Bab 6 Menikah dan Bercerai

1943 Words
Berbeda dengan Mika yang terbengong melihat kehadiran Kalvin, Luc hanya tersenyum tipis. "Siapa yang kau bilang malang tadi?" Kalvin mengulang pertanyaannya. "Mereka yang hidup dalam kebohongan," jawab Luc santai. "Saya pamit melanjutkan pekerjaan saya, Non Mika. Mari, Mas Kalvin," sambungnya berpamitan. Kalvin dan Mika terdiam sampai Luc menghilang dari pandangan. "Kau kubawa ke sini untuk berpura-pura jadi istriku, bukan untuk menggoda pria lain!" Kalvin berkata ketus pada Mika. Wajah Mika memerah. "Aku tidak menggoda siapa-siapa," geramnya gusar. Sorot mata gadis itu memancarkan kebencian yang tidak terbendung. Mika bukan tipe gadis yang gampang membenci orang lain, dia cenderung masa bodoh dengan perbuatan mereka, bahkan ketika mereka mengganggunya. Namun dengan Kalvin, gadis itu seolah kehilangan kontrol. Kesan pertama Mika akan Kalvin sudah negatif sejak awal sehingga apa pun yang pria itu lakukan selalu membuatnya muak. Suruh Mika menyebutkan keburukan Kalvin, dia akan dengan mudah mengatakannya. Peselingkuh, arogan, kasar, kaku, menyebalkan, berhati iblis, bermulut tajam, menyebalkan, tidak bisa menghargai orang lain, menyebalkan lagi. Bahkan tiga kata menyebalkan masih belum cukup menggambarkan seberapa menyebalkannya pria tersebut. "Kau berduaan dengan dia di pagi buta seperti ini, apa lagi namanya kalau bukan sedang menggoda dia?" "Bukan urusanmu!" gumam Mika datar, lalu pergi dari hadapan Kalvin. Dalam perjalanan kembali ke rumah, Mika menggerutu kesal. Buruk sekali nasibnya bertemu Kalvin sepagi ini. Pria itu sudah merusak awal hari Mika hanya dengan menampakkan batang hidungnya, sungguh menyebalkan! Saat memasuki rumah, Mika mendengar seseorang memanggilnya. "Mika manis, calon menantuku." Mika menoleh dan tersenyum melihat Baskara menghampirinya. "Selamat pagi, Pak Baskara," sapanya halus. Dari kecil Mika diajarkan untuk melembutkan suara jika berbicara dengan orang tua. Itu cara menunjukkan penghormatan pada orang yang lebih tua. "O oh, tidak. Jangan panggil 'pak'. Kau kan akan jadi menantuku. Panggil 'om' saja atau kalau mau, kau boleh panggil aku 'papa'." Baskara berkata dramatis. "Sini ikut aku, kutunjukkan kau tempat yang menarik," sambungnya seraya membimbing Mika menuju lift. "Andini, almarhumah istriku juga suka bangun pagi. Dia senang menghirup udara segar dan menikmati langit saat fajar," oceh Baskara saat berada di lift. "Kau mirip dengannya, mungkin itu yang membuat Kalvin memilihmu menjadi istrinya, dia itu anak mama, kau tahu?" Pintu lift terbuka. "Ke arah sini," tuntun Baskara berbelok ke kiri. Mereka berjalan melewati lorong yang dindingnya dipenuhi lukisan. Rumah ini mengingatkan Mika pada kastil-kastil bangsawan Inggris yang ada di film. Dipenuhi seni dan mungkin juga sejarah. "Nah, ini dia," kata Baskara membuka pintu di depannya. Mereka berdua memasuki ruangan, dengan kebanggaan seorang pria tua, Baskara merentangkan kedua tangannya menunjukkan isi perpustakaan pada Mika. Tanpa sadar gadis itu berdecak kagum. Keempat dinding ruangan ini dipenuhi lemari buku yang tingginya hampir menyentuh plafon. Ini seolah surga bagi pecinta buku seperti Mika. "Apa saya boleh melihat-lihat bukunya?" tanya Mika pelan, matanya tidak berkedip menyapu seluruh ruangan. Dia bisa duduk dan membaca selama berjam-jam di tempat ini. "Tentu saja, kau boleh membaca semua buku yang ingin kau baca." "Terima kasih." Tanpa diperintah dua kali, Mika langsung mendekati salah satu lemari dan mulai memilih buku. Diam-diam Baskara menatap Mika dengan sorot mata penuh misteri, senyum tipis terulas di bibirnya. Dia menyukai Mika, dan sepertinya akan lebih mudah menjalankan rencananya dengan kehadiran gadis itu. ****** "Minggu depan aku ke Jogja mengunjungi makam ibumu," kata Baskara ketika mereka sedang sarapan, melirik Kalvin. Kalvin mengangguk. "Mungkin agak lama, ada sesuatu yang harus kuurus di sana." "Berapa lama?" tanya Kalvin. "Tiga empat bulan mungkin." Aktivitas makan Kalvin terhenti, dia mengangkat kepalanya dan memandang ayahnya heran. "Selama itu?" "Keluarga jauh ibumu berencana mendirikan hotel. Dia meminta bantuanku menjadi penasihatnya selama beberapa bulan." "Apa harus Papa yang ke sana? Kalau hanya untuk nasihat kan bisa lewat telepon atau panggilan video." Dari bawah meja, Freya yang dari tadi mendengarkan menendang kaki Kalvin. Dia mengedipkan mata penuh arti ketika pria itu menoleh padanya. "Eh, tapi mungkin Papa ingin berkumpul dengan keluarga Mama di sana. Tidak apa-apa, Pa. Akan kuurus perusahaan dengan baik." Baskara mengangguk. "Ya, ya," gumamnya. "Bagaimana denganmu, Freya? Kau mau menemaniku? Tapi mungkin kau akan bosan di sana," kata Baskara melirik istri mudanya. Dia sudah menduga jawaban Freya, Baskara hanya berbasa-basi sekaligus memperkuat dugaannya tentang wanita itu. "Ya, aku pasti bosan di sana," keluh Freya sedih. "Kau boleh tinggal di sini kalau kau mau." "Kau tidak keberatan, Sayang?" sambar Freya langsung. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. "Tentu saja. Kau bisa menjaga Kalvin di sini." "Ya, tentu saja aku akan menjaga putramu, Sayang," jawab Freya mengedipkan sebelah matanya ke arah Kalvin, tidak menyadari sindiran halus sang suami. Mika berusaha untuk tidak muntah, perasaan muaknya semakin menjadi-jadi melihat kelakuan Freya dan Kalvin di depan matanya. "Sebelum aku ke Jogja, aku ingin Kalvin sudah menikah dengan Mika." Mika hampir menyemburkan makanan yang berada di mulut saking terkejutnya. Dia menelan dengan susah payah lalu meraih gelas dan meminum isinya. "Apa tidak terlalu cepat?" protes Freya. Baskara menggeleng. "Menikah di catatan sipil saja dulu. Kita baru akan mengadakan resepsi setelah aku pulang dari Jogja," putusnya. Tidak ada yang berani membantah jika Baskara sudah memutuskan. Seperti yang Baskara inginkan, Enam hari kemudian Kalvin dan Mika resmi menikah. Mika tampil menawan dengan gaun pengantin peninggalan Andini, Baskara yang meminta Mika memakainya. "Andini pasti ingin calon istri anak semata wayangnya memakai gaun pengantin yang sama dengan yang dulu dia pakai saat menikah denganku," ujarnya memberi alasan. Mika tidak bisa menolak, lagipula gaun itu pas sekali dengan tubuhnya. "Pas sekali," gumam Baskara takjub. Lalu dia melirik putranya dan tersenyum menggoda. "Ada untungnya juga aku menikahi kekasihmu, Kalvin. Kau jadi bisa menikahi gadis secantik Mika. Dia sangat mirip ibumu," katanya sambil terkekeh. Tidak ada yang tertawa dengan candaan gelap Baskara. Kalvin tampak salah tingkah dan Mika lebih memilih pura-pura tidak mendengar, sementara Freya terlihat menahan amarah tanpa bisa menyembunyikan perasaan cemburunya. Dia tidak suka jika ada orang yang menganggap wanita lain lebih cantik darinya. Setelah melakukan sumpah pernikahan dan mengurus surat-surat di catatan sipil, mereka mengadakan jamuan makan khusus anggota keluarga di rumah mereka. Hari itu, para pekerja di kediaman keluarga Dhananjaya mengenakan baju terbaik mereka. Koki, pelayan, tukang kebun, satpam, dan sopir semuanya berkumpul di hall utama yang memiliki teras luas dan terhubung dengan taman. Mereka juga ikut perjamuan karena dianggap sebagai bagian dari keluarga. Musik yang mengalun lembut membuat suasana perjamuan terasa santai. Baskara menikmati obrolannya dengan Karman si kepala tukang kebun, dan Bu Ratih. Pelayan-pelayan yang lebih muda mengobrol bersama sopir dan anak buah Karman yang seumuran. Sementara Mika berdiri seorang diri di tepi meja yang menghidangkan berbagai makanan pencuci mulut. Dia sedang melahap es krimnya dengan kalap. Hatinya merasa gusar setelah menyaksikan perbuatan terkutuk Kalvin dan Freya di kamar pria itu. Kejadiannya dimulai beberapa saat setelah mereka pulang dari catatan sipil. Kalvin dan Freya mendadak menghilang dari pandangan. Mika tidak akan tahu jika ayah mertuanya tidak menyuruh gadis itu ke kamar Kalvin ketika dia berpamitan ke toilet, karena toilet di kamar Kalvin yang terdekat dengan hall utama dibandingkan dengan toilet lain, dan yang pasti Mika tidak perlu menaiki tangga untuk sampai ke sana. "Tidak usah sungkan," kata Baskara, "sekarang kamar Kalvin kamarmu juga. Mulai nanti kau bisa memindahkan semua barangmu ke kamar Kalvin." Maka Mika pun pergi ke kamar suami pura-puranya. Namun ketika dia sampai di depan kamar pria itu, dia mendengar suara-suara yang membuatnya merinding. Rasa penasaran membuat gadis itu membuka pintu yang tidak terkunci secara perlahan. Dari celah yang tidak terlalu lebar, dia bisa melihat dengan jelas sepasang manusia yang sedang bergumul penuh nafsu. Freya yang tidak mengenakan apa-apa tampak lincah bergerak di atas tubuh Kalvin yang juga tidak mengenakan busana. Seirama dengan desahan dan rintihan kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Melihat tangan besar Kalvin menangkup kedua bukit milik Freya dan meremasnya, Mika mendadak mual. Dia langsung berlari meninggalkan tempat tersebut, dan masuk ke toilet untuk pelayan. Di sana gadis itu memuntahkan semua yang baru saja dimakannya. Mika tahu dia dan Kalvin hanya pura-pura menikah, tapi hari ini mereka baru saja mengucapkan sumpah suci pernikahan di depan pemuka agama. Bukannya menunggu barang satu dua hari untuk menyetubuhi kekasih gelapnya, pria itu justru melakukannya hari ini, di tengah-tengah acara jamuan makan perayaan pernikahan mereka. Ketika merasa sudah tenang, Mika kembali ke hall utama. Untuk mendinginkan hatinya dia mengambil es krim dalam ukuran besar. "Sepertinya ada peri hutan yang kelaparan di sini." Mika menoleh dan mengangkat mangkuk es krimnya begitu melihat siapa yang menyapanya. "Kau mau, Luc?" "Tidak, terima kasih." Pria itu menggeleng sambil tersenyum. Mika masih menyuapkan es krim ke mulutnya sambil melirik pria yang berdiri di sampingnya. Kalau dipikir-pikir, Mika selalu melihat Luc tersenyum. Badannya yang besar dan berotot sama sekali tidak terlihat menyeramkan karenanya. "Kau bercukur ya?" gumam Mika menyadari wajah Luc yang bersih tanpa kumis dan cambang. Rambutnya pun disisir rapi ke belakang. "Ini hari besar jadi aku harus berpenampilan rapi." Mika hanya mengangguk-angguk. Lalu melanjutkan melahap es krimnya. "Anda benar-benar terlihat seperti peri hutan," kata Luc lagi, kali ini dengan nada geli. "Kenapa peri hutan?" Mika ingin tahu. "Penampilan Anda, dengan rambut terkepang yang berantakan dan penuh sematan bunga, ditambah gaun putih ini, Anda sungguh menyerupai peri hutan." "Fiuuuh," desah Mika mengarahkan bola matanya ke atas. "Bisa tidak kau jangan menyebutku 'Anda'? Aku lelah mendengarnya," protesnya. Luc tersenyum. "Baik," katanya pendek. Mika meletakkan mangkuk es krimnya yang sudah kosong dan meraih tisu, lalu mengelap pinggiran mulutnya. "Kau mau menemaniku jalan-jalan, Luc?" tanya Mika. "Dengan senang hati." Kedua muda-mudi itu kemudian meninggalkan hall utama, berjalan-jalan menyusuri hutan lecil yang menuju ke danau. "Sebagai seorang pengantin wanita, kau kelihatan tidak senang. Ada apa?" Mika menghela napas berat. "Tidak ada apa-apa." Mereka sama-sama terdiam, suasana kembali sunyi, hanya suara langkah kaki dan kicauan beberapa burung yang terdengar memecah keheningan. "Di mana suamimu?" tanya Luc lagi berusaha membuka percakapan. "Sibuk dengan pekerjaannya," jawab Mika asal. "Di hari pernikahannya?" "Tidak ada yang menghalangi dia bekerja, hari pernikahan sekalipun." "Kalau aku jadi dia, aku tidak akan jauh-jauh dari pengantin wanitaku," kata Luc berhenti berjalan. Mika ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan hampir tanpa jarak. Di depan Luc yang bertubuh besar, Mika tampak begitu kecil. "Kau terlalu berharga untuk ditinggal sendirian di hari pernikahan," sambung Luc pelan. Dada Mika berdesir, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Pandangan Mika tidak bisa lepas dari mata Luc yang sewarna karamel. Mika merasa berada di tengah-tengah pusaran air yang mengisapnya dengan kuat. "Sedang apa kalian!" bentak sebuah suara mengagetkan Mika. Kalvin menarik tangan Mika hingga gadis itu menjauh dari Luc. "Wanita macam apa yang berduaan bersama pria lain di hari pernikahannya?" geram Kalvin gusar. Mika mengentakkan tangannya hingga cekalan Kalvin terlepas. Wajahnya sudah merah padam menahan amarah. Berani-beraninya Kalvin berkata seperti itu setelah apa yang dia lakukan bersama Freya. "Jangan sentuh aku," desisnya, Mika merasa jijik mengingat apa yang telah diperbuat Kalvin dengan kedua tangan itu. "Oke!" ketus Kalvin. Dia tidak mengerti kenapa Mika bersikap seolah gadis itu sangat membencinya. "Tapi kau tidak boleh berdua-duaan dengan dia seperti ini!" Kalvin menunjuk muka Luc. Luc mengangkat sebelah alisnya, sama sekali tidak merasa tersinggung dengan sikap Kalvin, justru merasa geli. Tentu saja dia tidak takut Kalvin akan berbuat macam-macam padanya, tubuhnya satu setengah kali lebih besar dari Kalvin, dan dengan sabuk hitam yang dia miliki, Luc pasti akan dengan mudah mengalahkan Kalvin jika anak bosnya itu berani menyerangnya. "Kenapa aku tidak boleh berduaan dengan Luc? Dia temanku," ucap Mika keras kepala. Sorot mata Kalvin tampak meremehkan. "Ya, tentu saja. Kalian memang cocok berteman mengingat kalian berasal dari jalanan yang kami pungut untuk diberi kehidupan yang layak di sini," ejek Kalvin tersenyum sinis. Mika menahan napas dan menghitung sampai sepuluh di dalam hati, dadanya seolah siap meledak, tangannya terkepal erat sampai buku-buku jemarinya memutih. Gadis itu berusaha mengendalikan amarahnya. Seumur hidup dia tidak pernah dipermalukan seperti ini. Demi apa pun, Mika sangat tidak bisa menerimanya. "Aku selesai denganmu," desisnya. "Hari ini juga kita bercerai!" Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD