13- Like Angel Like Devil

1135 Words
"Saya tidak ingin Sekretaris seorang gadis muda seperti dia." Alex kini menurunkan tangannya yang semenjak tadi menunjuk ke arah Nindy itu. Pria itu menghela napasnya, ia mendadak lelah sendiri. Semua orang di dalam ruangan itu masih tampak terkejut mendengar perkataan Alex tadi. Namun seiring dengan turunnya tangan Alex itu, semua orang itu pun menjadi kembali ke kesadarannya. "Saya tidak pernah memiliki Sekretaris seorang gadis. Biasanya selalu laki- laki," sambung Alex lagi dengan nada dingin yang masih melekat itu. Sony mengerjapkan matanya. Lalu ia tertawa kencang membuat semua orang berganti menatapnya. "Ayolah, Alex. Sekarang ini tahun 2021. Janganlah bersikap kolot seperti itu lagi," ujarnya dengan nada bercanda. Ia melirik pada Andromeda yang juga menatapnya lalu masih terkekeh. Andromeda mengulum bibirnya. "Alex, bukankah kamu butuh Sekretaris secepatnya?" Ia menjeda. Lalu menyambung sambil menatap Nindy yang sejak tadi terdiam. "Nindy ini kandidat terbaik. Saya yakin gadis itu akan cocok untuk menjadi Sekretaris kamu." Merasa namanya disebut, Nindy mengangguk berulang kali. Kemudian beralih menatap Alex dengan penuh harap. Ayolah! Ini baru hari pertama baginya, jangan sampai Alex terus saja menolaknya. Alex mengernyit dan menatap Andromeda dengan datar. "Tidak. Pokoknya saya tetap tidak setuju," sergah pria itu. Ia masih saja dingin. Nindy mencebik mendengar sekali lagi penolakan dari Alex itu. Gadis itu memandang Alex sekejap, dan tepat sesudahnya, Alex pun menatapnya. Manik mata keduanya bertemu pandang. Sekilas Nindy merasa tersihir oleh tatapan Alex, namun detik berikutnya ia merasa takut. Dengan cepat gadis itu mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Saya sedang membiasakan diri tanpa adanya Sekretaris di sisi saya." Alex kembali bersuara. Pria dingin itu masih tetap tak mau kalah. Masih bersikeras dengan pendapatnya. "Kalau tidak ada lagi yang ingin dibahas, saya permisi dahulu," sambung Alex dengan segera. Nindy mengerjap berulang kali. Ia mendadak panik sekarang ketika melihat Alex bahkan sudah membalik badannya kemudian melangkahkan kakinya, bersiap untuk meninggalkan ruangan. "Eh? Gimana nasib gue?!" batin Nindy menjerit. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Alex tidak bisa menolaknya, dan jika hal itu terjadi ... maka Nindy akan pulang tanpa mendapatkan pekerjaan? Ia sudah bersusah payah ke luar dari pekerjaannya sebelumnya, dan masih belum melamar di mana pun. Apa kini ia harus diperlakukan seperti ini? Nindy hendak melangkah untuk mencegah langkah Alex. Ia akan memohon, berlutut, menangis atau melakukan apapun agar Alex mau menerimanya sekarang. Ia tidak boleh pulang ke rumah tanpa hasil apapun. Kaki Nindy hampir melangkah menuju tempat Alex berada hingga sebuah suara mengejutkannya. "Alex!" Seruan itu berasal dari Andromeda. Nindy baru sekarang melihat lelaki tua itu berseru seperti itu. Bahkan dengan tatapan yang tampak marah itu. Dan ajaibnya, langkah Alex terhenti dengan satu saja seruan itu. "Saya dengar dari Galih dan staf di divisi tempatmu bekerja, kalau kamu masih sering merepotkan mereka. Kamu memerintah seseorang yang jobdesk- nya bukan sebagai Sekretaris." Ucapan dari Andromeda itu membuat Alex membalik badannya dan menatap Andromeda. Ia tampak terkejut. "Kenapa? Apa kamu pikir saya tidak tahu apa yang kamu lakukan selama dua minggu ini?" Andromeda menatap Alex dengan serius sekarang. Alex mulai gusar. "Itu ..." Kemudian dengan cepat Andromeda memotong perkataan Alex. "Jangan sampai kamu merepotkan bawahanmu itu dan terima saja Nindy sebagai Sekretarismu," perintahnya dengan nada suara yang sangat serius. Alex mau tak mau tersentak. Ia menatap Andromeda dengan gusar, dan tak dapat menjawab apapun. Memang semua yang lelaki tua itu katakan benar adanya. Selama ini Alex memang sering menyuruh orang- orang di sekitarnya melakukan aktivitas yang tak semestinya. Aktivitas yang biasanya selalu dilakukan oleh mendiang Sekretarisnya itu. "Awas kalau saya lihat kamu memerintah bawahanmu lagi yang tak seharusnya diperlakukan seperti itu!" Andromeda mengangkat tangannya. Ia bersikap seolah membalas apa yang sudah diperbuat Alex pada Nindy itu. Ia menunjuk- nunjuk Alex seiring ucapannya barusan. Rasanya tidak ada yang bisa dikatakan lagi olehnya. Alex bingung untuk menjawab seluruh perkataan Andromeda itu. Memang ... ia tak pernah menang jika berdebat dengan Andromeda itu. Jadi setelah berhasil mengumpat dalam diam, dan meremas jemarinya sendiri, pria berwajah dingin itu menghela napas sembari berujar, "Terserah!" Sesudahnya, dengan geram pria itu segera melangkahkan kakinya menuju luar ruangan itu. Ia terburu- buru sembari mengendorkan ikatan dasinya. Berlama- lama di dalam ruangan itu membuatnya sesak. Nindy mengerjap kembali melihat Alex yang sudah menginjakkan kakinya di luar ruang itu. "Eh?" Apa yang baru saja terjadi? Dengan cepat ia menatap Andromeda dan Sony itu. Mencoba meminta penjelasan tentang apa yang baru saja terjadi itu. Sepertinya Andromeda mengerti akan kebingungan Nindy, dengan cepat ia tersenyum lebar. Lelaki itu sepertinya bersusah payah untuk mengembalikan senyumnya. "Tenang, Nindy. Jika Alex sudah mengucap kalimat "Terserah" seperti tadi itu, artinya dia mau menerima kamu sebagai Sekretarisnya." Andromeda tersenyum di akhir kalimatnya. Nindy masih menganga di tempatnya. "Saya akhirnya diterima sama Pak Alex?" tanyanya memastikan. Alisnya terangkat masih belum menerima semua yang terjadi tadi. Andromeda mengangguk berulang kali seolah meyakinkan Nindy. "Iya. Jadi lebih baik sekarang kamu segera mengejar Alex dan sudah bisa bekerja langsung dengannya." Senyum Nindy kini sudah bisa terukir jelas di wajahnya begitu mendengar perkataan Andromeda itu. Dengan segera gadis itu menunduk dan berucap, "Terima kasih." Kemudian mulai melangkah ke luar ruangan itu dan mengejar Alex. Beruntung Alex masih terlihat di koridor lantai sepuluh itu. Pria itu sedang mengetuk- ngetukkan kakinya di depan lift sembari menunggu pintu lift terbuka seorang diri. Nindy yang melihat Alex itu kini mulai berlari. Gadis itu berlari dengan cepat sebelum pintu lift itu terbuka. Sayangnya ketika Nindy masih berlari itu, pintu lift tiba- tiba terbuka. Kemudian Alex yang sekilas sempat memandang Nindy itu melangkahkan kakinya ke dalam lift. Pria itu seperti menarik sudut bibirnya untuk menyeringai. "Tunggu!" Nindy berusaha mempercepat langkah kakinya. Namun pintu lift itu detik demi detik mulai perlahan menutup kembali. "Pak Alex, tunggu!" seru gadis itu lagi. Namun sayangnya Alex tak mau susah payah untuk menekan tombol agar pintu lift itu kembali terbuka. "Sial, dia padahal ngelihat dan dengar suara gue, 'kan?!" Nindy mengumpat dalam hatinya. Tepat setelah itu, bunyi denting terdengar dan pintu itu tertutup sempurna. "Enggak!" seru Nindy begitu melihat pintu lift itu menutup rapat. Nindy kini sudah berada tepat di depan lift. Ia mencoba susah payah menekan tombol lift itu agar mau terbuka. Namun anehnya lift itu tetap menutup, dan dengan cepat melesat menuju lantai di mana Alex berada. Karena sudah lelah, Nindy akhirnya membiarkan Alex menuruni lantai dengan lift itu. Lift membawa Alex ke lantai tiga. Dan berikutnya, Nindy sudah tak bersusah payah untuk mengumpat dalam hatinya lagi. Gadis itu mengumpat terang- terangan di depan lift itu. Mengumpati Alex. "Anjir!" "Aish, dasar pria dingin gak punya perasaan! Bisa aja 'kan dia nungguin gue buat bareng ke lantai tiga?!" "Gue bakal tarik ucapan gue yang nyebut kalau dia itu malaikat!" "Dia memang iblis yang gak punya perasaan!" Nindy meluapkan semua kekesalannya itu di depan lift sembari menunjuk- nunjuk pintu lift. Ia bahkan menendang, meninju udara kosong di depannya seolah membayangkan bahwa itu adalah Alex. Berani- beraninya Alex mempermainkannya di pertemuan pertama mereka! °°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD