Bab 7 Ada Hal-Hal yang Tidak Bisa Disembunyikan

1608 Words
Kini wajah Kalvin yang merah padam mendengar ucapan Mika. Dia murka karena gadis ingusan di hadapannya berani melawan. “Jangan harap keinginanmu akan terkabul,” geramnya dan kemudian berbalik pergi. Mika memejamkan mata, berusaha mengatur napasnya. Ketika tubuhnya mulai relaks, pelan-pelan genggaman tangannya terbuka. Terakhir dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, lalu kembali membuka mata. Dia tidak mengerti kenapa susah sekali mengontrol emosi ketika berhadapan dengan Kalvin. Dia tahu Kalvin bukan orang baik, tapi selama dua puluh satu tahun kehidupannya, Mika berkali-kali bertemu dengan orang yang lebih jahat dan menyebalkan dari Kalvin, dan dia selalu bisa mengatasinya. “Apa kau baik-baik saja?” Luc terdengar khawatir. Mika mengangguk, lalu menoleh pada Luc dan tersenyum. “Ya, aku baik-baik saja,” jawabnya tegas. “Sebaiknya kita kembali.” “Ya.” Mika setuju. Lalu kedua orang itu berjalan beriringan menuju rumah. Selama perjalanan mereka saling terdiam. Mika menyesali pertengkarannya dengan Kalvin di depan Luc, pria itu pasti bertanya-tanya kenapa pasangan yang baru menikah terlihat saling membenci. Bagaimana kalau dia menceritakan apa yang dia lihat pada Pak Baskara? Memikirkan hal tersebut Mika jadi gelisah. Saat bertengkar dengan Kalvin tadi dia tidak peduli dengan nasibnya, kemarahan dan perasaan jijiknya pada pria itu berhasil menyingkirkan akal sehatnya. Namun ketika semua sudah berlalu, Mika baru sadar dia tidak mungkin melepaskan diri begitu saja dari perjanjian ini. Freya sudah membayarnya seratus juta, jika dia mundur, dia harus mengembalikan uang itu. Padahal dia sudah mengirimkan semua uang itu pada orangtuanya di kampung. Mau tidak mau, Mika harus memperbaiki hubungannya dengan Kalvin. Dia tidak boleh terbawa perasaan, sebenci apa pun Mika pada Kalvin, dia harus bisa menyembunyikannya. Sementara itu, dia akan coba berbicara pada Luc untuk tidak menceritakan kejadian ini pada siapa pun. Saat berpikir seperti itu, Mika melirik Luc. Pria itu terlihat tenang seperti biasa. “Aku bisa minta tolong padamu, Luc?” tanya Mika hati-hati. “Tentu saja,” senyum Luc. “Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa, tapi apa kau mau berjanji tidak akan menceritakan kejadian yang kau lihat tadi kepada siapa pun?” pinta Mika memohon. Luc mengangkat kedua alisnya, terkejut karena Mika harus menanyakan hal tersebut. “Tentu saja aku tidak akan bercerita pada siapa-siapa,” ujarnya tersinggung. “Maaf, aku tidak bermaksud....” “Aku tahu,” potong Luc. “Sebenarnya aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi,” gumamnya melanjutkan. “Maksudmu?” “Pertengkaran kalian. Aku sudah menduga kalian akan sering bertengkar.” “Bagaimana bisa?” Luc tersenyum lebar. “Ada hal-hal yang tidak bisa disembunyikan,” ucapnya misterius. Lalu dia menghentikan langkahnya. “Kita sudah sampai, kau tidak keberatan masuk sendiri? Ada yang harus kukerjakan,” kata Luc menatap bangunan yang menjulang di depan mereka. Meski masih penasaran dengan apa yang dikatakan Luc, Mika hanya mengangguk. Dia melangkah menuju hall utama dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Sementara itu, Luc mengamati punggung Mika yang menjauh dengan sorot mata serius. Garis bibirnya lurus dan kaku, menggantikan senyum yang biasa menghiasi wajahnya. Ada hal-hal yang tidak bisa disembunyikan, meski seberapa pun besarnya usahamu untuk menghilangkannya, suatu saat hal itu akan kembali dan menghantuimu sepanjang sisa hidupmu.... Itulah yang dinamakan rahasia kelam! ****** Sore itu ketika Mika berdiri di balkon kamarnya, dia melihat Kalvin yang berjalan menuju danau. Mika teringat dia harus menyelesaikan urusan tadi siang, maka dia bergegas turun dan menyusul Kalvin. “Pak Kalvin!” panggilnya. Kalvin berhenti berjalan dan menoleh. Ekspresinya langsung berubah kaku begitu melihat siapa yang datang. “Mau apa kau?” tanyanya ketus. Mika berhenti tepat di depan Kalvin, napasnya tersengal akibat berlari menuruni tangga dan langsung ke hutan. “Saya mau minta maaf,” ucap Mika setelah mengatur napasnya. “Tadi siang, saya sudah bersikap tidak sopan pada Bapak.” Kalvin mencibir. “Tidak sopan? Itu bukan tidak sopan, tapi kurang ajar!” desisnya. “Ya, saya minta maaf,” ujar Mika pelan. “Saya tahu saya tidak profesional.” Keningnya berkerut saat mengatakan itu, membuat kedua pangkal alisnya bertaut lucu. Mika agak bingung dengan kata profesional yang baru saja ia sebutkan. Apakah itu sebutan yang pas untuknya? “Pokoknya saya bersalah karena saya tidak bisa memisahkan perasaan dengan pekerjaan, karena itu saya minta maaf. Semoga Pak Kalvin mau mengerti,” sambungnya berkata cepat. “Memisahkan perasaan dan pekerjaan? Apa maksudmu?” “Itu....” Mika berkata bingung. “Apa maksudnya kau jatuh cinta padaku?” tanya Kalvin percaya diri. Kedua bola mata Mika spontan melebar sementara rona merah menjalar cepat di pipinya. Dia buru-buru menggeleng. “T-tidak. Bukan seperti itu. Hanya saja saya kemarin melihat Pak Kalvin dan Bu Freya di kamar Pak Kalvin dan saya merasa jijik, karena itu saya marah,” cerocosnya tanpa berpikir. Dia baru menyadarinya ketika sudah selesai bicara. Sudah sangat terlambat untuk menarik ucapannya. “Apa yang kau lihat?” tanya Kalvin datar. Rona merah di pipi Mika semakin jelas terlihat, dia menggeleng. “Katakan saja apa yang kau lihat atau aku tidak akan memaafkanmu?” desak Kalvin. “S-saya melihat P-pak Kalvin dan Bu Freya b-bercinta,” bisik Mika menyerah, wajahnya berubah merah padam. “Kau marah karena melihat aku dan Freya bercinta? Apa itu bukan cemburu?” Mika melongo. Astaga pria ini sungguh tidak mengenal kata sungkan. “Tidak. Saya tidak cemburu,” jawab Mika serak. Entah sudah seperti apa wajahnya sekarang, kepiting rebus dan tomat busuk pasti lewat. “Oke,” sahut Kalvin dingin. “Lalu kenapa kau meminta maaf?” “Karena saya sudah tidak sopan pada Pak Kalvin,” jawab Mika lemas. Pria ini benar-benar menguras kesabarannya. “Baik, aku maafkan. Setelah itu apa?” Mika menggeleng bingung. “Apa yang kau harapkan setelah aku memaafkanmu?” jelas Kalvin tersenyum sinis. Wajah Mika kembali merah padam. “Saya harap saya masih tetap bekerja untuk Pak Kalvin dan Bu Freya,” jawabnya datar. Tidak perlu gengsi. Tidak perlu sakit hati. Dirapalkannya kalimat tersebut berkali-kali di dalam hatinya. “Sudah kuduga,” ucap Kalvin puas. “Tidak perlu khawatir kehilangan penghasilan, kau masih bekerja untukku. Kalau tidak ada yang mau dikatakan lagi aku akan pergi.” “Tidak ada, Pak.” Kalvin menatap Mika sebentar, itu saja sudah berhasil membuat jantungnya kacau. Dia buru-buru berpaling dan pergi meninggalkan gadis itu, mengurungkan niatnya ke tepi danau dan kembali ke kamarnya. Di dalam kamar, Kalvin berdiri merenung di samping jendela. Ekspresi lucu Mika saat kedua pangkal alisnya bertaut sangat mengganggu dia. Saat itu hanya Tuhan yang tahu seberapa keras usahanya untuk tidak mencium gadis tersebut. Setelah mengucapkan janji pernikahan tadi pagi, dia sempat mencium Mika sebagai tanda mereka telah resmi menikah. Hanya sebentar, tapi mampu menghadirkan badai tornado dalam diri Kalvin. Jika bukan karena Freya yang terus menatapnya tajam, Kalvin tidak tahu akan berapa lama dia mencium bibir gadis itu. Ketukan di kaca jendela membuat Kalvin tersentak. Dia tersenyum tipis melihat Freya yang sudah berdiri di luar kamarnya, meminta pria itu membuka jendela. Kamar Kalvin berjendela model Prancis yang panjang, bagian bawahnya hampir menyentuh lantai sehingga siapa pun bisa masuk dengan melangkahi ambang bawahnya. “Aku merindukanmu, Sayang,” bisik Freya mesra begitu berada di dalam, melingkarkan lengannya ke leher Kalvin. “Jangan, Freya. Nanti ada yang melihat.” Kalvin melepaskan pelukan wanita itu. Freya merengut. “Kau kenapa sih?” tanyanya kesal. “Aku hanya lelah, Fre,” gumam Kalvin memilih tidak memancing keributan. “Aku mau mandi sebentar,” katanya sambil berbalik pergi. “Mau kutemani?” “Jangan!” jawab Kalvin cepat dari dalam kamar mandi. Freya terlihat tidak suka, dia merasa ada yang berbeda dengan Kalvin. Freya mengingat saat kekasihnya itu mencium Mika setelah mengucapkan sumpah pernikahan, dadanya terasa sangat sesak. Karena itu ketika mereka sampai rumah, Freya langsung mendatangi Kalvin ke kamarnya. Dia hanya ingin memastikan pria itu tidak pernah berpaling darinya. Percakapannya dengan Kalvin saat itu terputar kembali dalam memorinya. “Kau tahu aku tidak mungkin jatuh cinta pada dia, Freya. Kenapa masih saja kau tanyakan?” ujar Kalvin kesal. “Lagipula ini idemu untuk menikah dengan gadis lain.” “Aku hanya takut kehilanganmu,” ucap Freya memelas. Kalvin mendesah. “Kau tidak akan kehilanganku, aku mencintaimu,” katanya menenangkan kekasihnya. Freya tersenyum mengingat apa yang terjadi setelah percakapan itu. Pergumulan panas mereka cukup meyakinkan Freya jika Kalvin masih mencintainya. Tidak seharusnya dia meragukan Kalvin. Dengan senyum mengembang, Freya melangkahi lagi jendela dan pergi dari kamar Kalvin. Dia tidak menyadari jika ada orang lain yang sedang mengawasinya dengan senyuman tipis di bibirnya. ****** Udara masih basah ketika Baskara keluar dari kamarnya dan menuju paviliun tempat para tukang kebunnya tidur. Tongkatnya berayun-ayun mengikuti langkah kakinya, menyibak mantel tidur tebal berwarna coklat tua yang membungkus tubuhnya. Sesosok pria muda sudah menunggunya di depan paviliun, lalu mereka berdua melangkah beriringan menuju danau di belakang rumah. “Kau harus ingat pesanku, Luc. Awasi mereka,” kata Baskara setengah berbisik. “Siap, Pak,” jawab Luc pendek. “Jika rencanaku berjalan mungkin akan ada kekacauan selama beberapa waktu. Aku harap kau bisa mengatasinya.” “Saya akan berusaha sekuat tenaga.” Baskara menghela napas. “Aku tidak tahu apa ini akan berjalan sesuai harapanku,” gumamnya. Luc terdiam. Dia tidak memiliki otoritas memberi pendapat, tugasnya hanya menjalankan perintah sang majikan. “Terima kasih, Luc. Aku tidak tahu kenapa aku mempercayaimu padahal kita baru mengenal selama sepuluh bulan paling lama. Aku hanya merasa mempunyai ikatan denganmu.” Luc tersenyum. “Saya merasa tersanjung mendengarnya, Pak,” ujarnya tulus. Entah dorongan dari mana mendadak Baskara memeluk Luc. Dia menepuk-nepuk punggung pria muda itu. “Terima kasih,” katanya sekali lagi. Dari balkon tempat tidurnya, Mika yang sedang melihat ke arah danau menyaksikan kedua pria yang sedang berpelukan itu. Tanpa sadar keningnya berkerut, bertanya-tanya apa memang hubungan Pak Baskara dengan para pekerjanya seakrab itu?   Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD