POV DANANG
Pagi ini aku sangat senang sekali hatinya. Buru-buru aku meminta Maya bersiap. Mengajaknya untuk segera pergi ke kampung mantan mertuaku itu. Tahukah kalian untuk apa? Jelas untuk mempermalukan keluarga Indah di sana.
"Bangun dong, Sayang. Mandi cepat," ujarku mencubit hidungnya yang mungil dan mancung itu. Malam ini Maya benar-benar luar biasa. Perempuan itu memang sangat berbeda sekali.
"Aku masih ngantuk, Mas," ucapnya sembari memanyunkan bibir. Persis sekali seperti anak kecil.
"Mas mau pergi ke kempung orang tua Indah. Mas mau usir mereka. Memang kamu tidak ingin lagi melihat kampung itu?"
"Kamu serius mau usir mereka? Kasihan, Mas. Lagi pula itu kan tanah orang tua Indah yang aku tahu. Tak lama setelah menikah denganmu, rumah sederhana yang berdiri di atas tanah itu disulap menjadi rumah yang sangat mewah. Sudah sih biarkan saja, Mas. Uangmu masih banyak. Masa tidak kamu bagi sedikitpun untuk Indah." Wanita itu seharusnya merasa senang dengan sikapku. Tapi dia justru sebaliknya.
"Tanah itu sertifikatnya sudah digadaikan ke Pak Minto. Rentenir yang ada di kampungnya itu. Uangnya untuk biaya operasi tumor di kepala Bapak Indah. Aku yang menebusnya dulu. Jadi Tanah itu ya milikku. Makanya aku membangun rumah itu sebesar mungkin. Kamu paham?" Harusnya saat itu Reyhanlah yang menebus sertifikat tanah itu. Aku tahu betul Reyhan menyukai Indah. Begitupun dengan Haris.
Flashback
Aku, Reyhan, Haris dan Indah, kuliah di tempat yang sama. Tapi aku menganggap keduanya adalah musuh. Meskipun aku tidak tahu apakah keduanya menganggapku musuh juga. Tapi kami tidak pernah sekalipun bertegur sapa. Kami bertiga adalah bintangnya kampus. Sementara Indah saat itu adalah primadona kampus. Selain cantik, Indah sangat pintar. Dia juga juga salah satu siswa yang aktif dalam kegiatan sosial. Haris adalah sahabat Indah. Apapun permasalahan Indah dulu, Haris pasti tahu.
Aku, dan Kakak beradik itu, juga tinggal di kampung yang sama, keluarga kami juga sangat terpandang. Kekayaan mereka seperti bersaing dengan kekayaan orang tuaku. Bahkan bisnis keluarga mereka juga menyaingi bisnis keluargaku. Sedangkan Indah, perempuan itu tinggal di kampung sebelah. Karena kami kuliah di tempat yang sama, jadilah kami saling mengenal.
Saat itu, tak sengaja aku mendengar obrolan Haris dan Reyhan di taman kampus. Haris ingin membantu Indah untuk menebus sertifikat rumahnya. Kalau tidak maka Indah dan keluarganya akan terusir. Itu kalau tidak salah saat kuliah kami baru ada setengah semester. Kalau aku ini kan anak orang kaya. Jadi tinggal minta ke Ayahku jelas langsung keluar itu uang berapapun aku minta. Aku berpikir, mungkin dengan menebus sertifikat Ayah Indah itu, aku bisa dengan mudah mengambil hati Indah.
"Darimana kita punya uang sebanyak itu?" tanya Haris "Biar itu jadi urusan aku. Kasihan Indah dan keluarganya," jawab Reyhan. Disitu aku berpikir Reyhan si pria dingin itu menyukai Indah. Tapi karena pembawaannya yang cuek ya dia terkesan tidak suka perempuan. Tapi ternyata diam-diam perhatian dengan Indah. Jelas aku semakin bersemangat lagi mengetahui kepedulian dua orang itu. Alhasil aku menganggap mereka sebagai sainganku untuk mendapatkan cinta Indah.
"Lo mau minta Mama sama Papa? Kalau bisa kita bantu pakai uang tabungan kita sendiri, Rey," ujar Haris.
"Satukan saja kalau begitu tabunganmu dan tabunganku," balas Reyhan.
"Kok, lo yang terkenal cuek bisa peduli gitu sama Indah. Lo nggak? …."
"Iya, gue nggak suka sama Indah. Tenang aja, Ris. Gue cuma kasihan aja. Apalagi Lo bilang waktu mereka cuma tinggal hari ini saja?" ujar Reyhan. Haris pun tersenyum.
Sepertinya mereka tidak menyadari kehadiranku yang berdiri di balik tiang mendengarkan obrolan mereka. Haris dengan semangatnya pamit pada Reyhan untuk menemui Indah. Tak lama setelah Haris pergi, Reyhan berucap "Maafin gue, Ris. Gue juga sebenarnya suka sama Indah," lirihnya saat itu. Disitulah aku tahu kalau Reyhan menyukai Indah. Tak mau kalah star, aku pun langsung mencari keberadaan Indah.
"Akulah yang harus memiliki Indah. Bukan Danang namanya kalau tidak bisa menjadikan Indah sebagai Istri."
Hari itu aku tidak melihat keberadaan Indah. Kuberanikan diri untuk bertanya kepadanya dimana Indah. Salsa bilang, Indah tidak masuk kampus. Segera aku pun bolos dari mata pelajaran kuliah selanjutnya. Dengan cepat aku bergegas ke parkiran mengambil motor ninjaku dan langsung mengendarainya dengan cepat.
Lima belas menit berlalu, aku telah sampai di depan rumah kecil milik keluarga Indah. Disana sangat ramai keributan. Ternyata Pak Minto rentenir kampung yang terkenal itu sedang marah-marah dan meminta keluarga Indah segera meninggalkan rumahnya. Bagaikan pahlawan kesiangan, aku turun dari sepeda motorku dan menghampiri Pak Minto.
"Berapa hutang keluarga ini?" tanyaku.
"40 juta beserta bunganya," ucap Pak Minto. Segera aku pun menghubungi Ayahku. Tidak ada debat apalagi penolakan. Saat itu juga, Ayahku meminta Pak Minto datang ke rumah untuk mengambil uang. Sertifikat rumah itu pun aku ambil dari tangan Pak Minto dan menyerahkannya pada keluarga Indah.
Bisik-bisik warga kampung Indah sangat beruntung, membuatku merasa tersanjung.
"Terimakasih, Danang," ucap Indah. Aku mengangguk. Saat itu juga aku mulai beraksi untuk mengambil hati Indah. Aku bersikap semanis mungkin dan mulai menawarkan persahabatan sekaligus cinta. Aku hanya tidak mau kalah start dari dua manusia itu.
Setelah urusan bersama Pak Minto selesai, kami pun kembali masuk ke rumah Indah yang menurutku sudah sangat reot.
"Danang, Terima kasih, ya. Nanti aku akan mencari pekerjaan supaya bisa lekas mengganti uang kamu. Aku tidak tahu lagi kalau sampai tidak ada kamu tadi, mungkin kami sudah terusir," ucap Indah.
"Mak Danang Terima kasih banyak. Kami akan mengganti uangnya," ucap keluarga Indah. "Tidak apa-apa, Pak. Bu," ucapku kala itu.
"Ndah, kamu besok kuliah kan?" tanyaku lagi. Indah terdiam. "Kenapa?" tanyaku.
"Sepertinya aku tidak akan berangkat kuliah. Sebab aku belum…." Belum sempat Indah mengucapkan, aku sudah tahu maksudnya.
"Kamu tetap kuliah. Kamu harus raih cita-cita kamu," ujarku. "Aku akan meminjamimu uang. Tamatkan pendidikanmu ya?" ujarku menggenggam tangannya. Sengaja aku bilang meminjami, kalau membiayai, sudah pasti Indah akan menolak. "please, aku mohon. Kamu dan aku akan meraih cita-cita bersama, Indah. Kita akan saling mendukung," ujarku.
"Terima kasih, Danang kamu baik banget, "ucap Indah. "Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan kamu," lanjutnya.
Saat aku sedang mengobrol asyik, Haris dan Reyhan datang. Mereka terlihat kaget melihat keberadaanku. Indah terus memujiku di depan mereka. Membuat kedua orang itu hanya mengulas senyum. Aku tahu mereka kecewa, tapi mereka tidak menunjukkannya. Aku menang.
Singkat cerita, seiring berjalannya waktu aku semakin membuat Indah jatuh cinta padaku, hubungan Indah dengan Kakak beradik itu juga kubuat semakin menjauh. Aku selalu berada di dekat Indah. Hubunganku dengan Indah juga berjalan ke jenjang lebih serius. Lulus kuliah aku sengaja mengajak Indah untuk menikah. Setelah itu, aku tidak akan membiarkannya bekerja. Bukankah istri harus nurut pada suami.
Seperti rencana, niatku menikahi Indah mendapat restu dari kedua orang tua Indah. Cinta yang kubuat pura-pura ini, membuatku jatuh cinta beneran padanya. Takut kehilangan dan sebagainya. Akhirnya, aku meminta kedua orang tuaku untuk melamar Indah. Lamaran itu berjalan lancar.
Seperti rencana, setelah lulus kuliah pun, Indah resmi menjadi milikku. Kusiapkan semua kebutuhannya. Kucukupi keluarganya supaya dia tidak perlu bekerja. Setelah menikah, aku aku pun harus mengurus perusahaan yang sudah disiapkan Ayah untukku, aku pun mengajak Indah pindah ke kota besar. Bagus juga jadi Indah tidak perlu berhubungan dengan Haris ataupun Reyhan. Setelah menjadi Istri, aku benar-benar menguasai Indah. Tak kubiarkan dia bekerja meskipun dia ingin. Pergi kemanapun, selalu ada aku yang siap mendampinginya. Selama aku bekerja, Indah hanya diam di rumah. Menjadi Indah sudah persis burung di dalam sangkar. Sedikitpun tak kuberi dia kebebasan melakukan apa yang dia inginkan kecuali atas kehendakku. Semua itu aku lakukan karena aku mencintainya dan tidak mau kehilangannya.
*******
"Mas! Aku sudah siap. Tadi nyepetin aku! Sekarang malah bengong saja!" sentak Maya yang sudah tampil sangat cantik. Cantik sekali. Tapi tak tahu kenapa pikiranku tertuju pada sosok Indah. Aku benci sekali dengannya. Aku ingin dia hancur, aku ingin dia memulai kehidupan semua dari nol. Ijazahnya bahkan ada disini. Akan kubakar supaya dia sulit menemukan pekerjaan. Dia sudah tidak menjadi istriku, sedikitpun dia tidak berhak atas hartaku lagi. Aku akan mengambil semuanya. Aku yakin, dengan cara seperti ini maka dia akan berpikir ulang untuk bercerai dariku. Aku yakin, dia akan menyesali tindakannya dan memohon untuk kembali menjadi istriku lagi.
"Sudah kita berangkat sekarang?"
"Iya, Mas," ucapnya lemas. Wajahnya menunjukkan seperti enggan ikut denganku. Membuatku penasaran dan ingin bertanya padanya.
"Kamu kenapa? Kok wajahnya ditekuk begitu?" tanyaku.
"Mmaas, bagaimana tanggapan orang kampung kalau kita melakukan ini? Ini sama saja mempermalukan diri kita sendiri. Dan aku? Mereka bahkan tahu kalau aku dan Indah adalah teman. Dan kami juga tetangga dekat. Bagaimana ini, Mas? Aku malu!" ungkapnya dengan ekspresi wajah yang khawatir.
"Pers*tan dengan tanggapan orang lain! Justru Indah yang akan malu. Dia wanita mandul, sudah dikasih hidup enak tapi bertingkah. Apa salahnya mengijinkan suami menikah lagi? Toh kamu juga tidak keberatan menjadi yang kedua. Orang-orang akan menyalahkan Indah. Wanita tak tahu diri."
"Ya tapi kamu tidak boleh marah-marah di sana. Kamu harus bisa jaga sikap. Kamu ngomong pelan-pelan sama orang tua Indah. Kalau sampai kamu nggak bisa kontrol emosi, yang ada tanggapan orang tentang kamu bagaimana?" ujar Maya. Aku menyaring lagi ucapannya. Aku kan harus tetap terlihat baik.
"Mas tidak akan emosi, Mas janji," ucapku. Kami pun beranjak bersama menaiki mobil.
Sepanjang jalan Maya hanya diam saja. Aneh memang. Apa yang dia pikirkan.
"Kamu mikirin apa sih?"
"Aku takut kamu perlakukan aku seperti Indah!" cetusnya.
"Itu tidak mungkin, Sayang. Asal kamu nurut sama aku. Jadi istri yang baik. Apalagi kalau kamu bisa kasih aku anak. Apapun akan kuberikan untuk kalian."
"Apalagi kalau kamu membuatku tidak bosan, aku sudah pasti akan setia," ucapku membatin.
"Lagi pula aku lakukan ini sama Indah karena aku sakit hati padanya. Setelah semuanya kuberikan, dia langsung bertingkah hanya karena tidak mau dimadu. Belagu sekali dia. Wanita seperti dia itu seharusnya tahu diri. Aku yakin banget dia akan menyesal dan mengemis untuk kembali menjadi istriku. Siapa juga yang mau punya istri kaya dia. Kalau bukan aku, tidak akan ada laki-laki manapun yang mau sama dia," kesalku.
"Mas! Kamu kok seperti tidak rela ya melepas Indah?" ucap Maya. Aku sedikit gelagapan dibuatnya.
"Siapa bilang? Aku sudah rela kok. Kan sudah ada kamu yang lebih dari segalanya." Aku bukan tidak rela. Hanya saja aku sangat membencinya. Aku laki-laki tampan juga berharta. Membuang wanita seperti dia bisa kudapat sepuluh wanita sempurna. Lihat saja dia akan menyesali tindakan bodohnya.
"Benar kamu, Mas?"
"Benar. Sangat benar," ucapku tersenyum manis padanya. Maya pun langsung tersenyum dan bergelayut manja.
.
.
Tiga jam berlalu, kami pun telah sampai di tempat tujuan. Cepat kilat aku parkiran mobil di halaman rumah besar yang tidak memiliki garasi itu. "Mas, kita jual saja nanti rumah ini," ujar Maya. Aku tersenyum. "Jual sayang, dan uangnya kamu pegang," ucapku.
"Kamu serius, Mas?" tanya Maya. Aku mengangguk.
"Tapi kok rumahnya sepi ya, Mas?"
"Memang biasa sepi. Karena mereka hanya tinggal berdua."
"Indah? Apa dia sudah sampai di sini?" tanya Maya lagi.
"Mungkin dia sedang mencari ongkos untuk pulang. Mengemis di jalanan mungkin? Bisa jadi jual diri ke preman-preman atau orang jalanan? Bisa jadi kan?"
"Ish! Kamu ini, Mas. Jahat banget mulutnya," ujar Maya tertawa. Saat Indah tiba disini aku yakin dia pasti shock karena orangtuanya sudah terdampar di jalanan. Biar tahu rasa kamu, Indah! Hancur-hancur hidupmu sekarang.
"Ayo, Mas kita turun sekarang," ajak Maya. Kali ini wajahnya terlihat lebih bersemangat.