14. Si Jahil dan m***m

2677 Words
Senyum merekah dari bibir Kana yang merasa sedang berbaring ditengah ladang lavender, chamomile dan ylang-ylang yang bergabung menjadi satu. Aroma menyenangkan itu memenuhi seluruh indera penciumannya,  membuat tidurnya semakin menyenangkan. Tidak ada mimpi amukan api yang melahapnya. Tidak ada mimpi dikejar skripsi. Tidak ada mimpi terjebak di dalam club malam. Kana bahkan sempat memimpikan kehadiran pendekar ibnoc yang menunggangi kuda putih dan bergabung dengannya di tengah ladang wewangian yang menghanyutkan. Pendekar penuh kharisma itu meletakkan seluruh senjata yang terpasang ditubuhnya, lalu berbaring disisi Kana sambil memeluk dari belakang. Tubuh sang pendekar terasa hangat, bahkan kecupannya dipundak Kana terasa panas, membuat tubuh Kana menggigil oleh sesuatu yang sangat asing baginya. Pendekar yang menjadi suaminya dalam game online itu membalik tubuh Kana hingga berhadap-hadapan, lalu kedua lengan kokoh miliknya merengkuh Kana, membuat Kana bisa menghidu aroma kayu, kesegaran hutan, citrus dan musk bercampur menjadi satu dengan aroma maskulin yang membuat Kana semakin ingin mendekat dan lengket padanya. Aroma memabukan yang membuat Kana menelusupkan wajahnya pada leher Sang Pendekar untuk bisa menghidu lebih dalam. Untuk pertama kali selepas kepergian kedua orangtuanya, Kana merasakan tidur lelap tanpa mimpi buruk sama sekali. Tidur berkualitas yang membuat tubuhnya terasa segar. Tapi sayangnya, tidur lelap itu terganggu oleh suara petir menggelegar yang mengejutkannya. Mata Kana terbuka, berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan pencahayaan yang begitu terang. Seingat Kana, dirinya berada di area jemuran sambil menikmati udara pagi, tapi kenapa sekarang dirinya ada di dalam ruang kamar yang terasa asing begini? Kana melihat jendela dengan gorden yang terbuka, menampilkan hujan deras menjatuhi bumi tanpa ampun di luar sana. Hujan menyejukkan yang seharusnya membuat tidurnya semakin lelap, bukan malah membangunkannya dengan suara petir yang menggelegar. Gadis itu memeluk gulingnya lagi, guling dengan sarung berwarna hitam itu mengejutkan Kana. Guling di kamarnya selalu berwarna putih atau merah muda, kenapa berubah menjadi hitam begini! Kana mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan matanya membesar saat melihat sesosok pria sedang duduk di depan tiga layar computer yang menyala semua. Pria itu tengah sibuk berbicara melalui saluran telepon sambil mengetik sesuatu pada keyboard komputer, sesekali ia menggerakkan mouse, dan sesekali membuka tumpukan berkas-berkas. Pria itu benar-benar sibuk sampai tidak menyadari jika Kana sudah terbangun dari tidur lelapnya. Selama beberapa saat Kana terpaku melihat pemandangan yang tersaji, pria yang bekerja dengan serius selalu menarik untuk dipandang. Ternyata Kama terlihat sangat keren saat bersikap normal selayaknya manusia biasa seperti ini. Tidak sok arogan, sok menguasai dan tidak ada sikap mengintimidasi. Kana lebih suka melihat Kama yang ini dibandingkan dengan Kama yang sebelumnya. Kana kembali mengedarkan mata dan mengenali kamar ini, dirinya pernah mampir dan melihat-lihat saat masih proses pemindahan barang, ternyata kamar ini sudah disulap menjadi begitu mewah dan luar biasa berbeda dari sebelumnya. Bagaimana bisa dirinya berakhir di dalam kamar kos Kama? Bukannya tadi pagi dia tidur di kursi pantai seusai menjemur pakaian? “PAKAIANKU!” Jerit Kana panik, ia teringat pada jemuran yang pasti sudah basah kuyup oleh guyuran hujan.   Obrolan telepon Kama terhenti dan menoleh pada Kana yang sedang bangun dari baringnya dengan panik. “Masalah ini kita bahas nanti.” Sahut Kama pada seseorang yang diteleponnya. “Baik.” Lalu panggilan itu pun berhenti. “Tidak perlu terburu-buru, pakaianmu sudah saya angkat dari jemuran.” Kama menunjuk pada tumpukan pakaian Kana yang dia letakkan di atas sofa. Kana melototi tumpukan itu dengan ngeri. “Kamu mengangkat dan menyentuhnya sendiri?” Kama mengangguk dan berjalan mendekati sofa, mengikuti langkah Kana. “J-J-Jangan mendekat!!!” Kana berseru nyaring. “Kenapa?” “GAPAPA!” Kana berjalan dengan cepat menuju sofa, segera menyembunyikan bra dan celana dalam yang dipajang dengan gamblang di atas sandaran sofa, seolah sedang dipamerkan untuk dijual. Setelah berhasil menyembunyikan semua benda privat itu dibalik pakaian yang malah ditumpuk sembarangan, Kana menoleh dan menatap sengit pada Kama. Wajah Kana terasa sangat panas dan memerah, antara marah atau malu bercampur menjadi satu. “Saya sudah menyentuh dan melihat semuanya, jadi tidak perlu malu.” “Tapi apa harus kamu memajangnya seperti itu?!” protes Kana. “Apa salahnya, toh pemandangan di kamar saya jadi lebih baik karena itu.” Ingin sekali rasanya meremas wajah tampannya sampai dia tidak bisa menyeringai menyebalkan seperti itu lagi! “Bisa gak sih, kamu bersikap normal!” “Saya laki-laki, normal bagi laki-laki menyukai pemandangan itu.” “EUHHH! Tau deh!” wanita itu berbalik lalu meraup semua pakaian, hendak meninggalkan si pria menyebalkan. Tapi lengannya ditahan. “Mau kemana?” tanya Kama. “PULANG KE KAMAR!” jawab Kana ketus. “Jangan ngotot gitu, biasa aja jawabnya.” Tegur Kama. Kana membuang muka. “Kamu nyebelin, jadi saya gak bisa bersikap biasa aja!”. Padahal baru saja Kana terpesona melihat Kama bekerja, hancur sudah bayangan indah itu. “Iya, Maaf deh. Saya tidak bisa menahan diri. Seru sih, ngejahilin kamu!”. “Kamu fikir saya apaan, pake seru dijahilin segala!” “Kamu teman saya, kan? Jadi sesama teman saling menjahili itu hal yang wajar”. “Ya, Enggak gitu juga, Saya jadi malu.” Kana cemberut sambil bersidekap dan membuang muka. “Iya, manis. Saya minta maaf ya.” Kama meraih dagu Kana dengan telunjuknya. Membuat Kana mendongak menatap Kama yang jauh lebih tinggi darinya.  “Lagipula tidak perlu malu begitu, toh kita sudah menghabiskan waktu di atas ranjang bersama-sama.” pria itu kembali menyeringai menyebalkan. “A-A-Apaaaa?” Kana melotot dan mulutnya menganga. “Iya, sekarang kita naik status, bukan teman normal lagi, tapi teman yang bobo bareng!” Mata Kama berkedip-kedip jahil. Kana terdiam. “J-Jadi?”. “Iya, yang kamu peluk erat-erat itu saya.” Kama menaik turunkan alisnya sambil tersenyum lebar, “Saya wangi ya, sampe kamu ngusel-ngusel terus gitu”. Kana mendorong Kama menjauh, kedua tangannya meraba-raba seluruh bagian tubuh, matanya pun merunduk untuk mengecek keadaan dirinya. Pakaian Kana masih terpasang rapih, dan tidak ada rasa nyeri disana sini. Justru tubuhnya terasa sangat segar bugar dan siap memecahkan kepala pria k*****t yang masih setia menyeringai lebar di depannya. Dengan brutal Kana memukuli d**a Kama hingga pria itu tertawa keras sambil menahan kedua tangan Kana. “Kamu nyebelin! Dasar m***m! Dasar Creepy! Dasar Aneh! Dasar b******k!!!!” Omel Kana membabi buta yang justru semakin membuat tawa Kama membahana. “Tenang. Tenang! Saya tidak apa-apain kamu kok. Kita hanya berbagi kasur dan pelukan. Itu saja!” “Kenapa kamu tidak membangunkan saya, kenapa memindahkan saya ke kasur mu?” “Kamu lelap banget, digendong juga gak kebangun. Mana tega saya ganggu tidur nyenyak kamu.” “Sudah tahu begitu, seharusnya kamu tidur di sofa atau lantai. Jangan di kasur sama saya!” “Teganya kamu sama saya! Sofa terlalu sempit, lantai terlalu keras. Ya sudah, saya tidur di kasur aja, apalagi ada kamu yang empuk buat dipeluk!” Kama mencubit pipi Kana. “ANJJ…” “STOP! tidak boleh mengumpat teman!” “SSSHIIII…” “Satu u*****n berarti satu ciuman!”  “….” “Saya tidak main-main!” tegur Kama dengan tegas. Dia terlihat serius sekali, membuat Kana terdiam dan membuang muka. “Saya mau pulang, minggir!” Kana mencoba menggeser tubuh Kama yang menghalangi jalannya. “Gak boleh! Kamu baru boleh pulang kalau sudah masak untuk saya.” “Dih nyuruh-nyuruh! Emangnya saya pembantumu apa!” Omel Kana galak. “Pleaseeee… Kan kita teman!” “Kalau kayak gini, kita gak jadi temenan deh, malesin!” Kana berkacak pinggang dan membuang muka sebal. Bibirnya mengerucut menggemaskan. “Ya sudah, kamu maunya kita apa sekarang? Pacar? Suami?” Lengan Kama yang menahan Kana terlepas akibat sikutan wanita itu, “Apa sih!”. “Galaknyaaaa.” Kama ikutan manyun, dia meraih dagu Kana, wajah manyun keduanya saling berhadapan. “Ayo dong, manis. Saya lapar, diluar hujan, jadi pasti susah pesan makanan.” Kana bergeming melihat wajah memohon Kama. “Kamu juga pasti lapar, kan? Kamu belum makan apa-apa loh sejak pagi, sekarang sudah jam empat sore. Pasti perutmu sudah keroncongan.” “Sekarang jam empat sore?” Kama mengangguk. “Tidur siangmu lama sekali, nanti malam pasti gak bisa tidur.” Kana menepuk keningnya, bagaimana bisa dia tidur lama sekali di kamar orang asing? Apa kamar Si Gila senyaman itu sampai-sampai dirinya lelap tak kenal waktu? “Sudah ayo masak, kita berdua sudah kelaparan, ayo!” Kama mendorong bahu Kana menuju dapurnya yang mengkilap dan bersih. “Saya gak mau masak sendiri!” “Terus, mau manggil chef dulu gitu?” “Artinya kamu juga harus bantu masak!” perintah Kana tegas. “Tapi saya tidak bisa masak!” “Saya juga!” Kali ini Kama yang menepuk keningnya. “Ya sudah, ayo kita sama-sama belajar masak.” *** Kana memperhatikan Kama yang sedang kesulitan memotong wortel dan berbagai sayuran lainnya. Laki-laki itu terlihat sangat canggung saat memegang pisau, dia tidak bercanda ketika berkata tidak bisa memasak, membuat Kana menghembus nafas tak habis fikir, setidaknya kalau tidak bisa memasak, jangan sampai tidak bisa memotong, karena memotong dan mengupas buah adalah cara bertahan hidup manusia tanpa perlu memasak. “Katanya gak bisa masak, kenapa kulkasmu penuh bahan makanan?” tanya Kana sambil membalik daging yang sedang dipanggang di atas wajan anti lengket. Saat memutuskan untuk memasak bersama, mereka berdua mengecek isi kulkas dan menemukan banyak sekali bahan makanan segar di dalamnya. Ada berbagai jenis daging dengan potongan-potongan premium yang dikemas rapih dengan menggunakan Styrofoam dan plastic wrap. Beraneka ragam  buah dan sayur yang memenuhi bagian bawah kulkas. Botol air dingin, pudding, dan cake memenuhi bagian tengah. Sampai rempah-rempah pun terlihat komplit dan diletakkan dengan rapih di dekat area memasak. “Itulah mengapa Pak Ari saya jadikan tangan kanan paling terpercaya, beliau memiliki kemampuan untuk bekerja melebihi ekspektasi Bos nya.” Kama memasukkan potongan sayur ke panci air panas. “Termasuk  urusan sederhana mengisi kulkas, saya hanya memintanya mengisi kulkas dan menyetok air minum. Coba lihat apa yang telah dia lakukan dalam waktu singkat, FULL STOCK!” Kama menggeleng, senyum ironi bermain dibibirnya. “Full stock! Padahal dia tahu saya gak bisa masak, ck ck” “Tapi akhirnya kamu mau belajar masak.” “Berkat kamu.” “No. Berkat rasa lapar dan hujan yang menghalangimu membeli makanan di luar.” “Ya, Okay lah..” Kana mengernyit mendengar jawaban Kama yang terkesan terpaksa, “Kok setujunya kayak terpaksa gitu?” “Sayang, saya selalu bisa menyuruh orang untuk membelikan makanan walaupun hujan badai menerjang.” Jawab Kama terdengar angkuh. “Ya terus, kenapa sekarang malah repot-repot masak?” “Apa lagi…” Kama  terhenti karena kebingungan bagaimana cara mengangkat sayuran dari dalam air mendidih tanpa harus terkena uap panas. “Huh?” “Apa lagi kalau bukan karena kamu, saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” “Minggir!” Kana menyikut Kama. “Biar saya yang meniriskan sayurnya, lihat caramu bikin saya semaput lama-lama!” “Terimakasih” Kama menyengir lebar. Kana berhasil mengambil semua jenis sayuran dari dalam panci, dirinya baru menyadari jika Kama memasukkan semua sayuran itu menjadi satu. Kana teringat informasi dari juri acara kompetisi masak-masak yang ditayangkan di televisi, kalau setiap sayur memiliki waktu rebus yang berbeda-beda, dan sekarang dirinya hanya bisa termenung melihat wortel, buncis, jagung dan asparagus yang dimasukkan Kama secara bersamaan ke dalam panci. Ia menggeleng pasrah melihat sayur rebus itu, pasti ada sayur yang kematangan dan pasti ada yang masih setengah matang. Kama benar-benar! “Kenapa kamu tidak merespon omongan saya yang barusan?” “Respon? Respon apaan? Yah, kan gosong, kan! Kamu sih, angkat sayur aja ga bisa!”  Kana segera membalik daging panggangnya kembali. “Enggak gosong kok, Cuma menghitam sedikitttt aja…” Kana memutar mata mendengar dalih Kama. “Sini mana hapemu!” Kama mengambil ponsel dari kitchen island dan menyerahkannya pada Kana, membiarkan wanita itu fokus menonton ulang tutorial cara memasak steak di laman youtube, sambil menunggu respon yang diinginkan Kama dari Kana. “Nah, dagingnya dikit lagi matang, pokoknya kalau ga enak, kamu yang habisin semuanya!” Kama merasa wanita itu memang sengaja menghindari pembicaraan sebelumnya, membuat Kama mendesah kecewa, rahangnya mengetat dan matanya membulat penuh tekad. Kama berjalan mendekat dan berhenti tepat di belakang Kana, memeluk punggung rapuh Kana dan meletakkan dagunya di atas pundak Kana dengan sengaja. Kana berjengit kaget, “Apa yang kamu lakukan!? Lepas?” “Saya enggak keberatan habisin semuanya, termasuk habisin kamu.” Rambut Kana dicepol tinggi dan acak-acakan, hingga kulit lehernya terbuka dengan bebas, memberi  Kama kesempatan untuk menghidu aroma memabukan milik Kana, wajahnya mendekat dan bibirnya menyentuh kulit halus itu dengan perlahan. Dengan panik Kana menggerak-gerakan pundak dan lehernya agar ciuman itu terlepas. “Hey! Kamu berjanji untuk berteman biasa! Lepas!” “Tidak mau!” Kama memberikan gigitan kecil hingga permukaan leher itu merona. “Tapi Kamu sudah janji!” “Makanya kalau saya ngomong itu didenger.” “Saya denger kok, nih lihat saya masak buat kamu!” “Bukan yang itu, sayang!” Kama membalik tubuh Kana menghadap padanya, memeluk pinggang Kana dengan posesif. “Lalu yang mana?” Kedua tangan Kana diletakkan di depan d**a Kama, mencoba membuat jarak diantara mereka berdua. “Jangan pura-pura enggak dengar deh!” “Iya, iya, saya denger. Tapi lepas dulu!” Kama masih bergeming memeluk Kana dengan erat, justru ciumannya merambat di rahang Kana. Menelusuri rahang itu hingga berakhir disamping bibir Kana. “Ayo lepas, saya mau angkat steak, nih! Nanti steaknya gosong!” Kana hendak membuang muka untuk menjauhkan jarak wajah mereka, tapi tangan Kama menahannya. “Biar aja, masih banyak daging di kulkas…” bisik Kama di depan mulut Kana, wajah mereka berhadap-hadapan, nafasnya yang berubah menjadi berat  membelai wajah Kana yang memerah. “Kamu sudah janji…” Bisik Kana, suaranya tercekat. Lidah Kama menjulur, membasahi lalu menggigit bibirnya sendiri sambil menelan ludah dengan susah payah. Semua gerakan itu tak lepas dari pengamatan Kana, hingga tanpa sadar Kana mengikuti semua gerakan mulut Kama dengan rasa haus yang sama.   Jarak bibir mereka berdua begitu dekat, hidung mereka bertubrukan dan nafas mereka saling memburu. Hanya butuh satu kenekatan maka bibir mereka akan menyatu. Tapi kesadaran Kana kembali, dengan susah payah mencoba menghentikan hasrat yang mengembang tak terkontrol di antara mereka berdua. “Kamu bisa main XBOX? Gimana kalau kita main XBOX!?” Kana berfikir cepat cara menghentikan laki-laki yang matanya dipenuhi oleh api hasrat yang berkobar tanpa ampun yang sedang menyudutkannya. Kama mengerjap sambil menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang terasa kering “XBOX?” “Kamu bilang, kamu mau menghabiskan lebih banyak waktu dengan saya, kan? Jadi ayo kita bermain XBOX, kalau saya kalah, saya akan menghabiskan hari minggu saya bersama kamu, kalau kamu yang kalah, kamu gak boleh ganggu saya lagi dan berjanji pindah dari sini, gimana?” jelas Kana agak terbata-bata. “Taruhannya tidak seimbang, darling.” Kama menggeleng, “Saya tidak mau!” Kana berkedip beberapa kali, wanita itu terlihat gamang dengan penolakan Kama. “Bagaimana kalau taruhannya kita revisi sedikit. Kalau kamu kalah, kamu akan menjadi pelayan saya yang setia.” “What? Katanya kamu tertarik sama saya, terus kenapa saya dijadikan pelayan!?” protes Kana. “Dengan menjadi pelayan setia, secara otomatis kamu akan menghabiskan banyak waktu dengan saya, plus… kamu tidak bisa mengusir saya.” “Gak mau ah!” “Kalau saya yang kalah, maka saya akan pindah dari kamar ini. Gimana?” Kana tertarik mendengar penawaran itu, kepindahan pria itu adalah cita-cita besarnya, tapi menjadi pelayan? Bagaimana kalau dirinya kalah dan menjadi pelayan si creepy? Tapi pria ini tidak mungkin lebih jago dari dirinya, Kana sudah menghabiskan banyak waktu bermain XBOX, jadi seharusnya seorang CEO yang selalu sibuk bekerja tidak lebih mahir dari pengangguran sepertinya, kan? Jadi mengalahkan Kama pasti akan sangat amat mudah dan dirinya tidak perlu khawatir menjadi pelayan! “Kalau kamu kalah, kamu pindah dari gedung kosan ini, dari kota ini, dan jangan ganggu saya lagi. Deal?” tawar Kana. “Dan jika kamu yang kalah, kamu akan menjadi pelayan setia saya? OK DEAL!” *** Catatan kaki: 1.       Xbox adalah permainan konsol generasi keenam yang dibuat oleh Microsoft. Konsol ini bersaing dengan PlayStation2, Nintendo dll. Layanan Xbox Live yang terintegrasi memungkinkan pemain untuk bermain secara daring.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD