Bab 4 Surat Perjanjian

1610 Words
"Kau pasti sengaja membawanya ke sana! Kau memang ingin menyakitiku!" tuduh Freya emosi. Dia langsung mendatangi apartemen Madam Cecilia begitu ada kesempatan. Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sang kekasih terpesona pada gadis ingusan yang dia pungut dari pinggir jalan sungguh membuat perasaannya terluka. "Relaks, Darling, relaks. Toh cepat atau lambat dia harus memperkenalkan diri juga, kan?" Madam Cecilia membela diri, sementara tangannya tetap sibuk mengecat kuku. "Tapi bukan dengan cara begini! Tiba-tiba datang menemui Baskara tanpa memberitahuku." Suara Freya meninggi. "Ah, itu aku hanya berimprovisasi," kelit Madam Cecilia santai. Freya menahan amarahnya. "Kau tahu akibat perbuatanmu? Baskara memutuskan untuk menikahkan Kalvin dengan anak itu secepatnya!" desisnya geram. "Lho, itu malah bagus. Kita jadi tidak perlu membuang-buang waktu." "Masalahnya aku berubah pikiran. Anak itu tidak cocok jadi istri bayaran Kalvin." "O oh, tidak. Masalahnya kamu khawatir Kalvin akan jatuh cinta pada gadis itu," gumam Madam Cecilia telak. Wajah Freya memerah, meski tidak ingin mengakui, apa yang dikatakan ibu kandungnya memang benar. Dia khawatir Kalvin akan berpaling darinya. "Bisa kulihat apa yang baru aku katakan itu benar," sambung Madam Cecilia penuh kemenangan. Dengan kedua tangan yang direntangkan di atas punggung sofa, dia memandangi Freya. Senyum misterius terulas di bibirnya. "Ya. Kau benar. Puas?" ucap Freya dingin. Senyum Madam Cecilia melebar. Dia bangun dari duduknya dan berjalan mendekati Freya yang dari awal datang sampai sekarang masih berdiri di hadapannya. "Begini, Darling," katanya kalem. "Kenapa tidak kau turuti saja permintaan Baskara? Kalvin sangat mencintaimu, dia tidak mungkin jatuh ke pelukan gadis itu. Daripada kau harus mencari orang lain dan membuat Baskara curiga." "Menurutmu begitu?" gumam Freya ragu. Madam Cecilia mengangguk mantap. "Kau yang paling tahu tipe wanita seperti apa yang disukai Kalvin. Dia memujamu karena kau memiliki semua yang dia inginkan, bukankah begitu?" bisiknya menghasut. Kepercayaan diri Freya meningkat kembali. Madam Cecilia benar, dia tidak mungkin dikalahkan oleh gadis pinggir jalan. Dia adalah Freya Angelica, seorang wanita dewasa yang matang. Dengan bentuk tubuh bak gitar spanyol, dia adalah mimpi basah semua pria. Kalvin tidak mungkin berpaling darinya. Dalam hatinya Freya berterima kasih pada Madam Cecilia, tidak sia-sia dia membawa wanita yang melahirkannya itu ke dalam kehidupannya. Madam Cecilia menatap pintu apartemen dengan nanar. Freya baru saja pergi, dengan punggung tegak seperti biasanya. Dia tahu ucapannya berhasil mengembalikan kepercayaan diri wanita itu, tapi dia juga tahu apa yang dikatakannya untuk menghiburnya tidaklah tepat. Karena di dalam hatinya, Madam Cecilia mempunyai firasat, gadis yang dipungut Freya untuk jadi istri kekasih gelapnya akan menjadi senjata makan tuan bagi wanita itu sendiri. Akan tetapi bukankah itu yang dia inginkan? Menghancurkan hidup putri biologisnya, seperti wanita itu menghancurkan hidupnya? Senyum sedih terlukis di bibir Madam Cecilia. Membenci sang putri tidaklah mudah, tapi dia tidak punya pilihan lain. Ya, dia memang tidak punya pilihan lain.... ****** "Besok kau ajak Mika tinggal di rumah kita, aku mau mengenalnya lebih dekat sebelum kalian menikah." Ucapan sang ayah ketika makan malam tadi masih terngiang-ngiang di telinga Kalvin. Saat ini dia sedang berbaring di ranjangnya yang besar, menatap langit-langit kamar dalam keresahan. Sosok gadis ingusan itu seolah menghantuinya. Sekeras apa pun Kalvin berusaha, dia tidak bisa menyingkirkan wajah Mika dari benaknya. Netranya yang bulat dan bening bak kristal, bulu matanya yang panjang dan lentik, kulitnya yang kecoklatan, tapi tampak berkilau, dan yang paling tidak bisa Kalvin lupakan adalah bentuk bibir gadis itu yang menyerupai bentuk bibir Taylor Hill. Angan-angan untuk mencium dan melumatnya membuat Kalvin begitu menderita. Malam itu pria itu tidak bisa tidur. Keesokan paginya, Kalvin terlambat sarapan. Ruang makan sudah sepi ketika dia ke sana, hanya ada sisa hidangan yang sudah dingin di atas meja, menandakan anggota keluarga yang lain sudah selesai sarapan.  "Mau saya hangatkan nasi gorengnya, Mas?" tanya wanita paruh baya yang sudah hampir tiga puluh tahun ikut keluarganya. "Tidak usah," jawab Kalvin pendek, menarik kursi dan duduk di atasnya, lalu mulai sarapan seorang diri. Semua pelayan, tukang kebun, dan sopir di rumah ini memanggil Kalvin dengan sebutan "mas", sama persis seperti Andini semasa hidupnya. Hanya ayahnya yang memanggil Kalvin dengan nama saja. Di usianya yang sudah berkepala tiga seharusnya Kalvin bisa hidup sendiri. Tinggal di apartemen atau di salah satu rumah milik keluarganya yang berada di pusat kota. Namun Kalvin lebih memilih tinggal bersama ayahnya meski dia harus bolak-balik dari Bogor ke Jakarta untuk bekerja. Bukan karena dia dekat dengan sang ayah, tapi karena dia sudah berjanji pada almarhumah ibunya untuk tidak pernah meninggalkan ayahnya sendirian. Dua tahun yang lalu, tepat di usianya yang keenam puluh, Baskara memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai CEO perusahaan miliknya walau kesehatannya masih stabil dan tubuhnya masih dalam keadaan bugar. Dia mengangkat Kalvin, sang putra semata wayang sebagai penggantinya. Keputusan itu dia ambil karena ingin menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Meski tidak lagi menjabat sebagai CEO, tindakan-tindakan yang diambil perusahaan tetap berada di bawah pengawasannya sebagai owner perusahaan, kadang-kadang dia masih pergi ke kantor untuk menghadiri rapat-rapat penting. Setelah sarapan Kalvin bersiap-siap berangkat ke kantor. Di ruang tengah dia berpapasan dengan Baskara yang sedang merokok cerutu. "Jangan lupa pesan Papa, ajak Mika tinggal di sini," kata Baskara mengingatkan sang putra. Kalvin hanya mengangguk dan langsung pergi tanpa berkata apa-apa. "Kau yakin ingin mengajak gadis itu tinggal di sini, Sayang?" tanya Freya begitu Kalvin sudah tidak terlihat. Baskara menyeringai, ujung pipa cerutunya dia selipkan di pinggir bibir ketika berkata, "Tentu saja." Lalu Baskara beranjak meninggalkan Freya seorang diri. Dia tidak pernah bisa betah berlama-lama dengan istri mudanya itu, dia bahkan belum pernah menyentuhnya. Jika tidak mempunyai rencana, Baskara tidak akan pernah menikah lagi. Sepeninggal Baskara, Freya pergi ke kamarnya. Dia harus bersiap-siap, ada hal penting yang harus dia lakukan. Setengah jam kemudian, wanita itu sudah keluar dari kediaman Dhananjaya mengendarai mobilnya sendiri. Dari dalam mobil, dia menelepon Madam Cecilia, memerintahkannya untuk tidak membawa Mika ke mana-mana karena dia akan berkunjung ke hotel. Tidak berapa lama Freya terlihat sedang memasuki sebuah gedung perkantoran bonafid. Dia menaiki lift menuju lantai tujuh yang digunakan sebagai firma hukum. "Aku butuh bantuanmu," katanya langsung begitu berada di hadapan Danial, teman sekaligus pengacaranya. "Hai, Freya. Sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan bisa melihatmu di sini," sambut Danial ceria. "Tidak usah basa-basi, aku butuh bantuanmu." Freya mengulang permintaannya seraya duduk di kursi yang ada di depan meja Danial. "Oke, oke. Apa yamg bisa kubantu?" "Buatkan aku surat perjanjian." "Nggak masalah. Perjanjian apa?" tanya Danial meraih selembar kertas dan bolpoin. "Sebuah kesepakatan." "Bisa lebih spesifik?" Freya menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. "Aku meminta seorang gadis untuk menikahi Kalvin dengan imbalan. Aku mau kau membuat surat yang bisa mengesahkan perjanjian kami termasuk sanksi jika gadis itu melanggar perjanjian." Danial mengerutkan keningnya. "Aku tidak mengerti. Kenapa kau harus membayar seorang gadis untuk menikah dengan Kalvin?" "Kau tidak harus mengerti. Buatkan saja surat perjanjian itu." "Bagaimana aku bisa membuat surat perjanjian kalau aku tidak tahu pokok permasalahannya?" "Oke!" bentak Freya menyerah. "Aku dan Kalvin bercinta lagi. Aku tidak mau si tua Baskara mengetahui hubungan kami, jadi Kalvin akan berpura-pura menikah dengan gadis lain agar kami tetap bisa berhubungan." Danial meletakkan bolpoin yang ia pegang ke atas kertas. "Astaga, Freya!" gumamnya menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan menghakimiku, Danial. Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan!" "Aku mungkin tidak mengerti, tapi aku tahu yang kamu dan Kalvin lakukan itu salah." "Seperti yang pernah kita lakukan dua tahun lalu?" senyum Freya sinis. Wajah Danial berubah merah padam. "Kita sepakat kalau itu sebuah kesalahan," ucapnya dingin. Whatever! Kalau kau tidak mau istrimu tahu tentang itu, lakukan saja perintahku," kata Freya arogan. Danial menatap Freya tidak suka, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Satu-satunya hal yang tidak Danial inginkan terjadi adalah, istrinya mengetahui kejadian di malam terkutuk itu. "Baiklah," ujarnya mengalah. "Butuh sekitar dua tiga hari untuk menyiapkan surat perjanjian itu." "Dua tiga hari? Tidak! Aku mau sekarang juga!" Danial terlihat kesal, tapi toh dia menekan interkom di mejanya dan menyuruh asistennya masuk untuk membantu membuat surat perjanjian tersebut. ****** Menjelang sore, bersama Danial, Freya memasuki kamar hotel tempat Mika menginap. Tanpa basa-basi dia menyerahkan surat perjanjian itu pada Mika. "Baca ini," perintahnya sama sekali tidak ramah. Mika menerimanya, membuka dan membaca isi surat perjanjian dengan seksama. Kemudian dia mengangguk dan menyerahkan kembali dokumen tersebut pada Freya. "Aku setuju," katanya datar. "Jangan asal setuju, Darling. Kau harus mempelajarinya terlebih dahulu." Madam Cecilia menegur Mika. Dia menyambar dokumen dari Mika sebelum benda itu berada di tangan Freya. Diabaikannya tatapan sebal Freya dan mulai membuka lembar demi lembar halamannya. "Di sini ditulis Mika tidak boleh bercinta dengan Kalvin sebagai salah satu syaratnya?" Sebelah alis Madam Cecilia terangkat. "Poin lain tertulis, jika Mika sampai bercinta dengan Kalvin dan atau dengan sengaja menggoda Kalvin, Mika bisa dijerat hukum pidana dan denda? Ini konyol, Freya!" Madam Cecilia melemparkan dokumen itu ke atas meja. "Sama sekali tidak konyol," geram Freya marah. "Sebenarnya kau berpihak ke siapa, Madam? Aku atau gadis itu?" "Aku tidak keberatan dengan surat perjanjiannya," potong Mika. "Aku tidak akan melakukan hal-hal seperti yang ditulis di situ walau tanpa surat perjanjian," sambungnya tegas. "Buatku urusan ini hanya bisnis. Aku bersedia menandatangani surat perjanjian itu asal kau membayarku di awal." "Tidak masalah. Setelah kau menandatanganinya, aku akan transfer seratus juta setiap tiga bulan sekali ke rekeningmu." Mika mengangguk, dia mendekati meja dan menandatangani surat perjanjian itu dengan panduan Danial. "Kau tahu apa yang kupikirkan, Darling?" bisik Madam Cecilia pada Freya. "Aku merasa apa yang kau lakukan ini hanyalah perwujudan dari rasa tidak percaya dirimu." Wajah Freya merah padam. "Kau salah," gumamnya datar. Kemudian dia melanjutkan ucapannya, "Oya, aku mau kau menjadi saksi perjanjian ini." "Dengan senang hati," sindir Madam Cecilia mengulum senyum. Freya mengabaikan sindiran Madam Cecilia, dia melangkah pergi berniat memanggil sopir untuk menjadi saksi satunya. Namun saat membuka pintu, dia dikejutkan dengan kehadiran Kalvin yang telah berdiri di depannya dengan wajah pucat pasi. Bersambung....  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD