Number 7

2196 Words
"Apa itu juga dunia semacam dunia mermaid?" tanya Perly membuat Marta mengangguk. Perly menutup mulutnya tanda terkejut, merasa takjub, "Wah ... benarkah? Seperti apa? Apa mereka juga memiliki kekuatan seperti kamu?" tanya Perly antusias. Melihat reaksi berlebihan milik Perly, Marta lantas berdecak, "Aku merasa kasihan padamu. Kamu adalah mermaid dan kamu sama sekali tidak tau dengan duniamu sendiri," ucap Marta geleng-geleng kepala, terlihat prihatin. Tatapan antusias dari Perly perlahan sirna, digantikan dengan tatapan malasnya menatap Marta, "Apa kamu melihatku lahir di sini? Sudah. Ayo cepat cerita, kamu sudah membuatku penasaran," desak Perly. "Ya ya baiklah." Marta merubah sorot matanya menjadi serius, "Apa kamu tau arti dari judul buku yang kamu baca dulu?" tanya Marta. Perly tampak berpikir sebelum kemudian balik bertanya, "Buku takdir maksudmu?" Marta hanya mengangguk sebagai jawaban. "Entahlah. Aku tidak terlalu mengerti. Aku menafsirkan dengan pemikiranku sendiri, bisa saja apa yang aku pikirkan tidak sama dengan kenyataanya." Perly mengangkat bahunya acuh. "Penyelamat dua dunia." Marta mengulang kata-mata yang tertulis di buku itu, "Apa kamu masih tidak mengerti?" tanya Marta menatap Pery penuh harap, berharap Perly dapat mencerna baik-baik perkataannya. Sejenak Perly berpikir sampai dia kembali menatap Marta. "Apa itu dua dunia yang di maksud dalam buku itu?" tanya Perly dengan tatapan terkejutnya. Marta tersenyum, dia tau kalau Perly bukanlah gadis yang lamban, "Ya kamu benar. Dua dunia yang di maksud dalam buku itu adalah, dunia mermaid dan dunia fairy." jelas Marta sembari mengangguk. Perly masih ternganga, terdiam, merasa tak percaya dengan kenyataan baru yang Marta ucapkan, "Rasanya aku benar-benar hidup dalam dunia dongeng," ucap Perly pelan membuat Marta terkekeh. "Lalu, apa kalian berbeda?" tanya Perly lagi. Marta mengulas senyum terlebih dahulu sebelum memberi jawaban yang membuat otak Perly menjadi lamban, "Kami berbeda dan kami juga sama," jawabnya. "Seorang mermaid adalah fairy, dan seorang fairy adalah mermaid. Hanya saja, mermaid memiliki ekor kalau fairy memiliki sayap," ucap Marta menjelaskan yang kembali membuat Perly terkejut, entah yang ke berapa kalinya. Menghentikan rasa terkejutnya, Perly kemudian mendekatkan wajahnya pada Marta membuat Marta otomatis menjauhkan wajahnya, dia bertanya setengah berbisik, "Sayap? Seperti kupu-kupu?" Dan Marta menjawab dengan anggukan patah-patah, sedikit merasa takut melihat ekspresi Perly yang seperti itu dalam jarak sedekat ini, "Y-ya ... seperti itu." Senyum Perly mengembang, lebih lebar dari yang sebelumnya. Matanya berbinar, seperti sangat antusias dengan hal ini, "Apa mereka juga berukuran kecil?" tanyanya sambil menggenggam kedua tangan Marta. Marta yang merasa semakin aneh dengan Perly, kemudian melepas genggaman Perly dan sedikit menjauhkan kepala Perly darinya, "Menurut mu apa ukuranku kecil?" Marta balik bertanya. Mata Perly kembali melotot, "Kamu juga seorang fairy?" tanya Perly menunjuk Marta. Marta menepuk keningnya pelan. Merasa pusing dengan Perly yang tidak kunjung mengerti. Oke, dia tarik kembali pikirannya yang mengatakan bahwa Perly bukan gadis lamban, ternyata gadis ini sungguh lamban. Menurunkan jari telunjuk Perly yang terarah padanya, "Oke. Akan kujelaskan sekali lagi," ucap Marta menghadap pada Perly sepenuhnya. "Aku adalah mermaid sekaligus seorang fairy. Jika aku berada di air, maka aku akan berubah menjadi mermaid. Dan jika aku berada di darat, aku akan berubah menjadi fairy. Tak hanya aku, tapi semua bangsa mermaid dan fairy. Apa kamu sudah mengerti sekarang?" Gadis itu mengangguk-angguk kecil sambil menggumam kata 'Oo' tanpa suara, "Itu artinya kamu memiliki sayap? Ayo kita ke darat. Aku mau melihat sayapmu." Perly dengan semangat menarik tangan Marta. Marta hanya diam mempertahankan posisi duduknya. Perly yang merasakan tidak adanya pergerakan dari Marta pun, beralih menatap Marta dengan tatapan bingung "Kenapa? Ayo, dunia fairy ada di darat 'kan? Apa dunia fairy berdekatan dengan dunia manusia?" tanya Perly bingung. Marta menggeleng lemah, "Bukan. Dunia fairy sangat jauh dari dunia manusia. Hanya saja ..." Marta tak melanjutkan ucapannya. Sangat berat baginya mengatakan ini. Mengatakan apa yang menjadi masalahnya saat ini. "Hanya saja?" tanya Perly mengulang ucapan Marta. Namun Marta tetap harus mengatakannya bukan? "Aku ... maksudku, bangsa fairy tak lagi memiliki sayap, " ucap Marta sedih dengan nada pelan. • Perly membuka matanya namun kembali menutup matanya karena sinar matahari yang langsung mengenai matanya. Perlahan Perly bangun, dan duduk di atas rerumputan itu. Di lapangan yang luas di penuhi oleh bunga warna-warni serta pepohonan rindang di beberapa tempat. Bukankah tadi dia masih berada di bawah laut bersama Marta? Lalu di mana ini? Tunggu dulu, ekor-- tidak, bukan ekor, tapi ini kaki. Ekornya sudah berubah menjadi kaki! Ah, tunggu, itu terdengar janggal. Kakinya sudah kembali! Nah, kalimat ini lebih baik. Perly dengan cepat berdiri dan melompat serta berputar-putar seakan memastikan bahwa itu benar-benar kaki dan bukan halusinasinya. Dan itu memang benar, dia sudah memejamkan matanya untuk beberapa saat lalu membukanya dan kaki itu masih ada, itu bukan halusinasinya! "Ini kaki. Ini benar kakiku. Akhirnya kaki ini kembali." ucapnya tersenyum senang. Tapi senyum itu perlahan memudar, ketika melihat ada yang aneh dari bayangannya. Di dalam bayangan itu, ada sesuatu di belakang punggungnya. Seperti sepasang sayap. Perlahan, Perly meraba punggungnya, tepatnya pada sepasang sayap yang terlihat di bayangan itu. Perly merasakannya, merasakan bulu-bulu lembut yang ada di sayap itu. Begitu halus, persis seperti bulu angsa yang pernah dia pegang dulu waktu kecil. Dia menyukai hal semacam ini, namun tidak dengan begini juga, tidak pada dirinya juga, ini terlihat aneh baginya, ini terlihat seperti sebuah ketidaknormalan dalam dirinya. "A-apa ini?" gumamnya pelan. Perlahan, dengan mengikuti instingnya, Perly mencoba untuk menggerakkan sayap itu, namun baru saja sayap itu bergerak sedikit, punggungnya sudah terasa sakit, sangat sakit tepat di mana sayap itu tumbuh. "Ada apa ini? Apa yang terjadi padaku?" tanyanya pelan entah bertanya pada siapa, yang jelas, dia kembali dikejutkan oleh sebuah tiara kecil di atas kepalanya, tiara yang begitu indah dengan perpaduan emas dan perak. "Di mana aku sebenarnya?" gumamnya lagi-lagi bertanya tanpa ada sosok penjawab di sana. Perly masih memegang tiara kecil itu, melihatnya dengan detail sebelum terkejut saat tiba-tiba tiara tersebut melayang dan kembali terpasang apik di atas kepalanya. "Itu adalah sayapmu, Princess Perly." Segera Perly balikkan tubuhnya untuk melihat siapa yang bicara padanya. Dan di sana, seorang wanita kini berdiri di depannya, wanita yang sama dengan wanita yang dulu mengaku sebagai ibunya. Dan juga dengan sepasang sayap berwarna putih yang ada di sebalik punggungnya. "Kau ..." "Ya ini aku. Ibumu ..." akunya tersenyum manis. Perly hanya diam, dirinya tak tau akan berbuat dan bersikap seperti apa, maka wanita itu kembali melanjutkan. "Bukankah kamu ingin tau identitasmu?" Perly rasa itu bukanlah sebuah pertanyaan. Tapi sebuah pernyataan. Perly hanya diam dengan terus menatap wanita itu, seolah kini kuasa mulutnya diambil alih oleh matanya. Wanita itu mengulurkan tangannya pada Perly, "Mari ikut denganku." Sempat ragu, tapi Perly tetap meraih tangan wanita itu. Mereka berdua berjalan beriringan. Menuju sebuah tempat yang masih tak diketahui oleh Perly. "Kamu masih tidak percaya dengan dunia ini?" tanya wanita itu tiba-tiba. Perly menoleh sejenak sebelum menjawab, "Tadinya aku pikir aku sedang bermimpi, karena tadi kakiku sudah kembali saat aku membuka mata. Tapi melihat sayap yang ada di punggungku. Mungkin aku harus mempercayainya mulai saat ini." Jawaban itu membuat wanita itu tersenyum. "Kamu tampak tidak menyukainya." "Aku hanya merindukan duniaku," jawabnya cepat. Tatapannya masih tak teralih dari hamparan luas nan indah ini. Dia baru tau kalau ada tempat yang sangat indah di sini. "Inilah duniamu yang sesungguhnya Perly. Dunia manusia hanyalah tempat perlindunganmu," ucap wanita itu berhenti dan menatap Perly. Perly pun ikut berhenti dan menatap wanita itu, "Kenapa kamu mengatakannya? Kamu akhirnya ingin menjelaskan ini padaku?" Perly bertanya di sambut senyum oleh wanita itu, "Agar kau percaya padaku, agar kau tak salah langkah nantinya," jawabnya. "Bagaimana caranya aku mempercayaimu? Semuanya masih terasa abu-abu bagiku," ucap Perly. "Lihatlah ke sana." Wanita itu menunjuk belakang Perly membuat Perly berbalik untuk melihatnya. "Itu adalah kamu," ucap Perly melihat seorang wanita dan pria di dalam suatu ruangan yang megah. Wanita itu masih memasang senyum dengan tatapan yang terus mengarah pada sosok laki-laki di dalam sana, "Ya, dan dia adalah ayahmu." jawabnya setelah itu. [Flashback on] "Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu sendiri di sini," ucap wanita itu menggenggam tangan sang pria dengan erat. Si pria menggeleng ribut, "Hey, dengarkan aku, dengarkan aku baik-baik, istriku," Lembut sekali, sampai wanita yang berstatus istrinya tersebut sedikit tenang meski matanya memancarkan ketakutan yang sangat kentara. "Kau harus menyelamatkan anak kita. Dia tidak boleh mati. Dia yang akan menyelamatkan bangsa kita nantinya, kamu paham bukan? Penerus kita tidak boleh tiada, hm?" ucap pria itu lembut, memberi pengertian pada sang istri. Sang istri tetap tak ingin mengerti dengan gelengan kepalanya, "Aku juga tidak ingin kau mati, King. Ayo kita pergi bersama," ucap queen dengan air matanya yang mengalir di pipinya, menggenggam erat kedua tangan suaminya, "Kumohon ...," lirihnya. Pria itu, King Perlado namanya, menatap sedih pada istrinya. Sebisa mungkin air matanya dia tahan untuk saat ini, hanya sampai sang istri tak melihatnya lagi. Sungguh, dia yang paling berat dalam menghadapi situasi ini, dirinya harus merelakan istrinya pergi darinya, membawa serta cabang bayi yang baru tumbuh di rahim sang istri, terlebih, pergi dalam keadaan perang seperti ini. Suami mana yang akan tenang? Tapi ini memang jalannya, lebih tepatnya, ini adalah satu-satunya jalan yang bisa mereka tempuh untuk menyelamatkan kehidupan lain yang ada di dalam perut istrinya. Digenggam lembut tangan sang istri, lalu dibawa menuju bibir untuk di kecup agak lama, "Jika aku ikut, kau dan bayi kita akan terancam. Bayi ini harus tetap hidup untuk memusnahkan pengendali Dark, mengertilah Sayang, ini juga sangat berat untukku," ucap king mengelus perut istrinya yang masih rata, membuat tangis queen semakin menjadi. "Percayalah padaku. Kalaupun aku mati, itu adalah untuk keselamatan dua dunia kita. Kau tidak lihat? Banyak queen dan king yang mati di tangan pengendali Dark untuk melindungi kita dan bayi ini. Jadi tolong, aku tak ingin mengorbankan banyak nyawa lagi," lanjut king. "Tapi bagaimana denganmu? Aku juga ingin kau ada bersamaku, ayo, kita besarkan bayi ini bersama, " mohon queen terisak. King Perlado tersenyum, "Aku tak bisa, ini adalah tugasku. Dan kamu tidak perlu mencemaskan aku. Sekarang pergilah bersama Polo, dia akan membawamu dan bayi kita ke tempat yang aman," ucap king. "King Perlado, hamba harus segera membawa Queen Arrabella. Pengendali Dark sudah hampir sampai di pintu utama istana," ucap Polo tiba-tiba masuk dengan tergesa-gesa. King Perlado memeluk Queen Arrabella dengan erat, begitupun dengan Queen Arrabella yang memeluk suaminya tak kalah erat, meremat kuat jubah kebanggaan yang dipakai sang suami, seakan menyalurkan seluruh emosinya saat ini. Melepas pelukannya, King Perlado beralih mencium kening Queen Arrabella dan perut queen dengan air matanya yang perlahan mulai menetes. Di hadapan sang istri, dirinya bukanlah seorang raja dan penguasa yang kuat, dia hanya makhluk lemah yang membutuhkan seseorang sebagai penopangnya. "Pergilah. Jaga dirimu dan bayi kita baik-baik. Jangan biarkan pengendali Dark menyentuhnya," pesan King Perlado. King kemudian menatap Polo yang berdiri di sampingnya, "Polo. Aku percayakan istri dan anakku. Jaga mereka dengan baik." ucapnya juga memberi pesan. "Apapun perintahmu, King.," ucap Polo membungkuk. Dengan berat hati Queen Arrabella melepaskan tautan tangannya dengan King Perlado. "17 tahun." Ucapan King Perlado membuat Queen Arrabella dan Polo terhenti. King Perlado tersenyum tampan saat itu, "Jemput dan bawa dia kembali ke dunianya setelah dia berumur tujuh belas tahun. Dan kamu Polo, kamu dan putrimu yang bertugas menantinya, menemaninya, dan melindunginya pada saat itu tiba," ucapnya lagi. Polo hanya mengangguk paham dan kembali berbalik untuk membawa Queen Arrabella ke dunia manusia. Di sana, pintu teleportasi menuju dunia manusia sudah dibuat oleh Polo. Queen Arrabella dan Polo masuk ke dalam, lalu pintu itu hilang seketika. Di sini, di depan sebuah rumah yang cukup besar, Queen Arrabella dan Polo berdiri. "Ayo Queen. Waktunya hanya sampai matahari terbit," Polo membawa Queen Arrabella masuk ke dalam rumah megah itu. Setengah melihat-lihat semua penjuru rumah itu, hingga mereka sampai di sebuah ruangan di mana ada sepasang pria dan wanita sedang tertidur pulas. Melihat wajah wanita itu, tampak, Queen Arrabella sedikit terkejut. Menoleh pada Polo, meminta kejelasan. "Ini yang tertulis di buku takdir, Queen, kita tidak bisa menghindarinya," ucap Polo seakan mengerti dengan tatapan sang ratu. Queen Arrabella tidak menjawab, namun masih menatap dalam pada Polo membuat Polo tersenyum, "Mereka adalah suami istri yang belum mempunyai seorang anak. Hamba sendiri sudah mengamati mereka. Dan Hamba yakin, Tuan Putri aman bersama mereka," ucap Polo meyakinkan. "Itu artinya anakku, akan menjadi manusia," gumam Queen Arrabella pelan mengelus perutnya. Polo mengangguk membenarkan, "Itu hanya akan terjadi selama 17 tahun, Queen." Queen Arrabella mengusap perutnya lembut, kemudian menatap suami istri itu bergantian, "Tapi bagaimana jadinya nanti, Polo? Apa dia bisa teguh pada takdirnya setelah tau semua ini? Maksudku, ibunya--" "Maaf, Queen ...." Polo memotong ucapan ratunya itu, "Queen harus percaya pada Tuan Putri. Takdir tidak pernah salah Queen, Hamba yakin, Tuan Putri pasti bisa menyelesaikan tugasnya," ujar Polo. Queen Arrabella menghela nafas berat, dirinya tak ingin, hatinya memberontak, dan otaknya dengan tegas menolak tapi sekali lagi, di sini takdir memainkan peran utama yang mau tak mau dirinya harus mengikuti alur, "Maafkan Ibu, Sayang. Ini demi keselamatanmu dan dunia kita," ucapnya kembali meneteskan air mata. Queen Arrabella menutup matanya dengan kedua tangannya yang masih berada di perutnya. Tak lama muncul cahaya di balik celah jarinya, begitupun di perut wanita yang sedang tidur itu, meletakkan janinnya di rahim wanita itu. Queen Arrabella sedikit meringis menahan sakit yang dia rasakan. Sampai akhirnya cahaya itu hilang. "Ayo Queen. Matahari sudah mulai terbit." Polo dengan cepat membantu Queen Arrabella untuk berjalan karena kondisinya yang sangat lemah. [Flashback off]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD