10. Shena dan Mood Buruknya

1212 Words
Minggu sore berangin, dengan cahaya matahari yang masih nampak cerah. Shena sedang mengisi dapur di kosnya untuk memasak lauk makan siang. Makan siang yang sangat terlambat karena ini sudah pukul tiga sore. Senyumannya terus mengembang selama mempersiapkan bahan. Ia akan membuat terong balado. Setelah aksi berselancar di internet, Shena memilih terong balado dengan alasan, 'kayaknya enak.' Shena bisa memasak. Kemampuan standar dalam mempertahankan hidup di kota perantauan. Kalau uang bulanan habis dan keluarga belum mengirimkan uang, Shena akan berhemat dengan memasak sendiri. Karena hal itu bisa meminimalisir pengeluaran. Walaupun ya masakannya tidak seenak buatan ibu. Setidaknya masih bisa ditelan untuk mempertahankan hidup sampai mendapat kiriman uang bulan berikutnya. Senyuman Shena yang sebelumnya mengembang, kini meredup. Memperhatikan hasil masakannya yang jauh berbeda dengan gambar yang tertera di ponselnya. Dalam gambar nampak sangat menggugah selera. Dengan sambal balado berwarna merah yang seolah meminta untuk segera disantap. Tapi yang nampak di hadapan Shena tidak demikian. Jauh berbeda. Warna sambalnya memang merah, tapi kenapa terlihat menggumpal dan tidak bercampur dengan terongnya. "Wih masak nih," celetuk Rossi yang baru saja turun dari lantai dua. Teman satu kost Shena dari fakultas yang berbeda. "Kok tampilannya begini, Shen?" Nampaknya Rossi tidak menyadari jika wajah Shena sudah berubah muram. Malah melayangkan satu pertanyaan yang membuat mood Shena kian hancur. "Nggak tahu, aku lihat di internet bagus hasilnya," adu Shena. Cemberut total. Kalimatnya juga terucap dengan gerutuan sebal. "Lo oseng dulu bumbu halusnya, 'kan?" Shena mengangguk. "Terongnya belum matang kali." "Udah kok, aku goreng dulu tadi." Rossi mengangguk paham. Tatapannya beralih ke arah cobek yang masih ada sisa sambal. "Ya ampun, Shen. Lo belum tambahin air dikit setelah bumbunya matang. Jadinya begini deh, bumbunya nempel nggak mau kecampur." Rossi membawa cobek berukuran sedang itu ke dekat Shena. "Ini seharusnya lo bersihin pakai air dikit, terus campur ke bumbu yang udah matang," jelas Rossi. "Kok kamu nggak bilang dari tadi?" teriak Shena sebal. Melotot ke arah Rossi namun tidak nampak mengerikan sama sekali. Rossi langsung mengerutkan kening tidak mengerti. "Gue 'kan baru turun, Shen." "Ah udahlah. Itu terongnya buat kamu aja. Aku udah nggak mood makan." Rossi semakin keheranan menatap kepergian Shena. Yang langsung menaiki tangga dengan menghentakkan kakinya. Rossi mengangkat bahunya tak acuh. Memilih mencicipi masakan buatan Shena yang sedikit gagal. "Enak kok. Lumayan," ucapnya riang. Langsung mengambil piring dan nasi. Siap memakan masakan Shena yang suka rela diberikan padanya dengan alasan, tidak mood makan. Rossi tersedak begitu mendapati Shena yang kembali turun. Masih menampilkan wajah kesal dengan kaki menghentak. "Makan, Shen," ucapnya basa-basi. Shena tidak menjawab. Langsung berlalu ke pintu depan. Lagi-lagi Rossi harus tersentak kaget lantaran Shena yang nampaknya sengaja membanting pintu. *** Hoodie kebesaran, celana training panjang, rambut diikat berantakan, dan wajah cemberut kesal. Itu penampilan Shena yang menyambutnya sore ini. Sudah bisa Reygan tebak jika moodnya sedang buruk dan Shena belum mandi. "Ngapain ke sini?" Pertanyaan ketus yang menyapa di awal pembicaraan. Reygan sampai mengernyit bingung dengan respon yang tidak biasa. Semakin yakin jika Shena sedang tidak baik-baik saja. "Pesan gue nggak nyampe?" tanyanya pelan. Meraih Shena dalam rangkulannya untuk sekadar memberi usapan ringan di kepala. Sembari membenarkan rambut Shena yang berantakan. "Nggak ada tanda kalau udah dibaca?" tanya Shena balik. Nada suaranya tidak bersahabat. Terbukti dari sambutan yang sangat jauh dari pengharapan. "Tanggal merah?" tanya Reygan. Sebenarnya tanpa bertanya pun, Reygan sudah paham dengan hal semacam ini. Shena yang biasanya ramah dan mudah tersenyum, kini justru menampilkan wajah tidak bersahabat. "Sekarang Minggu, jelas tanggal merah," sarkas Shena. Baik. Sudah jelas. Shena sedang datang bulan. "Kenapa, Shen? Lo ada masalah, mau cerita sama gue?" "Rossi makan terong baladoku," adunya dramatis. Reygan linglung dibuatnya. "Haa?" "Aku udah susah masak tapi hasilnya nggak sama kaya yang di internet." "Oke, terus?" Reygan masih menimpali kalimat Shena yang sebenarnya tidak ia mengerti. "Kata Rossi aku lupa masukin air makanya bumbunya nggak mau kecampur. Aku sebel, terongnya aku kasihin Rossi dan sekarang lagi dimakan sama dia." "Ya wajar dong, 'kan udah lo kasih. Kalau Rossi asal makan baru salah." "Ih tuh 'kan. Kamu belain Rossi?" Sinyal berbahaya. Reygan segera menyadarkan diri, jika Shena sedang dalam emosi yang tidak menentu. Bukan waktunya membenarkan kekeliruan itu. Karena jalan terbaik, Reygan membenarkan apapun yang Shena katakan. "Nggak gitu, Sayang. Oke maaf ya. Gue minta maaf. Daripada lo mikirin terong balado, mendingan sekarang ikut gue. Kita jalan-jalan sore, terus cari makan yang lebih enak dari terong balado." Shena mengangguk. Langsung berbalik dan kembali memasuki kosnya untuk berganti pakaian. Tidak mungkin keluar rumah dalam keadaan berantakan seperti ini. *** Benar saja, setelah menghabiskan beberapa waktu untuk berkeliling. Menyusuri jalan di sore hari untuk mengembalikan mood Shena. Keduanya berhenti di sebuah tempat makan. Shena yang biasanya cerewet menanyakan ini dan itu, kini hanya diam. Mengikuti tarikan tangan Reygan yang membawanya ke dalam dan mengambil duduk di sebuah meja yang letaknya paling ujung. Mungkin alasannya, agar saat amarah Shena kembali di tengah kegiatan makan, Reygan tidak perlu merasa tidak enak pada pengunjung lain. Reygan sempat meninggalkan Shena sejenak untuk memesan makanan. Tidak lama Reygan kembali, wajah Shena masih sama kesalnya. Reygan sampai berkali-kali memutar otak untuk membuka pembicaraan. Setidaknya agar Shena yang bad mood bisa sedikit membaik. Tapi nampaknya, tanpa berusaha keras pun, mood Shena membaik seketika. Senyuman yang sejak tadi tidak nampak kini mengembang indah. Sepasang matanya berbinar. Menatap makanan yang dibawa oleh pelayan dan tidak lama kemudian sudah tertata rapi di atas meja. Dua porsi nasi putih panas yang asapnya masih mengepul. Seporsi besar tutut (keong sawah) kuah kuning, dan dua porsi tutut rica-rica. Juga dua gelas es teh. Ya, hanya makanan sederhana yang mungkin bisa membuka memori tentang masa kecil di desa. Reygan yang pengertian dan Shena yang tidak pernah mau makan di restoran mahal. Perpaduan yang serasi dengan makanan yang sudah terhidang. Siap dinikmati. Tanpa menunggu lama, Shena langsung memakan porsinya. Selama makan pun, senyuman itu terus mengembang. Membuat Reygan menghela napas lega. Mood Shena nampaknya sudah membaik. Shena juga sesekali bercerita mengenai masa kecilnya. Bapak suka membawa tutut sepulangnya dari sawah. Dan Ibu akan selalu mengolahnya menjadi tutut kuah kuning seperti yang ada di meja saat ini. Tapi Shena kecil yang tidak bisa mengambil daging dari cangkangnya, hanya bertugas membuka mulut. Ibu yang akan menyuapinya lengkap dengan nasi. Sayangnya, entah karena moodnya yang memang sedang buruk atau karena Shena yang tidak juga bisa memisahkan daging dari cangkangnya. Wajah antusias selama makan tadi, berubah muram begitu menikmati seporsi besar tutut kuah kuning. "Ih susah banget sih," gerutu Shena. Reygan yang menatap hal itu langsung menyadari jika statusnya kembali siaga satu. "Gini, Shen. Ambil pakai tusuk gigi, pelan-pelan aja," ucap Reygan halus. Mengajari Shena cara memakannya. "Iya tapi nggak bisa-bisa tuh," adu Shena kesal. Wajahnya memerah padam. "Ya udah, lo diam aja. Biar gue yang ambilin buat lo, oke?" Reygan mencoba membujuk. Meredam amarah Shena yang lagi-lagi naik. Shena mengangguk patuh. Memperhatikan Reygan yang sedang memisahkan daging dari cangkangnya. Setelahnya menaruh daging itu di piring Shena. "Makasih," ucap Shena tulus. Reygan tersenyum dibuatnya. "Nggak masalah, Shen. Ayo makan lagi yang lahap," ucap Reygan lembut. Sebelah tangannya terulur. Mengusap lembut kepala Shena yang sedang menikmati daging di piringnya. "Ih Reygan, tangan kamu kena kuah," kesal Shena. Menyentak tangan Reygan yang sebelumnya mengusap kepalanya. Reygan yang menyadari kebodohannya hanya bisa meringis ngilu. Statusnya kembali naik. Bukan lagi siaga satu, tapi status awas. Reygan harus berhati-hati mulai sekarang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD