Luna baru saja menyelesaikan syutingnya. Ia saat ini tengah duduk di kursi yang biasa ia gunakan untuk istirahat setelah selesai syuting.
Di ruangan itu tidak diperbolehkan sembarang orang masuk. Hanya yang berkepentingan saja yang boleh masuk ke dalam ruangan itu.
Bahkan Malik sekalipun. Hingga pria itu terpaksa harus menunggu Luna di luar ruangan itu.
Luna mendengar suara dering ponselnya. Ia lalu mengambil ponselnya dari dalam tas selempangnya. Ia melihat siapa yang menghubunginya.
Om Erik?
Luna lalu menjawab panggilan itu, “halo, Om,” sapanya saat panggilan itu mulai tersambung.
“Na, apa syutingnya sudah selesai?”
“Sudah, Om. Baru saja. Ada apa ya, Om?”
“Tadi mamamu menghubungi, Om. Mama kamu meminta Om untuk mengurangi jadwal syuting ataupun pemotretan kamu. Om pikir-pikir, apa yang mama kamu katakan memang benar. Selama ini kamu terlalu memforsir tubuh kamu untuk terus bekerja.”
“Tapi, Om. Luna suka dengan pekerjaan ini. Om tau ‘kan bagaimana perjuangan Luna untuk sampai dititik ini?”
“Om tau, Na. Tapi, kamu juga harus memikirkan kesehatan kamu juga.”
“Luna sehat kok, Om. Luna baik-baik saja.”
“Begini saja. Om akan menerima job yang tak begitu menguras waktumu. Setelah kontrak syuting kamu ini selesai, kamu hanya akan menerima job pemotretan aja.”
“Om! Ya gak bisa gitu dong. Bagaimana kalau nanti karir Luna hancur? Luna gak mau itu sampai terjadi, Om.”
“Kamu gak perlu cemas soal itu. Om yang akan mengurus semuanya. Kamu tetap bisa syuting. Tapi Om akan memilahnya. Om hanya ingin memberitahu kamu itu.”
Luna menatap wajahnya di balik cermin yang ada didepannya.
“Ma... apa yang sudah Mama lakukan? Apa Mama ingin menghancurkan karirku?”
Luna memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya. Ia lalu memakai topi hitam yang ada di atas meja rias.
“Na, kamu mau pergi?” tanya Riska yang tak lain lawan main Luna dalam film yang saat ini Luna bintangi.
“Hem... memangnya kenapa?”
Riska beranjak dari duduknya, “apa kamu lupa, kalau malam ini Zico mengadakan pesta di rumahnya?”
Luna melihat jam di pergelangan tangannya, “pestanya pukul delapan malam ‘kan?”
Riska menganggukkan kepalanya.
“Masih ada waktu tiga jam. Aku mau pulang dulu.”
Luna lalu melangkah keluar dari ruangan itu.
“Non,” sapa Malik sambil membungkukkan sedikit tubuhnya.
“Aku mau pulang,” ucap Luna lalu melangkah pergi lebih dulu.
Malik mengikuti Luna dari belakang.
Aku harus bicara sama Mama. Bukannya Mama selama ini mendukungku untuk menjadi publik figur? Tapi kenapa sekarang Mama menentang?
“Silahkan masuk, Non,” ucap Malik setelah membuka pintu penumpang depan.
Luna masuk ke dalam mobil.
Malik menutup pintu mobil, ia lalu berjalan memutar untuk duduk di kursi pengemudi.
Malik lalu melajukan mobilnya.
“Lik, bangunkan aku kalau sudah sampai di rumah.” Luna lalu memejamkan kedua matanya.
Malik menatap Luna, ‘ada apa dengan Non Luna hari ini? kenapa dia terlihat begitu tak bersemangat? Padahal tadi pagi dia begitu bersemangat saat ingin berangkat syuting. Apa terjadi sesuatu di dalam ruangan itu tadi?’ gumamnya dalam hati.
Sesampainya di rumah. Malik tak langsung membangunkan Luna. Ia membiarkan Luna untuk tetap tidur.
“Non Luna pasti kelelahan. Dari pagi sampai siang harus syuting. Mana tadi Non Luna hanya makan salad.”
Malik mendengar suara ketukan di jendela mobil.
Paman Thomas!
Malik lalu membuka pintu dan keluar dari mobil.
“Paman.”
“Ngapain kamu di dalam mobil? Ada apa dengan Non Luna?” tanya Thomas sambil melirik ke dalam mobil.
“Non Luna sedang tidur, Paman. Saya tak tega membangunkannya. Mungkin Non Luna kelelahan setelah seharian syuting.”
“Kalau begitu kamu bawa masuk Non Luna. Tubuhnya akan semakin sakit, kalau Non Luna tidur seperti itu.”
“Baik, Paman.”
Malik lalu berjalan memutar menuju pintu penumpang depan. Membuka pintu itu, lalu membopong tubuh Luna dan mengeluarkannya dari dalam mobil.
“Saya akan membawa Non Luna ke dalam dulu, Paman,” pamit Malik lalu melangkah menuju pintu.
Tentu saja Thomas mengikuti Malik dari belakang. Ia lalu membukakan pintu untuk Malik.
“Terima kasih, Paman,” ucap Malik lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
Malik lalu berjalan menuju tangga. Menaikinya satu persatu menuju kamar Luna.
Malik membuka pintu kamar Luna dengan susah payah. Ia lalu melangkah masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuh Luna di atas ranjang.
Malik menatap wajah tenang Luna. Ia lalu tersenyum.
Selamat beristirahat, Non. Maaf, kalau saya tak membangunkan Non Luna seperti permintaan Non Luna tadi.
Malik lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh Luna sampai dadanya. Ia lalu melangkah keluar dari kamar itu.
Saat menutup pintu kamar Luna, Malik mendengar namanya di panggil. Ia lalu menoleh ke belakang.
“Non Adel? Ada yang bisa saya bantu?”
“Sedang apa kamu di kamar Kak Luna?” tanya Adel sambil mengernyitkan dahinya.
“Non Luna tadi ketiduran di mobil. Jadi saya memindahkannya ke kamar.”
“Kamu gak ngapa-ngapain Kak Luna ‘kan? Kamu gak mengambil kesempatan dalam kesempitan ‘kan?” tuduh Adel sambil menatap Malik dengan tatapan tajam.
“Astaga, Non Adel. Saya mana berani melakukan itu, Non. Saya hanya memindahkan Non Luna. itu saja.”
Adel mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Malik.
“Aku peringatkan sama kamu ya. Jangan macam-macam sama Kak Luna, atau aku akan adukan kamu ke Papa!”
Kedua mata Malik membulat dengan sempurna.
“Jangan Non Adel. Saya tak melakukan apa-apa sama Non Luna. Kalau Non Adel tidak percaya, Non Adel bisa tanyakan langsung sama Non Luna.”
Justru saya yang harus berhati-hati dari kakak Non Adel. Apalagi Non Luna dengan terang-terangan sudah menyatakan perasaannya.
Adel mengernyitkan dahinya, “kenapa kamu masih disini? Apa kamu akan terus disini sampai Kak Luna bangun?”
“Maafkan saya, Non. Saya permisi,” ucap Malik lalu membungkukkan tubuhnya.
“Pergilah,” usir Adel sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Permisi, Non.” Malik lalu melangkah pergi dari depan kamar Luna.
Sedangkan di dalam kamar, Luna mulai membuka kedua matanya secara perlahan.
“Dimana aku?” Luna masih dalam keadaan belum sepenuhnya membuka kedua matanya.
Bukannya ini kamar aku? apa Malik yang membawaku kesini?
Luna lalu mengusap kedua matanya yang masih sangat mengantuk. Ia lalu bangun dan beranjak turun dari ranjang.
“Lebih baik sekarang aku mandi. Apalagi nanti malam aku harus menghadiri pesta Zico.”
Luna lalu melangkah menuju kamar mandi.
“Kak Luna,” panggil Adelia setelah masuk ke kamar Luna.
Luna yang ingin membuka pintu kamar mandi, mengurungkan niatnya. Ia lalu membalikkan tubuhnya, melangkah menghampiri Adelia.
“Adel? Ngapain kamu di kamar kakak?”
Adelia menarik tangan Luna, lalu mendudukkan tubuh kakaknya itu di tepi ranjang. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di samping sang kakak.
“Kak, apa benar malam ini Kak Zico mengadakan pesta?”
“Hem... kamu tau dari mana?” tanya Luna sambil mengernyitkan dahinya.
“Apa aku boleh ikut, Kak? please... boleh ya...” pinta Adel sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.
“Tapi ini bukan pesta untuk orang luar. Pasti yang datang orang kalangan artis semua. Kamu yakin mau ikut?”
Adelia menganggukkan kepalanya, “aku ‘kan adik Kak Luna. Pasti aku boleh masuk ke sana. ‘kan ada Kak Luna,” ucapnya sambil nyengir kuda.
Luna hanya geleng kepala, “memangnya Mama dan Papa akan mengizinkan kamu keluar? Pestanya pasti akan sampai tengah malam.”
“Mama dan Papa pasti akan mengizinkan. ‘kan aku perginya sama Kak Luna. Kakak pasti akan mengajak Malik juga ‘kan? Kalau ada Malik, Mama dan Papa pasti akan mengizinkan aku pergi,” ucap Adelia sambil mengedipkan kedua matanya.
“Dasar! Kalau boleh kakak tau, kenapa kamu ingin pergi ke pesta Zico? Padahal tak ada orang yang kamu kenal disana selain kakak dan Zico.”
“Em...”
Adelia bingung mau menjawab apa. Tak mungkin ‘kan ia akan menjawab kalau ia hanya ingin hadir di pesta yang diadakan oleh pujaan hatinya.
Luna sebenarnya tau, apa alasan adiknya ingin datang ke pesta yang Zico adakan. Ia tau, kalau adiknya itu menaruh hati kepada Zico.
Tapi, melihat sikap Zico kepadanya selama ini, membuatnya merasa bersalah kepada sang adik.
Luna menghela nafas.
Anggap saja ini untuk menebus kesalahanku pada Adel, karena kemarin aku pergi sama Zico ke Villa.
“Ok. Aku akan ajak kamu ke pesta Zico. Tapi dengan satu syarat.”
Adelia menganggukkan kepalanya, “apa syaratnya, Kak?”
“Kamu jangan jauh-jauh dari kakak. Soalnya kamu tak mengenal siapapun disana nanti.”
Adelia menganggukkan kepalanya. Ia lalu memeluk Luna.
“Makasih ya, Kak. Kakak memang kakak terbaik di dunia.”
Saat ini Luna tengah melangkah mendekati Melani yang tengah duduk di ruang tengah sambil menatap layar datar di depannya.
“Ma,” panggilnya lalu mendudukkan tubuhnya di samping mamanya.
“Ada apa, Sayang? kamu pasti lelah.”
“Ma. Kenapa Mama meminta Om Erik untuk menggurangi job Luna? Mama ‘kan tau, Luna suka dengan pekerjaan Luna ini.”
Melani tersenyum, ia lalu menggenggam tangan Luna.
“Sayang, jangan salah paham dulu. Mama tau, kamu sangat menyukai pekerjaan kamu ini. Tapi, kamu ini masih muda, Sayang. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan. Mama hanya gak ingin, masa muda kamu, kamu habiskan dengan terus bekerja.”
“Ma... dengan bekerja, itu sudah membuat Luna happy. Luna bisa bertemu dengan teman-teman Luna, menghabiskan waktu dengan mereka. Hangout bareng mereka.”
Melani mengusap lengan Luna, “Mama gak akan melarang kamu untuk menekuni pekerjaan kamu itu. Tapi, Mama yang akan mengatur semua kontrak kerja kamu. Mama yang akan memutuskan untuk menerima atau menolak tawaran kontrak yang mereka tawarkan ke kamu.”
“Ma!”
“Sayang, dengarkan Mama. Kamu ini anak pengusaha sukses. Apapun yang kamu mau bisa kamu beli. Kenapa kamu harus capek bekerja? Papa kamu masih bisa memenuhi semua kebutuhan kamu, Sayang. Please, kamu turuti permintaan Mama ini.”
Luna hanya diam. Menjadi artis adalah impiannya sejak kecil. Ia bahkan berusaha keras untuk sampai dititik ini.
Tapi sekarang... akankah dirinya harus melepaskan semua usaha kerasnya selama ini?
Luna beranjak dari duduknya, ia lalu melangkah keluar dari ruangan itu.
Melani menghela nafas panjang, “Mama melakukan semua ini juga demi kamu, Sayang, karena Mama sayang sama kamu. Mama hanya ingin yang terbaik buat kamu dan Adel.”
Luna berjalan menuju kolam renang yang berada di samping rumahnya. Ia saat ini sedang ingin sendiri.
Luna mendudukkan tubuhnya di bangku yang ada di tepi kolam renang. Ia merasakan getaran di saku celananya. Ia lalu mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.
“Halo, Zic,” sapanya saat panggilan itu mulai tersambung.
“Na, aku cuma mau kasih tau kamu, kalau pestanya aku pindah lokasinya.”
“Kenapa? apa Mama kamu...”
“Nanti aku share lock. Jangan lupa datang ya. Aku punya kejutan buat kamu.”
Kejutan?
“Aku tunggu nanti malam.”
Luna menatap layar ponselnya yang kembali ke menu awal.
“Kejutan? Apa yang tengah Zico rencanakan? Tapi... malam ini Adel ikut sama aku. Bagaimana kalau nanti Adel salah paham sama aku?”
Luna menyungar rambutnya ke belakang, “kenapa masalah datang bertubi-tubi? Sampai sekarangpun Malik belum juga menjawab pernyataan cintaku. Apa aku memang gak menarik di matanya?”
Luna mengambil nafas lalu membuangnya secara perlahan.
“Sepertinya aku butuh mendinginkan pikiranku. Sudah lama aku gak berenang.”
Luna lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kolam renang yang ada di depannya.
Luna lalu melepaskan pakaiannya dan hanya meninggalkan bikini yang dipakainya saat ini. Tanpa pikir panjang, ia langsung melompat ke dalam kolam renang.
Luna mulai berenang kesana kemari. Setelah lima belas menit, ia berhenti dan mendudukkan tubuhnya di tepi kolam dengan kedua kaki masih menyentuh air kolam.
Malik lagi apa ya? kenapa begitu susah menaklukan hatinya. Apa hatinya terbuat dari batu?
Luna mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja. Ia lalu mengirim pesan kepada Malik.
Lik, temui aku di kolam renang. Bawakan minuman dingin untukku. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu juga.
Luna tersenyum setelah mengirim pesan itu. Ia lalu meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. Ia lalu kembali masuk ke dalam kolam dan kembali berenang.
Malik yang mendapatkan pesan dari Luna, tentu saja langsung melangkah menuju dapur untuk membuatkan minuman dingin untuk Luna.
Apapun yang Luna minta, itu merupakan perintah untuknya.
Setelah selesai membuat orange jus, Malik membawanya menuju kolam renang.
Kolam renang itu begitu tertutup. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke sana, karena itulah Luna bisa dengan bebas menggunakan bikini untuk berenang.
Malik membulatkan kedua matanya, saat melihat Luna yang tengah berenang kesana kemari. Apalagi dengan pakaian yang Luna pakai saat ini.
Malik ingin beranjak pergi dari tempat itu.
Tapi sudah terlambat, saat Luna memanggilnya.
“Lik,” panggil Luna sambil berpegangan pada tepi kolam.
Malik mengambil nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Ia dengan perlahan lalu membalikkan tubuhnya.
“Kamu mau kemana? Bukannya aku memintamu untuk membawakan minuman dingin untukku?” Luna masih berada di dalam kolam renang.
Tenang Malik. Tenang. Ini perintah. Kamu gak bisa menolak.
Malik dengan perlahan melangkahkan kakinya menuju kolam renang. Ia bahkan tak berani menatap ke arah Luna.
Malik meletakkan orange jus itu ke atas meja, “sa—saya permisi dulu, Non,” pamitnya lalu membalikkan tubuhnya.
“Siapa yang mengizinkan kamu pergi? bawa kesini minuman aku? aku gak mungkin naik ke atas dan mengambil minuman itu.”
Malik mengangguk. Ia lalu mengambil kembali segelas orange jus itu. Dengan perlahan, ia melangkahkan kakinya mendekati Luna.
Malik memberikan segelas orange jus itu kepada Luna.
Luna mengambilnya, lalu mulai meneguknya.
“Ahhh... segarnya,” ucapnya lalu meletakkan gelas itu ke tepi kolam.
Luna mengernyitkan dahinya, saat melihat Malik yang menatap ke arah lain.
“Lik? Apa kamu belum pernah melihat wanita memakai bikini?”
“Maafkan saya, Non. Saya baru ingat, kalau saat ini Om Thomas sedang membutuhkan bantuan saya,” ucap Malik berbohong.
Malik hanya ingin segera pergi dari tempat itu. Ia tak ingin sampai orang lain melihat dirinya yang tengah berada di tempat itu bersama dengan Luna.
Luna tersenyum, “ok. Tapi sekarang bantu aku naik dulu. Aku sudah mulai kedinginan. Kamu gak mungkin meninggalkan aku sendirian disini ‘kan, Lik?”
Luna lalu mengulurkan tangannya.
Mendengar Luna menagatakn kalau dirinya kedinginan, membuat Malik mau tak mau menatap ke arah Luna.
Ia bahkan harus menelan ludah susah payah saat melihat lengan mulus Luna yang tak tertutup apapun.
Hanya seutas tali berwarna merah muda yang melingkar di leher Luna saat ini.
“Lik. Kenapa kamu diam? Kamu gak mau membantuku untuk naik?” tanya Luna sambil mengernyitkan dahinya saat Malik hanya diam dan tak menerima uluran tangannya.
“Ma—maafkan saya, Non.”
Malik menerima uluran tangan Luna, lalu menarik tangan itu dengan perlahan.
Tapi, siapa sangka, Luna justru menarik tangan Malik.
Malik yang sangat terkejut dan belum mempersiapkan tubuhnya, langsung tercebur ke dalam kolam.
Luna tertawa terbahak-bahak saat melihat Malik tercebur ke dalam kolam.
“Masa tenaga kamu kalah sama tenaga aku?”
Malik mengusap wajahnya yang basah, “Non, apa yang Non Luna lakukan? Bagaimana kalau...”
Malik menghentikan ucapannya, saat Luna menutup mulut Malik dengan jari telunjuknya.
“Lik, temani aku berenang,” pinta Luna dengan menatap kedua mata Malik.
Posisi Luna saat ini bahkan berada begitu dekat dengan Malik.
Malik bahkan bisa melihat dengan sangat jelas bagian atas tubuh Luna.
Astaga!
Malik seketika langsung memalingkan wajahnya.