu?" tanyanya lagi. Nindy mengerut dahi. Namun ia tetap menyahut, "Dua puluh tiga tahun." Alex menganggukkan kepalanya. "Kamu yakin ingin bekerja dengan saya?" Skak. Pertanyaan itu tepat langsung sasaran. Seolah- olah Nindy kedapatan tidak serius untuk bekerja dengannya. Atau bahkan ... apa Alex mengetahui niat terselubung dari Nindy bekerja dengannya? Nindy mengerjap. Ia menggerakkan kepalanya dengan sedikit memutar. Pikirannya berkecamuk sekarang. "Apa dia tahu kalau gue ini mata- mata suruhan Pak Sony?" batin Nindy bergejolak. Gadis itu masih mengamati ekspresi Alex di depannya. "Dia 'kan Iblis, jadi mungkin dia memiliki kemampuan mendengar suara hati atau membaca pikiran, 'kan?" tanyanya lagi dalam hatinya. Gadis itu menyipitkan matanya menatap Alex. Namun meski begitu, ia mencari jawaban yang tepat untuk diberikan pada pria itu. Melihat diamnya Nindy, Alex kembali melanjutkan kalimatnya. "Kamu yakin ingin bekerja dengan saya? Saya itu orangnya kejam, dingin, dan tukang memerintah. Jadi sebelum terlambat, lebih baik kamu pulang sekarang." Alex mengucapkan itu dengan sekali tarikan napasnya. Ditambah dengan nada suaranya yang sangat serius itu. Namun Nindy merespon dengan sebaliknya. Ia diam- diam menghela napas lega ketika sadar bahwa Alex tak tahu tentang dirinya yang seorang mata- mata itu. Ternyata Alex memang tak dapat membaca pikiran manusia. Eh? Atau memang pria itu hanyalah manusia biasa? Nindy dengan cepat menjawabnya. "Saya gak masalah meskipun Pak Alex adalah sosok seperti itu. Saya yakin ingin bekerja menjadi Sekretaris Pak Alex." Gadis itu sangat antusias. Alex memutar bola matanya mendengar jawaban Nindy itu. Kemudian mendecih sembari berucap, "Terserah." Ia menurunkan tangannya dan beralih menunjuk Nindy. "Awas kalau saya lihat dan dengar keluh kesah kamu tentang pekerjaan yang saya berikan," sambungnya dengan nada jauh lebih serius dan tatapan tajamnya. Nindy sempat bergidik melihat ekspresi wajah Alex itu. Ia menelan ludahnya susah payah. Lalu ia kembali mengubah air mukanya dan dengan cepat tersenyum lebar. "Iya, Pak. Saya tidak akan berkeluh kesah tentang apapun!" serunya dengan menggebu- gebu. Alex menarik kembali jemarinya begitu mendengar jawaban serius dari Nindy itu. Ia hanya mengangguk- anggukkan kepalanya. "Bagus kalau begitu," ucapnya. Mata Nindy berbinar memandang Alex. Ia mencoba mengesampingkan rasa takut yang tadi sempat menyerangnya itu. Lalu gadis itu makin melebarkan senyumnya. "Saya ... bisa mulai kerja sekarang, Pak?" tanya Nindy lagi. Mendengar hal itu, Alex tentu saja dengan spontan berseru, "Tidak!" Ia mengulum bibirnya sendiri. "Kenapa?" Binar di mata Nindy meredup. Alex menghela napas panjangnya. "Meskipun Andro itu menyuruh kamu untuk mulai bekerja hari ini, namun tentu saja saya yang menentukan tentang jam kerjamu." Pria itu mempererat lipatan tangannya. Kemudian kembali berujar. "Besok saja kamu datang lagi." Mata Nindy kini mulai kembali berbinar. "Saya bisa mulai kerja besok?" tanyanya memastikan. Alex dengan enggan menggangguk. Iya, tentu saja pada akhirnya ia mau menerima Nindy sebagai Sekretarisnya. Selain karena Andromeda yang merekomendasikannya, Alex pun tak punya pilihan lain. Ia sangat membutuhkan sosok Sekretaris di dekatnya. Pria itu kini melangkah memutari mejanya, lalu mengambil sebuah map dari dalam laci. Kemudian setelah memastikan bahwa map itu adalah map yang dicarinya, dengan cepat ia melemparnya begitu saja pada Nindy. Beruntung Nindy dapat menangkap map itu dengan tepat. Jika tidak, mungkin ujung map yang lancip itu akan mengenai dahinya. Bisa gawat! Wajah cantiknya bisa ternodai. "Ini apa?" tanya Nindy dengan raut bingung. Ia menatap map itu penasaran. Alex kembali berjalan memutari meja dan berakhir di depan Nindy lagi. "Itu adalah semua yang harus kamu ingat ketika menjadi Sekretaris saya." "Semua yang harus saya ingat?" tanyanya. Gadis itu dengan cepat membuka map itu. Dan begitu membukanya, ia melihat ada banyak tulisan tangan tentang semua yang harus dikerjakan selama menjadi Sekretaris Alex. Seperti harus mengingat kebiasaan pagi Alex di kantor, kesukaannya, atau bahkan hal yang dibencinya. Nindy mendesah. "Saya harus hapal semua ini?" tanya Nindy begitu menyadari ternyata ia harus mengingat banyak hal tentang Alex. Bosnya itu hanya dapat mengangguk. Kemudian menyeringai pelan. "Iya. Harus." °°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD