Part 8

1371 Words
Selesai mandi Arini kembali naik ke lantai dua, di lihatnya Aldo masih belum beranjak dari sofa. "Kak Aldo nggak kerja?" "Ngapain kamu nanya-nanya? Bukun urusan kamu! Sepertinya ingatan kamu lemah, ya? Apa perlu aku tempel di dinding perjanjian pernikahan kita?" "Ee, maaf Kak Al, aku lupa. Permisi..." Arini tersenyum kaku lalu buru-buru beranjak ke kamarnya. "Fiuh,... Baru kali ini ketemu sama orang segalak itu? Dasar manusia aneh, nggak jelas maunya apa!" gumam Arini setelah menutup pintu kamar. Arini memakai baju rapi dan berdandan minimalis. Ia bersiap berangkat ke kantor. Dia memang tidak mengambil cuti, sebab tidak enak hati mengajukannya. Lagi pula belum genap satu bulan ia bekerja di tempat itu. Setelah selesai berdandan, Arini ingin pamit pada Aldo, tapi lelaki itu sudah tidak ada di sofa. Arini mencoba mencari ke lantai bawah, tapi Aldo juga tidak ada. Arini naik lagi ke lantai dua, ia memberanikan diri mengetuk pintu kamar Aldo. "Asslammualaikum, Kak, Al,... Kak Al di dalam?" teeiaknya kencang, ia sangat terburu-buru, takut terlambat sampai di kantor. "Ngapain sih, perempuan satu ini? Berisik banget dari pagi!" grutunya. Awalnya ia tidak menjawab, masabodo dengan Arini, ia melanjutkan mengerjakan tugas tugasnya di laptop. Hangatnya mentari pagi yang menembus masuk melalui jendela, membuat Aldo betah berlama lama duduk di depan laptop sembari berjemur tanpa memakai baju. Tapi konsentrasinya terganggu karena Arini tidak berhenti mengetuk pintu. Gemas, ia membuka pintu. "Apa, sih? Brisik tahu!" "Salah siapa? Dipanggilin sekali nggak nyahut. Aku mau berangkat kerja ...." jawab Arini malingkan wajah, ia tidak berani melihat Aldo yang bertelanjang d**a. "Ya sudah barengkat saja! Memangnya siapa yang mau menghalangimu? Mengganggu saja!" Aldo kembali menutup pintu. Padahal Arini baru saja ingin mencium tangannya. Karena merasa belum pamit, Arini kembali mengetuk pintu. "Assalammualaikum, Kak Al ...." teriaknya lebih kencang. "Oh Tuhan.... Manusia jenis apa orang satu ini?" Aldo menutup kupingnya. Tapi karena Arini tak juga berhenti mengetuk, dia tidak tahan juga, gemas, ia kembali membuka pintu. "Ariniiii ...!" pekik Aldo dengan wajah gregetan, tangannya mengepal siap menjitak kepala gadis itu. Arini mengkerut, mundur selangkah. Karena ingin cepat berangkat, Arini menarik tangan Aldo, lalu mencium punggung tangannya. Kemudian berlari menuruni tangga. Aldo melongo, sejenak di lihatnya punggung tangannya yang terkena bercak lipstik. "Dasar perempuan sinting, dikira aku bapaknya, apa?!" ujarnya sembari menggosok-gosokkan punggung tangannya ke celana. Lalu kembali ke depan laptop. Pagi ini Mentari malu-malu menampakkan dirinya, seolah ikut merasakan kebimbangan hati Arini. Ini adalah hari pertama ia berangkat ke kantor dari rumah Aldo. Ia gamang, tidak tahu harus naik apa pergi ke stasiun kereta terdekat. Di luar komplek, jalanan terlihat lengang dan sepi. Arini mendekati sebuah pangkalan ojek, yang tak jauh dari tempatnya berdiri. "Bang, ojek dong, ke stasiun ya!" "Baik, Neng, mari naik." Bergegas Arini naik ke boncengan Abang ojek, Arini memperhatikan jalanan. Rumah penduduk di samping kanan kiri terlihat masih sederhana, di kanan dan kiri terdapat kebun kebun yang tidak terawat. Rumput ilalang tumbuh dengan liar disembarang tempat. Sepertinya Perumahan tempat Aldo tinggal masih baru, belum banyak kendaraan yang berlalu lalang di sana. Di luar Komplek perumah, pemandangannya sungguh berbeda, rumah penduduk terlihat sederhana bahkan masih banyak yang terbuat dari kayu. Sesampainya di stasiun kereta, Arini segera menggesek kartunya. Matanya liar menoleh ke kanan dan kiri menunggu datangnya kereta. Ia bertanya kepada salah satu penumpang yang juga sedang menunggu, memastikan arah yang ditujunya tidak salah. Lima belas menit menunggu, akhirnya kereta datang juga. Ia dan seluruh penumpang yang sudah menunggu bergegas masuk ke dalam kereta. Arini memilih berdiri di pojok gerbong wanita. Dua puluh menit kemudian, ia sampai di tujuan. Ia harus naik ojek lagi agar sampai ke kantor tempatnya bekerja. Sesampainya di kantor, ia baru sadar, ternyata dia belum sarapan. Biasanya, bunda yang menyediakan sarapan dan juga bekal untuknya. Arini memang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah, apalagi menyiapkan sarapan. Bahkan kadang bangun pagi saja masih harus dibangunkan bunda. Jadilah pagi ini Arini menahan lapar. Ia meneguk teh manis yang disediakan di kantor, sebagai sumber energinya untuk memulai aktifitas pagi ini. Sejenak Arini termenung di mejanya, memikirkan nasib dirinya ke depan. Uang di dompetnya tidak akan cukup untuk membeli makan dan juga uang transport sehari-hari. Ia harus menemukan cara untuk mendapatkan uang agar bisa menyambung hidupnya ke depan sampai tiba waktunya gajian. Mana berani dia meminta uang pada Aldo meski pun mereka sudah menikah. Bukankah perjanjiannya dia tidak boleh menyusahkan? Arini terus berpikir mencari solusi permasalahannya. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya untuk menjual tas yang baru beberapa kali dipakainya. Saat waktu senggang di kantor, ia memotret tas tangannya, lalu mengunggahnya ke media sosial miliknya, dengan mencantumkan caption "Jual tas ori murah" Lalu Ia kembali bekerja. Beberapa jam kemudian Arini stalking ke akunnya kembali, ternyata sudah ada pembeli yang memintanya untuk COD besok sore sepulang kantor di sebuah mal. Tentu saja Arini dengan senang hati setuju dengan permintaan pembeli tersebut. Di kantor barunya itu, waktu luangnya sangat sedikit karena memang cukup sibuk, karyawan di sana harus disiplin dalam mengatur waktu agar bisa meluangkan waktu untuk makan dan shalat bagi yang muslim. Saat tiba jam makan siang teman-temannya mengajak Arini makan di sebuah restoran. Arini pun ikut saja karena memang perutnya sudah sangat lapar. Ternyata teman-temannya terbiasa makan di tempat yang cukup mahal. Sebenarnya tidak terlalu mahal juga, sih, standar saja seperti gaya hidupnya dulu saat orang tuanya belum jatuh bangkrut. Tapi untuk saat ini, Arini tidak bisa bergaya hidup seperti itu lagi, ia harus pintar-pintar mengatur keuangannya agar tidak mati kelaparan. Karena sudah terlanjut ikut, mau tidak mau ikut makan di sana. Ia mengambil menu yang paling sederhana. Ia pun ikut larut dalam canda dan tawa teman-temannya. Setelah selesai makan, mereka kembali ke kantor dan menunaikan salat zuhur. Usai jam istirahat Arini dan rekan-rekannya kembali bekerja ke meja masing-masing. Arini menyimpan rapat pernikahannya dengan Aldo. Ia enggan ditanya macam-macam oleh temannya. Waktu berputar begitu cepat, pekerjaan yang menumpuk sangat menyita waktu dan pikiran hingga tak terasa matahari sudah mulai menyingsing, memaksa para karyawan untuk bersiap pulang. Arini memesan ojek online untuk mengantarnya ke stasiun kereta. Ia berlari-lari kecil mengejar kereta yang baru tiba, ia harus berdesakan dengan penumpang lainnya. Sesampaimya di stasiun Depok lama, Arini turun, lalu kembali naik ojek pangkalan karena tidak tahu alamat lengkap rumah Aldo. Jadi terpaksa dia naik ojek pangkalan, berharap ia ia ingat jalan pulang dan bisa menunjukkan jalan. Abang ojek membawanya mengikuti petunjuk Arini. Namun komplek perumahan tempat tinggalnya tidak juga terlihat. Ia mencoba menceritakan ciri-ciri komplek yang ada di kepalanya, tapi abang ojek itu, tidak tahu alamat yang dimaksud Arini. Bahkan parahnya lagi, Arini tidak tahu apa nama komplek tempatnya tinggal. Ia mencoba menghubungi Aldo, tapi hapenya tidak diangkat, lalu Arini mengirimkan pesan singkat, hasilnya pun sama, Al tidak membaca pesan darinya. Setelah beberapa kali berputar putar, akhirnya abang ojek memaksa Arini untuk turun dan membayar ongkosnya. Dengan sangat terpaksa Arini merelakan abang ojek pergi. Wanita bekulit putih bersih itu, kembali mencoba menghubungi Aldo, tapi Aldo tetap tidak mengangkat hapenya. Padahal terdengar nada pangil di seberang sana. Arini mulai putus asa, ia duduk di sebuah warung kaki lima di pinggir jalan, dia benar-benar tidak tahu harus ke mana. Sesekali Arini kembali ke pinggir jalan mencoba mengingat ingat jalan pulang, tapi tetap saja dia tidak tahu harus berjalan ke arah mana. Semua jalan tampak sama di matanya. Ia benar benar tidak bisa mengingat jalan menuju rumah Aldo. Arini kembali duduk di warung itu, untungnya ibu yang punya warung berbaik hati mengizinkannya duduk berlama-lama di sana. Arini mencoba kembali menghubungi Aldo, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Akhirnya ia nekat berjalan kaki menyusuri jalanan. Siapa tahu dengan berjalan dia ingat jalan pulang. Selangkah demi selangkah ia menyusuri jalanan panjang yang tidak berujung itu, matanya liar menoleh ke kanan dan kiri mencari-cari Komplek rumah Aldo tapi tidak juga ia temukan, seolah komplek itu hilang ditelan bumi. Matahari mulai tenggelam dan adzan maghrib pun mulai berkumandang, Arini terus berjalan, ia mulai panik karena jalanan mulai gelap dan sepi. lampu penerang jalan tidak banyak di sana, ditambah lagi, rumah penduduk yang letaknya berjauhan. Arini mempercepat langkahnya, tidak dihiraukannya lagi kakinya yang mulai lecet karena gesekan sepatu. Dia berharap segera bisa menemukan Komplek itu. Tapi sayang hampir setengah jam ia menyusuri jalan, komplek rumah Aldo belum juga ditemukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD