Chapter 21

1192 Words
"Restoran?" tanya Edward dan dibalas anggukan oleh Ludwig. "Bukankah Daddy sudah mempunyai beberapa restoran. Mengapa tidak proyek lain. Seperti tempat wisata mungkin." usul Edward kemudian. Ludwig menatap Alex, seolah memberikan kode agar Alex yang menjelaskan alasan dibalik pilihannya yang jatuh pada restoran untuk menjadi proyek selanjutnya. "Untuk saat ini, restoran menjadi pilihan paling menjanjikan, Ed. Gaya hidup mewah orang-orang yang kebanyakan lebih memilih restoran sebagai tempat makannya menjadi alasan utama. Selain itu, Daddy juga menginginkan ada restoran . Tapi kali ini tanpa embel-embel nama 'Jacob'." tutur Alex. "Ya benar, Ed. Daddy ingin membuat sebuah restoran besar. Tapi Daddy tidak ingin restoran ini besar hanya karena ada nama keluarga kita. Daddy tidak ingin masyarakat mengenal restoran ini hanya karena kepopuleran keluarga Jacob. Daddy ingin restoran ini terkenal karena cita rasa dan kualitas yang baik." "Baiklah jika begitu. Aku setuju." ucap Edward. "Mungkin hanya itu saja yang kita rapatkan malam ini." ujar Ludwig. "Baiklah, Dad. Kalau begitu aku kekamar. Lex, aku duluan." Alex mengangguk, Edward kemudian berdiri dan meninggalkan ruang kerja Ludwig. Alex masih terlihat sibuk dengan dokumennya hingga ketika Edward menutup pintu. Sedangkan Ludwig menyesap kopinya yang hangat. Ditatapnya Alex yang terlihat serius. "Dia tetap saja penurut." ujar Ludwig kemudian.  Alex menoleh dan tersenyum. "Benar, Dad. Edward adalah anak yang sangat penurut dan baik." "Bagaimana hubungannya dengan Grace?" tanya Ludwig . "Yah seperti yang Dad ketahui. Mereka berdua masih sama-sama canggung dan belum melakukan pendekatan apapun." jawab Alex. "Seharusnya aku dan Federico merealisasikan rencana perjodohan ini." ujar Ludwig. "Jangan, Dad. Biarkan saja mereka berhubungan dengan caranya sendiri. Lagipula untuk saat ini, sepertinya Edward tidak bisa dipaksa. Aku khawatir dia masih trauma akan luka masa lalu. Aku tidak ingin itu berdampak lebih buruk dan semakin memperburuk sikap Edward. Bukankah dia sudah cukup gila saat ini dengan bergonta-ganti pasangan." keluh Alex. "Kau benar. Edward yang malang." "Lagipula kurasa mereka sudah semakin dekat sekarang. Dan aku bisa melihat ada cinta dimata Edward saat ia menatap Grace." ucap Alex. "Benar. Kuharap Grace dapat merubah perilaku Edward. Wanita itu sangat baik. Dan dia sangat pantas untuk Edward." ucap Federico. "Iya, Dad. Aku juga berpikiran seperti itu." sahut Alex. Ludwig menyeringai. "Jadi bagaimana kabar kekasihmu itu?" tanya Ludwig. Alex tersenyum canggung. "Dia baik dan sehat."                                ---- "Hello Barbie, Puppy" sapa Grace ketika ia tiba dikamar. Kedua anjing lucu itupun lantas dengan imutnya menyambut kedatangan Grace. "Aku ingin menceritakan sesuatu." Grace melangkah menuju balkon kamarnya. Langkah kakinya yang pelan dapat dengan mudah diikuti oleh dua ekor anjing kesayangannya. Grace duduk dengan santai disofa. Kemudian ia mengangkat Barbie dan juga Puppy agar bisa duduk disebelahnya. Namun rupanya kedua anjing itu tidak puas. Merekapun berebut duduk dipangkuan Grace. "Baiklah. Kalian sudah sangat tidak sabar" Grace membelai secara bergantian kedua anjingnya. "Jadi Barbie. Tadi siang, aku menemui tuanmu. Tuan yang memberikanmu untukku."  "Aku meminta maaf padanya karena telah membicarakan keburukannya. Itu terjadi seminggu yang lalu." "Dan dia mau memaafkanku. Tapi sesuatu terjadi hingga tanganku kepanasan." Grace tersenyum. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya. Memandangnya lekat, kemudian ia melanjutkan ucapannya. "Dia melakukan hal manis." senyum diwajah Grace semakin merekah. "Dia melakukan hal yang bahkan tak pernah aku bayangkan ketika aku bersama orang asing." "Tapi, dia orang asing." gumam Grace kemudian. "Tapi. Aku sudah cukup mengenalnya. Dia orang yang menyenangkan dan tampan." Grace membayangkan wajah tampan Edward yang tadi dengan manis meniup tangannya. Wajah tampan Edward yang tertawa ketika mengobrol. Wajah tampan Edward yang menyeringai nakal ketika menggoda Grace. Wajah tampan Edward yang datar ketika ia masih belum memaafkan Grace. Grace jadi mengagumi ketampanan Edward. Mengapa ia baru sadar jika Edward setampan itu. "Ah. Fokus Grace.. Fokus. Ingat, oke. Berhenti mengagumi pria. Jaga hatimu oke. Sudah hampir 10 tahun berlalu bukan. Hanya tinggal sebentar lagi. Lupakan saja kekaguman itu, Grace." ujar Grace menampar-nampar pipinya sendiri. Grace lantas menghembuskan napasnya kasar.  Lalu ia menatap nanar pada kedua anjingnya. "Sudahlah ayo masuk. Aku mengantuk." Grace memutuskan menggendong anjing-anjingnya kedalam. Lalu Grace menidurkan mereka dikandang masing-masing. Setelah itu Grace tertidur dengan memeluk guling kesayangannya.  Berharap mimpi indah akan menghinggapi tidurnya, dan besok pagi ia akan bangun dengan semangat baru. ----- "Apa?" Grace terkejut ketika mendengar kabar dari Devani melalui telepon . Perempuan itu meminta izin pada Grace. Ia tidak bisa pergi kekantor karena adiknya sedang sakit. "Apa sakitnya parah?" tanya Grace. "Tidak. Hanya demam. Tapi, ya kau tahulah. Tidak akan ada yang menjaganya."  Grace menghela napas. Ia tahu betul Devani yatim piatu. Ia hanya tinggal dengan adik laki-lakinya, Fero yang baru berusia 10 tahun. Dan saat adiknya sakit seperti ini, mau tidak mau Devani harus meminta izin untuk merawatnya. "Baiklah. Titip salam untuk adikmu. Semoga dia cepat sembuh." ujar Grace. Merekapun mengakhiri pembicaraan mereka ditelpon.  Grace menaikkan alisnya. Ia jadi teringat pada Gabriella. Si cerewet itu bahkan tidak pernah sakit. "Hebat sekali dia." Grace terkekeh. Membayangkan betapa kuat adiknya karena tak pernah terserang penyakit. "Mungkin sore nanti aku akan ketempat Devani." pikir Grace. Baru saja Grace hendak melanjutkan aktivitas nya mengecek laporan. Asistennya yang bertugas berjaga diluar ruangannya datang. "Maaf, Nona. Sir Ludwig ada disini. Beliau ingin bertemu dengan anda."  Grace membulatkan matanya.  Untuk apa Ludwig datang sepagi ini ke kantornya. "Benarkah. Tunggu apa lagi, suruh dia masuk." ujar Grace . Asisten tersebut menganggukkan kepalanya dan keluar. Beberapa menit kemudian, muncul Ludwig. "Selamat pagi, Mr. Ludwig . Bagaimana kabar anda?" tanya Grace berusaha sopan seformal mungkin sambil berjabat tangan. "Saya selalu baik, Ms.Grace. Bagaimana dengan anda?"  "Mari silahkan duduk" Grace mempersilahkan. Grace menahan rasa gugup. Pasalnya, baru kemarin ia mendatangi putra Ludwig dan mereka bertemu disana. Dan sekarang, Ludwig datang menghampirinya sepagi ini. Suatu kebetulan yang, tak wajar. "Saya juga baik, Mr." "Kalau boleh saya tau, apa alasan anda datang berkunjung kekantor saya sepagi ini?" tanya Grace dengan tersenyum. Seperti biasa, ia sangat tidak suka berbasa-basi. Itu sangat memuakkan. "Aku hanya ingin datang berkunjung. Apa kau merasa keberatan?" tanya Ludwig menaikkan satu alisnya. "Ah. Oh tidak tidak. Justru suatu kehormatan bagi saya dapat menjamu anda dipagi yang cerah ini." ucap Grace dengan tersenyum. Ludwig juga ikut tersenyum. "Kudengar, perusahaan Dominic semakin jaya berkat kepimpinanmu" puji Ludwig. Grace hanya tersenyum canggung namun dalam hatinya ia sangat lega. Ia bersyukur Ludwig datang kesini untuk membicarakan masalah perusahaan.  Jika mengenai hal itu, Grace akan dengan senang hati meresponnya. "Perusahaan Dominic memang sudah jaya saat dibawah kepemimpinan kakek saya, Mr. Saya hanya berusaha mempertahankan kejayaan itu." "Ya, dan hasilnya luar biasa. Ayahmu berhasil mendidik putrinya dengan baik." ujar Ludwig . "Ayah saya memang Ayah yang baik." "Benar. Ayahmu beruntung memilikimu." "Setiap orang tua pasti merasa beruntung memiliki seorang anak, Mr." ucap Grace. Ludwig terkekeh. "Dan apakah sudah ada pria lajang yang beruntung memilikimu?" tanya Ludwig.  Grace merasa tercekat. Tidak tau ia harus menjawab apa. Setiap ada yang menanyakan statusnya, ia akan merasa canggung. Bukan karena malu, diusianya sekarang Ia masih menyendiri. Tapi karena menurut Grace. Itu adalah urusan pribadinya. "Saya sekarang masih fokus mengurus perusahaan saja, Mr.Ludwig" ucap Grace. "Pilihan yang bijak, Grace. Tetapi kebanyakan perempuan seusiamu, sudah menikah. Dan kau terlihat masih santai dengan urusan percintaan."  "Benar. Tapi jodoh sudah disiapkan Tuhan. Dan saya tidak ingin ambil pusing akan hal itu." "Tentu kau tidak ambil pusing. Perempuan sepertimu, pasti banyak lelaki diluar sana yang mengantri. Kau hanya tinggal memilih." ujar Ludwig tersenyum.                              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD