Kanaya membuka pintu kemudi lalu membantingnya kembali setelah ia bersusah payah keluar dengan hati-hati. Pakaiannya kelewat minim dan ini semua salah Meida yang telah memaksa Kanaya untuk menjadi model pakaian yang akan ia jual melalui aplikasi online itu. Kanaya tidak tahu siapa yang akan membeli pakaian party seminim ini, tapi yang jelas dia bukanlah salah satunya.
Black tight dress. Lekuknya menjadi pemandangan siapapun yang ada disana. Brengsekk sekali si Meida. Sudah memaksanya memakai kain lap useless ini, sekarang Meida malah menyuruhnya pergi ke club untuk menjemput seorang lelaki yang sudah kelewat mabuk dan tidak mampu pulang sendiri.
Kanaya menebalkan muka, entah apa yang ada difikiran orang yang melihatnya dengan pakaian ini. Kanaya tidak mau tahu. Pemikiran itu hanya akan membuatnya naik pitam dan melarikan diri dari sana secepatnya, jadi lebih baik sekarang ia menemukan pria nelangsa dan patah hati itu secepatnya dan menyeretnya ke tempat yang aman.
Kanaya mendesah kesal. Menatap lurus dan berhenti memperdulikan mata-mata yang menelanjanginya.
Ia bersumpah, pokoknya ini terakhir kalinya ia menuruti Meida. Besok-besok ia akan kembali mengunci pintu kamarnya rapat-rapat agar Meida tidak bisa menerobos masuk lagi!
Suasana club yang pengap dipenuhi kerumunan manusia dan aroma tak mengenakan alkohol dapat tercium dimana-mana. Kondisi itu membuat Kanaya teringat bahwa tempat ini pernah menjadi bagian dari hidupnya bertahun-tahun lalu. Ia pernah menghabiskan malam-malamnya ditempat ini, dengan pakaian ketat dan make up tebal.
Kanaya menggelengkan kepala, mencoba mengusir memori itu secepat mungkin.
“Dimana sih?” Wanita berambut hitam tergerai dan panjang itu menggumam pada panggilan telepon yang tak juga terjawab. Sementara, Lelaki yang Kanaya cari belum juga terlihat sepanjang dirinya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
Mata Kanaya terpaku melihat lantai dansa yang dipenuhi oleh banyaknya manusia menggerakkan badan mereka ke kanan dan kiri, hingga tiba-tiba saja ia merasakan bulu kuduknya berdiri merinding, tidak mungkin kan dia turun ke lantai dansa itu untuk mencari?
“Pasti ditempat lain, bukan disana!” bisik Kanaya pada dirinya sendiri.
Lebih baik pulang dan tidur di kamar daripada harus melibatkan diri di lantai dansa yang liar itu.
Sebenarnya di club malam seperti ini, pakaian ketat dan sexy adalah hal yang biasa, banyak perempuan yang berpakaian seperti dirinya sekarang. Tapi, untuk Kanaya yang beberapa tahun belakangan terbiasa menghabiskan waktu dengan bergumul dikamar hanya menggunakan jaket, kaos, kemeja atau pakaian apapun yang oversize ditubuhnya, merasa sangat amat risih dengan pakaian yang dia kenakan. Ia merasa telanjang, ia merasa buruk.
Kanaya tidak sanggup menghadapi perasaannya yang semakin memburuk dan memilih untuk melipir ke ladies room demi mencari sedikit kenyamanan sekaligus melarikan diri dari kegaduhan. Tempat ramai dan dipenuhi manusia selalu berhasil membuatnya panik dan berkeringat dingin. Dulu ia tidak memiliki kepanikan seperti ini ditempat ramai, tapi sejak ia berhenti bersosialisasi sama sekali, ia merasa begitu asing dengan keramaian.
Sesampainya di ladies room, Kanaya mencuci tangan, menatap dirinya yang tercermin dikaca itu dan menghembus nafas keras. Lalu mengeluarkan ponsel dan men-dial nomor Meida sambil berjalan resah bolak-balik diantara bilik kamar mandi dan wastafel yang ada diruangan.
Telapak tangan kanannya menyugar rambutnya kebelakang, meremas keras seolah hal itu mampu meredakan kekesalannya. “Mei, dimana sih dia?” Kanaya bertanya ketus, dengan suara keras tepat pada saat panggilan itu terangkat, Meida bahkan harus menjauhkan ponselnya dari telinga.
“Disana, kata Rian terakhir ninggalin dia disana.”
“Ya, disana dimana, b**o!” Wanita itu tidak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat. Ia benar-benar kesal. Seharusnya ia berada dikamar dan tidur lelap pada pukul satu dini hari begini!
“Itu loh, yang ada bartendernya, tempat duduk-duduk didepan bartender.. ya pokoknya itulah. Udah gue ngurus laki gue dulu! Plis, Temuin dia ya!”
Tut… tut..
Panggilan itu terputus secara sepihak membuat emosi Kanaya memuncak, “You freaking idiiot!” Kanaya mengumpat dengan suara menggeram keras dan memukulkan kepalan tangannya pada salah satu pintu bilik terdekat, membuat orang yang ada di bilik kamar mandi terkejut dan menghentikan aktifitas apapun yang sedang mereka lakukan. Ia menggeram marah sambil meletakkan kedua telapak tangannya diatas wastafel. Menggenggam erat demi menahan emosinya yang memuncak.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita yang memiliki aura dan kecantikan berkilauan keluar dari dalam salah satu bilik itu, dengan pembawaan tenang dan penuh percaya diri ia, berhenti dan berdiri disamping Kanaya didepan cermin. Walau cantik, tapi perempuan itu tidak pandai memakai lipstik. Pewarna bibirnya berantakan. Ia bahkan mulai menjilati bibirnya dengan provokatif. Aneh sekali, fikir Kanaya. Mungkin perempuan itu mabuk sampai-sampai ia keluar bilik kamar mandi dalam kondisi yang sangat kacau seperti ini.
“Ya, Ya, kamu benar, Saya Devina yang itu.” ujar perempuan blasteran seindah dewi Yunani itu tanpa repot-repot menatap Kanaya. Benar dugaanya, sang dewi memang sedikit mabuk tapi masih mampu mengendalikan diri dan menyadari kondisi yang ada.
Kanaya memperhatikan wajah Sang dewi lekat-lekat melalui cermin wastafel yang kinclong dan cemerlang, menerka-nerka maksud wanita cantik ini.
Devina Jo!
Benar! Devina Jo! Jerit ingatan Kanaya ketika ia menyadari dimana dirinya pernah melihat wajah cantik nan familiar itu. Devina Johnson, pemain film idola masa remajanya dulu. Bagaimana mungkin Kanaya bisa melupakan wajah itu!
Club ini memang terkenal sering dikunjungi artis-artis itu ‘kan! Seharusnya dia tidak sekaget ini bertemu dengan Devina, dulu ia sering bertemu artis lainnya juga disini!
Tapi ini Devina loh! Devina! Yang katanya eksklusif dan jarang terlihat dimuka publik!
“Apapun masalah yang membuatmu mengumpat sekeras itu, seharusnya tidak sampai merusak kesenangan orang lain, anak muda!” Devina menggeleng tak habis fikir lalu mengoleskan lipstik pink dibibirnya yang penuh.
Wah, beruntung banget lelaki manapun yang berhasil dapatin Kak Devina!
Ya ampun, Idolaku! Aku harus gimana? Senyum? Senyum dulu deh. Gak enak juga ‘kan tadi suaraku gangguin Kak Devina. Habis ini ngapain ya, oh iya! Apa boleh meminta poto atau tanda tangan di kamar mandi wanita begini? Apa Kak Devina akan memberikannya?
Brak!!!!
Kanaya yang terlalu sibuk terkejut dan terpana pada kehadiran Devina itu tidak pernah mengira akan ada suara pintu terbuka keras dibelakang sana, pintu tempat kak Devina keluar barusan.
Spontan Kanaya berbalik untuk memeriksa siapa gerangan yang dengan kurang ajar telah mengagetkannya, Disana Kanaya menemukan satu sosok pria yang keningnya berkerut. Salah satu telapak tangan pria itu tengah menarik rambutnya ke belakang dan melepasnya kembali, membuat rambut itu terjatuh menutupi kening dengan sembarangan.
Padahal keningnya cakep banget tadi!
Kanaya segera mengoreksi isi fikirannya saat ia melihat wajah itu terangkat dan mata mereka bertemu. Dia melihat wajah masam dan kesal yang dalam sepersekian detik berubah menjadi terkejut dan terdiam. Kanaya membenci kenyataan ini, tapi ia memang merasa seperti ada di film-film yang dibintangi oleh Kak Devina aktris favoritnya, dunia memang melambat, waktu dan detik jam tak jua bergerak.
Pria itu juga sama, tidak ada tanda-tanda ia akan membuka mulutnya untuk berbicara. Hanya terdiam dan terpaku. Pria yang sangat indah dipandang mata. Tipe pria yang akan membuat wanita merana hanya karena membayangkan bahwa mereka tidak akan pernah punya kesempatan untuk memiliki pria semacam ini dikehidupan mereka. Bahaya, pria ini memiliki pesona yang berbahaya!
Kanaya tahu ia seharusnya berhenti memandangi pria didepan sana sebelum ia jatuh terlalu dalam pada pesonanya, lagipula rasanya tidak sopan dan tidak wajar menatapi pria asing didalam kamar mandi wanita seperti ini.
Oh iya, kenapa dia ada didalam kamar mandi wanita dan keluar dari bilik kak Devina?
Apa dia dan kak… Ups!
Kanaya segera berbalik menghadap kaca dan berlagak sibuk dengan ponselnya.
O.M.G. this is so awkward (Ya ampun, ini canggung banget!).
Lo baru aja ganggu kesenangan mereka, Kana! Lambat banget si otak lo!
What should I do? Should I just leave right now? Is it polite enough to leave without saying anything?
(Apa yang harus kulakukan? Haruskah ku pergi saja sekarang? Apakah cukup sopan kalau pergi tanpa sepatah kata?)
“Kamprett, kenapa sial banget sih malam ini!” Kanaya menggumam tanpa sadar.
“That’s okay, kadang kesialan membawa berkah tersendiri.” Devina menepuk punggung Kanaya, berempati pada wanita clueless itu lalu berbalik tanpa peduli dengan senyum kikuk yang Kanaya tampilkan. “Gimana? rumahku atau hotel?” tanya Devina pada pria yang tidak bergerak sedikitpun dari pintu bilik kamar mandinya.
Diam-diam Kanaya mencuri pandang pada pria itu dari kaca. Tapi memang, malam ini adalah malam kesialannya. Tujuan awal Kanaya hanyalah menatap keindahan seorang pria yang mengenakan atribut serba hitam dibelakang sana. Celana hitam, kaos turtle neck hitam, rambut dan bola mata yang hitam pekat itu terlalu mubadzir untuk dilewatkan, tetapi sayangnya pria itu menangkap basah Kanaya hanya dalam hitungan detik dan mengunci tatapan mereka begitu lekat, membuat Kanaya terjebak dan mulai merasakan malfungsi pada sistem pernafasannya.
“O, shoot! Please keep breathing. This is worst. Stop it!” (Oh, shoot! tolong tetap bernafas, ini sangat buruk. Hentikan!”)
Ini mungkin yang disebut dengan aura mengintimidasi yang kuat. Kanaya tidak suka dengan hal semacam ini, tapi ia tidak bisa melepaskan matanya dari pria yang sedang menatapnya itu, tatapan pria itu seolah memberi perintah untuk hanya fokus padanya dan melupakan hal-hal lain yang bukan dirinya. Alis kanan pria itu terangkat dan senyum kecil muncul disalah satu sudut bibirnya.
“That smirk is illegal!” Protes Kanaya dalam hati. (Seringaian itu illegal!)
Pria itu menggeleng kecil, menjawab Devina dengan “No” tanpa kata sambil mempertahankan matanya yang kini mulai menelusuri wajah Kanaya dan anehnya hal tersebut berhasil membuat Kanaya cukup kagum.
Sebelum ini, pria-pria diluar sana tidak akan segan untuk menelusuri lekukan tubuhnya dengan mata mereka tanpa malu-malu. Tapi lelaki itu cukup sopan untuk tetap mempertahankan matanya hanya pada wajah Kanaya.
“What? No? kenapa? Kamu gak mau menyelesaikan yang barusan?” Devina terdengar kecewa dan mengabaikan kehadiran Kanaya diantara percakapan privat mereka.
“Ini adalah terakhir kalinya. Aku berjanji” pria itu tak melepaskan mata Kanaya sedikitpun.
Kanaya mulai merasa mual, perutnya melilit ditatap sebegitu tajamnya oleh pria itu. Apa mungkin cacing-cacing itu sudah berevolusi menjadi naga dan kini mulai mengobrak-abrik seluruh isi perutnya?
“But, why? Kenapa tiba-tiba…” Devina kehilangan kata-kata, lalu dengan berbisik ia melanjutkannya, “Tapi kita punya kesepakatan…”
“I will be very busy…” ujar pria itu. (Aku akan sangat sibuk!)
“You always do!” Devina bersikeras. (Kamu selalu begitu!)
“No time left for you…” Pria itu tak kalah keras kepalanya. (tidak ada waktu yang tersisa untukmu!)
Semakin lama Kanaya semakin merasa bodoh telah berpura-pura tidak mendengar dan tetap berada disana seolah semua baik-baik saja.
Ini adalah kesalahan. Mencuri pandang dan bertatapan intens dengan pria milik wanita lain, setampan apapun pria itu, tetap saja merupakan kesalahan. Api tidak akan muncul sekonyong-konyong. Harus ada sumber dan asal muasal. Apa yang Kanaya lakukan sekarang adalah sumber sekaligus asal muasal api besar jika tidak dihentikan!
Selain itu, ditengah waktunya yang penting, ditengah dini hari pukul satu yang berharga, Sempat-sempatnya ia bertahan disana dan mendengar perdebatan sepasang kekasih!
dan untuk menambah penjabaran tentang situasi absurd ini adalah:
Parahnya, ini dilakukan di ladies room!
Kanaya berdecak, mengutuk kebodohannya lalu tanpa sepatah kata, langsung pergi meninggalkan pasangan itu.
Gagal sudah upayanya mendapatkan poto bersama Kak Devina.
Sesalnya.
***