Bab 2

1330 Words
Perlahan mataku menoleh nakal pada kumpulan anak cowok didepan, mereka serius menonton sebuah film action keluaran Negara bendera British tersebut.   Aku melihat dia ada disana.   Bersama dengan teman-temannya.   Bintang kelihatan gembira.   Tanpa sadar aku ikut tersenyum.   Mungkin inilah yang Bintang inginkan.   Sebuah kebebasan.   Dia bilang dia lelah terhadapku.   Ya, aku tau kenapa ia lelah.   Ia lelah dengan sikapku yang begitu khawatir dan gelisah jika dia terlalu dekat dengan cewek lain. Aku hanya takut ia meninggalkan ku demi cewek lain seperti kasus ku sebelumnya.   Perlahan aku menundukkan kepalaku dalam. Setetes air jatuh mengenai punggung tanganku kemudian menjadi seperti hujan.   Aku menangis. Untuk yang sekian kalinya.   Aku tak bisa berhenti. Aku tidak ingin karena ku tau rasanya sangat menyakitkan jika aku nekat melakukannya.   Alhasil selama jam pelajaran berakhir aku tak henti menangis.   Dalam pelukan Dini aku mencurahkan segala rasa yang menyakiti hatiku.   Aku membiarkan mataku membengkak.   Lebih baik mataku yang bengkak ketimbang hatiku yang membengkak siap meledak setiap lihat Bintang.   Aku pikir Bintang akan memperhatikan ku ketika ia lewat didepanku dan melihat betapa gedenya kantong mata hitam ku.   Tapi, harapan hanyalah harapan nyatanya Bintang cuma numpang lewat kemudian keluar kelas.   Dia... Sudah tak mungkin lagi bisa ku raih.   Dia... Hanya dapat ku pandangi dari jauh.   Dia... Hanya dapat ku simpan perasaan ku dalam-dalam karena ku yakin kita tak lagi mungkin persama.   Terima kasih, Bintang.   Atas semua waktumu selama ini.   Aku tak menyangka kita berakhir secepat ini ketika kamu bilang kamu sayang aku.   Dan, aku percaya ketika kamu bilang begitu.   Seharusnya aku tak usah percaya.   Karena jika ia benar-benar sayang ia tak akan pernah memutuskan mu setelah semenit ia bilang menyayangimu.   Seharusnya aku sadar bahwa itu sandiwara. Bahwa semuanya hanya sandiwara. 2: Yang Selalu Kurindukan Pagi itu langit tampak mendung. Tanpa awan cerah yang biasanya menghiasi bumi.   Setitik embun pun bahkan masih dapat terlihat dari jauh membasahi rumput.   Matahari tak terlihat ia bersembunyi malu menampilkan cahayanya yang dapat menghangatkan itu.   Aku berdiri tak jauh dari area sekolah.   Aku tak punya kemampuan untuk menggas motorku sampai gerbang sekolah. Memarkirkannya. Memasuki kelas.   Mononton.   Tapi, bukan itu yang membuatku menjadi berhenti disitu.   Melainkan sesosok yang saat itu sedang berjalan menelusuri gang kecil menuju sekolah.   Sosok mungil yang baru saja turun dari kendaraan umum.   Aku tanpa sadar tersenyum tipis.   Meskipun hanya melihatnya dari belakang. Meskipun hanya melihatnya dari jauh. Meskipun hanya melihatnya tanpa bisa ku kejar.   Bulan.   Satu kalimat lima huruf abjad.   Sudah tiga hari dia gak masuk sekolah. Katanya, dia sakit.   Aku sempat panik dan sedikit khawatir. Oh, tidak. Aku sangat amat khawatir.   Pasalnya, Bulan lemah. Dia gampang sakit. Yang ku tau ia punya penyakit didaerah kepalanya.   Dan itu membuatku ingin selalu berada disisinya untuk melindunginya.   Namun, keinginan ku hanya bisa mencapai titik pusat khayalan ku saja.   Karena aku sadar aku telah melepasnya. Aku membiarkannya sendiri berkelana didunia ini tanpa aku disisinya lagi.   Aku yang sudah membiarkan dia pergi sehingga keinginan ku untuk melindunginya... Pupus.   Sekali lagi aku memperhatikannya yang kelihatan rapuh di penglihatanku.   Dia berjalan dengan tidak semangat. Sesekali senyuman manis tersungging dari bibirnya yang indah membalas sapaan tiap murid yang berpapasan dengannya.   Walau terlihat pucat dia berusaha untuk menyembunyikannya.   Dia...   Memang kelihatan berbeda.   Sudah berbeda.   Dan, itu karenaku.   Sialan kau Bintang!   ⚫   Aku termenung memandangi datar layar laptop dihadapanku ini dengan pikiran yang melayang mengingat kejadian dua minggu lalu.   Setelah sholat Jumat, aku dan teman-teman menonton sebuah film action yang lagi ngetrend, Fast and Furious seven. Di laptop milik Agung. Teman sekelasku.   Samar-samar dalam keseriusan menonton aku mendengar teriakan penuh sindiran dari arah belakangku.   "Panas, woy! Panas banget!!"   "Eh, Aldi! Buka dong pintunya panas nih."   Begitu katanya.   Aku tau, itu suara Bulan yang memiliki dua makna.   Memang benar dia kepanasan karena suhunya yang meningkat panas atau karena kepanasan melihatku dekat dengan Lia.   Tiba-tiba sebuah tarikan pelan dari arah belakang membuatku menyandarkan punggungku ke kursi. Menjauhkan kulit tanganku yang menempel pada kulit tangan Lia.   Jangan kalian kira aku yang melakukannya. Aku sudah mencoba menjaga jarak dari cewek yang satu itu tapi memang sepertinya dia ini memiliki muka badak. Alias gak tau malu dan gak tau resiko. Dia nekat deketin aku.   "Dipanggil Bulan, Bin."   Kata Ramma menunjuk tempat Bulan berada. Aku segera menoleh tetapi yang ku lihat dia sedang menunduk menyimpan wajahnya diantara lipatan kedua lengannya diatas meja.   Aku kembali memutar kepala menikmati film dihadapanku.   Walau ku tau usahaku sia-sia.   Karena suara teman-teman Bulan seketika langsung menggema menyebalkan di seluruh ruangan kelas.   Oh! Sepertinya Bulan serius telah kepanasan.   Dia cemburu.   ⚫   Aku menatapnya dalam. Intens. Berharap ia mengerti bahwa aku serius dengan perkataanku barusan bahwa meskipun aku mengenal Lia lebih awal bukan berarti aku menyukainya.   Bagaimana kalau aku menyukai dia? Dia yang berada dalam tatapanku saat itu.   Bukan dia, Lia. Melainkan dia, Bulan.   Yang pertama kenal bukan berarti selalu menjadi yang terspesial, bukan?   Ya, ku harap dia tau.   Tetapi yang ku dapati malah perkataannya yang kelewat ceplas ceplos.   Aku jamin. Ia tak sadar mengucapkannya.   "Ada orang yang pernah bilang ke aku kalau perasaan seseorang itu gak ada yang tau bisa aja berubah seiring perubahannya waktu."   Dia menyindirku.   Aku pernah mengatakan itu ketika dia bercerita mantannya kembali datang dan aku kontan cemburu apalagi dia menanggapinya dengan santai.   Aku mengambil kedua tangannya. Membawa jari-jari mungilnya kedalam genggamanku. Dingin. Tetapi berubah jadi hangat begitu sampai didalam telapak tanganku.   Aku mengangkat kedua tangannya dan menaruhnya didepan bibirku.   Dia menoleh. Tatapannya sedikit melebar, kaget akan perilaku ku yang mungkin membuatnya risih.   Tapi, biarlah hanya dengan cara ini dia dapat melihatku tanpa memalingkan atau membuang pandangannya.   "Lan, jadi kamu gak percaya sama aku?"   Bulan menggeleng kaku.   Aku menghembuskan napas frustasi.   Aku tau dia cewek yang susah sekali percaya pada cowok. Jangankan percaya, mengeluarkan kata memaafkan saja ia tak pernah.   "Oh, yaudah kalau gitu kamu gak usah percaya aja lagi sama aku yaaa."   Bulan panik. Dia buru-buru menggapai kedua tanganku yang melepas tangannya begitu saja. Ia menggenggamnya erat. Binar dalam matanya mengatakan bahwa ia takut.   Takut aku beranjak pergi meninggalkan dirinya. Padahal aku tak akan sanggup melakukannya.   "Gak gitu, Bintang! Aku cuma... Aku..."   "Apa?"   Bulan menunduk dalam.   Tangannya bergerak gelisah didalam genggamanku.   Lagi, aku membawa kedua tangannya menuju wajahku. Merangkum rahangku yang saat itu mengeras, kaku.   "Lan, aku emang kenal dia lebih dulu tapi kalau aku sukanya sama kamu. Gimana dong?"   Bulan tak lagi mengelak ataupun mengucapkan kata yang menyebalkan. Perlahan sebuah lengkungan manis itu tercipta dari ujung bibirnya masing-masing. Dia tersenyum.   Dan rona merah menjalar keseluruh permukaan wajah cantiknya.   Saat itu juga segala tatapan tajam, dalam, kesal, frustasi, bingung dan semua yang menyesakkan itu meluap seketika.   "Bin, lo apain tuh si Bulan sampai bengep gitu mukanya?"   Dendy, teman sekelasku. Bertanya sambil mengedikkan dagunya ke arah tempat cewek yang dimaksudnya itu.   Aku hanya tersenyum tipis.   Aku tau, dari awal masuk pun aku sudah dapat melihat wajahnya yang sembab, matanya memerah. Kantong matanya hitam sempurna.   Niatnya aku ingin mendekatinya, ada secercah rasa rindu ku yang menginginkan dirinya tersenyum setiap melihatku, tertawa dan melihatku dengan pandangan berseri.   Bukan seperti tadi.   Memandangku datar tanpa ekspresi. Jangan lupa, wajah yang dia tutupi menggunakan buku atau dengan memalingkan wajahnya enggan menatapku.   Jangan kira aku tak perduli. Tak tau apapun tentang dirinya yang sekarang terlihat kacau.   Aku selalu perduli.   Hanya saja aku bingung aku harus berbuat apa.   Aku sudah membuat keputusan.   Aku sudah membuat surat talak mutlak yang tak terlihat oleh siapapun. Hanya dirikulah yang bisa.   Aku mengambil stick ps yang nganggur disebelah kananku. Memainkan games.   Setidaknya aku harus mengalihkan pikiranku dari Bulan.   Jauh didalam hatiku.   Harus aku akui. Aku merindukannya.   Kepalaku pening memikirkan dirinya semalaman bersama tangisanku yang pecah.   Aku sadar aku telah membiarkan satu-satunya orang yang paling aku sayangi pergi meninggalkanku.   Aku sadar bahwa aku egois. Bahkan Bulan tidak mengatakan ya atau tidak ketika aku bilang kita udahan dia hanya balas.   "I've done at all ya, Bin?"   Dan bodohnya aku membalas.   "Keputusan gue udah bulat."   Sejak itu aku merasakan sesuatu yang berbeda.   Bulan telah membangun pembatas kokoh yang berdiri dengan angkuhnya dicelah antara aku dan dirinya yang saat itu memang sudah sangat renggang.   Aku sadar.   Aku tak lebih dari seorang cowok b******k.   Aku mengkhianati omongan ku sendiri.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD