Wanita Tidak Tahu Diri

1407 Words
“Mau mengulang panasnya ranjang kita semalam, Elora?” Elora sontak melebarkan kedua pupil matanya. Ia menatap tajam ke arah sang adik ipar yang kembali berani bicara di luar batasan. “Kau tahu jika yang semalam hanyalah sebuah kesalahan. Maka dari itu, tadi pagi aku sudah menegaskan padamu, jika apa yang terjadi semalam tidak akan merubah apapun juga. Dan lagi, aku sudah memintamu untuk melupakannya, bukan? Anggap saja jika kita tidak pernah melakukan itu.” “Bagaimana mungkin aku bisa menganggap jika apa yang kita lakukan semalam tidak pernah terjadi? Jelas aku tak bisa melupakan itu, Elora. Desahanmu, rintihan penuh kenikmatan itu bahkan terus berputar di kepalaku.” Elora meremas sisi bathrobe yang ia pakai dengan kuat. Giginya bergemelatuk. Ia benar-benar terganggu dengan perkataan Damian barusan. Semua yang terjadi semalam benar-benar di luar dugaan Elora. Semua terjadi begitu saja dan Elora menganggapnya sebagai sebuah kecelakaan. Dia benar-benar tak berniat untuk melakukan itu bersama Damian. Jauh dalam lubuk hatinya bahkan ada setitik rasa bersalah pada sang suami. Walaupun ia tahu jika suaminya itu brengseknya bukan main. Elora mengaku salah, sebab melakukan hubungan tak senonoh bersama pria lain yang notabene-nya adalah adik iparnya sendiri. Bahkan ia sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membersihkan diri. Meskipun jejak sentuhan Damian tak pernah bisa dihapus begitu saja. “Aku sangat senang jika nantinya kau mau mengulangnya lagi denganku.” Tatapan Elora semakin tajam dan menusuk, begitu mendengar kelanjutan ucapan Damian barusan. Ia tak tahu jika adik iparnya itu benar-benar gila. “Tidak akan pernah terulang sampai kapan pun, Damian.” Tangan Damian bergerak menyingkirkan handuk kecil yang ada di atas kepala Elora. Rambut panjang yang masih basah itu tergerai. Damian tersenyum melihatnya. Elora dengan rambut basahnya terlihat sangat seksi. Bahkan jika di izinkan, Damian ingin menarik tali bathrobe Elora dan melihat bagaimana tubuh indah puan itu berada di hadapannya sekarang. Sial! Damian jadi kembali membayangkan tubuh indah Elora berada di atasnya semalam. Damian berani bersumpah, ia tak akan bosan memuja tubuh indah itu jika ia dapat memilikinya. Tapi, mungkinkah? “Cantik. Kau sangat cantik dengan rambut panjangmu itu, Elora.” Puan itu menepis tangan Damian dengan kasar, saat pria itu hendak menyentuh rambutnya yang basah. Tatapannya masih sama seperti sebelumnya. “Dengar Damian, jangan kurang ajar padaku! Aku ini masih kakak iparmu, ingat itu!” “Semalam kau tidak segalak ini.” sahut Damian sembari melipat kedua tangannya di depan d**a. “Kenapa sekarang jadi galak sekali?” “Damian!” kesal Elora. “Oke-oke,” Damian mengangkat kedua tangannya, lalu menurunkannya kembali sambil menatap puan itu lamat. “Tidak perlu kau ingatkan begitu lah soal status hubunganmu denganku, Elora. Aku pun juga tahu kalau kau masih kakak iparku.” “Maka mengertilah dengan batasanmu itu!” “Aku mengerti. Tapi sayangnya, batasan itu sudah kau hancurkan. Maksudku, kita berdua yang menghancurkan batasan itu.” “Damian—” “Kenapa, Elora?” sela pria itu dengan cepat. “Kau ingin protes? Padahal apa yang aku katakan benar, bukan? Kita memang sudah menghancurkan batasan itu semalam.” “Kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan hal ini sebelumnya. Bahkan aku sudah berbaik hati untuk menganggap semua yang sudah kita lakukan tak pernah terjadi. Tapi kenapa kau terus-terusan bertingkah seperti ini? Kenapa bebal sekali?” “Elora—” “Kau yang memancingku duluan, Damian!” “Dan kau mau.” Sumpah demi Tuhan, Elora sampai lelah sendiri menghadapi Damian. Sepertinya lebih enak berdebat dengan sang suami yang sebentar pasti akan selesai, sebab keduanya sama-sama dalam keadaan emosi. Tapi bicara dengan Damian? Elora sendiri yang seperti orang gila. “Kau terlihat kesal sekali ya?” tanya Damian main-main, dan itu semakin membuat Elora meradang. “Ya sudah, aku pamit pulang sekarang, agar kau bisa memuaskan diri dalam melampiaskan kekesalan. Sampai jumpa, Eloraa!” Tangan Damian melambai, sebelah matanya berkedip seperti orang yang tak memiliki kesalahan sama sekali. “YA! PERGI KAU SEKARANG! JANGAN TERUS-TERUSAN DATANG KEMARI SEPERTI ORANG PENGANGGURAN!” Elora berteriak penuh emosi, tapi dalam langkah Damian menuju pintu keluar, pria itu tersenyum. Senang sekali sepertinya membuat wanita cantik itu berteriak kesal. +++ Kedatangan Elora di perusahaan tak lagi membuat kaget para karyawan. Apalagi jika melihat wajah datarnya itu. Banyak yang memujinya cantik, tapi sayangnya jarang tersenyum. Elora sengaja tak menghubungi sang suami, jika ia hendak datang ke kantor. Elora penasaran, mengapa Stevan tidak menghubunginya sejak para karyawan di rumah ia pecat semua. Seharusnya, salah satu dari mereka pasti sudah melapor pada Stevan. Tapi anehnya, dari pagi hingga siang tidak ada omelan apapun dari Stevan. Elora semakin mempercepat langkahnya menuju ke ruangan Stevan. Yang ia dengar dari salah satu karyawan, pria itu sedang berada di ruang rapat. Untuk itu, Elora memutuskan untuk menunggunya saja. Puan itu berhenti sebentar di depan meja kerja milik sekretaris Stevan yang ada di depan ruangan. Elora sudah bisa menebak jika pasti wanita sialan itu ada di dalam ruangan sang suami. “Benar-benar wanita itu...” Elora tersenyum kecut, dan kembali melanjutkan langkahnya. Ia mendorong pintu ruangan Stevan dengan cukup kasar. Dan itu cukup membuat seorang wanita yang ada di dalam ruangan tersebut terkejut. Elora menatapnya dengan tatapan sinis. Apalagi ketika tahu jika kedua kaki wanita itu saja diturunkan dari atas meja. “Oh, jadi seperti itu caramu menggoda suami orang?” Wanita terdiam dan langsung bangkit dari kursi kebesaran milik Stevan. Wanita itu—sekretaris Stevan, yang tak lain adalah Mona, lekas merapikan rok pendeknya yang tersingkap ke atas sambil menggigit bibir. “Wanita sepertimu sangat tidak pantas bekerja di kantor besar seperti ini, Mona. Kau pantasnya ada di rumah bordil. Suka kan, menjajakan tubuh?” “Tolong jangan bicara sembarangan! Atau saya akan beritahu—” “Mau mengadu pada siapa?” sela Elora dengan nada bicara yang naik. “Stevan? Kau ini apa tidak tahu malu sama sekali ya? Mau mengadu pada suami orang? Benar-benar tidak tahu diri!” Mona terdiam. Selalu dan selalu kalah telak jika bicara dengan Elora. “Aku heran pada Stevan, bagaimana bisa ia mempekerjakan orang sepertimu sebagai sekretaris?” ujar Elora. Kemudian ia berjalan mendekat sembari melipat kedua tangannya di depan dadaa. “Oh, aku lupa. Tugasmu kan lebih banyak mengangkang untuk memuaskannya ya jika sedang ingin. Jadi, punya sekretaris bodoh tidak masalah baginya.” “Saya terus saja diam dari kemarin. Tapi Anda terus-terusan mencela saya. Padahal suami Anda juga bersalah di sini. Kenapa sepertinya hanya saya yang Anda cecar terus-terusan?!” Mona mulai bersuara kembali. Dia tidak tahan dengan ucapan Elora yang pedas padanya. “Siapa yang lebih dulu menggoda? Kau atau Stevan? Atau dua-duanya memang gatal dari awal? Kalau benar, berarti cocok. Dan harusnya kau sudah tahu konsekuensi menjadi duri dalam rumah tangga orang. Bukan ingin enak-enaknya saja dan tidak mau disalahkan.” “Faktanya memang suami Anda yang lebih dulu menggoda saya, bukan saya! Tanya saja padanya jika Anda tidak percaya!” Elora tertawa. “Untuk apa aku bertanya padanya? Dari tingkahmu saja aku sudah bisa menebak jika kau yang lebih dulu memancingnya. Sialnya Stevan memang brengsekk dan gatal sepertimu!” “Berhenti mengatai saya gatal dan lain sebagainya, Nyonya Elora! Silahkan protes pada suami Anda sendiri, mengapa ia memilih berselingkuh di belakang Anda. Pasti ada hal yang tak bisa Anda berikan padanya.” “Kau bicara seolah-olah mengetahui sesuatu. Padahal nol besar. Kau tak tahu apapun, jadi diamlah.” Mona menarik sudut bibirnya ke atas. “Kenapa? Anda benar-benar takut ya jika rahasia kekurangan Anda saya ketahui? Alasan mengapa suami Anda memilih berselingkuh dengan saya?” “Apapun itu, aku sama sekali tidak peduli lagi.” “Kalau begitu, ceraikan saja suami Anda.” “Coba kau rayu suamiku dan hasut dia untuk menceraikan aku. Jika berhasil, aku akan membayarmu.” sahut Elora dengan santai. Sebab ia tahu betul, jika Stevan tidak akan semudah itu melepaskannya. “Tapi Mona, jangan sampai terkejut jika kau sudah mendapatkan jawabannya.” “Maksud—” Pintu ruangan terbuka, dan Stevan muncul bersama seorang kolega kerjanya. Stevan tampak terkejut melihat Elora yang tiba-tiba ada di sana bersama dengan Mona. Dalam hati Stevan bersyukur sebab keduanya tidak beradu jambak, ciri khas para wanita jika sedang bertengkar. Akan sangat memalukan jika itu terjadi. “Kau menyimpan dua wanita sekaligus di ruanganmu, Pak Stevan?” Stevan tertawa canggung. “Mana mungkin Pak, itu sekretaris saya.” Stevan kemudian menunjuk ke arah Elora, dan kembali melanjutkan, “dan yang ini istri saya, Elora.” Elora melirik ke arah Mona, seolah memperjelas posisinya yang jauh lebih kuat dibandingkan Mona yang hanya menjadi orang ketiga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD