Number 8

2486 Words
"Perly ... bangun." "Hey, kamu kenapa? Perly!" Marta mengguncang bahu Perly pelan. Perly tak kunjung bangun. Dia terlihat sangat gelisah dan ketakutan, ada apa dengannya? Apa dia sedang bermimpi? "Hah ... hah ... hah ...." Tiba-tiba Perly terduduk dengan nafas terengah-engah. Marta dengan cepat duduk di samping Perly saat Perly tiba-tiba menggenggam erat-erat tangannya, "Kamu kenapa? Kamu terlihat gelisah," ucap Marta. Perly menatap Marta dengan tatapan berkaca-kaca, nafasnya masih setengah memburu, di rasa, dadanya sangat sesak saat ini, "Ibuku. Aku bertemu dia di dunia fairy. Dia benar-benar ibuku Marta. Dia ... dia, ayahku, dan semuanya menderita karena ingin menyelamatkan aku. Aku penyebab dua dunia itu menjadi seperti ini Marta, aku!" Perly berucap panjang lebar dengan nada serak. Entah, sejak awal, Perly memang sudah merasa terikat dengan dunia ini, dan di tambah dengan mimpinya barusan, membuat dirinya semakin tak tenang. Dia adalah akar dari semua penderitaan bangsa mermaid dan fairy, dia penyebabnya, bagaimana bisa dia akan tenang saja mengetahui fakta besar itu? Marta dengan cepat memeluk Perly untuk memberinya ketenangan. "Kamu tidak bisa menyalahkan dirimu Perly. Semua yang terjadi adalah takdir. Ingat, kamu adalah penyelamat yang kami nantikan, jika dulu kamu mati di tangan Pengendali Dark, mungkin dunia mermaid dan fairy sudah tidak ada. Jadi, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri," jelas Marta mengelus lembut penuh kesabaran pada rambut Perly. "Tapi ayahku ...." "Ayahmu, king dan queen yang terbunuh adalah mereka yang menginginkan dua dunia ini aman dari Pengendali Dark. Dan kuncinya hanya kamu Perly, hanya kamu yang bisa menyelamatkan kami semua, termasuk ibumu, king dan queen lainnya," ucap Marta memotong ucapan Perly. "Apa maksudmu dengan ibuku, king dan queen lainnya?" tanya Perly bingung. Perly kemudian melepas pelukannya meminta penjelasan dari Marta. "Mereka semua ditawan oleh para monster dari elemen mereka sendiri. Pengendali Darklah yang telah mengubah monster itu menjadi pengikutnya. Tapi berbeda dengan ibumu." Marta menjeda ucapannya. Rasanya dia tidak ingin membuat Perly semakin merasa bersalah dan bersedih jika tau tentang ibunya. Mendengar kenyataan dari mimpi saja, Perly sudah sebegini sedihnya, apalagi nanti jika mendengar tentang ibunya. "Kenapa dengan ibuku? Dia juga ditawan oleh monster itu?" tanya Perly penasaran. Dan gelengan Marta bukannya membuat Perly tenang, malah dia semakin takut, memikirkan kemungkinan tak terduga lainnya yang menimpa sang ibu. "Bukan. Tapi pengendali Darklah yang menawan ibumu. Tepatnya, Queen Ellona, Ratu Pengendali Dark," ucap Marta pelan. Perly menutup matanya, meski tak pernah bertemu dengan wanita yang ternyata adalah ibu kandungnya, namun tak dipungkiri, ikatannya dengan sang ibu sangat kuat, perasaan sedih dan gelisa begitu menghantam kepalanya, "Aku harus bagaimana Marta, apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan mereka?" Perly menutup wajahnya dan menunduk. Perly sangat merasa bersalah atas apa yang menimpa para king dan queen termasuk ibunya. Mereka semua mengorbankan segalanya demi menyelamatkan dirinya. Dan sekarang, apa yang harus dia perbuat untuk menyelamatkan mereka? Berenang saja, dia masih tahap belajar, bagaimana caranya dia bisa mengalahkan monster dan pengendali dark? "Marta, aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak punya kekuatan, aku tidak bisa berenang dengan cepat, aku bahkan tak bisa mengucapkan mantra dengan benar. Lalu bagaimana bisa aku membebaskan mereka ...." Marta mengangkat wajah Perly, memegang kedua bahu Perly agar menghadapnya, "Hey, kamu jangan putus asa. Bukankah kamu yang ditakdirkan menjadi penyelamat itu? Kamu pasti bisa menyelamatkan mereka dan dunia ini. Ada aku dan ayahku yang akan selalu mengajarimu banyak hal. Aku akan pastikan kamu siap menghadapi monster-monster itu. Aku berjanji." Marta mengangkat jari kelingkingnya. Perly menatap Marta dengan tatapan penuh arti, sedangkan Marta hanya tersenyum sambil melirik jari kelingkingnya, memberi kode pada Perly agar segera menautkan kelingkingnya juga. Perly ikut tersenyum dan akhirnya mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Marta. "Terimakasih karena sudah mau menjadi teman, kakak, sekaligus guru bagiku," ucap Perly tulus. "Itu sudah menjadi tugasku." jawab Marta. "Ah ya, ada satu lagi yang belum kamu ketahui." "Apa?" "Kamu tidak akan pergi sendiri untuk mengalahkan para monster itu. Tapi akan ada tujuh orang kesatria yang akan membantumu." ucap Marta membuat kening Perly kembali berkerut bingung. • Di SMA Nusa Bangsa, tepatnya sekolah tempat Perly menuntut ilmu, kini sedang dilanda kesedihan akibat hilangnya ketua OSIS kebanggaan mereka. Dua hari yang lalu, Perly dinyatakan hilang dan hari ini, Perly dinyatakan meninggal tenggelam di laut. Perly, si gadis ceria dan si ketua OSIS yang tegas dan bijaksana itu kini tak lagi bersama mereka untuk selamanya. Tak ada lagi Perly yang akan berbuat onar, tak ada lagi Perly yang akan membuat Buk Mena darah tinggi, tak ada lagi Perly yang akan mengatur segala acara OSIS dengan sempurna, tak ada lagi Perly, si primadona yang menjadi idaman para laki-laki tampan di sana, tak ada lagi Perly dengan segala keistimewaannya di mata mereka. Tak hanya murid tapi guru-guru termasuk kepala sekolah pun ikut bersedih atas itu. Bagaimana tidak, sejak kepemimpinan Perly-lah, organisasi di sekolah itu menjadi kembali aktif, nama baik sekolah mereka semakin baik, dan prestasi-prestasi banyak di dapat, baik itu akademik maupun non-akademik. Perly sudah banyak membawa kemajuan dan perubahan di sekolah itu. Sekaligus menyumbangkan skillnya yang tak bisa dianggap biasa saja. Tapi sekarang dia sudah tidak ada, hanya doa yang mampu mereka panjatkan untuk keselamatan dan ketenangan Perly saat ini. "Andai aja waktu itu gue nemenin Perly ke pantai. Pasti kita bisa cepet-cepet nyelamatin dia. Pasti ini nggak bakal terjadi ..., ucap Teta dengan suara gemetar. "Andai aja waktu itu gue dengerin omongan Fika yang denger teriakan Perly. Pasti kita bisa lebih cepet nemuin dia," timpal Vanya menatap gelas jus miliknya yang tidak tersentuh dengan tatapan kosong. "Lo beruntung Ta. Lo masih bisa sama-sama, sama dia pagi itu. Terakhir gue sama dia itu di tenda. Dia kesel ke gue ... hiks ... gue belum sempat minta maaf sama dia hiks ... dia udah pergi aja ... gue kangen dia ..." isak Agnes di sela-sela ucapannya. Teta yang ada di sampingnya pun langsung memeluk Agnes erat. Jangankan Agnes, dia pun sangat bersedih karena kehilangan Perly. Sungguh, tak pernah sekalipun terlintas di kepala mereka bahwa perpisahan yang seperti ini yang mereka dapat. "Bukan cuma lo, Nes. Gue juga terpukul banget kehilangan dia. Dia sahabat terbaik yang gue punya," batin Teta masih memeluk Agnes. "Er. Lo baik-baik ya di sana. Walaupun lo gak ada di sini, tapi kita semua bakal selalu ingat sama lo. Sama semua kebaikan lo. Gak akan ada yang bisa gantiin lo, Er. Apapun nanti keadaannya, apapun masalah atau kebahagiaan yang datang nantinya, nama lo, perkataan lo, nasehat lo akan selalu di sebut, Er. Makasih buat semuanya, Er. Makasih buat kenangan berharga yang udah lo buat ke kita, makasih karna lo udah jadi bagian dari hidup kita. Jangan lupa, Er, sampaiin rasa terimakasih gue ke Tuhan, karena udah ngirim lo buat jadi sahabat gue," batin Vanya mengingat masa-masa dia dan Perly masih bersama-sama. Mengingat bagaimana dulu dirinya tak pernah ingin terbuka pada siapa saja, saat dulu pertama kali dia mengancam akan menghajar Perly jika gadis itu tetap mengikutinya, bagaimana dulu dengan keras kepala, Perly tetap berada di sampingnya meski dirinya sudah membentak, masih memperhatikan kesehatannya kala dia sendiri rasanya tak ingin hidup waktu itu. Dan Perly orang pertama yang merengkuhnya di saat dirinya sudah jatuh terlalu jauh, Perly yang mengulur tangan padanya, mengjangkaunya, membawanya untuk bangkit bersama hingga menjadi dirinya yang sekarang ini. "Andai aja waktu itu lo gak pernah datang, Er. Andai aja waktu itu lo langsung pergi waktu gue ngusir lo, mungkin gue nggak bakal ketemu lo lagi, nggak bakal jadi sahabat lo, dan gue, nggak bakal ngerasa sesakit ini ..." Vanya terus membatin. Menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dengan satu lengan menutup matanya, "Er, gue kangen lo ..." Hingga air matanya yang sedari tadi sudah berlinang, akhirnya jatuh ke pipi. • "Gue juga kangen kalian ...," ucap Perly ikut meneteskan air matanya. Rasanya ingin sekali dia pergi ke darat dan memberitahu mereka bahwa dia baik-baik saja dan dia masih hidup. Ingin rasanya dia berlari dan memeluk mereka dengan erat. Bahkan jika memang benar dirinya ditakdirkan di sini, setidaknya dia bisa mengucap kata perpisahan pada mereka, menyampaikan beberapa pesan untuk mereka agar mereka tak sesedih ini. "Perly ...." Perly berbalik dan melihat Marta dan Polo sedang berdiri menatapnya. "Kamu sudah tenang melihat mereka baik-baik saja?" tanya Marta. Perly menghapus air matanya lalu mengangguk sambil tersenyum samar, "Ya. Tapi hatiku merasa sakit melihat mereka meneteskan air mata karena aku." jawab Perly kembali menatap bayangan di depannya. "Mereka akan baik-baik saja. Aku yang akan mengawasi dan menjaga mereka, jika itu membuat kamu tenang," ucap Polo tersenyum. Mendengar itu, Perly langsung mengalihkan tatapan pada Polo, "Benarkah? Kamu akan melakukannya?" tanya Perly memastikan. "Ya. Bagaimanapun mereka juga berjasa terhadap dunia kita karena telah menjagamu dengan baik sampai saat ini," jawab Polo. Perly tersenyum lega mendengarnya. Setidaknya dia tidak lagi cemas akan keselamatan mereka. "Apakah aku bisa melihat mereka lagi seperti tadi?" tanya Perly. Marta tersenyum mendengarnya, "Tentu saja. Kapan pun kamu mau," jawab Marta. "Kalau begitu aku akan sering melihat mereka. Aku ingin tau apa yang mereka lakukan tanpa aku," ucap Perly tersenyum sendu. Dia mengingat sang mama. Dia tidak bisa membayangkan betapa sedihnya mamanya saat ini. Maka dari itu, dirinya lebih memilih melihat keadaan para sahabatnya saja dari pada mama. Dirinya tidak akan kuat menahan diri untuk tidak segera ke darat melihat tangisan mama. Mama yang menangis seolah memerintah dirinya untuk segera memberi pelukan pada mama, dan itu akan sangat sulit Perly lakukan saat ini. "Tapi kamu jangan lupa dengan tugasmu di sini. Kau ingat bukan?" tanya Polo. Perly mengangguk mantap, "Tentu. Salah satu yang akan aku selamatkan adalah ibuku. Aku tak mungkin membiarkannya terus ditawan seperti itu." "Lalu, kapan kamu akan mencari ketujuh kesatria itu?" tanya Polo lagi. "Hari ini. Aku akan mulai pencarianku hari ini. Bukankah lebih cepat itu lebih baik?" jawab Perly mantap. Marta menatap ayahnya yang ternyata juga menatapnya, "Kau yakin?" tanya Marta. "Ya aku sangat yakin. Kamu bilang, kamu akan membantuku menemukan mereka 'kan?" tanya Perly menatap Marta. Senyum Marta mengembang. Ini yang dia tunggu, ini yang selalu dia harapkan, dan akhirnya, hari ini tiba, "Tentu saja. Baiklah siang ini kita akan berangkat ke dunia fairy," ucap Marta berseri-seri. Perly pun ikut tersenyum. Alasan Perly ingin mempercepatnya adalah supaya Marta bisa kembali menemukan ibunya. Dia tau Marta sangat merindukan ibunya. Lihatlah, Marta tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Dia tidak ingin Marta terlalu lama lagi merasakan berjauhan dari sang ibu. Cukup dirinya yang berjauhan dengan mama, dan terpisah dari ibunya. • Matahari hampir tenggelam, Perly dan Marta baru sampai di tempat tujuan mereka, menapakkan kaki di atas tanah, yaitu dunia fairy. Salah jika Perly mengira dunia fairy melewati jalan darat, di mana banyak manusia berkeliaran. Tapi jalan menuju dunia fairy adalah melalui gua yang ada di bawah laut. Ya memang, tapi bukan berarti dunia fairy juga berada di bawah laut. Dahulu jalan menuju dunia fairy melalui langit, tapi itu sangat beresiko karena sewaktu-waktu manusia bisa saja melihat mereka. Lagi pula, mereka sudah tidak memiliki sayap sekarang, maka dari itulah mereka sepakat untuk membuat pintu di bawah laut yang langsung menuju dunia fairy. "Marta, sudah berapa kali aku menanyakan pertanyaan yang sama sedari tadi?" tanya Perly pada Marta sambil terus berjalan menyusuri hutan fairy. "Sembilan kali. Jika kamu bertanya sekali lagi, maka akan genap sepuluh kali." jawab Marta acuh. "Marta, apa aku benar-benar berada di sini? Dan kaki ku kembali? Marta, aku merasa seperti sedang bermimpi." ucap Perly dengan pandangan yang tak lepas dari sekitarnya. Matanya benar-benar terasa segar melihat hutan fairy ini. Hutan fairy sangat indah, berwarna-warni, tak sama dengan hutan yang ada di dunia manusia, gelap dan seram. "Sepuluh kali." tekan Marta dengan nada kesal. "Marta, apa aku--" "Apa kau akan bertanya sepanjang jalan dengan pertanyaan yang sama seperti itu?!" sentak Marta membuat Perly terkejut. Gadis itu terhenti dengan tampang polosnya dan matanya yang berkedip beberapa kali. Dalam hati Marta merutuk. Bagaimana bisa Perly memasang wajah polos seperti itu dan ekspresi yang dengan berat hati Marta katakan menggemaskan itu, di saat dia sedang kesal. Inginnya marah, tapi bagaimana bisa kalau begini. Menghembuskan nafas pelan, "Dengar, Kamu benar-benar berada di sini, dan kamu sama sekali tidak bermimpi. Ya kakimu sudah kembali karena kamu berada di darat, jika kamu kembali ke air maka akan berubah lagi menjadi ekor. Paham? Apa kamu akan kembali bertanya? Ayolah, kamu bisa membuat kepalaku meledak," cecar Marta panjang lebar memperagakan kata meledak dengan tangannya di kepala, menggambarkan betapa frustasinya dirinya saat ini. Apalagi Perly tetap memasang tampang polos menatap ke arahnya. "Arrgg ... kenapa harus orang sepertimu yang ditakdirkan untuk hal seperti ini!" pekik Marta kembali meneruskan langkahnya, meninggalkan Perly yang masih diam di tempatnya. "Ternyata mermaid bisa marah seperti itu. Tapi, dia terlihat lucu kalau sedang marah," gumam Perly pelan. Tiba-tiba senyum jahil Perly terbit diwajahnya dengan tatapan yang tak lepas dari Marta di depan sana yang berjalan bak orang yang ingin berperang, terburu-buru dengan ekspresi kesal. "Maafkan aku Marta, tapi marahmu sangat menghiburku," ucapnya lagi. "Marta! Tunggu aku! Apa kau sengaja membiarkanku tersesat di sini?!" teriak Perly sambil berlari mengejar Marta yang sudah jauh di depan. Mereka terus berjalan, dan hari juga semakin gelap namun mereka belum juga keluar dari hutan fairy. Ternyata hutan ini juga cukup luas, pikir Perly dalam hati. "Aku rasa kita akan bermalam di sini." ucap Marta berhenti di sebuah pohon yang cukup besar. Mendengar itu Perly langsung melotot, "Di sini! Yang benar saja! Kau ingin aku mati di makan binatang buas ya? Wah, Marta wah! Ternyata kau punya rencana terselubung terhadapku!" pekik Perly setelah mengambil langkah mundur menjauh dari Marta. Marta? Gadis itu sudah mati-matian menahan diri agar tidak mencekik Perly saat ini juga, membiarkan nafas gadis itu habis hingga tiada. Oh Astaga! Kenapa harus dia berada di posisi ini? Nasib buruk apa yang telah menimpanya hingga ditakdirkan menemai dan melindungi Perly! Menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan, memaksakan senyumnya kemudian, "Perly jangan buat tanganku mencincang tubuhmu di sini!" geram Marta seolah-olah dia mencincang tubuh Perly. "Kau diam! Diam di sana, jangan bergerak dan jangan bicara atau aku benar-benar hilang kendali dan membuatmu lenyap di sini," ucap Marta cepat dengan nada sinis sebelum Perly dapat berkata. Perly mengerucutkan bibirnya dan diam. Marta melihat-lihat sekitar, di mana posisi yang tepat untuk membuat tempat tidur di sini sambil berkata pada Perly, "Dan masalah binatang buas, hewan macam itu tidak ada di hutan fairy. Jadi kau tak usah berpikir macam-macam, kalaupun ada, hewan itu juga akan berpikir dua kali untuk menerkammu. Kau itu cerewet," ucap Marta mengecilkan suara di akhir kalimatnya. Perly tampak berpikir, siap kembali berbicara, melupakan perintah Marta untuk diam, "Lalu, kita akan tidur di atas rumput?" Marta menoleh dengan tampang yang semakin kesal, "Apa kau membawa sebuah tempat tidur?" Tanyanya yang juga membuat Perly ikut kesal. Dia 'kan hanya bertanya, apa salahnya? Marta lalu mendekat ke arah pohon itu. Meletakkan telapak tangannya di atas tanah yang ada di bawah pohon, dan tanah itu bergerak, semakin tinggi hingga lututnya setelah dia mengucap mantra. Perly yang melihat itu tentu saja melongo, merasa takjub, ya walaupun dia sudah biasa melihat hal semacam itu, tetap saja dia takjub melihatnya. Hell, ini baru baginya, dan dia adalah orang yang menyukai hal-hal unik seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD