Chapter 13

1034 Words
Devani membuka suara. "Kalau itu dari Ayahmu, pasti Ibumu dengan yakin mengatakannya. Ibumu saja tidak tahu siapa siapa pengirimnya." ucap Devani. Grace menyuapkan sesendok makanan kemulutnya, mengunyahnya dengan santai. Lalu setelah menelan makanannya Grace mengatakan  "Benar juga. Tapi kalau bukan Ayahku siapa lagi?" tanya Grace. "Mungkin dari penggemar rahasiamu." ucap Devani berbisik dibuat dramatis. "Mungkin." ujar Grace sedikit kecewa.  Ia sebenarnya berharap jika yang mengirimnya adalah pria tampan yang sangat mencintainya. Atau pria yang selama ini ia tunggu. Grace hanya ingin tahu siapa pengirim bunga mawar merah ini sebenarnya. Setidaknya, dua kali dikirimi mawar merah membuat Grace penasaran. Ia lebih suka jika sang pengirim memberinya secara langsung. Namun jika dengan sembunyi-sembunyi seperti ini , membuatnya bingung, gelisah, juga bimbang. Dan mengenai tentang barbie. Ia juga tidak yakin ayahnya yang mengirimkan. Karena ayahnya adalah orang pertama yang menentang keputusan Grace untuk memelihara anjing perempuan. Dan lagipula, ayahnya bukan tipikal orang yang akan rela merepotkan diri untuk membuat kejutan. Ayahnya tidak semanis itu. Grace menatap bunga mawar merah yang ia genggam. Menebak-nebak siapa yang dengan misteriusnya mengirim bunga ini. Atau mungkin dua bunga mawar merah ini dari dua orang yang berbeda yang ingin mengerjainya. Membuatnya harus membuang waktu hanya untuk rasa penasaran yang mempermainkannya. Grace tidak ingin ambil pusing. Ia kemudian menyantap pesananya yang baru saja tiba saat dirinya menatap hambar kearah bunga mawar itu. "Bagaimana kabar hubunganmu dengan Edward?" tanya Devani kemudian. Edward? Grace bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengan CEO muda yang tampan dan playboy itu. Mendengar Edward. Grace teringat sikapnya dua hari yang lalu. Pria itu mencium keningnya ditempat ini. Disini, ditempat yang sama. Tempat dimana Grace biasa menghabiskan waktunya untuk makan siang ataupun mengobrol dengan Devani. Pria itu kini tidak muncul lagi. Membuat Grace merasa senang-ada yang kurang- akan ketidak munculannya dihadapan Grace. Bagaimana bisa Grace lupa. Bahwa dua hari yang lalu. Pria bernama Edward Jacob itu datang menghampirinya. Dan tanpa dosa, ia mengusir Devani secara halus. Lalu tanpa Grace minta, Edward mengatakan bahwa ia akan pergi ke Las Vegas selama beberapa hari. "Hubunganku hanya rekan bisnis. Dan cukup baik, karena sejauh ini kami menjalin kerja sama. Dia, eh perusahaanya sangat menguntungkan perusahaanku." ujar Grace lalu ia menyeruput jus alpukat kesukaannya. "Grace jangan terlalu kaku begitu. Maksudku, aku tau hubungan kalian bukan hanya sekedar rekan bisnis. Kalian terlihat seperti sepasang kekasih. Dan kalian terlihat sangat serasi" ucap Devani. "Jangan terlalu banyak bicara. Dia hanya seorang playboy, yang sering mempermainkan wanita." ucap Grace. "Tetapi dia tampan dan kaya Grace." ucap Devani. "Tampan? Bagiku pria tampan itu bukan hanya dilihat dari fisiknya, Dev. Pria dengan karakter yang baik hati, setia, cerdas, dan bertanggung jawab akan memancarkan ketampanan dengan sendirinya." "Dan ya, untuk masalah kaya. Banyak pria diluar sana yang pekerja keras dan kaya yang jauh lebih baik dibanding Edward yang hanya bisa menghamburkan harta orang tuanya untuk bermain bersama jalang." sambung Grace kemudian. "Kalau kau terlalu banyak berpikir untuk mendapat pria dengan karakter sebaik itu di zaman seperti ini. Kau tidak akan mendapatkannya, Grace. Ayolah sekarang ini sudah modern. Jadi wajar jika Edward sering bermain-main dengan jalang. Dan satu hal lagi, dia tidak menghamburkan harta orang tuanya. Dia juga bekerja keras menjadi CEO. Dan sebelum menjadi CEO. Aku yakin, dia mengalami masa-masa sulit dan penuh perjuangan." ucap Devani. Grace mengunyah makanannya yang terakhir, lalu segera menyeruput jus alpukatnya. Dan ia menghela napas. "Aku tidak peduli, Dev. Aku sudah menyiapkan diri sebaik mungkin agar pasanganku nanti sama baiknya dengan diriku. Aku ingin mendapat pria yang baik. Dan bagiku Edward Jacob tidak lebih dari sekedar pecundang." Devani menganga lebar, namun Grace terus melanjutkan ucapannya. "Pecundang yang meniduri wanita, lalu pergi meninggalkan wanita itu seperti sebuah sampah. Dia saja tidak bisa menghormati wanita, Dev. Bagaimana dia bisa menghormati pasangannya?" ucap Grace tanpa dosa. "Em, Grace, tidak baik bicara begitu." ucap Devani. "Biarkan saja. Lagipula itu fakta. Dan aku sangat membenci pria seperti itu." ucap Grace. ------ "Jadi kau sangat 'mencintaiku' rupanya" suara bariton terdengar dari belakang Grace. Membuat Grace terkejut dan otomatis kedua matanya membulat. Sedangkan Devani hanya terdiam menunduk. Grace merasa ia mengenali suara itu. Suara seseorang yang baru saja beberapa detik lalu ia bicarakan. Edward, batin Grace.  Ia lantas menoleh kebelakang. Ekspresi Edward cukup datar. Namun terlihat amarah tertahan dari sorot matanya. Rahangnya pun mengeras. Grace hanya bisa terdiam. Mendadak lidahnya terasa kelu. Ia menjadi sulit menelan ludah. Bahkan ia langsung menatap Devani yang juga terdiam. Berbagai ekspetasi muncul di pikiran ya. Mungkin Edward akan menjambaknya, memukulnya. Memakinya hingga semua orang yang berada disini menjadikan Grace sebagai pusat perhatian. Membayangkan betapa malunya Grace jika hal itu terjadi. Sangat tidak lucu jika tragedi ini tercium oleh awak media, dan Grace akan digiring kesana kemari seolah ia tersangka pidana mati. Dan mungkin yang paling parah, Edward akan membatalkan kontrak kerja sama perusahaan. Sehingga perusahaan lain akan mengikuti jejaknya. Kerugian besar akan terjadi, Grace akan jatuh miskin. Ayahnya akan memarahinya dan- "Em, saya permisi Mr.Edward" ucap Devani membuyarkan segala prasangka buruk Grace. Devani dengan mudahnya menghindar, dan Edward mengizinkan. Lagipula Edward sedari tadi masih tetap di posisinya, menatap Grace dengan tatapan tajam. "Em, kalau begitu saya juga permisi Mr.Edward" ucap Grace berdiri dan berbalik untuk menatap Edward. Baru hendak melangkah Edward memaksanya kembali duduk. Membuat Grace merasa tidak tenang. Edward lantas mengambil posisi duduk tepat dihadapan Grace, ditempat yang tadinya diduduki oleh Devani. Tetap menatap Grace yang sedari tadi terlihat sangat gelisah. Grace hanya menunduk dan tidak berani menatap Edward. Untuk berbicara pun lidahnya terasa kelu. Edward memejamkan matanya. Berusaha meredakan amarah yang sedari tadi ia tahan. Tangannya mengepal keras. "Terimakasih atas pujiannya. Aku sangat mencintaimu" ucap Edward setelah membuka matanya. Hening, Grace masih menunduk. Ia merasa bersalah dan takut. Ucapan Edward memang terdengar datar. Namun tersirat kemarahan disetiap nadanya.  Edward terdiam sejenak. Selain meredakan amarahnya ia berusaha menyusun kata-kata yang tepat. Dihadapannya ada Grace yang kini terlihat ketakutan. Jika saja Grace adalah seorang pria yang berani berkata seperti itu, sudah bisa dipastikan akan ada upacara pemakaman hari ini. Sebisa mungkin Edward terlihat tenang, agar Grace bisa menilai bahwa ia sangat menghormati wanita. "Aku sangat merindukanmu" ucap Edward lirih. Tatapannya tidak beralih dari Grace sedetikpun. "Kau tahu. Aku sangat merindukanmu." "Sampai-sampai aku langsung datang kemari setelah jetku mendarat. Setelah pekerjaanku selesai aku segera datang untuk menemuimu." ucap Edward.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD