"Aku akan suruh sekretarisku membuat janji denganmu. Pastikan kau menyiapkan presentasi yang bagus untuk kubawa ke Golden Yue." Nathan menyalami Leonard sebelum mereka berpisah di dermaga menuju yacht masing-masing.
"Aku tahu. Kau tidak usah mengajariku soal itu, Nate." Leonard tersenyum formal.
Nathan mencondongkan tubuh ke arah lawan bicaranya dan berbicara pelan agar tidak terdengar oleh Angeline, "Jangan membuatku malu di depan Gabriel, oke? Atau dia akan mengungkitnya terus-menerus selama sebulan penuh."
Kirana yang sedari tadi berada di samping Leonard hanya termenung tanpa benar-benar memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Hanya Angeline yang memperhatikan kegelisahan wanita muda itu. Ingin mengajak bicara, tapi mereka sudah akan pergi. Akhirnya Angeline pun tidak melakukan apa-apa.
Bukan hanya Angeline yang merasakan kejanggalan sikap Kirana. Leonard pun sudah merasakannya sejak mereka meninggalkan cottage. Lelaki itu tahu Kirana tengah sibuk memikirkan perkataan tadi, bahwa dia tidak ingin melepasnya.
Memang benar, setelah kedekatan yang terjadi selama beberapa hari terakhir, rasa itu semakin bertumbuh dalam hati Leonard. Dia menginterpretasikannya sebagai rasa suka, ingin memiliki, senang berada dekat, dan dia ingin terus dapat merasakannya dalam hubungan dengan wanita bermata hijau itu.
"Kirana?"
"Hmm ... ya?" Kirana mendongak. Dia tidak ingat bagaimana caranya mereka berdua sudah berada di dalam yacht.
"Temani aku malam ini."
Kirana menatap heran, "Maksudmu ...."
"My place."
"Oh, oke." Wanita itu kembali tertunduk. Menemani Leonard adalah kewajiban, bukan keinginan.
Perjalanan melintasi laut dan daratan dilalui dalam keheningan. Leonard pun tidak berusaha untuk mengajak wanitanya bicara, hanya tangannya yang tidak absen menggenggam tangan Kirana, atau merangkulnya, atau menariknya saat hampir tersandung.
"Hati-hati melangkah, Baby. Kamu lelah?" tanya Leonard ketika mereka berdua sudah berada di dalam private lift bersama dua pengawal pribadi dan koper mereka.
"Sedikit." Kirana menghela nafas.
Pintu lift terbuka di lantai lima puluh. Leonard dan Kirana keluar bersama koper sedangkan dua pengawal pribadi kembali turun.
"Aku istirahat sebentar ya?" kata Kirana sebelum Leonard buka suara.
"Oke. Nanti kubangunkan untuk makan malam." Leonard mengecup wajah wanitanya.
Kirana tersenyum tipis. Tanpa bicara lebih banyak dia naik ke loft. Sebelum melakukan apa pun Kirana melepas lensa kontaknya kemudian menjatuhkan diri begitu saja di tempat tidur. Salah satu cara terbaik untuk menghindari percakapan adalah dengan pura-pura tidur. Kirana memejamkan mata dan melemaskan tubuh. Telinganya mendengar langkah kaki Leonard yang menyusul naik. Jantungnya berdebar, berharap semoga lelaki itu membiarkannya tidur.
"Sleep well, Baby ...," bisik Leonard.
Tidak lama terdengar suara air mengalir. Kirana bernafas lega. Leonard tidak mengganggunya. Baguslah. Dia butuh waktu untuk menjernihkan kepala dan kehadiran lelaki itu membuatnya sulit berpikir.
Sebaliknya, Leonard merasa keputusannya semakin jelas ketika menghabiskan waktu berdua dengan Kirana di resor. Lagipula, mana mau dia melepas kesempatan membangun hubungan dengan wanita yang bisa didekatinya tanpa mengalami gejala fobia? Siapa tahu Kirana adalah kesempatan satu-satunya?
Selesai mandi Leonard keluar dengan jubah mandi. Melihat Kirana yang terbaring tak bergerak di tempat tidur membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Lelaki itu cepat-cepat berpakaian agar tidak tergoda melakukan sesuatu terhadap wanita yang sedang terlelap. Dalam hati dia tertawa, ke mana perginya Leonard yang selalu dapat mengendalikan diri?
Hati-hati sekali Leonard menyusup masuk ke dalam selimut. Dengan memeluk wanitanya dari belakang, rasa nyaman disusul kantuk segera menghampiri. Tanpa direncanakan Leonard pun ikut terlelap.
Sementara itu di sebuah kawasan perumahan yang dikenal sebagai daerah yang rawan kejahatan ...
"Sori, Bang Niko ... kartu kreditku semuanya diambil." Tampak Desi berdiri dengan kepala tertunduk dalam.
Lelaki yang dipanggil Niko tersenyum sinis. Bibir yang menghitam akibat terlalu banyak merokok berucap, "Alasan. Bilang saja kau memakai semua uangnya."
"Benaran, Bang! Kirana itu yang mengambilnya! Dia balas dendam karena aku mengirimnya ke Bang Niko!" Desi cepat-cepat menjelaskan.
Niko mengernyit, "Siapa Kirana?"
"Temanku yang masih perawan, yang kukirim ke unit apartemen tempat anak buah Abang," jelas Desi.
"Tunggu dulu. Apartemen yang digerebek polisi?"
"Iya, Bang. Mungkin dia yang melaporkan."
"Kirana ya. Kau punya fotonya?" Niko mengusap dagunya yang ditumbuhi jenggot kasar seperti kambing.
"A–ada, Bang." Gugup, Desi mencari foto Kirana dalam handphone dan menunjukkannya pada Niko, "Ini orangnya, Bang. Cukup menjual, 'kan?"
Niko memicingkan mata. Dia melihat seorang wanita muda berambut ikal yang berwajah cukup cantik. Wajah ini seperti pernah dilihatnya entah di mana.
"Apa latar belakangnya?" tanya Niko.
"Dia nggak punya siapa-siapa. Yatim piatu. Jadi mau diapain pun gampang."
Niko tertawa, "Sial benar dia punya teman seperti kau. Teman jual teman. Brengsek."
Desi terkesiap, "Tapi ...."
Tawa Niko yang semakin keras membuat Desi berhenti bersuara. Tawa yang mengerikan seperti hyena pemakan bangkai.
"Hutangmu masih banyak, Sayang. Aku bukan orang jahat. Hutang akan kukurangi lima puluh persen kalau kau bisa bawa dia kemari," ucap Niko.
Desi bergidik. Baginya yang terpenting adalah ada cara untuk membayar hutang yang terus berbunga. Wanita berambut merah itu segera menyahut, "Oke, Bang. Aku janji, pasti bisa bawa dia kemari."
Niko mengangguk puas.
Keesokan pagi ...
Karena tertidur sebelum larut malam Kirana bangun sangat pagi. Sempat terkejut karena ada lengan melingkar di pinggangnya, wanita itu kemudian ingat bahwa semalam dia ikut ke penthouse Leonard. Perlahan sekali Kirana memindahkan lengan Leonard agar dapat turun dari tempat tidur.
"Mau ke mana, Baby?" gumam Leonard.
"Emm ... kamar mandi." Kirana memindahkan lagi lengan si lelaki yang kembali memeluknya.
"Jangan lama-lama."
"Ya, tahu," sahut Kirana sedikit ketus. Terbangun dengan perut lapar membuat suasana hatinya tidak terlalu baik.
Usai menuntaskan urusan di kamar mandi, Kirana kembali ke tempat tidur. Dia memunggungi Leonard, tapi tidak mencegah lelaki itu memeluknya dari belakang. Lambat-laun Kirana merasa ada bagian dari Leonard yang mengalami perubahan. Nafas lelaki itu pun bertambah berat.
"Lihat aku, Baby," lirih Leonard.
"Tidak mau." Kirana memeluk selimut erat-erat.
"Kirana." Nafas Leonard berhembus di leher si wanita.
"Aku tidak mau."
Lelaki itu menggumam tidak jelas. Sepertinya dia tengah bergumul dengan diri sendiri, karena beberapa saat kemudian Leonard melepas pelukannya dan bangkit ke kamar mandi.
"Sial ... semakin sulit mengendalikan diri. Sabar, Leonard ... Bukan tubuhnya yang kau inginkan, tapi hatinya," gumam Leonard di bawah kucuran air dingin.
Setelah tenang barulah Leonard keluar dari kamar mandi. Kirana tidak nampak di mana pun. Tanpa terburu-buru Leonard berpakaian. Dia tahu wanita itu tidak akan kabur dari penthouse dengan hanya memakai gaun tidur.
Kehangatan sinar matahari pagi terasa nyaman di tubuh Kirana. Nyaman, seperti pelukan ... Oh, tidak! Tidak sama! Kirana mendekap wajah dan berusaha mengusir bayangan Leonard dari kepalanya. Dia sedang menikmati matahari, bukan tubuh lelaki itu!
Sentuhan dingin di bahu membuat Kirana menjerit. Leonard ikut kaget mendengar jeritan itu.
"Kamu! Kenapa muncul tanpa suara??" sergah Kirana. Wajahnya memerah karena pikiran lewat tadi, juga karena melihat betapa tampannya lelaki ini dengan pakaian santai kaos dan jeans.
"Aku sudah memanggilmu, tapi sepertinya kamu sedang tenggelam dalam pikiran sampai tidak mendengar. Memikirkanku, Baby?" Leonard tersenyum geli.
"Kata siapa?? Aku memikirkan kapan kamu akan memberiku makan! Aku lapar sedari malam belum makan!" omel Kirana panjang lebar.
"Oh ya, benar. Aku juga tertidur sebelum makan malam. Akan kupesankan sesuatu."
Kirana menggigit bibir, "Aku tidak pakai lensa kontak ya? Semalam kubuang dan di tempatmu tidak ada cadangan."
Leonard berpikir sejenak, "Tidak masalah. Hari ini kita tidak akan kemana-mana."
Wanita itu tertegun, "Kamu tidak ke kantor?"
"Kita perlu membicarakan sesuatu, bukan?"
"Sekarang?"
"Ya. Sekarang. Kenapa? Berubah pikiran?"
"Tidak! Kita memang harus bicara! Tapi, memangnya perlu waktu seharian?" Kirana mengernyit curiga.
"Hari ini kamu ada rencana?" tanya Leonard.
"Tidak sih. Tapi, mungkin aku akan bosan seharian melihat wajahmu."
Leonard mengamati ekspresi Kirana. Dia tidak dapat menebak wanita ini berkata serius atau sedang mengejek. Mungkin dia perlu belajar cara membaca wajah?
"Kalau bosan kita bisa pergi keluar," tawar Leonard.
"Aku tidak perlu ditemani untuk keluar jalan-jalan," cetus Kirana.
"Baiklah kalau begitu. Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sampai jelas permasalahan kita."
"Aaaaahhh ... belum mulai saja sudah terdengar membosankan. Ya sudah, kita mulai sekarang lah."
Leonard tertawa dengan kelabilan sikap Kirana, "Kadang-kadang aku lupa kamu masih sangat muda."
"Ya, ya. Aku muda dan aku lapar. Aku bisa mengacaukan hidupmu kalau kamu tidak juga memberiku makan," gerutu Kirana.
"Kamu bisa memakanku," goda Leonard.
Kirana ternganga, "K–kamu! Itu sangat tidak pantas!"
"Apa yang tidak pantas? Memangnya apa yang kamu bayangkan?" pancing Leonard.
"Oh! Kamu tidak akan membuatku mengatakannya! Dasar lelaki!" Kirana menghindari jangkauan tangan Leonard.
"Kenapa menghindar? Aku tidak akan memakanmu, Baby. Kecuali kamu menginginkannya." Leonard berhasil menangkap wanitanya dan memeluk serta menciumi dengan gemas.
"Berhenti! Aku sudah kelaparan!" protes Kirana.
Tidak sampai setengah jam meja besar di ruang makan sudah dipenuhi makanan. Tanpa malu-malu lagi Kirana mencicipi semua jenis lauk yang dipesankan Leonard. Lelaki itu makan dengan santai sambil tersenyum geli memperhatikan gaya makan wanita di hadapannya.
"Sepertinya kita akan menjadi pasangan yang menarik. Bagaimana menurutmu?" Leonard membuka percakapan.
Kirana menelan makanan dalam mulut dan minum air sebelum bicara, "Maksudmu, sehubungan dengan pernyataan kemarin?"
"Ya. Aku berpikir jika kita menjalani hubungan lebih dari ini." Leonard mengamati.
"Tapi, kenapa? Kamu harus punya alasan yang kuat untuk menjalani sebuah hubungan dengan wanita yang belum seminggu kamu kenal." Kirana bertopang dagu supaya tidak terlihat terlalu serius.
"Sederhana saja, aku menyukaimu."
Kirana mengangkat alis, "Aku juga menyukaimu. Sama seperti aku menyukai makanan ini, atau pakaian bagus, atau udara segar. Tapi, apa cukup?"
"Aku percaya perasaan dapat tumbuh seiring kebersamaan, apalagi kita sudah begitu dekat. Aku tidak akan menyangkal perasaan tersebut, dan kuharap kamu juga."
Kirana mengejapkan mata, "Kalau begitu tidak boleh ada surat perjanjian yang mengikat. Dengan demikian tidak akan ada yang merasa terpaksa untuk menerima perasaan pihak lain. Bagaimana?"
Dengan hati-hati Leonard bertanya, "Apakah ada jaminan bahwa kamu tidak akan pergi jika tidak ada perjanjian yang mengikat?"