Bab 2 - Si Gunung Es

1345 Words
Ruangan CEO King Group. Seorang pria tampan bertubuh tinggi melangkah masuk ke dalam ruangan miliknya. Suasana hatinya sekarang tidak setampan wajahnya. Tampak kekesalan begitu mendalam di wajah tampannya itu. Pria tampan dengan tubuh atletis bak Dewa Yunani itu adalah Wilson Xia, CEO King Group sekaligus calon pewaris King Group. Kekesalannya pagi ini karena seorang gadis yang ditemuinya di dalam lift beberapa menit yang lalu. "Pagi, Bos," sapa seorang pria muda berkacamata dengan pesona yang tidak kalah dari Wilson Xia. Pria itu membungkukkan sedikit tubuhnya seraya memberi hormat kepada Wilson. Pria itu adalah Alvin Han, asisten Wilson. Wilson hanya melewatinya begitu saja tanpa membalas sapaan dari asistennya itu. Langkah lebarnya tertuju ke arah meja kerjanya yang besar dan dihempaskannya tubuhnya di kursi kebesaran itu dengan asal. Ia melonggarkan sedikit ikatan dasi yang melingkar di lehernya. Embusan nafas kasar terdengar dari hidung artistiknya. 'Waduh apa tadi pagi si gunung es ini habis melahap bahan peledak?' gumam Alvin di dalam hati. Alvin bisa membaca mimik wajah bosnya yang sangat tidak enak terlihat pagi ini. Pria berkacamata itu sudah sangat hafal dengan segala tindakan bosnya itu. Ia menelan salivanya dengan pelan bersiap menunggu perintah yang mungkin akan membuatnya pusing tujuh keliling hari ini. Wilson Xia terkenal dengan julukan 'Gunung Es' di antara para karyawannya karena sikapnya yang arogan dan hatinya yang dingin sedingin Pegunungan Alaska, tetapi si pemilik julukan itu sama sekali tidak tahu akan hal itu. Alvin berjalan mendekati meja bosnya dan melaporkan beberapa jadwal kegiatan hari ini kepada atasannya itu. "Bos, hari ini kita ada pertemuan dengan beberapa petinggi perusahaan untuk membahas pembagian keuntungan yang didapat bulan lalu." Wilson masih tidak menanggapi laporan Alvin, tetapi ekor matanya melirik ke arah pria berkacamata itu. "Ehem ...." Alvin berdeham dan memperbaiki posisi bingkai kacamatanya untuk menyembunyikan kegugupannya. "Nanti jam 12 siang Tuan Besar sudah memesan tempat di Kafe Rosemary. Beliau memintamu untuk ke sana nanti, Bos," lanjut Alvin membacakan jadwal kegiatan di selembar kertas yang berada di tangannya. Wilson menautkan kedua alisnya, mengernyit. "Untuk apa?" tanyanya datar. "Em … itu …." Alvin ragu untuk menjelaskan alasan di balik pertemuan itu. Ia menelan salivanya berulang kali. "Perjodohan?" terka Wilson menyelidik tajam ke arah Alvin yang masih ragu untuk menyebutkan alasan dari jadwal pertemuan itu. "Iya, Bos," sahut Alvin membenarkan tebakan Wilson dengan gugup. Wilson membenarkan posisi duduknya dan menautkan jemarinya dengan kedua siku tangan bertumpu di atas meja. Pandangannya menatap lurus dengan tajam. "Ternyata Pak Tua itu masih belum menyerah," gumamnya. Pak Tua yang dimaksud oleh Wilson adalah kakeknya sendiri. Ia dan kakeknya, Samuel Xia, memang sedikit tidak akur. Apalagi akhir-akhir ini kakek Wilson terus mengatur perjodohan untuknya. Flashback. Seminggu yang lalu Samuel Xia meminta Wilson untuk menemuinya di Kafe Rosemary. Namun, setelah Wilson menunggu sekitar lima belas menit di tempat itu, Samuel tidak kunjung datang. Wilson melirik jam tangan branded di pergelangannya dan menghela nafas pelan. Ia mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya perlahan. Wilson tidak mengira kakeknya akan menjebaknya untuk mengikuti perjodohan hari itu. Ia pun tetap menunggu dengan sabar hingga kedatangan seorang wanita berpakaian hampir kekurangan bahan menghampiri mejanya. "Tuan Muda Xia," sapa wanita dengan bibir yang dipoles berwarna merah gelap itu. Wilson mendongak dan melirik sekilas, kemudian menyeruput kembali kopinya. Ia sudah bisa menerka apa yang dilakukan kakeknya sekarang kepadanya. Wanita itu tersenyum kaku karena Wilson tidak merepson sapaannya. Namun, wanita itu masih dengan percaya diri yang tinggi mengajak Wilson berbicara. "Maaf aku terlambat, Tuan Muda Xia. Boleh saya duduk di sini?" Wilson masih bersikap acuh dan enggan menjawab perkataan wanita itu. 'Sial! Aku malah dicuekin!' batin wanita itu sedikit kesal, tetapi ditahannya dan berusaha memamerkan senyum terbaiknya. Ia pun menarik kursi di depan Wilson dan duduk di sana tanpa malu. "Tuan Muda Xia, saya ke sini atas perintah kakek Anda. Beliau meminta saya ke sini agar kita bisa saling mengenal lebih dekat," ungkap wanita itu kepada Wilson yang duduk di hadapannya. Masih sama, Wilson tidak menanggapi ucapan wanita itu dan melayangkan tatapannya ke arah luar jendela di sampingnya. Ia malas meladeni wanita itu. "Perkenalkan saya Joyce Liu. Mungkin Anda tidak mengenalku, tetapi Anda pasti kenal ayahku," ucap wanita bernama Joyce Liu. Ia masih tidak putus asa membuat Wilson berpaling padanya. Ternyata ucapannya berhasil menarik perhatian pria itu. Wilson berbalik menatap Joyce, tetapi bukan tatapan kagum. Hanya tatapan datar menuntut jawaban. Joyce tersenyum tipis karena berhasil menarik perhatian Wilson. Ia pun melanjutkan ucapannya, "Saya rasa kita berdua cocok, Tuan Muda Xia. Jika kamu memilihku untuk menikah denganmu, maka kamu bisa tenang dengan keuangan perusahaanmu." Tanpa Joyce sadari, Wilson tersenyum remeh mendengar ucapan wanita itu. Tidak berhenti di situ, Joyce masih melancarkan serangannya. Kali ini ia dengan perlahan menyentuh punggung tangan Wilson yang berada di atas meja untuk menggodanya. "Selain mendapatkan kekuasaan dan harta, kamu juga mendapatkan wanita cantik sepertiku. Bukankah itu adalah kedua hal yang sangat menguntungkan untukmu, Tuan Muda Xia?" lanjut Joyce dengan mengigit sedikit bibir bawahnya. Wilson melirik tajam ke arah tangannya yang disentuh oleh wanita di depannya saat ini. Ia tidak suka ada seseorang yang dengan lancang menyentuhnya seperti Joyce saat ini. Joyce tersenyum lebar. Ia salah mengartikan maksud tatapan Wilson. 'Huh, ternyata dia tunduk juga dengan kecantikanku,' batinnya bangga. "Nona Liu," panggil Wilson membuat wajah Joyce sumringah. "Ya?" "Apa saya sudah mengijinkanmu untuk menyentuh tanganku?" Pertanyaan Wilson seketika membuat Joyce tercengang dan bingung. "Ha?" Senyum di wajah Joyce memudar. Wilson mengambil sendok kopinya dan menggeser jari Joyce yang berada di atas punggung tangannya. Joyce menautkan kedua alisnya. Ia tak percaya Wilson bersikap seperti itu kepadanya. Namun, sebelum kebingungan Joyce terjawab, Wilson telah berdiri dari duduknya. Wanita itu pun turut beranjak dari kursinya. "Tuan Muda Xia," panggil Joyce. Wanita itu berusaha menghentikan Wilson agar tidak pergi dari tempat itu karena ia masih belum berhasil membuat pria itu jatuh ke tangannya. "Katakan kepada Tuan Besar Liu agar tidak perlu untuk bersusah payah menggunakan trik murahan seperti ini. Aku tidak butuh!" ucap Wilson sinis. Wilson mengambil serbet di atas meja dan mengelap tangan yang disentuh Joyce tadi. Wanita itu melotot melihat sikap Wilson. Tatapan yang diberikan Wilson kepadanya kini melihatnya seakan-akan dirinya adalah kot0ran di mata pria itu. "Anda telah menyia-nyiakan waktu sepuluh menitku yang berharga, Nona Liu," ucap Wilson terakhir kalinya sebelum meninggalkan wanita itu dengan kemarahan yang sudah meluap. End of flashback. "Batalkan janjiku dengan Pak Tua itu siang ini!" perintah Wilson mengakhiri lamunannya. "Ah, ba-baik, Bos," sahut Alvin yang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus berpikir keras bagaimana mengatakan alasan kepada 'Pak Tua' yang disebut atasannya tadi. Tiba-tiba Wilson teringat dengan gadis yang ditemuinya di dalam lift tadi. Ia pun menanyakan kepada asistennya itu, "Apa hari ini ada wawancara karyawan baru?" "Ada, Bos. Wawancara untuk posisi Sekretaris CEO," jawab Alvin cepat dan sedetik kemudian ia menyesali jawabannya itu. Ia pun memejamkan matanya dan mengatupkan bibirnya rapat. "Posisi sekretaris?" Kedua alis Wilson kembali bertaut. Ia heran karena tidak mengetahui hal itu di dalam kantornya sendiri. Alvin menghela nafas pelan dan kembali membenarkan posisi bingkai kacamatanya. Sudah menjadi kebiasaan pria itu jika dia gugup. "I-iya, Bos. Untuk posisi sekretaris Anda," jawab Alvin terbata-bata. "Siapa yang membuka lowongan itu? Saya tidak memintamu untuk mencari sekretaris baru, bukan?" tanya Wilson menuntut jawaban dari asistennya itu. "Itu … perintah dari Tuan Besar, Bos," balas Alvin yang sudah berkeringat dingin. Wilson menggebrak mejanya kesal. "Apa sebenarnya mau Pak Tua itu?" teriak Wilson dengan amarah meluap-luap. Wilson sangat kesal karena kakeknya sudah mengatur percintaannya dan sekarang mulai mengatur pekerjaannya. "Saya juga tidak tahu, Bos." Alvin menundukkan wajahnya, tidak berani menatap mata atasannya. Wilson pun berdiri dari tempat duduknya, lalu menuju pintu keluar dengan langkah lebar dan cepat. "Mau ke mana, Bos?" Alvin memberanikan diri untuk bertanya, tetapi sayangnya yang ditanya tidak menjawab. "Kapan gunung es ini bisa mencair?" gumam Alvin pelan dan menghela nafas frustasi. Wilson berbalik dan menatap asistennya itu membuat pria berkacamata itu mematung dan menelan salivanya dengan bersusah payah. "Di ruangan mana wawancara karyawan baru itu?" tanya Wilson membuat Alvin sedikit bernafas lega. "Di ruangan meeting karyawan, Bos," jawab Alvin cepat. Wilson mengangguk paham dan kembali berjalan keluar ruangan. Alvin pun mengelus dadanya pelan dan bernafas lega. "Untung saja tidak kedengaran," gumamnya dan segera menyusul atasannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD