3. Awal Semua Dimulai

1214 Words
Ujian Nasional, Ujian Sekolah, mengikuti beragam les juga kelas tambahan. Mengakhiri sesi kehidupan di bangku sekolah menengah atas. Semua beban itu rontok, perlahan. Semua beban yang ditanggungnya selama nyaris enam bulan sudah usai. Begitu sebuah benda melingkar di leher, pertanda kelulusan tepat di hari pelepasan siswa-siswi. Lulus dari sekolah menengah atas bukan berarti kehidupan usai. Masih ada sesi baru yang harus Shena jalani. Lebih berat, lebih menantang. Dan yang pasti, Shena harus sudah mulai sadar jika usianya tidak lagi layak disebut remaja. Ia sudah memasuki masa dewasa baru. Di mana, masalah yang ia hadapi tidak lagi menjadi keharusan untuk diceritakan pada sang ibu. Bukan menjaga jarak. Bukan juga hubungan yang tidak terjalin baik. Shena hanya merasa, usia delapan belas tahun sudah layak untuk belajar memecahkan masalah sendiri. Termasuk hidup barunya di kota perantauan. Tidak terasa jika sang waktu akan berjalan begitu cepat. Walaupun pergerakannya masih sama, detik demi detik. Begitu saja, Shena sudah berdiri di hadapan cermin. Mengenakan kemeja biru dongker yang dipadukan dengan rok hitam panjang. Dengan luaran berupa jas almamater yang baru didapatnya Kamis lalu. Rambutnya yang biasanya digerai bebas kini diikat kuda. Termasuk aturan yang harus ditaati. Ini hari Sabtu. Shena datang ke kampus bukan untuk ospek. Karena ospek yang lebih dikenal dengan PPSMB (Pelatihan Pembelajaran Sukses Mahasiswa Baru), baru akan dimulai Senin depan. Shena dan seluruh mahasiswa baru akan menjalani gladi resik untuk persiapan ospek. Membawa perlengkapan berupa camping yang sudah dicat dengan warna putih, juga pompom berwarna merah putih. Tidak pernah menyangka, jika ia akan mengalami masa-masa seperti ini. Menjadi mahasiswa baru di sebuah kampus yang dikagumi banyak orang. Hidup di perantauan untuk pertama kalinya dalam hidup, sendirian. Shena datang dari kampung halamannya ke kota perantauan dengan Mas Alam, kakak laki-lakinya. Tapi Mas Alam hanya menemaninya mencari kos, mengambil almamater di gelanggang mahasiswa, dan mengurus keperluan lainnya di kos baru. Setelah semua siap, Mas Alam kembali ke rumah. Menyisakan Shena yang harus mulai belajar untuk mandiri. Menjalani hari-hari di kota perantauan dengan bekal pengalaman yang hanya sedikit. Bunyi peluit panjang itu membuat Shena mempercepat langkahnya. Menuju para mahasiswa baru yang mengenakan pakaian sama sepertinya. Nampaknya acara akan segera dimulai. “Baris per kelompok ya,” ucap salah satu kakak tingkat yang mengenakan atasan hijau tua. Suaranya terdengar jelas di antara banyaknya mahasiswa yang sibuk mencari-cari kelompoknya. “Sutrisno Hadi lima, Sutrisno Hadi lima.” Shena berlari menuju seorang kakak tingkat berkacamata yang berteriak heboh. Memanggil-manggil anggota kelompok. “Permisi, Kak,” ucap Shena. “Sutrisno Hadi lima?” tanyanya yang diangguki oleh Shena. “Langsung baris aja, Dek.” Shena menurut. Langsung bergabung bersama teman-temannya yang lain dalam satu barisan. Tidak banyak yang Shena lakukan. Hanya berdiri diam, mendengarkan penjelasan kakak tingkat di depan sana. Kegiatannya tidak begitu banyak. Karena hanya beberapa kegiatan yang masuk rundown gladi resik. Salah satunya, membentuk formasi di lapangan depan Grha Sabha. Seluruh mahasiswa baru yang berjumlah sembilan ribuan itu mengisi kotak-kotak dari tali rafia yang sudah disiapkan sebelumnya. Formasi ini akan menjadi acara penutupan di akhir masa PPSMB. Satu yang mungkin akan paling dikenang oleh banyaknya kepala yang kepanasan karena tersengat matahari dari siang sampai pukul tiga sore. Para mahasiswa baru diperbolehkan untuk berteduh setelah pukul tiga. Untuk mengecek kelengkapan. Agar acara PPSMB yang akan dilaksanakan satu minggu berjalan lancar tanpa hambatan. Juga untuk memberi tugas baru. Menempel lima lembar kertas asturo dengan warna berbeda untuk setiap mahasiswa, sebagai bahan formasi di akhir acara nanti. “Ini kurang tebal, Dek. Kamu tambahin sedikit lagi ya,” ucap Kak Ninda. Co-fasilitator kelompok Shena. Mengembalikan sepasang pompom pada Shena. Shena mengiyakan itu tanpa banyak protes. Sudah lelah berjemur di lapangan. “Oke, kalian boleh istirahat sebentar sambil nunggu instruksi selanjutnya dari Kak Yudis.” Shena duduk lesehan di bawah pohon, sendirian. Karena memang belum mengenal satu pun manusia yang hadir sore itu. Meluruskan kakinya yang pegal, sedikit memijat agar rasa pegalnya hilang. “Yah, abis,” keluhnya saat mendapati botol minumnya kosong. Sudah ia habiskan selama para panitia mengatur barisan di lapangan tadi. Pandangannya beralih begitu ada sebuah tangan yang mengulurkan botol minum ke arahnya. Sosok laki-laki dengan pakaian yang sama dengannya. Sedang menatapnya yang kebingungan. “Ambil, minum lo abis, ‘kan?” ucapnya. Masih mengulurkan botol minum. Shena menatap ragu. Walaupun sama-sama mahasiswa baru, tapi Shena belum mengenal laki-laki di hadapannya. Bukan hal yang baik menerima pemberian dari seseorang yang tidak dikenal. Begitu pikiran Shena yang polos. “Kita masih harus nunggu sekitar satu jam buat tugas berikutnya. Lo bisa dehidrasi,” lanjutnya. Namun Shena masih diam di posisinya. Lelaki itu menghela napas. Menarik botol minumnya karena Shena tidak juga menerima. Beralih mengulurkan tangan. “Gue Reygan.” “O-oh, Shena,” ucap Shena. Menerima uluran tangan lelaki bernama Reygan itu dengan ragu. Reygan mengangguk. Mengambil duduk di sebelah Shena. “Nih,” ucapnya lagi. Kembali mengulurkan botol minum yang sama. “Tadi lo nggak mau nerima karena kita belum kenal, ‘kan? Sekarang lo udah tahu nama gue. Gue juga udah tahu nama lo. Jadi nggak ada alasan lo nolak,” jelasnya saat mendapati tatapan bingung Shena. Shena mengangguk dan menerima sebotol minum dari Reygan. “Makasih.” “Lo sendirian?” Shena bergumam. “Belum kenal sama teman-teman yang lain. Canggung kalau mau memulai kenalan.” “Teman satu SMA?” “Ada satu, dia masuk Fakultas Kehutanan.” “Cuma berdua?” Shena mengiyakan itu. Sebelah tangannya sudah mulai membuka tutup botol air mineral pemberian Reygan. “Aku minum ya, Reygan,” ucapnya yang diangguki oleh Reygan. “Asal mana?” “Kamu nggak akan tahu kalau aku kasih tahu,” ucap Shena tertawa kecil. “Aku dari Banyumas,” lanjutnya. “Oh tahu kok. Purwokerto itu, ‘kan?” Shena menatap Reygan dengan mata berbinar. “Kamu tahu?” “Kenapa? Rumah lo juga ada di peta kali. Heboh banget,” ucap Reygan. Ada tawa di akhir kalimatnya saat mendapati wajah Shena yang sebelumnya nampak keberatan dengan kehadirannya. Tapi kini terlihat lebih bersahabat. Shena tersenyum singkat. “Dari banyaknya yang tanya asalku, baru kamu yang tahu. Mereka pada bilang, Banyumas, Jawa Timur? Aku jadi merasa hidup di daerah terpencil karena nggak ada yang tahu.” Reygan tersenyum. “Gue kira lo cuek, jutek, susah dideketin. Tahunya sekali diajak ngomong cerewetnya keluar.” Shena cemberut. Nampak menggemaskan sampai membuat Reygan terdiam untuk beberapa saat. Memperhatikan ekspresi berbeda yang bisa ia lihat dalam sekali duduk bersama Shena. “Pompom lo kenapa?” tanya Reygan. Meraih sepasang pompom yang tergeletak. “Kata Kak Ninda kurang tebal. Harus ditambahin tali lagi. Tugasku nambah lagi deh. Itu aja aku minta tolong ke penjual sulak, gimana nambahinnya coba?” dengus Shena. Reygan menolehkan wajahnya ke arah lain. Sebelah tangannya terkepal menutupi mulut. Shena yang sebelumnya keheranan bergerak refleks memukul pundak si lelaki yang bergetar. “Kamu ngetawain aku?” “Lo lucu,” ucap Reygan setelah selesai dengan tawanya. Membuat Shena semakin cemberut. “Seriusan sampai minta tolong penjual sulak cuma buat beginian?” Shena mengangguk polos. Entah sadar atau tidak, Reygan mengusap kepala Shena dengan tatapan gemas. Membuat tatanan rambut Shena menjadi berantakan. Tapi Shena tidak sempat protes. Apalagi sampai memukul tangan Reygan yang seenaknya. Sudah sibuk terpaku dengan wajah tegas yang kini menatapnya dengan lengkungan senyum lebar. Membiarkan tangan Reygan mengusap kepalanya. “Pulang bareng gue nanti. Kita tambahin pompom lo.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD