Sang Mantan Terpesona

2142 Words
“Raiiiin!” “Iyaaaaa, buuuk!” “Anterin kue dong ke rumahnya Kala.” “Suruh si Tata aja sih, buuk!” dumelnya. Caca terkekeh mendengarnya. “Tata belum ngerti,” tutur Caca lantas naik ke lantai atas. Menghampiri anak gadisnya yang lagi sibuk masukin barang-barang. “Kamu ngapain sih?” “Rain itu lagi packing, buuk! Packiing!” tekannya yang membuat ibunya geleng-geleng kepala. Anaknya yang satu ini kan emang ajaib bedanya. Si Fasha pendiam. Si Tata mulai memperlihatkan sisi kekalemannya. Kalau si Rain sih, dari kecil, emang udah bawel. “Emang kapan sih berangkatnya?” “Senin.” “Ini hari apa?” “Hari jumat, buuukk!” jawabnya lantas nyengir. Ibunya ini kayak gak ngerti perempuan aja. Perempuan kan emang begitu, suka ribet. “Apa susahnya sih, antarin kue ke depan bentar terus balik lagi,” tutur Caca lantas balik badan. Fadli yang baru keluar dari kamar, geleng-geleng kepala. Anaknya yang satu itu kan emang hobi banget bikin ngelus d**a. Hahaha. “Ih! Kayak cuma Rain aja anak ibuk! Disuruh ini-itu mulu!” keluhnya. Caca terkekeh. Ya sih. Anaknya yang bisa disuruh ini-itu emang cuma Rain sih. “Cepat itu antarin kuenya. Kalau disuruh orang tua itu langsung dikerjakan!” Gantian Fadli yang mengomel. Lelaki itu sudah rapi dengan pakaian kantornya. Kini sedang berkacak pinggang di dekat pintu kamar Rain. “Rain suka heran deh. Ini-itu nyuruh Rain mulu. Apa-apa Rain,” keluh-nya lantas meninggalkan kegiatan packing barangnya sebelum ayahnya mengomel lebih panjang. Ayahnya kan emang lebih bawel dibanding ibu-nya. “Namanya juga anak. Ya disuruh-suruh lah sama orang tuanya,” tutur Fadli sambil berjalan menuruni tangga. Rain mendengus di belakangnya. Nasib jadi anak, dumelnya. Kalau kayak gini, ia mau nikah aja ah. Hahaha. Biar nanti kalau punya anak, bisa nyuruh-nyuruh anaknya! “Mana kuenya?” “Itu tuh di atas meja,” tutur Caca. Ia geleng-geleng kepala saat melihat anak gadisnya yang satu itu mengambil kue sambil memonyong-kan bibir. Makin gede, makin susah disuruh. Padahal saat kecil dulu, ia malah menawarkan diri minta disuruh ini-itu. Kenapa? Biar bisa main di luar setelahnya. Hahaha. “Mau kemana?” Baru juga tiba di teras, langkahnya dicegat Fasha yang sedang memakai sepatu.  “Nih, nganterin kue ke rumahnya Kala,” tuturnya lantas berjalan dengan sengaknya. Tapi tiba-tiba ia mengaduh gegara Fasha menarik rambutnya. Gadis itu mengambil kue ditangannya lalu membawa-nya pergi. Rain terngaga. Baru juga mau teriak, Fasha sudah membuka kunci pagar. “Tumben mau nganterin kue,” dumelnya lantas balik badan sambil teriak, “buuuk, kuenya dianterin sama kak Fasha! Rain gak nyuruh loh, beneraan! Kak Fasha yang mau sendiri!” Sementara Fasha sudah tiba di depan rumah Adit. Ia membuka pagarnya lantas memencet bel. Muncul Kayla yang hanya mengenakan daster. Tampak sedang repot sekali. “Ini apa, Sha?” “Kue dari ibuk,” jawabnya lantas melirik ke dalam. “Adit belum pulang, Sha.” Fasha garuk-garuk kepala. Ia bukannya mau mencari Adit tapi men-cari Kala, anaknya Kayla yang berusia tujuh tahun itu. “Sha tahu kok,” tuturnya lantas tersenyum tipis. “Eung, Adit kapan baliknya, kak?” Kayla tersenyum. Ia pikir, Fasha mau ngomong pamit gitu. Hahaha. Ternyata nanyain si Adit. “Katanya sih sabtu depan. Sekalian mau ngambil mobil.” Oooh. Fasha mengangguk-angguk. Kali ini dia benar-benar pamit sambil berpikir. Sepertinya Adit akan menetap di sana. Soalnya sampai bawa mobil. Uugh, kalau begini, rasanya sama aja meski ia merasa kalau ia dan Adit sudah baikan. Namun ia tetap merasa sama. Bahkan untuk menyapa lagi, ia segan. Ia sih berharapnya, lelaki itu yang menyapanya duluan setelah kejadian kemarin. ♡♡♡ “Oooh yang nyediain material untuk proyek itu ya?” Adit mengangguk-angguk. Kini keduanya sedang main futsal. Mumpung sabtu kan libur. Kalau di rumah, jam segini, si Adit udah lari pagi lalu lanjut main basket di halaman rumahnya. Kalau sekarang, karena adanya bola futsal ya jadinya main futsal. “Dina itu sepantaran elu?” Adit mengangguk. Sementara Husein kan di atas mereka setahun. “Dia kerja?” tanyanya sambil menendang-nendang beberapa bola. “Enggak,” jawab Adit disela-sela menghadang bola tendangan Husein. “Kenapa?” “Kagak dikasih izin sama Papanya, katanya.” Ooh. Husein mengangguk-angguk. “Lo tahu banyak tentang dia ya?” Adit terkekeh. “Kan temen SMA gue. Kebetulan juga, saudara kembarnya, temen dekat gue.” Ooh. Husein paham. “Dia punya saudara kembar juga?” Adit mengangguk. “Kembarannya cowok.” “Wah. Unik tuh.” Adit terkekeh. Ya sih. Gak Dina, gak Ardan, uniknya sama. Hahaha. “Soalnya gue jarang nemu yang begitu. Biasanya kan kalo kembar itu ya cewek-cewek atau cowok-cowok kayak gue sama Hasan,” jelasnya lantas berhenti menendang bola. Capek juga. Tubuhnya bahkan sudah basah oleh keringat. Kini ia mengambil botor air minunnya. Kemudian meneguknya dengan cepat. Setelah itu, ia lempar botolnya ke arah Adit. “Dia gak ke sini lagi?” “Minggu depan dia mau ke sini.” “Wah. Ngapain?” “Gue mau ngajak dia ke kebun binatang,” jelas Adit. Lantas ter-senyum kecil saat mengingat obrolan absurd mereka tentang kebun binatang. “Asyik tuh!” Adit terkekeh. “Lo gak mau ikut?” “Ntar ganggu lagi,” tutur Husein yang membuat Adit terbahak. Emangnya ia dan Dina mau ngapain? Sampai takut terganggu begitu? “Kagak lah. Dia juga ke sini bareng sepupu-sepupunya.” “Oooh.” Adit melirik ke arah Husein yang sudah berbaring di atas lantai lapangan futsal itu. “Dengar-dengar lu mau nikah?” Husein terkekeh. “Kata siapa?” Adit mengendikan bahu. Ia sih mendengar rumor itu dari Nara dan Teo. Dua orang itu kan memang biang gosip. Maka itu perlu dikonfirmasi kebenarannya. “Itu sih gosip doang.” Adit terkekeh. “Kenapa? Lu belum nemu calonnya?” “Bisa dibilang begitu.” Adit terkekeh mendengarnya. Jawaban yang agak ambigu. “Lagian, gue masih fokus sama proyek gue. Soal nikah, nanti aja lah. Belum nemu yang cocok juga.” Adit mengangguk-angguk. Ia setuju. Ia juga ingin fokus pada karirnya saat ini. Soal menikah, nanti saja. Akan ada waktunya, pikirnya. ♡♡♡ Ardan geleng-geleng. Tiga orang ini yang mau jalan-jalan, ia ikut-ikutan ribet. Ditelpon sama Dina untuk segera pulang jam tiga sore tadi. Padahal jam pulang kantornya jam lima. Alhasil, ia kabur dari kantor. Tiba di rumah, diomelin Dina. Rain sama Farras cekikikan. Tiga cewek itu minta dianterin ke Stasiun Gambir. Kereta menuju Malang akan berangkat sekitar jam setengah enam sore. Sekarang mereka baru tiba tepat jam lima. Untungnya kagak macet-macet banget. Udah dianterin, tetap aja si Ardan diomelin gegara bawa mobilnya lama. Pokoknya Ardan salah mulu deh. Kini malah ia yang membawakan ransel besar milik ketiga cewek itu. Jalan paling belakang. Ngos-ngosan mengejar langkahnya karena takut ketinggalan kereta. Tiba di depan pintu masuk, Ardan menurunkan ketiga ransel itu. “Lu bertiga ini kalau mau backpacker-an naiknya kereta ekonomi! Bukan eksekutif kayak begini!” omel Ardan. Farras cekikikan mendengarnya. Kalau ia sih mau-mau aja naik kereta ekonomi. Tapi ayah-nya si Rain ini yang ribet. Tadinya malah disuruh naik pesawat ke Surabaya. Hahaha. Dina malah mengibas kerudungnya, berhubung kagak bisa mengibas rambutnya lagi. “Kagak usah protes! Kita udah mau telat tauk!” dumelnya lantas dengan cepat melangkah masuk meninggalkan Ardan yang menganga. Udah dianterin, tasnya dibawain eeeh ujung-ujungnya ditinggalin. Hahaha. Rain dan Farras cekikikan mengikuti langkah Dina. Farras sih sempat mengucap salam dan bye pada Ardan. Tapi tetap aja, hal itu membuat Ardan ngelus d**a. Aish! Dina berdecak. Ia ingin menyodorkan e-ticket yang ada di ponselnya pada petugas, eeeh si Adit malah nelpon. Sontak, ia angkat teleponnya lantas mendumel, “eh! Gue lagi ngantri tiket! Lo jangan bikin ribet deh!” Farras dan Rain cekikikan lagi. Petugas yang berdiri di dekatnya, garuk-garuk kepala. Sementara Adit hanya bisa menganga sambil me-mandang ponselnya dimana panggilannya malah dimatikan oleh Dina. Sepuluh menit kemudian, mereka baru masuk dan langsung lari menuju kereta yang sudah siap. Berangkatnya sih lima belas menit lagi tapi tetap saja membuat ketiganya tak bisa memelankan langkah. Ketiganya berhasil mencari bangku yang tertera pada tiket. Lalu duduk dengan nafas ngos-ngosan. Farras segera menaruh tasnya di kabin atas. Sementara Rain, meminta tolong padanya untuk menaruh tasnya juga. Dina malah masih duduk sambil menyandang tasnya. Tak lama, muncul sosok lelaki dengan tas ransel yang gak kalah besarnya dengan mereka. Cowok itu mencari-cari bangkunya. Hingga ketika melihat gadis berkerudung menduduki tempatnya. Rain langsung berbisik-bisik ke telinga Farras karena merasa mengenal cowok itu. Sementara cowok itu menepuk bahu Dina. Saat Dina berbalik, keduanya malah membeku. Itu Pras. Sepertinya cowok itu juga mau liburan. “Woi, bro! Udah nemu bangkunya?!” Sosok yang baru memasuki gerbong berteriak. Rain dan Farras kompak menoleh. Kali ini cowok itu yang membeku. Langkahnya terhenti ketika melihat sosok Farras sedang melihat ke arahnya. Takdir kini begitu lucu mempertemukan mereka. ♡♡♡ Dina menoleh ke arah jendela dengan diam. Ia kehilangan mood-nya untuk berbicara. Sementara Farras sibuk membaca buku seraya berdoa kalau Ando tak bisa membaca isi pikirannya. Hahaha. Cowok yang satu itu, biasanya punya feeling yang kuat ketika Farras bertemu lelaki ini tanpa sengaja. Sementara Rain sibuk mendumel dalam hati karena harus duduk dengan Pras. Ia terpaksa bertukar tempat duduk karena Dina yang meminta. Ia tak mungkin menolaknya apalagi meminta Farras menggantikan. Ia mana tega. Sementara Andra berdeham-deham duduk di belakang Farras. Sialnya, gerbong ini penuh hingga tak ada bangku kosong. Mungkin efek liburan juga. “Sejak kapan lu pakek jilbab begini, Rain?” Rain nyengir. Ia yang tadi sibuk dengan ponselnya, terpaksa mengalihkan pandangannya pada Pras yang ganteng dengan kacamata hitamnya. Sejujurnya, lelaki itu hanya masih kaget melihat gadis ber-kerudung yang ternyata adalah Dina. “Gue sih enggak, bang. Ikut mereka aja,” tutur Rain dengan jujur. Pras mengangguk lantas bermaksud menanyakan Dina tapi langsung di-jawab oleh Rain. “Kalau dia sih emang maunya,” bohong Rain. Sebenarnya kemauan Mamanya Dina sih tapi Pras tak perlu tahu lah. “Bagus lah kalau pakek jilbab begini.” Rain nyengir lantas menggoda, “kak Dina cakep gak pakek kerudung gitu?” Pras terkekeh. “Lo mau jawaban apa dari gue, Rain?” Rain mengendikan bahu. Mukanya sih penuh senyuman busuk. Hahaha. Sengaja melempar umpan biar dimakan oleh Pras. “Yah, cewek kalau mau pakek jilbab pasti cantik lah.” “Namanya kerudung, bang. Bukan jilbab. Kalau jilbab, bukan seperti yang lu maksud, definisinya.” “Oh ya?” Rain mengangguk. Ia jadi banyak tahu sih semenjak melihat Farras, Anne dan Tiara berjilbab. “Kalau yang dipakek kak Dina itu cuma kerudung.” Oooh. Pras mengangguk-angguk. Ia pikir, itu sama saja. “Kalian mau ke mana sih?” “Bromo.” “Wih, sama! Kalo gitu bareng aja sama kita, iya gak, Dra?” Pras melempar tanya ke arah Andra yang duduk di belakangnya lantas tersenyum kecil saat melihat Farras yang sibuk membaca buku. “Sendirian aja, Ras? Gak sama suaminya?” Pras mulai memanas-manasi Andra. Andra yang tahu maksudnya, sudah mengirim tinju angin. Rain yang menyaksikan adegan itu malah cekikikan. “Gak sendirian kok, kak. Ada kak Dina sama Rain.” “Itu sih pertanyaan basa basi, Ras,” tutur Pras sambil terkekeh kecil. Farras cuma berdeham. Ia juga malas menanggapinya sih. Pras duduk lagi lantas bertanya pada Rain, “si Dina lagi dekat sama siapa?” Rain terkikik. “Mau tahu aja lu, bang!” “Ya kan sebagai teman, cuma mau tahu kabarnya, gak masalah kan?” Halah-halah. Rain menggeleng. Bilang aja kalau mau modusin mantan. Tapi kalau sama Dina sih udah gak mempan! Hahaha! “Tuh, kak! Ditanyain bang Pras, lagi dekat sama siapa?” Rain malah teriak. Pras melotot sementara Dina malas menanggapi. Ia memejamkan matanya. Mengabaikan Pras dan juga WA Adit yang tak berhenti mengganggunya. Itu cowok masih mengomel gegara telepon darinya dimatiin sama Dina. “Lagian, kalau nanya itu langsung ke orangnya, bang!” Pras mendengus. Tiap ia bertanya langsung aja, selalu dicuekin Dina. “Dina benci ya sama gue?” “Nah! Itu lo tahu!” Kampreet, batin Pras. Soalnya si Rain menjawabnya to the point banget. Diiringi tawa lagi. Kan bikin hatinya Pras ngenes. Rasa bersalah-nya kagak bisa hilang-hilang. Mana sejak putus sama sahabatnya Dina itu, ia kagak pacaran-pacaran lagi. Soalnya tiap dekat sama cewek, ia komplain mulu. Akhirnya ia tinggalin. “Ini apaan lagi, bang Adit pakek nelpon-nelpon gue,” dumel Rain. Walau tak urung, ia angkat juga teleponnya. “Apaan sih, bang?” ia langsung mendumel. Adit ngelus d**a di seberang sana. Ia diomelin mulu. Tadi saat menelepon Dina juga begitu. “Si Dina mana? Suruh bales WA gue!” “Ya elah! Ribet banget lu berdua dah!” kesalnya lantas menoleh ke arah Dina yang pura-pura tidur. “Woi, kak! Bang Adit nyuruh balesin WA-nya tuh!” Dina mendengus lantas menutup telinganya dengan bantal. “Yee malah nutupin telinga!” dumelnya. “Nih! Ngomong aja langsung sama orangnya!” kesal Rain lantas menyerahkan ponselnya pada Dina yang diterima ogah-ogahan. “Lu napa sih nelpon-nelpon mulu?” Dina ngomel lagi. Rain cekikikan mendengarnya. “Ya ampun. Serba salah ya, gue,” kesal Adit. “Balesin WA gue apa susahnya sih?!” “Gue ngantuk ah, Dit. Males ngetiknya,” ucap Dina terdengar kesal. Mood-nya hancur gegara ketemu Pras. Pras dan Andra kompak nguping. Kalau Andra sih sedang mempersiapkan bahan lelucon untuk Pras. “Gilaaa! Gitu lo ya sama gue?” Adit balik ngambek. Dina terkekeh. “Iya deh iya. Ambekan banget sih lu?!” Ck! Adit berdecak. “Gue tutup deh teleponnya!” “Yaaah, Dit. Jangan ngambek dong! Lu kayak emak-emak kagak dapat jatah!” “Kemarin lu bilang, gue kayak emak-emak kagak dinafkahin. Sekarang lu bilang, gue kayak emak-emak kagak dapat jatah, besok lu mau ngatain gue apa lagi?” Dina terkikik mendengar omelan Adit yang panjang bin lebar itu. Sisanya, dunia terasa miliknya dan Adit. Yang lain sih cuma ngekos. Hahaha. Adit lucu sih kalau ngambek gitu, itu sih katanya Dina. Tapi ia gak tahu aja kalau Pras merhatiin. Omong-omong, Pras udah lama gak lihat Dina ketawa lepas gitu. “Kenapa, bang?” Rain mulai menyinyir. Ia kan orangnya perhatian. Hahaha. Jadi suka merhatiin orang-orang. Apalagi kalau orangnya lagi ketemu mantan begini. Makin senang si Rain perhatiin. Hahaha. “Heh?” Pras tergagap. Tertangkap basah oleh Rain. Soalnya dari tadi, Pras menatap Dina. “Kak Dina cantik ya?” Itu sih pertanyaan perangkap. “Iya.” Dengan polosnya menjawab. Mana mukanya masih terhipnotis oleh Dina. Sementara Rain sudah cekikikan. Pangling kali, melihat Dina pakek kerudung kayak gitu, batin Rain. Tapi emang bener kok, si Dina pakek kerudung gitu jadi cantik dan terlihat dewasa. Ternyata, pesona Dina yang berkerudung ini masih mampu membuat sang mantan terpesona. ♡♡♡   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD