Bab 12. MB

2174 Words
Luna menatap Malik yang saat ini tengah fokus menyetir. Ia lalu menghela nafas, saat Malik tetap diam dan tak menjawab pertanyaannya. “Lebih baik kita sarapan di restoran dekat sini saja.” Luna hanya diam. Malik menatap Luna, “Non...” “Jangan bicara sama aku!” kesal Luna. Malik yang sudah kembali menatap ke depan, hanya bisa menghela nafas. Ia lalu menghentikan mobilnya di parkiran restoran itu. “Non...” panggilnya lagi. Luna tetap diam. Tatapannya bahkan mengarah keluar jendela. “Ada hal yang tak bisa saya ceritakan kepada Non Luna. Tidak semua urusan pribadi saya harus saya ceritakan kepada Non Luna. Maafkan saya, Non. Saya tidak bermaksud untuk membantah. Tapi, saya benar-benar minta maaf.” Luna menghela nafas. Kali ini ia tak akan memaksa Malik untuk cerita tentang keluarganya. Ia akan mulai mencari informasi itu secara perlahan. “Aku lapar.” Malik tersenyum, “saya akan bantu Non Luna untuk keluar.” Luna menarik tangan Malik saat Malik ingin membuka pintu mobil. “Aku makan disini saja. Aku hanya gak ingin sampai ada orang yang mengenaliku. Apalagi kondisi kakiku seperti ini.” Malik mengangguk mengerti, “kalau begitu Non Luna tunggu disini dulu. Saya akan pesankan makanan untuk Non Luna.” “Untuk kamu juga, memangnya kamu gak lapar?” “Iya, untuk kita berdua,” ucap Malik dengan senyuman di wajahnya. Malik lalu membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil. Luna melihat Malik yang berjalan menuju lobby restoran. Senyuman yang sangat manis. Sepertinya aku sudah benar-benar jatuh cinta sama kamu, Lik. Luna lalu teringat kejadian saat di kamar Malik tadi. Ia lalu menepuk keningnya sendiri. Astaga, Luna! apa yang sudah kamu lakukan? Apa kamu sudah gila, sampai kamu berniat untuk mencium bibir Malik! Dimana harga diri kamu sebagai seorang wanita? Apa kamu gak mau sama Malik kalau sampai itu benar-benar terjadi? Luna mengusap dadanya yang tiba-tiba berdebar-debar dengan sangat cepat. “Untung tadi Jenar masuk, sehingga membuatku sadar dengan apa yang akan aku lakukan tadi. Tapi, aku jadi malu saat melihat Jenar tadi.” Kedua pipi Luna bahkan sudah memerah saat membayangkan kejadian di kamar Malik tadi. Malik membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalam mobil. Kening Malik mengernyit, saat melihat kedua pipi Luna yang merona. “Non, apa yang terjadi? Kenapa kedua pipi Non Luna memerah?” Malik meletakkan paperbag di pangkuannya, ia lalu menempelkan telapak tangannya di kening Lun. “Tapi badan Non Luna gak demam.” Luna menyingkirkan tangan Malik dari keningnya. “Aku baik-baik saja kok. O ya, kamu beli apa untuk sarapan kita?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Malik membuka paperbag yang ada di pangkuannya. “Saya membeli sandwich untuk Non Luna dan nasi goreng untuk saya.” Malik mengambil kotak makanan yang berisi beberapa potong sandwich kepada Luna. Luna mengambil kotak makanan itu, “terima kasih ya,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. “Sudah tugas saya untuk melayani Non Luna. Lebih baik sekarang Non Luna makan sandwichnya, nanti kita lanjutkan perjalanan,” ucap Malik dengan menepiskan senyumannya. Luna menganggukkan kepalanya. Ia lalu membuka kotak makanan itu dan mengambil sepotong sandwich, lalu mulai memakannya. Begitu juga dengan Malik mulai memakan nasi goreng yang tadi dibelinya. Setelah lima belas, Malik selesai makan. Ia lalu memasukkan kotak makanan itu kedalam paperbag. “Kita berangkat sekarang ya, Non.” Luna yang masih mengunyah sandwich, hanya mampu menganggukkan kepalanya. Malik tersenyum saat melihat Luna makan sandwich dengan begitu lahapnya. Astaga! Apa Non Luna sangat lapar ya? sampai-sampai makannya seperti itu. Luna yang merasa diperhatikan oleh Malik, langsung mengalihkan tatapannya menatap Malik. “Why? Apa ada yang aneh di wajah aku?” tanyanya penasaran. “Non Luna makannya pelan-pelan aja, gak ada yang minta kok,” ucap Malik dengan tersenyum manis. Luna menatap bibir tebal Malik. Bibir yang terlihat sangat seksi dan membuatnya ingin sekali mengecup bibir itu. Astaga! Apa yang sedang aku pikirkan? Luna lalu memalingkan wajahnya dan kembali melanjutkan makannya. Buang pikiran kotormu, Luna. Jangan sampai Malik berpikiran jelek tentang kamu. Setelah menempuh perjalanan panjang, Luna dan Malik akhirnya sampai di rumah dengan selamat. Malik membopong tubuh Luna masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, mereka berpapasan dengan Melani. “Sayang... astaga! Kamu benar-benar bikin Mama cemas.” Melani lalu mendekati Luna yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Menatap penampilan Luna dari atas sampai bawah. “Sayang, pakaian siapa yang kamu pakai?” tanya Melani kemudian. “Ini pakaian adiknya Malik, Ma. Soalnya pakaian Luna kotor,” ucap Luna sambil menatap penampilannya sendiri. Malik membungkukkan tubuhnya, “maafkan saya, Nyonya. Ini semua salah saya.” “Ma, ini salah Luna. Luna yang ngotot ingin menginap di rumah Malik. Jadi jangan salahkan Malik,” pinta Luna sambil menatap Malik. Melani menghela nafas, “kalau sampai Papa kamu tau, bukan hanya kamu Sayang yang akan kena marah. Tapi Mama dan Malik juga.” Luna menggenggam tangan mamanya yang saat ini sudah duduk di sampingnya. “Luna mohon, Ma. Jangan kasih tau Papa. Luna janji, ini terakhir kalinya Luna menginap di luar. Luna janji, Ma,” pintanya memelas. Melani menganggukkan kepalanya. Ia juga tak mungkin membuat Luna dalam masalah. “Lebih baik sekarang kamu mandi. Setelah itu makan siang. Bibik baru saja selesai memasak.” Luna menganggukkan kepalanya, “makasih ya, Ma.” Luna lalu memeluk mamanya, “Luna sayang Mama,” lanjutnya. Melani mengusap punggung Luna, lalu melepaskan pelukan Luna. “Mama juga sayang sama kamu, Sayang. Makanya Mama sangat cemas saat Malik memberitahu Mama kalau kamu mau menginap di rumah Malik. Apalagi selama ini kamu paling susah untuk tidur di rumah orang lain.” Melani lalu menatap Malik, “apa terjadi sesuatu semalam? Maksud saya, apa Luna semalam mengigau?” Luna menatap Malik dengan tajam. Berharap Malik tak menceritakan apa yang terjadi di rumah Malik. Termasuk tentang dirinya yang terpeleset di kamar mandi rumah Malik. “Tidak, Nyonya. Semua baik-baik saja,” bohong Malik. Luna menghela nafas lega, “Ma. Apa Mama lupa, kalau Malik itu Bodyguard Luna? dia akan selalu menjaga Luna dan tak akan membiarkan Luna terluka,” ucapnya dengan tersenyum. Melani menggenggam tangan Luna, “Mama hanya gak ingin sampai terjadi apa-apa sama kamu, Sayang. Kamu adalah tanggung jawab Mama.” “Luna bisa jaga diri, Ma. Selain itu, Luna punya malaikat yang akan menjaga Luna selama dua puluh empat jam,” ucap Luna sambil menatap Malik. “Luna ke kamar dulu ya, Ma. Gerah, Luna mau mandi. Badan Luna juga bau,” ucapnya lalu mencium bau tubuhnya. Melani hanya geleng kepala melihat tingkah putrinya. Badan harum gitu dibilang bau. Astaga! Dasar putrinya ini paling benci dengan tubuh yang penuh dengan keringat. “Lik, bantu Luna ke kamarnya,” pinta Melani sambil menatap Malik. “Baik, Nyonya.” Malik lalu membopong tubuh Luna dan membawanya menuju tangga. “Lik, maaf ya, kamu harus terus menggendongku seperti ini,” ucap Luna saat Malik mulai menaiki anak tangga. “Ini sudah jadi tugas saya, Non. Jadi, Non Luna tidak perlu meminta maaf.” “Pasti badan aku berat ya,” ucap Luna sambil mengerucutkan bibirnya. “Tidak kok, Non.” “Bohong. Kamu pasti sekarang sedang membatin tentang berat badan aku.” “Tidak, Non. Saya mana berani, Non.” Malik lalu membuka pintu kamar Luna, lalu melangkah masuk ke dalam kamar itu, dan mendudukkan Luna di tepi ranjang. “Non mau mandi sekarang atau nanti?” “Sekarang. Tapi aku mau berendam. Badan aku lengket rasanya.” “Kalau begitu saya siapkan airnya dulu.” “Jangan lupa kasih wangi-wangian yang biasa aku pakai.” Malik menganggukkan kepalanya. Ia lalu melangkah menuju kamar mandi. Luna mengambil ponselnya yang ada di dalam tas selempang yang tadi Malik letakkan di atas ranjang. Ada banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Adelia dan Zico. Luna lalu menghubungi Zico. “Halo, Na,” sapa Zico saat panggilan itu mulai tersambung. “Halo, Zic. Aku minta maaf ya, aku gak bisa menemuimu sekarang. Kaki aku masih sakit buat jalan. Aku juga gak enak sama Malik, kalau harus ngerepotin dia terus.” “Kenapa kamu gak jawab panggilan aku? kenapa pesan aku gak kamu balas.” “Maaf, aku gak tau kalau kamu menghubungiku.” Luna menatap Malik yang sudah keluar dari dalam kamar mandi dan sedang melangkah ke arahnya. “Zic, nanti aku hubungi kamu lagi.” Luna lalu mengakhiri panggilan itu. “Airnya sudah siap, Non.” “Bantu aku,” pinta Luna lalu mengulurkan kedua tangannya. Malik menyambutnya dan langsung membopong tubuh Luna. Luna melingkarkan kedua tangannya ke leher Malik. Ia tatap wajah tampan pria yang saat ini tengah menggendongnya. Malik menurunkan Luna di depan pintu kamar mandi, lalu membuka pintu kamar mandi itu. “Lik, tetap disini. Jangan kemana-mana,” pinta Luna sambil menggerakkan jari telunjuknya ke arah Malik. Malik menganggukkan kepalanya, “baik, Non.” Luna lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi dengan tertatih. Malik lalu menutup pintu kamar mandi itu. Ia memilih untuk tetap berdiri di samping pintu kamar mandi. Ia hanya tak ingin sampai Luna kembali terpeleset seperti saat berada di rumahnya tadi pagi. Setelah satu jam, Luna sudah selesai mandi. Ia lalu membalut tubuhnya dengan handuk. Dengan langkah tertatih, ia membuka pintu kamar mandi. Luna tersenyum, saat melihat Malik masih berdiri di samping pintu kamar mandi. “Lik, papah aku aja. Kamu gak perlu menggendongku.” “Tapi, Non. Luka Non belum sembuh sepenuhnya.” “Gak apa. Aku harus belajar bukan? Aku hanya gak ingin merepotkan orang lain.” “Maafkan saya, Non. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Maafkan atas kelancangan saya.” Tanpa pikir panjang, Malik langsung membopong tubuh Luna. Ini kedua kalinya, Malik bisa merasakan kulit Luna yang begitu lembut. Luna bisa merasakan sentuhan tangan kekar Malik ke kedua pahanya. Jantungnya kembali berdetak dengan sangat cepat. Kedua matanya menatap ke arah kedua mata Malik. “Lik...” lirihnya. Malik yang sejak tadi mencoba untuk tetap tenang, bahkan tak menghiraukan panggilan Luna. Malik mendudukkan Luna ke tepi ranjang. Mereka berdua sama-sama diam. “Maafkan saya, Non,” pinta Malik sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. Luna menatap ke arah Malik, “apa kamu mau membantuku untuk mengganti perban di kakiku? Perbannya tadi basah terkena air. Kakiku rasanya sangat sakit.” “Baik, Non.” Malik lalu membuka laci lemari kecil yang ada di dekat ranjang, lalu mengambil kotak P3K. Malik duduk berjongkok di depan Luna, karena ia tak punya pilihan lain. Bahkan kedua matanya bisa melihat dengan jelas betapa putih dan mulusnya kulit Luna. “Tahan sebentar ya, Non. Ini akan sedikit terasa sakit,” ucap Malik saat mulai membuka perban di kaki Luna. Malik bahkan harus menelan ludah dengan susah payah, saat mengangkat kaki Luna dan meletakkannya di atas pahanya. Luna merasa ada yang aneh dalam tubuhnya. Mendapatkan sentuhan selembut itu dari Malik di kakinya, membuat tubuhnya memanas. Luna mulai meringis menahan sakit, saat Malik mulai mengoleskan obat di lukanya. “Aw!” pekik Luna sambil mencengkram kedua bahu Malik. Malik mendongakkan wajahnya. Ia begitu terkejut, saat wajahnya begitu dekat dengan wajah Luna. “Ta—tahan sebentar ya, Non. Saya akan lebih berhati-hati.” Luna hanya menganggukkan kepalanya. Kedua mata Malik bahkan sempat melihat bagian atas tubuh Luna yang sedikit menyembul. Astaga! Kenapa aku harus berada di situasi ini? aku harus segera keluar dari kamar ini. Malik mulai memasang perban di luka kaki Luna. Setelah selesai, ia lalu menurunkan kaki Luna dari pahanya. Luna menahan Malik, saat Malik ingin beranjak berdiri. “Non...” Wajah Malik dan Luna sangat dekat. Entah ada dorongan dari mana, Luna semakin mendekatkan wajahnya. “Lik. Apa kamu punya kekasih?” “Non...” Malik memundurkan kepalanya, karena wajah Luna semakin mendekat ke wajahnya. “Jawab pertanyaan aku.” Wajah mereka sudah sangat dekat. Mereka bahkan bisa merasakan hembusan nafas hangat yang keluar dari kedua lubang hidung mereka. “Non... apa yang Non Luna lakukan?” Malik bahkan harus menopang tubuhnya dengan kedua tangannya, karena Luna semakin mendorongnya ke belakang. Malik terkejut, saat tiba-tiba Luna kehilangan keseimbangan dan tubuhnya jatuh menimpanya. Kini Luna berada di atas tubuh Malik. Malik menatap kedua mata Luna, karena ia tak berani menatap bagian lainnya yang tentu saja mampu membangkitkan jiwa kelelakiannya. “Non...” “Lik, aku... aku...” kedua mata Luna menatap bibir seksi Malik yang sangat menggodanya. “Non... apa yang...” Malik membulatkan kedua matanya saat tiba-tiba Luna menyatukan bibirnya dengan bibirnya. Itupun terjadi hanya sekejap, karena Luna kembali menarik bibirnya. “Non Luna... apa yang...” “Lik... aku mencintaimu.” Kedua mata Malik semakin membulat dengan sempurna. Ia mencoba untuk mencerna kata-kata yang baru saja Luna katakan padanya. Apa? Non Luna bilang apa barusan? Cinta? Non Luna mencintaiku? Gak! Ini mustahil. Non Luna gak mungkin bilang seperti itu. Aku pasti salah. “Lik, aku mencintaimu. Apa kamu mau menjadi kekasihku?” Kali ini suara Luna terdengar dengan sangat jelas. “Non... ini salah. Saya mohon, jangan katakan itu lagi. Saya hanya tidak ingin sampai Tuan dan Nyonya mendengarnya.” Malik lalu membantu Luna untuk bangun. Ia membantu Luna untuk duduk di tepi ranjang. Ia terkejut, saat melihat kaki Luna yang kembali mengeluarkan darah. Astaga! Apa yang sudah aku lakukan? “Non... maafkan saya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD