TUJUH

1340 Words
CLARISSA     Weekend tiba. Setelah selesai mengajar hari ini, aku langsung siap-siap untuk pergi ke Bandung. Aku janji ke Caca akan menemaninya minggu ini. Caca juga janji mau ajak aku ketempat-tempat seru di sana. Setelah pamit pada Mama, aku langsung mengemudikan mobilku ke arah tol. Saat sedang di jalan ponselku berdering. Aku segera menggunakan ear-piece lalu mengangkat telefonnya.   “Hallo!” “Hey, Clar!” “Eh, Marco. Kenapa?” tanyaku kaget, aku memang tidak melihat siapa yang menelefonku. “Gak apa-apa cuma pengen telefon aja, lagi di mana?” “Ohhh. Lagi di jalan ini. Otw Bandung.” Kataku. “Eh? Ini kamu telefonan sambil nyetir?” “Santai aja. Aku pake ear-piece kok.” “Oh. Sorry yaa kalo ganggu.” Katanya. “Iya santai aja.” “Ke Bandung ngapain? Main?” “Iyaa ke tempat Adek. Lagi kuliah dia, mumpung sempet jadi main ke sana.” Jawabku “Okee, drive safe, have fun yaaa.” “Sip. Thank you.” “Yeah, anytime Clar, Bye!” ujarnya singkat lalu telefonnya mati.   Sudah beberapa hari ini Marco sering menelfonku. Aku bingung, apa ia bermaksud membangun hubungan antara kami, atau ia hanya sekedar berbaik hati karena aku ini guru wali anaknya? Entahlah! ** **    “Dek, kakak ketiduran parah yaa?” Kataku. Hampir dua jam aku tidur, ternyata hari sudah gelap. Ya, aku sudah sampai di Bandung. “Gak apa-apa kak. Kasian aku banguninnya juga. Tapi HP kakak berisik bangeet. Telefon gitu dari Marco.” kata Marsha. “Hah? Ngapain dia nelfonin?” “Yeee mana aku tau. Pacar baru kak?” “Ngaco aja kamu. Udah ah kakak numpang mandi dulu terus kita keluar deh.” Kataku dan Caca hanya mengangguk. Kami tak banyak bermain malam ini, karena lapar dan hari sudah gelap, jadi aku dan Marsha hanya mengunjugi sebuah kafe. “Marco pacar baru kakak?” Tanya Marsha saat kami sedang makan. “Bukan dek, dia orang tua murid.” “Yaaah. Kirain pacar baruuu.” “Tapi gitu deh. Susah dijelasin.” Kataku. “Maksudnya?” Lalu aku menceritakan perkenalan dengan Marco, Bhagas pun aku ceritakan. Semuaaaaaa aku ceritakan “Kakak suka?” Tanya Marsha. “Yaa mayan lah yaa. Orangnya ganteng.” Kataku jujur, gak enak kalau bohong ke adek sendiri. “Asikkkk. Coba mau liat kak?” Tanya Marsha. Aku langsung membuka akun instagramku. Marco pernah mem-follow akun ** milikku. Lalu aku menyerahkan ponselku kepada Marsha. “Asli, Kak! Ini sih ganteng bangeeet. Dokter lagi.” “Iya dek, tapi masih abu-abu.” Kataku, lalu menjelaskan lagi bagaimana kondisiku dan kondisi Marco. “Jelasin dulu kalo mau. Jangan sampai kakak udah buka hati eh dia PHP. Kan nyebelin!” kata Marsha. Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku belum terlalu mau membuka hari, masih ada Alec di hatiku. Dan aku tidak berniat menyingkirkan Alec. Ia abadi untukku. Setelah makan malam dan sedikit sesi curhat, kami lalu pulang ke paviliun Marsha. Aku terlalu capek kalau terus berpergian. Masih ada besok dan hari Minggu.   ** **     Aku sudah dalam perjalanan pulang ke Bogor. Aku banyak mengunjungi tempat selama di Bandung, selama di Bandung juga Marco menelfonku setiap malam. Entah apa tujuannya. Dan sekarang, haru Senin sejak pulang mengajar aku bersiap-siap. Marco mengajak dinner malam ini.   Marco calling...   “Iyaa, kenapa Mar?” “Udah siap?” Tanyanya. “Udah, ini sebentar lagi mau otw.” “Kamu seriusan gak mau dijemput?” “Iyaaps. Aku nyetir sendiri aja.” “Yaudah hati-hati. Babe.”   Kemudian telefon terputus. What? Apa aku tidak salah dengar? Ia barusan memanggilku babe? Aku berusaha keras tidak memikirannya. Aku memfokuskan diriku menyetir ke sebuah hotel, Marco ngajak makan di restoran hotel. Sok gaya banget nih orang satu. Padahal aku lagi mood makan sate padang di pinggir jalan, hehehe. Aku masuk dan menyebutkan reservasi atas nama Marco Setiawan. Pelayannya langsung mengantarku. Aku melihatnya, duduk memakai kemeja dan jas. Sangat formal, tapi ia tetap tampan. Ia berdiri ketika aku datang, dalam hati aku menyesal memakai flatshoes. Ia sangat tinggi. Padahal tinggiku lumayan, 169 cm. Ia tersenyum dan mempersilahkan aku duduk. “Mau pesen apa, kamu?” Tanyanya. Aku melihat menu yang diberikan pelayan, agak pusing membaca nama makanan yang berbelit-belit itu. “Special chef aja.” kataku akhirnya memutuskan. Ia juga memesan lalu sang pelayan pergi meninggalkan kami. “Kamu cantik!” katanya. Aku hanya tersenyum sebagai tanggapan. Aku benar-benar tidak berdandan. Hanya bedak dan lipstik. Dan eyeliner agar mataku tidak membosankan. “Gimana kemaren di Bandung?” Tanyanya. “Kamu udah tahu, semalem kita telefonan kamu nanya soal itu!” kataku. “Payah ya aku, gak punya topik obrolan.” katanya. Lagi-lagi aku hanya tersenyum. “Hari ini Aga gimana? Maaf tadi aku gak bisa jemput dia.” Katanya. “Kenapa minta maaf? Emang gak bisa jemput Aga kesalahan?” Tanyaku. “Hahaha yaa engga sih. Kali aja kamu nunggu aku.” “Dihh. Pede banget, Pak!” kataku dengan nada becanda. Makanan kami kemudian tersaji di meja. Aku baru sadar kalau Marco juga memesan wine. Kita berdua makan dalam diam. Setelah makan kami mengobrol kembali. Ia menanyakan tentang sesorang yang memanggilku sayang di **. Hahahahaha. Orang itu adalah Ariel. Aku hanya menjawab kalau dia teman. Dan memang teman. Tapi biar saja.... “Aku penasaran sama Ariel itu. IG nya di gembok. Aku request tapi belum dia allow.” “Ya ampun kamu kaya ABG bangeet!” kataku dan ia tertawa.     Ketika hari sudah semakin malam, sudah banyak hal topic yang kami obrolkan berdua untuk mengisi waktu sebelum kami berdua memutuskan untuk pulang. “Aku gak bisa nganter kamu pulang nih gara-gara kamu bawa mobil.” Katanya. “Gak apa-apa. Aku biasa sendiri!” “Bye. Hati-hati yaa!” “Sip. Kamu juga. Terima kasih loh makan malemnya.” “Anytime Clar.” Lalu kami berpisah di parkiran. Dan setelah malam ini, aku baru tahu kalau hubungan kami jadi berubah hanya karena makan malam. Hari-hari berikutnya. Ia makin intens menelefonku. Aku juga mulai merasakan perasaan yang berbeda kepadanya. Hanya saja aku merasa untuk memulai suatu hubungan, iu masih sangat jauh. Hari minggu Marco mengajakku ke Bioskop. Katanya ia sangat ingin Doctor Strange, berhubung dia dokter yang mirip-mirip gitu sama Doctor Strange, hahaha! Ia ingin mengajak Aga namun Aga kurang tertarik. Aku yang merupakan penggemar Marvel, akhirnya mau diajak olehnya. Ariel kesal karena ia juga ingin menonton itu bersamaku tapi aku malah bikin janji dulu sama orang. Tapi biar lah, yang penting nonton, gak penting siapa partnernya.   “Kamu mau popcorn asin apa caramel?” Tanyaku saat ia mengantri membeli tiket “Caramel aja, minumnya jangan soda yaa, yang lain aja. Aku kurang bisa minum soda.” Katanya. Aku menuju XXI Cafe di samping tempat pembelian tiket. “Popcorn caramelnya 2, fanta 1, orange juice 1!” kataku memesan. “Berapa semuanya?” Aku langsung menoleh dan melihat Marco, cepat juga ia mengantrinya. “Gak usah. Ini sama aku aja. Kamu udah keseringan traktir aku.” Kataku “Yailah, gak apa-apa kali!Lagian kan aku ulang tahun!” katanya. “Ehh, kamu ulang tahun? Selamat yaa!” seruku. “Engga sih, cuma kan kalo ketemu kamu tuh aku serasa ulang tahun, abisnya kamu tuh udah kaya hadiah!” ucapnya dengan nada jahil, yang membuatku memutar bola mata. Jayus banget dah, asli.   Aku memaksa membayar, lalu 15 menit kemudian, kami masuk ke teater. Filmnya dimulai. Lampu teater sudah dimatikan. Aku merasakan kalau Marco sepertinya mendekatkan tubuhnya ke arahku. Di pertengahan film, ia bahkan menggengam tangan kiriku. Oh s**t. Aku ingin menolaknya tapi sepertinya tidak baik menolak dalam situasi seperti ini. “Ini kalau kamu pegang tangan aku, kamu makan popcorn-nya gimana?” Kataku sambil berbisik. Mencoba meminta ia melepaskan tanganku dengan cara halus “Ya kamu lahhh suapin aku!” What. The. Hell! Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya. Dia pasti gak liat karena teater masih sangat gelap. “Kenapa? Kok gak disuapin sih? Kalo suapin Aga aja mau!” katanya lagi saat aku tak merespon, tapi bisa kudengar suara jahil yang keluar dari mulutnya. “Sadar umur Pak!” kataku becanda.   Film sudah selesai, kami keluar dari teater beriringan, langsung menuju lift. Lift sangat penuh saat kita mencoba masuk, aku sampai terdorong sedikit oleh orang. Marco langsung menarik tanganku. Memposisikan aku di belakangnya, seolah-olah ia sebagai tameng yang melindungku. “Kita makan dulu yaa.” katanya sambil berbisik kepadaku. Aku diam tak merespon. Kami turun di lantai 2. “Mau makan apaan? Kan restorannya kebanyakan di atas semua. 1 lantai sama bioskop.” Kataku. “Oh iyaa. Aku lupa. Kita naik pake eskalator aja yaa?” ucapnya dengan nada yang menurutku konyol sehingga membuatku tersenyum lalu mengangguk. Dan, sedari tadi ia tidak melepaskan genggaman tangannya. Aku sedikit risih kalau nanti ada orang yang mengenaliku. “Mau makan apa?” Tanyanya. “Sushi aja!” kataku. Marco langsung membawaku ke salah satu resto sushi yang ada di mall ini, kami mulai membahas film yang tadi ditonton. “Apaan dah, sesi dokter-dokterannya Cuma dikit,” keluh Marco. “Yak an emang Marvel mau ngenalin Magic-nya, bukan part dokter-dokteran.” “Hehehe, iya sihhh.” Setelah makan, kami turun menuju parkiran. Seperti biasa, aku selalu membawa mobil. “Lain kali, gak usah bawa mobil!” katanya saat aku akan masuk ke mobilku. “Aku kurang suka dianter-anter sama orang. Kalo dianter-anter gitu lebih suka naik ojek.” Kataku. “Aku perlu gak nih jadi babang ojol biar kamu mau aku anter?” Tanyanya. Aku tersenyum mendengar omongannya. “Udah ah, aku balik yaa. Kamu hati-hati!” kataku “Iyaa, kamu juga hati-hati. Thanks for today yea.” Katanya “Anytime.” Kataku. “Woaah, it’s my line, you stole it!” *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD