Makan siang menjadi waktu yang tepat bagi semua orang untuk membicarakan banyak hal dengan orang yang diinginkan dan tidak jarang tercipta kesepakatan bisnis baru. Namun, untuk hari ini Leonard tidak bertujuan untuk itu. Dia mencurahkan segenap perhatian terhadap Kirana, tidak sekali pun membiarkan wanita itu berjarak lebih dari selangkah darinya.
Bukannya tidak menikmati perhatian Leonard, hanya saja Kirana merasa pergerakannya menjadi sangat terbatas. Khawatirnya salah melangkah dan dia akan menginjak kaki Leonard. Tidak lucu dong? Memangnya mereka sedang belajar dansa atau apa? Belum lagi dilihatnya Desi masih juga berada di sini. Malas sekali melihat wajah teman se-kost yang ... yah, pernah dia anggap teman.
"Sepertinya kamu banyak pikiran?" tanya Leonard lembut.
"Uhm ... entahlah. Mungkin cuma bosan. Aku 'kan tidak bisa bicara bisnis." Kirana tersenyum.
"Kalau begitu kita mengobrol berdua saja." Leonard menggandeng wanitanya ke teras yang dinaungi pepohonan berjenis palem.
"Mau ngobrol apa?"
"Tentang hubungan kita."
"Hubungan apa? Kita cuma mutualisme."
Leonard menghela nafas, "Memang benar. Baiklah. Cari topik lain. Apa rencanamu setelah satu tahun?"
Kirana menatap lelaki yang berdiri menjulang di sebelahnya. Tak terelakkan sebagai wanita sempat terbersit dalam pikiran bahwa hubungan bisnis ini akan berkembang ke arah yang lebih baik, tapi dia selalu mengakhirinya dengan penyangkalan. Tidak akan terjadi apa-apa antara dirinya dan Leonard.
"Aku ... belum memikirkan sejauh itu. Mungkin membuka usaha kecil-kecilan. Melanjutkan hidup seperti biasa." Kirana tertunduk.
"Itu bagus. Setelah satu tahun kamu akan punya cukup modal untuk memulai apa pun yang kamu inginkan." Leonard menoleh. Hatinya tersentuh oleh gestur Kirana yang menunduk. Ingin rasanya merengkuh wanita muda ini ke dalam pelukan dan membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja selama mereka bersama.
Semilir angin bertiup menembus sela pepohonan. Kirana terhenyak saat Leonard menggandengnya ke sebuah kursi taman panjang. Mereka berdua duduk bersebelahan di tengah suasana yang tenang dan damai.
"Kamu tahu kenapa warna matamu berbeda?" tanya Leonard.
"Aku tidak tahu. Tidak pernah ada yang memberitahuku." Jantung Kirana berdegup tidak normal karena kenangan buruk yang terangkat.
"Hal itu membuatmu istimewa, Baby."
Kirana mendengkus, "Aku tidak merasa istimewa."
Leonard menatap Kirana. Mata tajamnya menangkap sebersit kesedihan yang terlintas di wajah cantik itu. Dia pun bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Apa maksudmu? Tidak terjadi apa-apa. Kenapa harus terjadi sesuatu?" Kirana melengos.
"Wajahmu mengatakan berbeda. Ceritakanlah, Baby. Mungkin itu bisa meringankan beban hatimu." Leonard meremas tangan Kirana.
"Ih, sudah dibilang tidak ada apa-apa."
Leonard tersenyum geli, "Oke, aku percaya."
Kirana merengut, "Percaya kok ketawa?"
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Mukanya yang serius dong."
"Tidak bisa. Kamu membuatku geli."
Kedua alis Kirana bertaut. Dia merasa obrolan ini menjadi perdebatan yang tidak ada ujung pangkal. Tidak jelas! Malas menanggapi, Kirana pun berpura-pura asyik memandang langit.
Dalam keheningan yang tercipta Leonard memiliki banyak waktu untuk mengamati wanita di sebelahnya. Betapa ingin dia menikmati kedekatan yang pernah terjadi di antara mereka, memanfaatkan waktu di resor indah nan romantis ini. Namun, dia tidak tahu apakah Kirana akan mengijinkannya.
"Kenapa kamu belum pernah pacaran?" Kirana memecah keheningan.
"Memangnya aku pernah bilang begitu?" sahut Leonard. Dia ingin tahu sepandai apa Kirana mengorek informasi.
Wanita itu menoleh, jelas sekali dia keki, "Iya. Kamu yang bilang. Lagian ketahuan kok."
"Ketahuan dari mana?"
"Gerakanmu kaku."
"Oh ya? Aku tidak ingat." Leonard menahan senyum.
Kirana memicingkan mata, "Jangan harap aku akan terpancing untuk mengingatkanmu."
Leonard tertawa, "Baby-ku memang pintar."
"Tertawalah sampai puas," gerutu Kirana yang tidak paham kenapa lelaki ini menggodanya.
"Sore ini kita kembali. Sebelum itu bagaimana kalau kita memanfaatkan waktu sebaik mungkin?"
Kirana tahu apa maksud Leonard. Jantungnya berdebar tidak normal. Haruskah dia memberi ijin?
"Atau kita bisa duduk saja memandangi matahari terbenam," kata Leonard lagi.
Diam-diam Kirana melirik. Tatapannya tanpa sengaja—atau sengaja? Entahlah!—jatuh di bibir tipis Leonard. Dia menggigit bibir karena teringat pada rasa lelaki itu.
"Kirana?"
"Oh, eh ... aku ... yah, memangnya kamu memikirkan apa?" Kirana mengalihkan pandangan.
Leonard melihat wanitanya merona. Dia mencondongkan tubuh ke arah Kirana dan berkata lirih, "Kita kembali ke cottage dan menghabiskan waktu berdua."
Karena tidak melihat ada ekspresi penolakan Leonard menggandeng wanitanya kembali ke cottage mereka. Sepanjang perjalanan yang cukup singkat itu Kirana berdebar tidak menentu. Pastinya dia tidak akan membiarkan lelaki itu bertindak terlalu jauh, sembari berharap semoga dirinya mampu bertahan.
Tiba di cottage Leonard mengunci pintu dan menutup semua tirai jendela. Kirana mengikuti pergerakan lelaki itu dengan tatapannya. Kedua tangannya tersilang di depan tubuh. Leonard menghampiri Kirana yang berdiri gelisah di sisi tempat tidur, menangkup wajah cantik itu dan menatap lembut.
"Lepas lensa kontakmu, Baby," pinta Leonard.
"Oh iya." Kirana pun ke kamar mandi untuk melakukan permintaan tersebut.
Leonard mengikuti wanitanya dan mengamati seluruh proses. Kirana menyimpan lensa kontak berwarna coklat tua di wadah yang tersedia. Dia menatap Leonard dari cermin, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Cantik sekali." Leonard memeluk dari belakang.
"Tidak semua orang berpendapat seperti itu." Kirana tersenyum tipis.
Leonard memutar tubuh Kirana menjadi berhadapan dengannya. Tidak puas dengan hanya memandangi, lelaki itu menunduk dan mencium bibir si wanita. Sesuatu yang sudah sangat ingin dia lakukan sejak tadi.
Pergerakan Leonard masih terasa sedikit kaku, tapi Kirana mengimbangi dan menuntun dengan baik. Dia menikmati pergulatan kecil yang terjadi di antara mereka. Dia bahkan tidak protes saat lelaki itu mendudukkannya di wastafel yang kokoh dan berdiri di antara kakinya.
"Boleh aku menyentuhmu?" tanya Leonard seusai ciuman panas mereka.
Kirana butuh waktu untuk mengambil keputusan. Bibir ranum itu merekah dan berucap, "Ya ... tapi kamu harus berhenti saat kubilang berhenti."
"Aku janji." Leonard tersenyum senang.
Kirana memeluk lelaki itu erat-erat ketika tubuhnya diangkat ke tempat tidur. Hatinya mempertanyakan apakah keputusannya sudah tepat. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu menguap kala bibir mereka kembali bertemu. Sentuhan-sentuhan lembut yang dilakukan dengan rasa ingin tahu pun menghanyutkan Kirana, membuatnya nyaris tak berdaya.
"Berhenti ...." Kirana menahan si lelaki yang hendak menjangkau lebih jauh.
Leonard menghentikan tangannya yang sudah berada di pinggul si wanita. Hembusan nafas Leonard terasa berat menerpa kulit tubuh Kirana, membuatnya bergidik.
"Kurasa cukup." Kirana membenahi blousenya yang tersingkap sebagai tanda bahwa kedekatan ini sudah berakhir.
"Baby, sepertinya aku kecanduan dirimu." Leonard tersenyum.
"Kamu berharap aku menjawab sama?" Kirana mengulum senyum.
"Kalau ya?"
Wanita itu tertawa kecil, "Sayangnya hubungan kita tidak seperti itu. Kamu bukan pacarku."
Leonard menatap penuh arti, "Memang bukan."
Entah kenapa perkataan itu terasa dingin di hati Kirana, padahal memang seperti itu kenyataannya. Mereka bukan pasangan kekasih, hanya lelaki dan wanita dengan perjanjian saling menguntungkan. Kirana memaki dalam hati, sejak kapan dia mengharapkan sesuatu yang lebih?
"Sebentar lagi kita akan kembali ke dunia nyata." Leonard bersandar di d**a Kirana, mendengarkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. Diam-diam dia berharap wanita ini memiliki sedikit perasaan terhadapnya.
"Oh iya. Kamu akan sibuk di kantor ya? Sepertinya aku juga harus mencari kesibukan sendiri," ujar Kirana.
"Lakukan apa yang kamu mau, Baby. Asal bukan mencari lelaki lain."
Kirana tersenyum geli, "Iya, aku tahu. Daddy bisa cemburu."
Leonard terkekeh, "Kenapa kalau diucapkan seperti itu tidak terdengar mengenakkan?"
"Apanya? Panggilan 'daddy' atau cemburu?"
"Keduanya."
"Kamu aneh," cetus Kirana.
Leonard bertumpu pada siku agar dapat melihat ekspresi Kirana, "Kenapa aneh?"
Tanpa sadar Kirana menyentuh wajah Leonard, "Temanmu sepertinya senang-senang saja dipanggil 'daddy'."
"Siapa? Oh, orang itu. Jangan bandingkan aku dengannya, Baby. Dia sudah punya anak istri."
"Oh ya?" Mata Kirana membulat.
"Aku masih lebih baik darinya, 'kan?" Leonard tersenyum.
Kirana tidak menjawab. Jemarinya menyusuri garis wajah Leonard yang tegas sementara tatapannya jatuh ke bibir tipis itu.
"Kenapa kalian butuh wanita lain? Sekedar penghilang kebosanan? Atau memang sudah kebiasaan?" tanya Kirana.
"Aku tidak."
Kirana menatap mata Leonard.
Hening sesaat sebelum lelaki itu berkata, "Aku hanya membutuhkan satu wanita."
Hening sesaat lagi sebelum Kirana menyahut, "Masa sih?"
"Kamu tidak percaya? Akan kubuktikan." Leonard tersenyum penuh arti.
Kirana menatap curiga. Ada debar aneh di d**a, seolah dirinya berharap memiliki bagian dalam pembuktian Leonard.
Oh, tidak ...
"Buktikan saja sama tembok. Aku 'kan cuma jadi pendampingmu selama satu tahun," kilah Kirana.
"Segalanya bisa berubah, Baby."
Mata Kirana membulat. Apa dia tidak salah dengar? Orang ini berniat merubah ... apa? Atau hanya pikirannya yang sedang bermain karena diam-diam terbit harapan terselubung?
"Mungkin. Kita tidak tahu masa depan. Bisa saja satu tahun mendatang aku sudah jadi istri orang, atau kamu jadi suami orang." Aneh. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Kirana.
"Begitukah?"
"Kan kubilang mungkin. Jadi aku juga tidak tahu pasti." Kirana tidak dapat menghindari tatapan Leonard.
Jawaban-jawaban Kirana menimbulkan riak kekecewaan dalam hati Leonard. Apakah itu berarti Kirana tidak akan memberi harapan sedikit pun padanya? Apakah dia harus berhenti menginginkan wanita bermata hijau yang telah menawan hatinya ini?
"Sudah ah. Topik pembicaraannya berat banget sih. Aku ke kamar mandi sebentar dong?" Kirana mendorong Leonard.
"Silakan." Lelaki itu memberi jalan.
Kirana mengunci pintu kamar mandi dan lama duduk terpekur di kloset. Dia memarahi diri sendiri karena memberikan jawaban yang mematikan harapan. Akan tetapi, memangnya apa yang dia harapkan akan terjadi dari hubungan yang berlandaskan pada perjanjian ini? Kisah Cinderella? Itu hanya ada dalam mimpi! Bagi wanita yatim piatu sepertinya mimpi adalah sebuah kemewahan.
Suara ketukan di pintu membetot Kirana kembali ke dunia nyata. Dia lupa sudah berapa lama mengurung diri dalam kamar mandi. Kirana bergegas membuka pintu.
"Kupikir kamu pingsan di dalam," ujar Leonard.
"Tidak sih, cuma mengantuk saja." Kirana tersipu.
"Kita bersiap pulang."
"Oke." Kirana hendak berjalan melewati Leonard, tapi lelaki itu merengkuhnya, membuatnya terjatuh dalam pelukan yang erat
"Aku tidak ingin melepasmu, Baby," bisik Leonard.