Bab 9

1211 Words
"Mekdi, burger buto, pizza, tas chanel dan tiket liburan ke Bali seminggu," kalimat itu begitu lancar keluar dari bibir mungil Valen setelah tahu bahwa sahabatnya ini sudah melepas masa jomblonya alias sudah taken. Zea memutar matanya malas. "Pj sih pj Len tapi jangan rampok gue juga! Gue itu masih anak sekolahan, duit aja masih minta orang tua." "Cih, drama lo. Bokap lo tajir, doi lo apalagi. Lo minta Lamborgini Aventador juga pasti dikasih kali." Zea menyentil kening Valen. "Mending lo main ke apartemen, gue baru download drama korea." "Jadi maksud lo, pj-nya itu drama korea?" Zea mengangguk polos. Valen menghela napas kesal. "Seribu drama korea juga, bisa gue download sendiri kali. Di rumah gue ada wifi, di sekolah ada, di kafe tempat gue nongkrong juga ada. Gue bisa download sendiri! Pokoknya lo mesti traktir gue, gue nggak mau tahu!" "Kalau lo minta yang kayak tadi sih gue ogah, kalau lo minta traktir es cendol sih gue pasti mau!" Valen menyeringai. "Yaudah pj-nya ganti deh. Minta id line atau nomor w******p adik lo yang unyu itu dong." "Iqbal maksud lo?" Valen mengangguk. "Astaga, Iqbal masih kecil. Baru kelas 9. Lo mau dicap tante doyan berondong?" "Lagi jaman kali pacarnya sama berondong. Lo lihat itu Andika sama Ussy mereka langgeng sampai sekarang padahal jarak mereka terpaut jauh apalagi status Ussy yang jendong." "Lo juga mesti lihat dong Yuni Shara dan Raffi Ahmad, mereka udah pacaran lama tapi akhirnya putus juga. Bisa jadi 'kan lo sama Iqbal kayak gitu. Lagian lo bisa cari cowok lain jangan adik gue. Dia masih terlalu kecil buat ngerti cinta-cintaan." "Gaya lo, masih terlalu kecil. Lo aja pacaran pas SMP kali." "Itu 'kan khilaf, Valen!" "Terserah lo, ke kelas yuk. Udah mau bel nih." Mereka melenggang pergi dari kantin karena sebentar lagi waktu istirahat berakhir. *** Safira sudah memberi kabar kepada Kenzio bahwa sudah sampai di Jakarta dan sekarang sedang on the way kantornya Kenzio. Lebih memilih naik taksi daripada dijemput oleh anak bungsunya itu. Beberapa saat kemudian muncul seorang wanita paruh baya dari balik pintu. Terlihat jelas bahwa wanita itu tidak muda lagi, garis penuaan sudah terlihat di wajahnya. Kenzio menyambut kehadiran sang mama dengan penuh suka cita, ia mencium tangan mamanya kemudian memeluknya begitu erat. Kalau dipikir-pikir mereka sudah lama tidak bertemu. 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, entahlah. Kenzio menuntun mamanya duduk di sofa. "Anak nakal tidak tahu pulang ke rumah, padahal mama kangen sama kamu," ujar Safira membuat Kenzio terkekeh. "Zio juga kangen mama tapi Zio lagi sibuk di sini," memanggil dirinya dengan Zio kepada orangtuanya sampai sekarang belum berubah. "Yes i know. Anak mama yang satu ini Workaholik!" "Zio, sekarang sudah tambah dewasa, udah punya perempuan yang dikenalin ke mama belum?" lanjut Safira. Haruskah aku kasih tahu sekarang tentang Zea? Tapi lebih cepat lebih baik. Ok, tarik napas Zio! Kenzio mengangguk. "Ada ma." "Siapa?" "Zea." Mata Safira seperti ingin keluar dari tempatnya saat Kenzio menyebut nama Zea sebagai kekasihnya. Safira langsung mengeluarkan protesnya. "Kenzio! Sudah berapa kali mama bilang, jangan Kanzea! She's your nephew!" Kenzio menghela napas berat, ia sudah tahu bahwa Safira pasti tidak akan setuju. "Tapi apa salahnya ma? Dia hanya anak abang Gavril, sepupunya Zio. Yang gak boleh itu kalau Zio menikah sama Aira!" Kenzio menyebutkan nama putrinya Varel. "Tapi tetap saja Kenzio. Apa kalian tidak merasa canggung kalau menikah dengan status om dan keponakan dan status itu akan berubah menjadi suami-istri. Sangat menggelikan Zio!" "Kami saling mencintai ma, apa mama tega memisahkan kami?" Safira tetap tidak ingin mengalah. "Sekarang Zea masih SMA dan pasti ia masih punya keinginan untuk kuliah sedangkan kamu saja sekarang sudah 22 tahun kalau kamu menunggu dia, umur kamu sudah berapa Zio?!" "Aku akan menunggu sampai waktu itu tiba, seberapapun lamanya Zio akan menunggu." "Kenapa kamu mencintai keponakan kamu sendiri?!" kesal Safira. kenzio tersenyum tipis. "Karena ini takdir." "Dasar keras kepala! Yasudah mama ke rumah Gavril dulu." Dari dulu Safira akan selalu kalah jika berdebat dengan Kenzio, pria dingin yang selalu mempunyai cara membuat mamanya tak berkutik. Kenzio mengantar mamanya sampai depan pintu. "Mau Zio antar?" tawarnya yang langsung ditolak oleh Safira. "Di luar masih banyak taksi." Setelah itu Safira melenggang pergi. Maaf, ma. Untuk kali ini Zio gak bisa nurut sama mama karena ini masalah hati. Hati Zio terlanjur mencintai Zea. *** Setelah pulang sekolah Zea mampir ke supermarket untuk mencari bahan makanan, ia ingin masak makan malam untuk Kenzio. Sekali-kali masak buat doi nggak masalah dong, masa gue terus yang dimasakin. Pascanya, Zea ini tidak bisa masak. Berbeda dengan Kenzio yang pintar masak. Dan selama mereka tinggal bersama selalu Kenzio yang masak. Zea tinggal makan. Zea berkutat di dapur dengan segala macam bumbu yang ada di sana sambil membaca tutorial yang ada di internet. Ia ingin masak ayam bakar kecap kesukaan Kenzio. "Aduh mana sih garam, kok nggak ada keterangannya," Zea menimang-nimang dua kotak yang berisi bubuk halus itu. "Yaudah deh gue cicip aja. Kalau asin berarti garam," Ia mulai mengambil bubuk itu dan memasukan ke dalam mulutnya. "Asin, berarti ini garam." Mama, ada perkembangan. Zea bisa bedain mana gula mana garam. "Di sini cuma ditulis masukin garam secukupnya. Zea bingung harus masukin berapa banyak," ia baca tulisan itu di layar ponselnya. "Satu sendok aja deh, tapi kalau keasinan gimana? Apa setengah sendok aja? Tapi kalau rasanya anyep gimana?" Zea menghela napas. "Yaudah masukin satu sendok aja," ia menaburi satu sendok garam di atas ayam bakarnya itu. "Masukin kecap secukupnya, secukupnya mulu. Masa iya gue masukin satu botol! Tapi nggak apa-apa sih biar makin enak." Zea memasukkan kecap manisnya satu botol full yang berukuran sedang, dan ia bolak balik hingga matang. Setelah dirasa matang ia mematikan kompornya. "Tapi kok warna ayamnya hitam banget," ia menghela napas. "Tapi nggak apa-apa asal enak." Semoga. Ia melihat nasi yang ia masak di rice cooker sedikit berair. "Aduh, airnya kelebihan berarti yang gue masukin tadi. Ah nggak apa-apa penting ayamnya enak." Walau sedikit kecewa dengan hasil masakannya tapi ia tetap menyajikannya di atas meja makan, tinggal menunggu Kenzio pulang. Di liriknya arloji yang ada di pergelangan tangan kirinya. "15 menit lagi pasti Ken sampai, gue mandi dulu deh." Ia melenggang pergi ke kamarnya. *** Kenzio dan Zea sekarang tengah berada di meja makan. Kenzio menatap horror masakan Zea, warna ayamnya hitam pekat dan nasinya berair. Ia menelan ludahnya susah payah membayangkan makanan horror ini masuk ke dalam perutnya. "Selamat makan, maaf Zea cuma bisa masak ini buat Ken. Semoga suka." Kenzio tidak ingin mengecewakan Zea, lebih baik ia makan. Perutnya urusan belakangnya, ia mulai mencicipi ayamnya. "Allahu Akbar, asin banget! Ini Zea masukin garamnya berapa sendok sih?" gerutu Kenzio di dalam hatinya tapi ia berusaha untuk menelan. "Ini rasanya campur aduk, manis kecap dan asin garam bercampur menjadi satu!" gerutunya lagi. "Gimana Ken? Enak?" Kenzio mengangguk. Ia memasukkan ayamnya bersamaan dengan nasi encernya. "Berasa makan bubur gagal! Tapi gak bisa dikatakan bubur juga." "Kalau suka tambah lagi dong Ken, Zea senang deh lihat Ken makan masakan Zea." Kenzio tersenyum makan. "Zea kenapa gak makan?" "Zea lihat Ken makannya lahap udah bikin kenyang lagian Zea belum lapar." Dasar bocah! Kenzio bangkit dari tempat duduknya kemudian mengacak gemas rambut Zea. "Aku mandi dulu, kamu jangan lupa makan." Ken berbisik ke telinga Zea. "Kapan-kapan kita masak bareng ya. Love you." Cup. Kemudian ia mencium pipi Zea sebelum berlalu ke kamarnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD