Teman Minum

1204 Words
Elora memilih pergi ke sebuah club ternama yang sering ia datangi, setelah pertengkaran dan perdebatan panjangnya dengan Stevan. Kepalanya terasa mau pecah setelah mendapatkan tekanan dari Stevan yang menuntutnya untuk mengembalikan semua uang, yang sudah dikeluarkan untuknya jika masih bersikukuh untuk bercerai. Seandainya dia tahu bagaimana nasibnya ke depan setelah menikah dengan Stevan, mungkin saja Elora lebih memilih untuk menjadi pembantu saja daripada harus menerima lamaran pria itu, dengan iming-iming semua yang ia butuhkan akan terpenuhi. Belum lagi ia memikirkan nasib ayahnya yang masih terbaring di rumah sakit dan membutuhkan perawatan yang super intensif. Elora merasa jika semesta tidak pernah berbaik hati padanya sejak dulu. Semua yang ia dapatkan nyatanya harus dibayar dengan kesakitan. Cintanya yang mulai tumbuh untuk sang suami harus dipaksa kandas seperti ini. Dadanya terasa tertusuk ribuan duri. Sakit bukan main menyaksikan pengkhianatan sang suami di depan mata. Tidak ada toleransi bagi seorang peselingkuh. Elora benar-benar tidak bisa memaafkan kesalahan itu apapun alasannya. Sekarang, Elora mencoba untuk berpikir keras. Memaksa otaknya untuk mencari jalan keluar agar bisa membayar semua yang diberikan oleh Stevan padanya. Walaupun sedikit mustahil, ia dapat mengumpulkan uang yang ia sendiri tak sanggup untuk menghitungnya. “Don Julio,” pinta Elora sembari mendorong gelas kosongnya ke arah sang bartender. Wanita itu kembali menyesap minumannya, ketika sang bartender sudah mengisi ulang gelasnya yang kosong. Sedikit demi sedikit ia meminumnya sampai habis. Terhitung sudah dua gelas berhasil ia habiskan. Jarinya yang lentik kembali mendorong gelas kosongnya ke arah bartender. Lagi dan lagi ia memesan minuman yang sama. “Don Julio—” “Aku juga!” Elora menoleh ke samping, dan mendapati seorang pria yang baru saja mendudukkan diri di sebelahnya tanpa rasa canggung, apalagi takut. Pria tampan dengan tubuh yang sangat gagah itu tersenyum ke arah Elora, lalu mengedipkan sebelah matanya. Genit. Tapi Elora langsung mengacuhkan pria itu. Pria tampan yang tak lain adalah adik iparnya sendiri, Damian Anderson. Melihat Damian membuat Elora teringat pada sang suami. Karena apa mau dikata, sebab yang namanya adik kakak memang sekilas hampir mirip wajahnya. Jadi ketika bertemu tatap dengan Damian, membuat Elora teringat pada Stevan dan berakhir kesal sendiri. “Astaga kakak ipar, kau mengabaikan aku?” Elora mendengus malas, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Damian. Ia menyesap minumannya kembali, dan tetap tak menggubris keberadaan sang adik ipar saat ini. “Ada yang berbeda denganmu malam ini, Elora.” seru Damian, kali ini pria itu lebih serius dalam bicara. “Kau bertengkar dengan Stevan?” Gerak tangan Elora sontak terhenti, begitu mendengar ucapan Damian barusan. Yang Elora yakini bahwa pria itu hanya asal menebak saja barusan. Dan sialnya, tebakan pria itu benar. “Benar ya? Kau bertengkar dengannya lagi? Masalah apa lagi kali ini?” lanjut Damian, sudah terbiasa ia mengetahui jika Stevan dan Elora sering bertengkar. Namun yang malam ini, rasa-rasanya sangat berbeda. Damian bisa melihat jika mood Elora sangat berantakan. Bahkan raut wajahnya terlihat tidak bersemangat sama sekali. Seperti orang yang tengah terpuruk saja. “Bukan urusanmu, Damian.” “Memang bukan urusanku, tapi melihatmu begini membuatku penasaran. Hal apa lagi yang Stevan lakukan sampai membuatmu begini?” Elora menoleh dengan dahi yang mengernyit. “Wajahmu tertekuk begini, seperti ini...” lanjut Damian, sembari menirukan bagaimana raut wajah puan itu saat ini. Elora sampai mendengus melihatnya. “Kenapa kau selalu saja ingin tahu permasalahan ku dengan Stevan?” tanya puan itu, namun Damian justru mengedikkan kedua bahunya. “Berkali-kali aku sudah memperingatimu, jangan pernah bertanya apapun padaku. Apalagi jika hanya ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di antara aku dan Stevan.” “Elora, aku punya mulut untuk bicara. Salahnya dimana jika aku bertanya? Toh aku tidak pernah menertawakanmu jika sedang ada masalah dengan Stevan. Justru bukannya bagus ya jika aku bertanya begini? Tandanya ada yang peduli padamu. Kau tidak berpikir sampai ke sana kah?” “Salahnya karena kau bertanya padaku. Aku tidak suka kau tanya-tanya. Jadi berhentilah bicara. Jika tidak bisa juga, kau menjauhlah dariku. Open table saja sana, dan berhenti mengangguku.” ujar Elora, lalu membuang muka begitu saja. “Perasaanmu sedang tidak baik-baik saja kan? Jadi mana mungkin aku menjauhimu?” “Damian—” “Cheers?” Damian mengangkat gelasnya ke arah Elora, sebagai tanda bahwa ia ingin menemani Elora untuk minum malam ini. Elora menoleh dan menatap sang Adam dengan raut wajah datar. Ia memperhatikan setiap perubahan ekspresi yang Damian lakukan. Sampai ketika mata pria itu melirik gelas yang sedang ia pegang, Elora dengan cepat mengangkatnya. Bergerak mendekat ke arah gelas pria itu untuk melakukan cheers? Oh, tentu tidak. Elora hanya mendekatkannya saja, lalu dengan cepat menjauhkannya. Meminumnya tanpa melakukan cheers dengan pria itu. Sudut bibir Damian menaik melihat itu. Dia tak kesal, apalagi marah dengan sikap Elora yang sangat arogan dan galak padanya. Justru Damian suka dengan apa yang Elora lakukan. Baginya, puan itu lucu. Ya, kakak iparnya memang lucu. Damian meneguk minumannya bersamaan dengan senyuman yang terselip di bibirnya. Memperhatikan wajah cantik Elora yang galak benar-benar tak membuatnya bosan. Damian sampai heran pada sang kakak yang selalu saja bertingkah. Padahal sudah memiliki istri yang menurut Damian sudah sangat sempurna untuk sang kakak yang sebelumnya berstatus sebagai duda. Damian memang sangat bebal. Ia tak henti-hentinya mengagumi paras ayu Elora yang sangat menarik hati. Sementara itu, Elora yang merasa diperhatikan sontak menatap sinis ke arah Damian. Ia bahkan sampai memutar kursinya agar bisa berhadapan langsung dengan pria itu. “Kenapa?” “Tidak sopan memperhatikan kakak iparmu sendiri seperti itu, Damian.” “Ck! Elora, nada bicaramu seolah-olah kau jauh lebih tua dariku.” “Aku sedang tidak ingin bercanda, Damian. Aku sudah menyuruhmu untuk menjauh kan? Kenapa masih saja—ah, percuma aku bicara padamu. Lebih baik aku yang pergi.” Elora segera bangkit dari tempat duduknya. Ia benar-benar kesal jika begini terus. Bukan hanya Stevan yang menjengkelkan, tapi nyatanya Damian sama saja. Apa semua keluarga Anderson semenyebalkan ini? “Jangan!” Damian menahan pergelangan tangan Elora, tanpa menyakiti puan itu sama sekali. Kali ini tatapannya cukup berbeda, namun sepertinya Elora tak menyadari itu. “Mau pergi ke mana lagi? Di sini saja, aku berjanji akan diam.” “Aku benar-benar tidak mengerti denganmu, Damian. Kau selalu saja bersikap menjengkelkan. Lalu tiba-tiba berubah begini. Mau mu apa sebenarnya? Jangan membuatku pusing lagi dan lagi. Kepalaku sudah berat sekali rasanya.” keluh Elora. “Duduk, dan minum sepuasnya. Akan aku temani.” “Beberapa menit yang lalu kau juga bilang begitu padaku. Berjanji tidak akan menganggu dan diam. Bahkan setahun yang—lupakan.” Elora langsung membuang muka ke arah lain setelah mengatakan itu. “Percaya padaku, kali ini benar. Aku akan tutup mulut dan menemanimu minum di sini. Oke?” Damian memiringkan kepalanya agar bisa menatap wajah Elora. Ia benar-benar sedang menyakinkan puan itu melalui tatapannya yang jauh lebih serius. Elora mencoba untuk menyelami ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Damian saat ini. Mencoba untuk mencari kebohongan dari tatapan matanya. Namun Elora sama sekali tak menemukannya. Atau memang Damian yang terlalu handal dalam menutupinya? Entahlah, Elora tak menjawab apapun. Puan itu lantas menarik tangannya sendiri agar terlepas dari cengkeraman tangan Damian. Duduk di tempatnya semula dan kembali menikmati minumannya sendiri. Sesuai dengan janji yang keluar dari mulut Damian, pria itu benar-benar tak menganggu. Damian benar-benar diam, walaupun terus-terusan memperhatikan Elora tanpa kenal lelah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD