Zico mengajak Luna untuk mengobrol di taman belakang Villa.
Taman itu sangat sejuk. Apalagi begitu banyak tanaman bunga di taman itu. Ada juga kolam ikan dan ada air mancur di tengahnya.
“Zic. Bagaimana dengan Malik? Masa aku biarkan dia di luar sendirian. Mana dia juga belum makan dari tadi.” Luna menatap ke luar. Ia benar-benar tak ingin membuat Malik terluka karena sikapnya.
“Nanti biar aku suruh bibik untuk memberinya makan. Kamu gak usah cemas. Lebih baik kamu nikmati suasana disini.”
Luna menganggukkan kepalanya.
Zico lalu menggenggam tangan Luna, mengajaknya menuju taman belakang Villa.
“Sudah lama aku gak datang kesini. Sepertinya sudah banyak yang berubah.” Luna lalu mendudukkan tubuhnya di ayunan.
“Mama yang menata ulang Villa ini setelah kepergian Papa. Mama hanya tak ingin terlarut dalam kesedihan, karena di Villa ini begitu banyak kenangan.”
“Bukannya lebih baik menjaga Villa ini ya, agar kenangan papa kamu masih ada di Villa ini?”
“Iya sih. Tapi, Mama selalu menangis saat datang ke Villa ini. Makanya Mama meminta paman dan bibik untuk menatap ulang Villa ini. Ya gak semuanya sih. Hanya ruangan tertentu saja, sama taman ini,” ucap Zico sambil menatap sekeliling taman.
Seorang wanita paruh baya melangkah mendekati Luna dan Zico.
“Non, Den. Makanan sudah siap,” ucapnya sambil membungkukkan sedikit tubuhnya.
“Baik, Bik. Terima kasih,” ucap Zico.
“Kalau begitu Bibik permisi dulu Den, Non,” pamitnya.
Luna dan Zico menganggukkan kepalanya.
Wanita paruh baya itu lalu melangkah pergi.
“Kita makan sekarang ya, katanya tadi kamu lapar?”
Luna menganggukkan kepalanya. Ia lalu beranjak dari ayunan. Mereka lalu melangkah masuk dan langsung menuju ruang makan.
“Bik, tolong suruh pria yang ada di luar untuk masuk,” pinta Luna kepada wanita paruh baya itu.
“Na! Kenapa kamu...” Zico benar-benar tak mengerti dengan sikap Luna saat ini.
Bukannya Luna tadi bilang tak ingin melihat wajah Malik? Aku bahkan merasa Luna membenci Malik. Tapi kenapa sekarang... Luna kembali peduli padanya?
“Biarkan saja. Aku hanya gak tega melihat Malik makan sendiri diluar.” Luna lalu menarik salah satu kursi meja makan, lalu didudukinya.
“Kamu gak duduk?” tanyanya saat melihat Zico yang masih betah berdiri.
Zico menghela nafas, ia lalu menarik kursi yang ada di sebelah Luna, lalu mendudukinya.
Luna menatap Malik yang tengah berjalan menuju ruang makan.
“Non Luna memanggil saya?” tanya Malik sambil menautkan kedua telapak tangannya di depan tubuhnya sambil membungkukkan sedikit tubuhnya.
“Meskipun aku marah sama kamu. Aku juga gak tega membiarkan kamu kelaparan. Sekarang kamu duduk dan makan.” Luna berbicara tanpa menatap Malik.
“Terima kasih, Non. Tapi, saya makan di luar saja.”
Luna yang awalnya enggan untuk menatap Malik, mau tak mau akhirnya ia harus menatap wajah pria yang sudah membuatnya sakit hati.
“Kalau begitu, kamu pergi dari Villa ini sekarang juga!” serunya dengan tatapan menghunus tajam.
Zico menatap Luna, ia lalu menggenggam tangan Luna.
“Sayang, tenang ya. Biarkan saja kalau dia mau makan diluar. Sekarang lebih baik kita makan. Atau kamu mau aku suapin?”
Luna menatap Zico, ia lalu tersenyum, “boleh. Kayaknya enak deh makan sambil disuapin,” ucapnya sambil melirik Malik.
Malik yang melihat bagaimana perlakuan Zico ke Luna, akhirnya memutuskan untuk makan di ruang makan itu. Ia hanya ingin memastikan keamanan majikannya dari pria seperti Zico.
Malik tau pasti pria seperti apa Zico itu. Ia tak akan membiarkan Luna jatuh dalam perangkap pria itu. Ia kan menjaga Luna dari pria seperti Zico.
Luna tersenyum, saat melihat Malik menarik kursi yang ada di depannya.
Rencana aku ternyata berhasil. Aku yakin, sebenarnya kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi, kamu mencoba untuk menutupinya, karena aku adalah majikanmu.
Zico mengambil satu sendok makanan, lalu disodorkan di depan mulut Luna.
“Sekarang buka mulut kamu,” pintanya.
Luna membuka mulutnya, lalu menerima satu suap makanan dari tangan Zico.
“Gimana, enak gak makanannya?”
Luna menganggukkan kepalanya, “enak banget. Bibik ternyata jago masak juga ya,” pujinya.
Luna melirik ke arah Malik yang sejak tadi terus menatapnya.
“Kamu gak makan?” tanyanya saat makanan yang Malik ambil bahkan belum tersentuh.
“Saya akan makan, Non.” Malik lalu mengambil satu sendok makanan lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.
“Na, bagaimana kalau malam ini kamu menginap disini? Besok kamu free ‘kan?” Zico kembali menyuapkan satu suap makanan ke dalam mulut Luna.
“Non Luna akan pulang sama saya. Tuan Johannes dan Nyonya Melani pasti mencemaskan Non Luna saat ini.” Malik tak akan membiarkan Luna menginap di Villa ini bersama dengan Zico.
“Siapa kamu berani melarang Luna!” seru Zico dengan tatapan tajam.
“Saya adalah bodyguard Non Luna. Saya ditugaskan Tuan Johannes untuk menjaga Non Luna. Dan tidak baik bagi seorang wanita menginap bersama dengan lelaki yang bukan muhrimnya.” Malik menatap Luna.
Luna hanya diam. Ia mengambil sendok yang ada di tangan Zico lalu mulai makan sendiri.
Bukan muhrimnya? Apa dia lupa kalau dia sudah dua kali berada satu kamar denganku?
“Na...”
“Aku lapar. Bisa gak kita makan dengan tenang?” Luna menatap Zico dan Malik secara bergantian.
Malik tersenyum, “baik, Non.”
Malik menyunggingkan senyumannya sambil menatap Zico.
Zico mengepalkan kedua tangannya.
Awas kamu, Lik! Aku akan pastikan Luna menjadi milikku! Apapun akan aku lakukan untuk mendapatkan Luna.
Luna akhirnya mau pulang bersama dengan Malik. Bahkan saat ini dirinya tengah tertidur lelap dalam perjalanan pulang menuju Jakarta.
Malik hanya geleng kepala melihat wajah cantik yang tengah tertidur lelap di sampingnya.
Saya akan terus menjagamu, Non. Tak akan saya biarkan siapapun menyakiti Non Luna. Zico mungkin pria yang baik di mata Non Luna, tapi tidak di mata saya. Dari cara dia menatap Non saja saya tau, kalau dia sangat tertarik sama Non Luna.
Malik lalu mengusap puncak kepala Luna dengan pelan.
‘Maafkan saya, Non, karena saya tak bisa membalas perasaan Non Luna. Non Luna berhak mendapatkan pria yang lebih baik dari saya,’ gumamnya dalam hati.
Setelah menempuh perjalanan berjam-jam, akhirnya mereka sudah sampai di rumah. Malik membuka pintu mobil dan melangkah keluar dari mobil.
Malik lalu berjalan memutar untuk membuka pintu penumpang depan. Ia lalu membopong tubuh Luna dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Saat melewati ruang tengah, Malik berpapasan dengan Melani.
“Nyonya,” sapanya.
“Lho... ada apa dengan Luna? bukannya kakinya sudah sembuh? Kalian dari mana jam segini baru pulang?”
“Maaf, Nyonya. Non Luna ketiduran di dalam mobil. Saya tidak tega untuk membangunkannya, makanya saya membopongnya dan ingin menidurkannya di kamarnya.”
“Baiklah. Bawa Luna ke kamar. Kasihan dia, pasti kecapekan. Kamu harus hati-hati, jangan sampai dia bangun.”
Malik menganggukkan kepalanya, “baik, Nyonya, kalau begitu saya permisi dulu,” pamitnya.
Melani menganggukkan kepalanya, “kasihan Luna. Dia pasti kecapekan bekerja. Aku akan meminta Erik untuk mengurangi jadwal pemotretannya.”
Malik membuka pintu kamar Luna, ia lalu melangkah masuk ke dalam kamar Luna, lalu merebahkan tubuh Luna ke atas ranjang.
Tapi, saat Malik ingin menyingkirkan kedua tangan Luna dari lehernya, Luna malah menarik lehernya hingga tubuhnya menindih tubuh Luna.
“Non...”
Luna membuka kedua matanya, “jangan pergi. Temani aku disini,” pintanya.
“Maafkan saya, Non. Saya tidak boleh berada di kamar ini. Jadi saya mohon, lepaskan tangan Non Luna.”
Malik tak bisa menyingkirkan kedua tangan Luna dari lehernya, karena kedua tangannya ia gunakan untuk menyangga tubuhnya agar tak menindih tubuh Luna.
“Lik, kenapa kamu menolakku terus? Apa aku sama sekali gak menarik buat kamu?”
“Non... bukan seperti itu, Non. Tapi, Non bisa mendapatkan pria yang lebih baik dari saya.”
Karena saya sudah menikah, Non. Saya tidak mungkin bisa menerima perasaan Non Luna. Saya tak pantas untuk Non Luna.
“Tapi yang aku inginkan hanya kamu. Asal kamu tau. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta. Aku juga gak tau, kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu. Tapi, aku juga gak bisa mencegah saat perasaan ini hadir dalam hatiku.”
Luna menarik leher Malik, hingga wajah itu semakin mendekat pada wajahnya.
Malik menelan ludah dengan susah payah, karena tinggal sedikit lagi, bibirnya akan menyentuh bibir Luna.
“Non...”
“Lik, aku mencintaimu. Meskipun kamu menolakku, aku gak akan pernah menyerah. Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku. Akan aku buat kamu menjadi milikku selamanya. Siapapun wanita yang mendekatimu, aku akan menghabisinya!”
Kedua mata Malik membulat dengan sempurna saat mendengar apa yang Luna katakan.
Luna lalu menyingkirkan kedua tangannya dari leher Malik.
Tapi Malik tetap bergeming dengan kedua mata menatap kedua mata Luna. Ia tak menyadari, kalau kedua tangan Luna sudah tak ada lagi di lehernya.
Luna tersenyum, “Lik, apa aku boleh menciummu? Karena aku sangat ingin mencium bibirmu yang seksi itu,” godanya sambil menyentuh pipi Malik dengan lembut.
Malik yang merasakan sentuhan lembut telapak tangan Luna di pipinya, baru menyadari kalau tangan Luna sudah tak melingkar di lehernya lagi.
Sontak Malik langsung bangun dan berdiri tegak di tepi ranjang.
“Ma—maafkan saya, Non. Maaf atas kelancangan saya,” ucapnya sambil membungkukkan tubuhnya.
“Sa—saya permisi dulu,” pamitnya kemudian.
Luna hanya tersenyum saat melihat Malik yang terlihat begitu gugup dan tergesa-gesa saat keluar dari kamarnya.
Dasar! Padahal semua sudah jelas, kalau kamu juga suka sama aku. Tapi kamu masih saja menutupinya.
Saat Malik berjalan menuju pavilliun, ia berpapasan dengan Thomas.
Thomas mengernyit bingung saat melihat wajah Malik yang memerah.
“Malik, ada apa dengan wajahmu? Kenapa kedua pipimu merah?”
Malik menyentuh kedua pipinya, “tidak ada apa-apa kok, Paman. Saya mau ke kamar dulu,” ucapnya lalu melangkah pergi.
“Ada apa dengannya? Apa dia sakit?”
Thomas yang merasa cemas, akhirnya memutuskan untuk mengikuti Malik menuju kamarnya.
“Lik, kamu sakit?”
Malik yang ingin membuka pintu kamarnya, akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lalu membalikkan tubuhnya.
“Tidak, Paman. Saya baik-baik saja.”
“Lalu kenapa kamu terlihat begitu gugup? Apa terjadi sesuatu dengan Non Luna?”
“Tidak, Paman. Non Luna juga baik-baik saja.”
Thomas tak percaya begitu saja dengan apa yang Malik katakan. Dirinya sangat mengenal Malik. Ia yakin, ada sesuatu yang Malik sembunyikan darinya.
“Yakin kamu gak mau cerita sama Paman?”
Malik hanya diam.
“Kalau kamu gak mau cerita juga gak apa-apa. Tapi, Paman siap kapan saja kamu mau cerita sama Paman tentang masalah yang sedang kamu hadapi saat ini,” ucap Thomas sambil menepuk bahu Malik.
Malik hanya menganggukkan kepalanya, “kalau begitu saya masuk dulu, Paman. Saya mau mandi dulu.”
Thomas menganggukkan kepalanya.
Malik lalu membuka pintu kamarnya dan langsung masuk ke dalam kamar.
Malik menyentuh dadanya yang masih berdebar-debar.
Enggak. Aku gak boleh suka sama Non Luna. Aku gak boleh memiliki perasaan ini. Non Luna adalah majikan aku. Aku harus membuang jauh-jauh perasaan ini. Apalagi aku sudah...
Malik teringat akan janjinya kepada mendiang mamanya. Dimana dirinya sudah berjanji untuk menjaga Jenar seumur hidupnya.
Malik menjatuhkan tubuhnya ke lantai, “jangan gila kamu, Lik! Ingatlah, kamu disini untuk bekerja, bukan malah untuk membuat Non Luna jatuh cinta sama kamu. Ingatlah siapa diri kamu. Kamu gak akan pantas untuk berdiri di samping Non Luna,” ucapnya pada diri sendiri.
Luna yang sudah membersihkan dirinya dan berpakaian piyama, melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Ia merasa sangat haus.
“Paman Thomas! Kok Paman sendirian disini? Dimana Malik?” tanya Luna saat melihat Thomas yang duduk sendirian di dapur.
“Malik sedang mandi, Non. Apa ada yang bisa Paman bantu?” Thomas sudah beranjak dari duduknya.
Luna menggelengkan kepalanya, “aku hanya ingin mengambil minum kok, Paman,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
Luna lalu melangkah menuju lemari pendingin. Ia lalu membukanya untuk mengambil sebotol air mineral.
“O ya, Paman. Nanti tolong sampaikan kepada Malik, kalau besok pagi aku ada syuting. Aku ingin Malik siap lebih cepat dari biasanya.”
Thomas menganggukkan kepalanya, “baik, Non. Nanti akan Paman sampaikan kepada Malik.”
“Terima kasih, Paman. Kalau begitu aku pergi dulu,” pamit Luna lalu melangkah keluar dari dapur.
Non Luna sepertinya baik-baik saja. Tapi tadi Malik... ada apa ya sebenarnya?
Thomas mengambil secangkir kopi yang tadi dibuatnya. Ia lalu melangkah keluar dari dapur.
“Lik,” panggilnya saat melihat Malik yang ingin melangkah menuju dapur.
“Iya, Paman,” sahut Malik setelah menghentikan langkahnya.
Thomas memberikan secangkir kopi yang dibawanya.
“Paman buatkan kopi untuk kamu.”
Malik mengambil secangkir kopi itu dari tangan Thomas.
“Terima kasih, Paman. Tau saja, kalau saya mau minum kopi,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“Apa kamu mau menemani Paman ngobrol sebentar?”
Malik menganggukkan kepalanya. Mereka lalu melangkah menuju bangku panjang yang ada di taman belakang.
“Paman tadi bertemu dengan Non Luna di dapur. Non Luna sepertinya sedang mencarimu.”
“Mencari saya, Paman?” tanya Malik sambil mengernyitkan dahinya.
Thomas menganggukkan kepalanya, “Non Luna terlihat sedih. Sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan Non Luna?”
Thomas terpaksa berbohong, agar Malik mau menceritakan masalah yang tengah dihadapinya.
“Paman... saya bingung harus mulai cerita dari mana. Tapi, semua itu juga bukan salah Non Luna.”
Thomas hanya diam. Ia membiarkan Malik untuk terus bicara.
“Paman... sebenarnya Non Luna...”
“Thomas!” Terdengar suara bariton Johannes.
Thomas beranjak dari duduknya, “Lik, Paman pergi dulu. Kita lanjut lagi nanti pembicaraan kita ini,” ucapnya lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Malik menghela nafas, “untung Tuan Johannes memanggil Paman Thomas. Kalau gak, matilah aku,” ucapnya sambil mengusap dadanya naik turun.
Malik mulai menyeruput kopi yang diberikan Thomas padanya tadi.
“Kopi buatan Paman Thomas memang sangat enak,” ucapnya lalu kembali menyeruput kopi hitam itu.
Malik menatap langit malam yang penuh dengan kerlap kerlip bintang.
Ma, Pa... Malik kangen. Andai kalian ada disini sekarang. Malik ingin cerita sama Mama dan Papa tentang apa yang sedang Malik hadapi saat ini. Apa yang harus Malik lakukan sekarang, Ma, Pa?