BAB 19 (Bismillahirrahmanirrahim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1489 Words
 “Hana?” “Hmm?” “Lutfi itu ... lo pernah suka sama Lutfi ya?” Deg! Bagaimana Adam bisa tahu perasaan Hana? === Hana menatap Adam dengan tatapan tidak percaya. Hana sangat terkejut Adam bisa dengan mudah menebak perasaannya pada Lutfi. Apakah Adam memiliki indera keenam yang tidak Hana ketahui? Atau apakah Hana sikap Hana pada Lutfi terlalu kentara? Hana pun tertawa masam untuk menutupi kebenaran pernyataan Adam. Hana terkekeh kemudian menyesap kembali tehnya dengan hati-hati. “Kenapa lo, Han? Kok malah ketawa? Gue bener kan?” “Nggak lah, sok tahu lo. Lo aja baru ngeliat gue berdua sama Lutfi dua kali kan? Dari mana lo bisa nyimpulin secepat itu kalo gue pernah suka sama Lutfi?” Hana berusaha bersikap biasa. Hana tidak mau siapa pun tahu bahwa ia pernah menyukai Lutfi. Tidak, ia tidak siap jika orang lain mengetahui perasaan yang pernah dipendamnya. Hana saja belum mau memberitahu Rika soal ini, jangan harap Hana membiarkan Adam dengan mudah mengetahui hal ini. “Iya sih, lo bener. Gue Cuma baru lihat lo sama Lutfi dua kali. Tapi, gue bisa baca gelagat lo kali, Hana.lo Lo jangan lupa kalo gue punya jam terbang yang tinggi sebagai playboy,” ucap Adam percaya diri. Adam terlihat sangat membanggakan status playboynya itu pada Hana. “Loh, apa hubungannya jam terbang lo sebagai playboy sama lo yang nebak gue pernah suka sama Lutfi?” tanya Hana heran. “Ya ada dong Hana. karena gue udah berpengalaman sama cewek-cewek, gue tahu lho, gelagat cewek yang suka sam gue diam-diam. Yah, gue bisa membaca gelagat mereka. Cewek-cewek gak bisa bohonglah kalo mereka mendem perasaan ke gue, kelihatan banget, meski mereka berusaha buat nutupin,” ucap Adam santai. Adam sama sekali tidak ada niatan buruk berkata seperti itu pada Hana. Adam berkata seperti itu pada Hana hanya sebagai seorang teman. Adam hanya ingin tahu saja, tidak ada maksud lebih karena ia melihat reaksi Hana yang agak berbeda tadi ketika berhadapan dengan Lutfi dan istrinya. Kalaupun Hana mengakui bahwa tebakan Adam itu benar, Adam pun tidak akan mengumbarnya pada siapa pun. Adam bukan tipe lelaki bermulut rumpi seperti perempuan yang akan menyebarkan informasi apa pun dengan mudah. Toh Adam juga tidak mau membuat Hana sedih dan malu, terlebih lelaki yang disukai Hana sudah memiliki istri. Hana jadi memikirkan perkataan Adam tadi. Apa iya benar begitu? Ya, mungkin benar begitu. Mungkin jam terbang Adam yang sudah tinggi sebagai playboy, membuat ia bisa membaca sikap perempuan dengan mudah. Hal itu dibuktikan dengan ucapannya yang benar tentang perasaan Hana pada Lutfi. Hana menghela napasnya panjang. Perasaannya pada Lutfi adalah rahasia besar dalam hidupnya. Hana saja tidak membagikan hal ini pada ibu ataupun Rika sahabatnya yang notabene orang terdekatnya. Tapi, apa sekarang ia harus mengaku dengan mudah di depan Adam bahwa tebakannya itu benar? Tapi, ia dan Adam bahkan baru beberapa bulan ini akrab. Ah sudahlah, Hana putuskan untuk mengakuinya saja di depan Adam. Toh, percuma saja Hana mengelak.  “Kenapa lo diem? Bener kan tebakan gue?” Hana menoleh ke arah Adam lalu tersenyum tipis. “Iya lo bener, Dam. Tebakan lo emang benar. Gue pernah suka sama Lutfi,” ucap Hana lirih. “Tuh, kan apa kata gue. Adam gitu loh,” ucap Adam menyombongkan dirinya sendiri. Adam pun tertawa ternahak hingga memegangi perutnya. Hana langsung merasa risih dan menatap Adam galak karena Hana mengira Adam menertawakan dirinya. “Hello? Ada yang lucu, Dam? Kok lo ketawa gitu? Lo ngetawain gue?” tanya Hana jutek. Adam berusaha menghentikan tawanya. “Sorry, bukan gue ngatwain lo, Hana.” “Terus?” “Gue ngetawain nasib kita yang sama.” Ah, Hana mulai paham maksud Adam. “Gue yang udah pacaran lama sama Diana, putus, ditinggal nikah. Ya gue juga masih nyesek dan patah hati. Lo juga kan, masih patah hati. Ya nasib kita sama gitu. Gak nyangka nasib kita bisa sama kayak gini,” ucap Adam enteng. Adam dan Hana memang sama-sama patah hati. Mereka sedang berusaha melupakan cinta masa lalunya. Mereka kembali hening di tengah matahari yang semakin condong ke barat. Hanya angin semilir dan suara riuh kendaraan yang terdengar.  Hingga kemudian Hana membuka suaranya. “Tapi lo jangan bilang siapa-siapa ya, Dam. Gue gak mau hal ini bocor lho, apalagi Lutfi udah punya istri.” “Lo tenang aja kali, Hana. Gue mah bukan cowok tukang rumpi, rahasia lo aman sama gue,” ucap Adam mantap. Selama beberapa bulan ini bekerja sama dengan Adam, Hana jadi lebih mengenal lelaki itu daripada sebelumnya. Mesksipun ia agak “nyeleneh” dengan sikap playboynya, tetapi ucapannya dapat dipegang dan ia termasuk orang yang komitmen dalam memegang janji dan perkataannya. Hana harap, semoga itu juga berlaku pada saat ini. “Tapi lo beneran udah bisa ngelupain perasaan lo sama Lutfi?” celetuk Adam tiba-tiba. Hana tersenyum tipis sambil menatap senja di hadapannya. “Yakin lo nanya itu sama gue? Gue rasa lo salah nanyain pertanyaan. Lo nanya pertanyaan yang lo sendiri udah tahu jawabannya, Dam.” Skak mat! Adam mati kutu dengan jawaban yang diberikan oleh Hana. Ya, ucapan Hana benar. Adam bertanya pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya. Tentu tidak mudah menghapus perasaan itu begitu saja. Adam paham, sangat paham. Adam menyugar rambutnya sambil mendesah pelan. Ia terdiam, tak berani menyanggah ucapan Hana tadi. “Terus apa yang lo lakuin buat ngilangin perasaan lo itu, Han?” tanya Adam penasaran. Hana mengalihkan pandangannya pada Adam. Ia menatap Adam sambil tersenyum. Entah kenapa, wajah Hana yang tersenyum tertimpa cahaya senja terlihat begitu manis di mata Adam. “Ya, pertama gue akui gue salah, Dam. Gue salah karena berangan terlalu jauh sama Lutfi. Gue juga salah udah terlalu baper sama dia. Gue udah salah udah mempunyai perasaan yang terlalu dalam sama dia padahal dia belum halal buat gue,” ucap Hana lirih. “Loh, menurut gue lo gak salah, Han. Kita kan gak bisa mengendalikan perasaan kita mau suka sama siapa,” ucap Adam membela Hana. “Iya sih, lo bener. Kita memang gak bisa mengendalikan kita mau suka, cinta dan sayang sama siapa. Tapi, entahlah Dam, gue merasa dalam kasus ini memang gue yang salah dan gue juga lagi usaha berusaha menerima takdir gue ini meski pahit.” “Maksudnya?” “Hmm ... ya gue lagi berusaha menerima semua kenyataan ini meski pahit. Gue udah ikhlas kalau dia bukan jodoh gue, Dam. Gue gak bisa maksain keinginan gue. Mungkin memang dia bukan jodoh yang Allah takdirkan buat gue, Dam. Ada ayat di alquran yang artinya kurang lebih seperti ini, apa yang menurut kita baik bellum tentu baik menurut Allah, sedangkan apa yang menurut kita tidak baik bisa jadi itu baik menurut Alllah. Dulu, gue rasa Lutfi adalah calon suami yang pas dan cocok buat gue, tapi kan gue gak tahu apakah dia baik buat gue atau nggak nanti di masa depan. Gue percaya, meski gue sakit gara-gara patah hati, tapi Allah udah menyiapkan jodoh pengganti yang lebih baik dari Lutfi.” “Kenapa lo bisa yakin banget, Han?” “Ya karena gue percaya sama Allah, Dam. Allah itu gak pernah dzalim sama hamba-Nya. Allah pasti akan mengganti dengan yang lebih baik semua sakit dan perih yang kita rasakan sekarang.” “Berarti gue bakalan dapet cewek yang lebih baiik dari Diana dong? Iya kan, Han?” “Iya mungkin,” jawab Hana ragu. “Kok jawaban lo gak yakin gitu sih?” “Ya abis lo jempput jodohnya pake cara yang gak Allah suka. Lo nyari jodohnya pake pacaran sih, Dam. Allah gak suka tahu.” “Terus gimana dong?” tanya Adam bingung. “Ya elah, capek gue jelasin mulu ke lo. Lo cari satu orang cewek, lo selidikin deh, taarufan, terus lamar, nikah, beres kan?” “Tapi, Han ... “ “Gak ada cara lain. Atau kalau mau, lo minta bantuan keluarga lo, bokap, nyokap atau kakak lo buat nyariin jodoh, gampang, beres, gak ribet dan juga nilai plus kalo orang tua lo suka. Ridha Allah ridha orang tua juga, Dam,” cerocos Hana panjang lebar. “Buset deh, lo ngomong nyerocos kayak mobil rem blong, gak bisa berenti.” “Tahu ah, abis gue kesel sama lo dibilangin gak ngerti mulu, nanya lagi nanya lagi.” “Terus kalo misal nih, orang tua gue setujunya gue nikah sama lo gimana, Han?” tanya Adam dengan santai pada Hana sambil menopang dagu dengan kedua tangannya di atas meja. “Apa?” Hana melongo menatap Adam sambil mulutnya terbuka sedikit karena terkejut dengan ucapan Adam. Apa? Orang tua Adam setuju ia menikah dengan Hana? Hana langsung tertawa hambar. ia tidak ingin di permainkan oleh playboy cap kucing di depannya ini. "Ngaco, Dam. Jangan lo pikir gue bakalan kemakan sama bercandaan lo ini ya, gak lucu!" Hana langsung mengambil Al Quran dan ponselnya yang tergeletak di atas meja lalu buru-buru meninggalkan Adam sendirian. "Yah, dia malah gak percaya. Orang gue ngomong jujur kok. Ck ... ck Hanna, Hana," ucap Adam sambil tersenyum sendiri menatap kepergian Hana.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD