Bab 6

1119 Words
POV INDAH "Katanya mau minta tolong?" ujar Haris lagi. "Kok kaya kebanyakan mikir?" lanjutnya. "Katakan, Ndah. Jangan malu-malu. Kalau kami bisa bantu, akan kami bantu." Tiba-tiba saja Reyhan datang dan langsung menimpali. Pemuda dingin itu langsung duduk di sampingku membuat mata Haris nyaris membulat sempurna. "Kenapa lo liatin gue segitunya?" tanya Reyhan. "Nggak ada si, Rey. Cuma bingung aja. Tumben gitu," jawab Haris. "Kamu katakan apa yang bisa kami bantu?" Kali ini Reyhan yang bertanya. "Mau minta tolong aja ribet banget kamu, Ndah. Ngomong aja. Nggak usah nggak enak-enakan!" lanjutnya lagi. Ya Allah, jutek banget Reyhan ini. "Ris, aku mau minta tolong, apa ada pekerjaan untukku? Aku harus bekerja. Untuk kehidupan kedepannya. Aku juga harus mencari tempat tinggal yang baru untuk orang tuaku." "Kebetulan sekali, Ndah. Aku sedang membutuhkan sekretaris. Kamu bisa kerja di perusahaan kami menjadi sekretaris peribadiku," ucap Reyhan. Aku terdiam tak percaya dengan apa yang barusan kudengar. "Terus Novi sekretarismu mau dikemanakan? Jelas-jelas aku yang sedang membutuhkan sekretaris untuk membantu pekerjaanku," pungkas Haris. Entah kenapa aku jadi ingin tertawa. Padahal kondisi hatiku saat ini harusnya tengah bersedih. Reyhan juga tidak seformal seperti saat di mobil tadi. Lucu juga cara mereka berbicara saat tengah santai seperti ini. "Jadi apa ada pekerjaan untukku?" Kembali aku bertanya. "Ada!" jawab mereka serempak. Aku bergantian menatap keduanya. "Jadi dengan siapa aku bekerja?" "Aku!" jawab keduanya lagi secara serempak. Sungguh membuatku bingung. "Kalau kalian seperti ini aku jadi bingung. Maaf, Rey. Kamu 'kan sudah ada sekretaris, jadi aku ingin bekerja bersama Haris," ujarku. Mendengarku menjatuhkan pilihan, Haris tertawa lebar. "Pilihan yang tepat, Ndah," ujarnya. "Oh ya, ngomong-ngomong, soal tempat tinggal orang tuamu bagaimana?" tanyanya lagi. Aku terdiam karena memang bingung. Sementara Reyhan beranjak entah kemana tanpa suara. "Jangan bingung, besok kita cari tempat tinggal untuk mereka. Kalau dapat, mereka bawa saja kesini, Ndah. Besok sama-sama kita jemput mereka," ucap Haris lagi seperti mengerti dengan apa yang tengah aku pikirkan. "Terima kasih, Haris. Nanti kamu tinggal potong dari gajiku saja." Sekarang tinggal pakaian yang aku pikirkan. Ya Allah, segininya hidupku. Sampai pakaian pun tak punya setelah terusir dari rumah Mas Danang. "Pakai nih!" Tiba-tiba saja Reyhan melempar pakaian wanita setelah kembali. Haris yang melihat itu pun mengulas senyum. "Pakai, Ndah. Itu pakaian Kak Mila. Kakak kami yang perempuan. Dia tidak ada di sini karena ikut suaminya tinggal di Australia," terang Haris. Aku mengangguk. "Ris, lo bawa aja ke kamar Kak Mila ganti saja di sana. Sekalian suruh pilih sesuatu. Gue mana bisa megang-megang benda itu," ucap Reyhan. Benda apa? Aku tak mengerti dengan maksud ucapannya. Dengan sigap, Haris pun mengajakku ke kamar Kak Mila. Sesampainya di kamar, Haris membuka lemari. Disana tersusun rapi dan apik pakaian Kak Mila. Ada pakaian kantor juga. Ada dalaman wanita yang tersusun rapi. Oh, mungkin ini yang dimaksud benda itu oleh Reyhan," batinku "Kamu ambil saja yang mau kamu kenakan. Kak Mila sudah tidak akan memakainya lagi. Bahkan jika kau mau, semua ini bisa menjadi milikmu. Oh iya, kamu juga pakai saja kamar ini," ujarnya penuh senyum. "Tapi nanti kalau Kakakmu marah bagaimana?" tanyaku. "Dia tidak mungkin marah. Malah pernah dia menyuruhku menyumbangkan semua pakaian ini, tapi aku saja yang tidak sempat," ujarnya. Wah, kenapa bisa kebetulan begini. Ini seperti sudah menjadi jalan untukku. "Dah, sekarang kamu ganti pakaian dan tidur," ucap Haris. "Oh iya, kenapa rumah ini sepi sekali? Apa kalian hanya tinggal berdua saja? Orang tua kalian kemana?" "Mama dan Papa ada di Australia tinggal bersama Kak Mila. Di sana mereka sudah punya cucu. Papa juga ada mengurus bisnis di sana dengan menantunya. Urusan disini, menjadi urusan kami," ucapnya. Aku mengangguk penuh senyum. "Sudah kamu istirahat. Besok kita jemput orang tua kamu. Oh iya, tidak usah merasa sungkan," ujarnya. "Terima kasih banyak, Ris," balasku. Haris hanya tersenyum kemudian gegas keluar dan menutup pintu kamar. Setelah berganti pakaian, aku pun membuang pakaian yang dikenakan dari rumah Mas Danang. "Selamat tinggal masa lalu suram yang penuh kepahitan, serta penghinaan," ucapku setelah memasukkan pakaian bekas pakai itu ke tempat sampah. "Sampai bertemu dalam dunia bisnis, Mas Danang." ****** Pagi menyapa, karena aku terbiasa bangun pagi, aku pun bangun setelah mendengar adzan subuh. Selesai menjalankan shalat subuh, aku gegas keluar kamar. Sepertinya dua pemuda itu masih tidur. Aku langkahkan kaki ke dapur untuk membuat teh. Memang seperti itu rutinitasku setiap pagi. Rumah tampak berantakan tidak ada yang merapikan. Apa mungkin tidak ada pembantu rumah tangga di rumah sebesar ini? Ada bekas makan dan juga dapur yang sedikit berantakan. Setelah membuat teh, aku pun berinisiatif untuk merapikan semuanya. Tepat pukul 07.00 pagi, aku selesai menyulap rumah yang berantakan tadi menjadi sangat rapi. Nasi goreng dengan telor ceplok dan juga 2 gelas s**u coklat panas pun sudah kusediakan di meja makan. "Ndah! Indah!" Terdengar suara Haris memanggil namaku. Kau segera berlari ke sumber suara itu untuk menemuinya. "Ya, Ris?" "Kamu merapikan semua ini?" tanya laki-laki yang terlihat sangat tampan ini dengan pakaian santainya yang hanya mengenakan kaos oblong putih tipis dan celana pendek. "Ris! Pesan sarapan!" ucap Reyhan sambil menyusuri anak tangga berjalan menghampiri kami. "Waow, rapi sekali," puji Reyhan. Lelaki itu melirikku dar atas hingga bawah. Membuatku merasa risih. Apa mungkin penampilanku ada yang aneh hingga seperti itu dia menatapnya. "Pesan sarapan, Ris," ujarnya. "Hum, jangan pesan sarapan aku sudah siapkan nasi goreng untuk kalian di meja makan. Ayo kita sarapan," ujarku. "Wah kebetulan sekali. Nasi goreng rumahan, pasti yummy sekali," ujar Haris. Kami bertiga pun gegas menuju meja makan. * "Waow, aromanya begitu mampu memancing perut," ucap Haris sesampainya di meja makan. Sementara Reyhan hanya diam saja. Setelahnya, dia menyeruput s**u coklat panasnya. "Maaf ya, kalau rasanya kurang enak," ucapku merasa tidak PD. Jelaslah, mungkin saja masakanku ini bukan selera mereka. Kami makan tanpa suara. Hanya ada bunyi sendok yang sing berdentingan. "Sarapan kali ini begitu istimewa, masakanmu sangat enak, Ndah. Terimakasih ya. Oh iya, hari ini kamu terlihat sangat cantik dengan pakaian itu," puji Haris. "Uhuk … uhuk …." Reyhan tersedak s**u yang tengah diminumnya. "Pelan-pelan saja, Rey. Gue nggak bakal minta minuman lo!" ucap Haris tertawa. Sementara Reyhan, hanya diam saja. "Sudah yuk, kita bersiap dan segera pergi menjemput orang tuamu," ujar Haris. "Gue ikut!" ucap Reyhan. Haris mengangangkat kedua alisnya seakan tak percaya. "Serius?" tanya Haris. "Emang Lo liat tampang gue bercanda?" Reyhan terdengar kesal dan balik bertanya. Sementara Haris lagi dan lagi hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Kami bertiga pun kembali ke kamar masing-masing untuk segera bersiap. "Ayah, Ibu sebentar lagi kita bisa kumpul. Aku pulang, Bu," lirihku setelah membayangkan pertemuan yang akan segera tiba. Semoga mereka baik-baik saja, Ammin …. ************* POV DANANG Pagi ini aku sangat senang sekali hatinya. Buru-buru aku meminta Maya bersiap. Mengajaknya untuk segera pergi ke kampung mantan mertuaku itu. Tahukah kalian untuk apa? Jelas untuk mempermalukan keluarga Indah di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD