Bab 11. MB

2491 Words
Luna membuka kedua matanya dengan perlahan. Ia merasa ada yang tengah menggenggam tangannya. Ia melihat Malik yang masih tertidur sambil terduduk di sebuah kursi. Kenapa Malik bisa ada di kamar ini? apa semalam aku kembali mengigau? Luna memang sering mengigau kalau tidur. Tapi itu terjadi kalau Luna tak tidur di kamarnya sendiri atau di tempat yang asing baginya. Dengan tangan satunya, Luna mengusap lembut rambut Malik. Aku bersyukur, Papa menjadikan kamu bodyguard aku. Entah apa yang sebenarnya terjadi padaku, tapi aku yakin, kalau apa yang aku rasakan ini adalah perasaan cinta. Lik, aku mencintaimu. Tapi, aku gak akan memberitahu kamu sampai aku benar-benar memastikan dengan apa yang aku rasakan ini. “Lik, bangunlah,” pinta Luna sambil mengusap pipi Malik, karena saat ini Malik tertidur dengan posisi wajah menghadap Luna. Malik yang merasakan usapan di pipinya, langsung membuka kedua matanya. Ia lalu menegakkan duduknya dan menarik tangannya yang saat ini tengah menggenggam tangan Luna. Astaga! Kenapa justru aku yang menggenggam tangan Non Luna? padahal semalam Non Luna yang gak mau melepas tangan aku. “Maaf, Non. Saya ketiduran.” Luna tersenyum, “kenapa kamu ada di kamar ini? apa semalam aku mengingau?” Malik menganggukkan kepalanya, “iya, Non. Non Luna terus memanggil papa Non Luna. Kebetulan saya mendengar suara Non Luna, makanya saya langsung masuk ke kamar Non Luna.” “Saat saya ingin membetulkan selimut Non Luna, Non Luna malam menggenggam tangan saya. Saya ingin menunggu Non Luna melepaskan genggaman tangan Non Luna, tapi malah ketiduran. Maafkan saya, Non. Saya tidak bermaksud untuk lancang,” lanjut Malik dengan menundukkan wajahnya. Luna lalu bangun dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran ranjang. “Non Luna mau cuci muka?” Luna menggelengkan kepalanya, “aku mau mandi. Badan aku rasanya gimana gitu, karena kemarin aku gak mandi.” Luna lalu menatap pakaian yang kemarin ia taruh di atas sofa. “Lho, kemana pakaian aku? seingat ku semalam kamu...” “Maaf, Non. Semalam saya meminta Jenar untuk mencucinya, agar bisa Non pakai hari ini.” “Semalam?” Luna mengernyitkan dahinya. Malik menganggukkan kepalanya, “semalam Jenar juga mendengar teriakan Non Luna. Dia semalam juga ada di kamar ini,” jelasnya. Luna mengangguk mengerti, “sekarang tolong bantu aku ke kamar mandi. Aku lupa, kalau hari ini aku ada janji sama Zico.” “Tapi kaki Non belum sembuh. Non tidak boleh banyak bergerak dulu.” “Aku tau. Makanya aku mau ajak kamu untuk ketemu sama Zico.” Malik mengangguk, “baik, Non. Sekarang saya akan membawa Non Luna ke kamar mandi untuk membersihkan diri.” Luna tak peduli dengan air yang ada di rumah Malik. Ia hanya ingin segera membersihkan tubuhnya yang sudah tak terasa nyaman. Malik menutup pintu kamar mandi, membiarkan Luna untuk membersihkan tubuhnya. Ia lalu melangkah menghampiri Jenar yang ada di dapur. “Pagi, Mas,” sapa Jenar dengan senyuman di wajahnya. “Pagi. O ‘ya, nanti kamu antar pakaian Non Luna ke kamar mandi. Aku mau cari sarapan untuk Non Luna.” Jenar menganggukkan kepalanya. “Kamu mau sekalian di belikan sarapan gak?” tawar Malik. Jenar kembali menganggukkan kepalanya. Kedua sudut bibirnya pun tertarik membentuk sebuah senyuman. Ini pertama kalinya Malik perhatian padanya. Hanya dengan seperti ini saja, aku sudah bahagia, Mas. Aku gak minta lebih, asal Mas bisa sedikit perhatian sama aku. “Jangan lupa kamu antar pakaian Non Luna,” ingat Malik pada Jenar sebelum melangkah pergi. Jenar mengambil pakaian Luna yang sudah kering dan sudah disetrika, “bajunya aja sebagus ini. Pasti ini sangat mahal.” Jenar lalu melangkah menuju kamar mandi. Ia lalu mengetuk pintu kamar mandi. “Non, ini pakaian Non Luna.” “Sebentar.” Luna memakai handuk untuk melilit tubuhnya. Ia lalu berjalan tertatih untuk membuka pintu kamar mandi. “Ini, Non,” ucap Jenar sambil mengulurkan pakaian Luna. Luna mengambil pakaiannya dari tangan Jenar, “terima kasih ya. O ya, dimana Malik?” “Mas Malik sedang membeli sarapan, Non. Ada yang bisa saya bantu?” “Em... sebenarnya aku susah memakai celana jeans ini. Sebenarnya aku mau pinjam celana Malik.” “Bagaimana kalau pakai celana saya aja, Non? Celana Mas Malik ukurannya tidak ada yang kecil. Pasti Non Luna juga kebesaran memakainya.” Luna tak ada pilihan lain selain menganggukkan kepalanya. “Tunggu sebentar ya, Non. Saya ambilkan dulu.” Luna kembali menganggukkan kepalanya, “terima kasih ya. Maaf sudah merepotkan kamu,” ucapnya tak enak hati. Jenar menepiskan senyumannya, “tidak merepotkan kok, Non. Saya ambilkan dulu celana panjangnya,” ucapnya lalu melangkah pergi menuju kamarnya. Luna kembali masuk ke dalam kamar mandi. Tapi, saat ingin melangkah masuk, tiba-tiba ia terpeleset dan jatuh. “Aww! Sakit!” pekiknya. Kedua mata Luna membulat dengan sempurna saat melihat perban di kakinya penuh dengan darah. “Tolong! Siapapun tolong aku!” teriak Luna sambil menahan rasa sakit di kaki dan tubuhnya. Malik yang baru saja masuk ke dalam rumah, terkejut saat mendengar teriakan Luna. Ia lalu bergegas menuju kamar mandi dan melihat Luna yang terduduk di lantai kamar mandi. Malik langsung melempar plastik kresek yang ada di tangannya dan bergegas menolong Luna. “Non Luna! astaga, Non! Non Luna kenapa bisa jatuh?” Malik langsung membopong tubuh Luna. Ia bahkan tak peduli dengan penampilan Luna saat ini yang hanya berbalut handuk. Itupun tak bisa menutup seluruh bagian tubuh bawahnya. Jenar yang terkejut mendengar teriakan Luna, langsung bergegas menuju kamar mandi. “Mas, Non Luna kenapa?” tanyanya saat melihat Malik yang sudah membopong tubuh Luna. “Aku memintamu untuk menjaga Non Luna. Tapi apa yang kamu lakukan, hah! Bagaimana Non Luna bisa terjatuh di dalam kamar mandi!” teriak Malik keras hingga membuat Jenar dan Luna terkejut. “Mas... aku gak tau kalau...” “Cukup! Dari dulu kamu memang gak becus melakukan apapun!” teriak Malik lagi. Luna menyentuh pipi Malik, menariknya agar kedua mata indah itu menatapnya. “Lik, jangan salahkan Jenar. Dia gak salah apa-apa. Aku yang kurang hati-hati tadi,” ucap Luna tak enak hati pada Jenar. Karena ketidak hati-hatiannya hingga membuatnya terpeleset, membuat Jenar jadi kena masalah. Ia tak bermaksud untuk menyalahkan siapapun, karena itu murni kesalahannya sendiri. “Tidak, Non. Ini salah Jenar. Tadi sebelum saya pergi, saya sudah memintanya untuk menjaga Non Luna. Tapi apa yang terjadi!” geram Malik sambil menatap Jenar dengan tatapan penuh kebencian. Kedua mata Jenar bahkan sudah dipenuhi cairan bening. “Mas... maafkan aku,” lirihnya. “Ini bukan salah kamu. Aku terpeleset karena aku kurang hati-hati tadi. Maafkan aku,” ucap Luna penuh penyesalan. “Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Non Luna, aku gak akan pernah memaafkan kamu seumur hidupku!” seru Malik lalu membawa Luna menuju kamarnya. Jenar meluruhkan tubuhnya ke lantai. Cairan bening yang sejak tadi sudah memenuhi kedua sudut matanya, akhirnya mengalir membasahi kedua pipinya. Maafkan aku, Mas. Aku minta maaf. Tapi itu bukan salah aku. Sedanglan di dalam kamar, saat ini Luna hanya duduk diam. Tubuhnya bahkan masih berbalut handuk. Kedua matanya menatap Malik yang saat ini tengah mengobati kakinya yang kembali mengeluarkan darah. “Lik...” Malik hanya diam. Tatapannya terus menatap ke kaki Luna yang tengah ia balut dengan perban baru. “Ini bukan salah Jenar. Jangan salahkan dia, Lik,” lanjut Luna. “Setelah ini, kita langsung berangkat ke Jakarta.” Malik bahkan tak menatap Luna. Malik memasukkan obat dan perban ke kotak P3K. “Lik...” Luna memberanikan diri untuk menyentuh dagu Malik yang ditumbuhi bulu-bulu halus. “Lihat aku,” pintanya. Malik menghela nafas, lalu mendongakkan wajahnya menatap Luna. Kedua mata itu saling menatap satu sama lain. Malik bahkan menelan ludah susah payah, saat dirinya baru menyadari, kalau saat ini tubuh Luna hanya berbalut handuk. Bahkan kedua pahanya terekspos dengan sangat jelas di depannya. Malik bahkan tak berani menatap ke bawah. Tatapannya tetap tertuju ke kedua mata Luna. “Jangan marah sama Jenar. Aku mohon,” pinta Luna dengan tersenyum. “Non... karena kelalaian Jenar, Non Luna jadi terpeleset di kamar mandi. Bagaimana kalau sampai Tuan dan Nyonya tau? Mereka pasti akan langsung memecat saya, karena saya telah gagal menjaga Non Luna.” Luna menggelengkan kepalanya, “gak akan ada yang berani memecat kamu selain aku. Termasuk Mama dan Papa aku,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya. “Non...” Kedua pasang mata itu masih saling menatap satu sama lain. Luna mendekatkan wajahnya ke arah Malik. Malik membulatkan kedua matanya. Tapi mulutnya tetap tertutup rapat. Tubuhnya bahkan menjadi beku dan sangat sulit untuk digerakkan. Apa yang akan Non Luna lakukan? Itu yang ada di pikiran Malik saat ini. Jarak wajah Luna dan Malik semakin dekat. Tinggal beberapa inci lagi, kedua bibir itu akan saling bersentuhan. Malik maupun Luna bahkan bisa merasakan hembusan nafas hangat yang keluar dari kedua lubang hidung masing-masing. Malik bahkan sampai menelan ludah dengan susah payah. Hingga terdengar suara pintu terbuka. Malik dan Luna sama-sama terkejut. Begitu juga dengan sang empu yang membuka pintu, yang tak lain adalah Jenar. Luna memundurkan tubuhnya, lalu berdehem. Malik beranjak berdiri. Ia jadi salah tingkah karena ulah Luna barusan. Astaga! Hampir saja aku melakukan kesalahan. “Aku hanya ingin mengantar pakaian ganti untuk Non Luna,” ucap Jenar dengan hati yang tersayat-sayat. Seandainya tadi aku gak masuk, apa yang akan terjadi di antara mereka? Apa mereka akan berciuman? Malik melangkah mendekati Jenar, “aku izinkan kamu untuk membantu Non Luna memakai pakaian. Tapi, kalau sampai kamu melakukan kesalahan lagi, aku gak akan pernah memaafkan kamu!” ancamnya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Jenar. Jenar hanya mampu menganggukkan kepalanya. Malik lalu melangkah keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamar itu. Jenar melangkah mendekati Luna, “Non Luna bisa memakai pakaian saya, karena pakaian Non Luna sudah kotor dan basah.” Luna hanya menganggukkan kepalanya. Entah mengapa ia merasa malu saat menatap kedua mata Jenar. “Apa Non Luna butuh bantuan saya untuk memakai pakaian?” Luna menggelengkan kepalanya, “aku bisa sendiri. Terima kasih untuk tawarannya, dan aku minta maaf. Karena kesalahan aku, Malik jadi marah dan menyalahkan kamu,” ucapnya tak enak hati. Jenar mengangguk, “tapi itu memang salah saya, Non. Saya telah lalai menjaga Non Luna.” Luna menggelengkan kepalanya, “itu bukan salah kamu. Aku akan minta Malik untuk memaafkan kamu dan meminta maaf sama kamu.” “Tidak usah, Non. Mas Malik hanya mengkhawatirkan Non Luna, makanya reaksi Mas Malik seperti itu tadi. Kalau saya yang ada diposisi Mas Malik, saya pasti akan melakukan hal yang sama, karena tugas Mas Malik adalah menjaga Non Luna,” ucap Jenar dengan menepiskan senyumannya. “Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf,” pinta Luna sambil menundukkan wajahnya. Dirinya benar-benar menyesal. Ia tak menyangka, kecerobohannya akan membuat orang lain dalam masalah. Adik kakak jadi saling membenci. Jenar menatap Luna yang menunduk. Aku gak menyangka, gadis yang sudah membuatku sakit hati. Seorang publik figur, kini tengah tertunduk dan meminta maaf padaku. Tapi, aku tetap gak akan melepaskan Mas Malik. Gak akan pernah! Jenar menepiskan senyumannya, “aku sudah memaafkan Non Luna. Sekarang lebih baik Non Luna pakai pakaian dulu, saya akan menyiapkan sarapan.” Luna menganggukkan kepalanya. Jenar lalu melangkah keluar dari kamar itu. Ia melihat Malik yang masih berdiri di depan pintu kamar itu. Jenar menutup pintu kamar itu, “aku ingin bicara sama kamu, Mas.” “Gak ada yang perlu dibicarakan! Kali ini aku memaafkan kamu. Setelah ini, jangan pernah mendekati Non Luna lagi.” Malik berbicara dengan nada dingin. “Mas, kalau tadi aku gak masuk ke dalam kamar kamu. Apa yang akan terjadi antara kamu dan Non Luna? apa kalian akan...” “Cukup! Pergi dari sini sekarang!” “Mas... apa Mas lupa siapa Mas sebenarnya? Mas itu adalah suami aku. Aku istri kamu, Mas! Apa kamu sama sekali gak peduli dengan perasaan aku!” Malik menarik tangan Jenar menjauh dari kamar itu. “Jaga mulut kamu ya! apa kamu lupa, kenapa aku sampai bisa menikah sama kamu, hah!” “Tapi, Mas. Tetap saja aku adalah istri kamu secara agama.” Cairan bening bahkan sudah mulai keluar dari kedua sudut mata Jenar. Malik mengarahkan jari telunjuknya ke arah wajah Jenar. “Sampai aku mati, aku gak akan pernah menganggap kamu sebagai istriku! Andai saja aku gak berjanji sama mama untuk menjaga kamu, aku sudah pergi meninggalkanmu saat ini. Kamu seharusnya berterima kasih sama aku, karena aku masih peduli sama kamu!” geramnya lalu melangkah pergi meninggalkan Jenar. Malik mengetuk pintu kamarnya. “Masuk,” sahut Luna yang sudah selesai berpakaian. Malik membuka pintu kamar itu, “apa Non sudah siap?” tanyanya dengan masih berdiri di depan pintu. “Hem...” Malik lalu melangkah masuk ke dalam kamar, “kalau begitu kita berangkat sekarang.” “Apa kita gak sebaiknya sarapan dulu? aku lapar. Lagian kamu tadi sudah membeli makanan untuk sarapankan?” “Lebih baik kita makan di restoran aja, Non. Kita harus berangkat sekarang juga.” Malik tak ingin berlama-lama di rumah itu. Saat berada didekat Jenar, dirinya hanya terbawa emosi. Ia hanya takut tak bisa menahan emosinya dan akan berakibat fatal pada dirinya dan juga pekerjaannya. “Tapi bagaimana dengan Jenar? Apa kamu sudah memaafkannya?” “Sudah, Non. Saya sudah memaafkan kesalahannya.” “Tapi itu kesalahan aku, Lik. Bukan salah Jenar.” Malik hanya diam. Ia lalu mengambil tas selempang Luna. “Apa saya boleh membopong Non Luna menuju mobil?” Entah mengapa, saat mengingat kejadian tadi, membuat Malik malu saat menatap kedua mata Luna. Begitu juga dengan Luna. Luna menganggukkan kepalanya. Malik lalu membopong tubuh Luna. Luna merangkulkan kedua tangannya ke leher Malik. Wajah merekapun sangat dekat. “Lik, kamu harus meminta maaf kepada Jenar atas sikap kasar kamu tadi. Aku gak menyangka, kamu bisa sekasar itu sama wanita. Apalagi wanita itu adalah adik kamu sendiri.” Malik hanya menganggukkan kepalanya, “maafkan saya, Non. Saya hanya tak ingin sampai Non Luna terluka.” Luna menyentuh pipi Malik, lalu tersenyum, “terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku.” “Itu sudah menjadi tugas saya, Non. Saya harus memastikan keamanan Non Luna.” Malik lalu melangkah menuju pintu. Luna menarik handle pintu itu, agar pintu itu terbuka, karena Malik tak bisa menggunakan tangannya untuk membuka pintu. Malik dan Luna berpapasan dengan Jenar di depan pintu, karena Jenar membawakan peralatan mandi Luna. “Lik...” Malik menghentikan langkahnya. “Apa janji kamu tadi?” Malik menghela nafas, lalu kedua matanya menatap ke arah Jenar. “Maaf.” Jenar tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. Luna tersenyum, “aku juga minta maaf ya, karena aku, Malik jadi memarahi kamu. Sekalian aku mau pamit.” Jenar menganggukkan kepalanya, “hati-hati ya, Non.” Luna mengangguk, lalu tersenyum. Malik kembali melanjutkan langkahnya menuju mobil. Jenar membukakan pintu penumpang depan. Malik mendudukkan Luna di kursi penumpang, lalu menutup pintu mobil itu. Malik mengambil perlengkapan mandi Luna yang ada di tangan Jenar. Ia lalu berjalan memutar menuju pintu pengemudi, membuka pintu, dan masuk ke dalam mobil. Luna melambaikan tangannya saat Malik mulai melajukan mobilnya. “Lik, kenapa sikap kamu begitu dingin sama Jenar?” Malik hanya diam dan fokus menatap ke depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD