Pagi ini langit tampak cerah. Sang suria menyinari alam semesta begitu indahnya. Para makhluk bumi terlihat sibuk memulai aktivitasnya masing-masing.
Tepat pukul setengah sembilan, abi dan ummi bersiap-siap untuk mengantarkan Ina pulang, sekalian meminang gadis pujaan untuk anak bujangnya yang kesepian.
Zayyan yang tidak diizinkan ikut mengantar, hanya duduk termenung di ruang tengah dengan secangkir kopi yang menemani kesendiriannya. Setelah pembicaraannya dengan abi semalam, kini ia diam seribu bahasa. Sebagai seorang anak yang berbakti, ia mengikuti tanpa penolakan sama sekali.
"Ya Allah! Teguhkanlah hatiku, berikanlah aku kekuatan hati dan kesabaran dalam menghadapi perasaan yang berkecamuk ini. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui apa-apa yang tidak aku ketahui," doanya dalam hati.
Dalam kemelut jiwa yang menyapa hatinya, Zayyan sibuk melamun sehingga ia tidak menyadari kehadiran Ina yang sudah duduk bergabung bersamanya.
"Abang, boleh Ina tahu apa yang hendak Abang katakan semalam?" Zayyan tersentak dari lamunan tatkala suara Ina menyapa gendang telinganya. Ia beristighfar dalam hati karena sempat-sempatnya ia melamun dan menjeda lantunan dzikir yang biasa ia lafazkan di setiap pagi seperti saat ini.
"Ehmm... anggap saja apa yang ingin saya katakan semalam itu tidak ada." Zayyan mencoba tersenyum meski hatinya merepih pilu.
Ina hanya mengangguk-angguk saja tanpa bertanya lebih lanjut. Meskipun hatinya diliputi rasa penasaran, tapi Ina tidak berani untuk memaksa kehendaknya.
"Nak Ina, sudah siap?" tanya ummi yang baru saja keluar dari kamar.
"Sudah, Ummi," jawab Ina singkat.
"Ayo, kita masuk terus ke mobil, Abi menyusul nanti," ajak ummi agar mereka tidak berlama-lama di perjalanan nanti.
Ina beranjak dari duduknya dan mengambil tas seraya berpamit pada Zayyan.
"Abang, Ina pamit dulu, maaf jika selama tinggal di sini ada sikap Ina yang menyakiti, Abang."
Kalimah yang keluar dari bibir sang pujaan hati membuat d**a Zayyan tiba-tiba terasa sesak, seakan-akan ada batu besar yang menghimpit dadanya. Ia menghela napas besar lalu berkata, "Tidak ada satu pun sikap Dek Ina yang menyakiti saya, bahkan saya sangat bersyukur dan berterima kasih padamu karena sudah sudi menemani Ummi saya selama dua hari ini. Saya yang seharusnya meminta maaf, karena selama Dek Ina di sini mungkin saya bersikap tidak acuh terhadapmu."
Ummi yang sedari tadi menonton drama dadakan antara anak dan calon menantunya itu hanya diam saja. Hatinya ikut merepih melihat pancaran sinar mata kesedihan yang coba Zayyan sembunyikan. Ummi merasa kasihan terhadap anak kesayangannya, kalau bisa ummi akan memberitahunya, namun ummi sudah berjanji pada abi untuk merahasiakan rencana mereka.
Sedangkan abi yang baru saja keluar dari kamar dan sempat mendengar sekilas pembicaraan anaknya dengan Ina hanya menggeleng kepala pelan. Namun, di dalam hatinya, abi sudah tidak sanggup lagi menahan tawanya melihat tingkah anak lelaki satu-satunya itu.
Maka, dengan langkah lebar Abi segera melangkah keluar, tidak mempedulikan drama dadakan tanpa sutradara itu.
"Sudah-sudah, nanti lanjut lagi maaf-maafannya, ya, sekarang Ummi sama Abi pergi dulu. Abang jaga rumah, jangan ke mana-mana, kalau ada rencana bertemu temen, Abang tunda dulu sampai Ummi pulang. Oh ya, satu lagi Ummi hampir lupa, coba nanti Abang ke rumah sakit jengukin Rendy sama adiknya, sekalian Abang bawa bekal untuk mereka berdua. Kalau ke sana Abang boleh meninggalkan rumah," titah ummi tidak dapat dibantah, dan Zayyan menurut. Ummi benar-benar menganggapnya seperti anak kecil yang tidak diperbolehkan keluar rumah. Ia tersenyum menanggapi perintah Ummi.
***
Setelah kepergian kedua orang tuanya dan Ina, Zayyan beranjak dan bersiap-siap pergi ke rumah sakit. Alih-alih membeli makanan di luar, ia lebih suka menyiapkannya dari rumah untuk dibawakan kepada Rendy dan adiknya di rumah sakit.
Saat ini jam sudah menunjukkan angka sepuluh. Kini ia sudah duduk manis di balik kemudi. Mobil SUV yang baru setahun lalu ia beli, tetapi jarang ia gunakan itu kini mulai menyala.
Sebelum menjalankannya, Zayyan membaca doa sembari tangannya mengelus-elus setir yang sedang ia pegang. Setelahnya ia langsung membelah jalan raya yang tidak pernah sepi dari hiruk-pikuk manusia.
Tidak lama kemudian, ia sudah sampai dan berjalan menuju ke ruang VIP di mana adik Rendy dirawat. Setelah diperiksa semalam, ternyata Reny—adiknya Rendy—kekurangan nutrisi dan mengalami gejala tipes.
"Abang baru sampai?" Rendy hendak ke kantin ketika Zayyan tiba di depan pintu kamar.
"Iya! Kamu mau ke mana?" Zayyan bertanya balik. Kini ia sudah di dalam dan meletakkan barang bawaannya di atas lemari kecil yang ada di sudut kamar.
"Mau ke kantin, Bang, aku belum makan. Dari tadi Reny merengek terus minta pulang."
"Ini Abang bawakan makanan buat kamu. Kamu makan dulu gih, jangan sampe kamu ikut-ikutan sakit nanti."
Zayyan mendekati Reny dan memeriksa suhu tubuhnya, setelahnya ia duduk di kursi samping ranjang sembari membaca ayat-ayat Al-Quran dengan suara pelan. Tampak Reny tertidur dengan pulasnya. Seakan-akan tidak ada sesuatu apapun yang memenuhi beban pikirannya.
Sedangkan Rendy sibuk dengan makanan yang baru saja dibawakan oleh Zayyan untuknya. Senyum semringah terbit di wajahnya. Ia sangat bersyukur karena sudah mengenal Zayyan meskipun pertemuan pertama mereka sangat tidak bisa dikatakan baik. Ia berjanji akan menjadi anak dan adik yang baik buat Zayyan dan kedua orang tuanya.
"Kak Ina nggak ikut sekali, Bang?"
"Enggak." Zayyan menjawab singkat.
Hening. Hanya terdengar suara desisan Zayyan melanjutkan kembali bacaannya yang tertunda tadi dan suara pergerakan Rendy menyibukkan diri dengan makanannya.
***
Susana kediaman Ina tampak begitu lengang, hanya suara bocah kecil yang terdengar menghiasi sudut rumah, di mana Zulfa dan Rayyan yang sedang asyik merebut mainan.
Ina beserta abi dan ummi keluar dari mobil bersamaan. Mereka disambut hangat oleh Hauzan dan Zahra. Jiya beserta suaminya juga turut hadir menyambut kepulangan Ina. Ina tersenyum melihat seluruh anggota keluarganya berkumpul bersama.
Berkumpul bersama seperti ini adalah suatu kebiasaan yang mereka lakukan di setiap akhir pekan. Setelah menyalami saudara-saudaranya, Ina bergegas masuk ke dalam kamar. Tas yang ia bawakan, ia letakkan begitu saja. Ia beristirahat sejenak sebelum melangkah ke dapur untuk menyiapkan minuman.
"Dek, apa kamu masih capek?" Baru saja ia mendudukkan bokongnya di atas kasur, Zahra masuk dan ikut duduk bersamanya.
"Enggak, emang kenapa, Kak?"
"Hari ini Kakak tidak bisa masuk mengajar, maukah kau menggantikanku?" Senyum terpatri di wajah sang kakak ipar. Ada harapan yang terpancar dari bola matanya yang pekat. Dan Ina tak kuasa untuk menolak. Setelah menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, ia bergegas keluar.
"Abi, Ummi, Ina pamit ngajar dulu, ya. Assalamu'alaikum...!" Tidak lupa ia berpamit kepada kedua orang tua yang telah mengantarnya tadi.
Dan Ina berlalu dari sana tanpa menyadari sorot mata bahagia dan pendar misteri dari masing-masing empunya.
***
"Dek, maafkan Abang, tanpa sepengetahuan kamu, Abang telah menerima lamaran yang datang meminang kamu secara langsung oleh orang tuanya. Abang tidak kuasa menolak, karena Abang yakin dia adalah lelaki shalih yang Allah kirimkan untukmu."
Baru saja Ina selesai mengajar, Hauzan mengabarkan lamaran yang telah ia terima untuk sang adik.
Kesedihan terukir di wajah Ina ketika Hauzan memberitahukan tentang lamaran yang ia terima secara sepihak. Ingin ia menolak, namun ia tak mampu melihat kesedihan yang terpatri di wajah-wajah saudaranya yang sangat menyayanginya.
Hauzan mendekat dan duduk bersamanya di beranda depan.
"InsyaAllah, minggu depan pernikahanmu akan digelar sekalian dengan resepsinya. Maaf, Abang tidak memberitahumu, ini semua sudah kami rencanakan bersama. InsyaAllah, adek juga bakalan menerimanya."
"Apa Abang yakin Ina akan menerima begitu saja?" Ina menoleh dan menatap Hauzan lama.
Hauzan mengangguk. "Iya, Adek pasti akan menerimanya. Apa Adek mau tahu siapa dia? Tapi ini bukan dia langsung yang meminang Adek melainkan Abi dan Umminya...."
"Abi dan Ummi?" Ina menyela sebelum Hauzan menyelesaikan ucapannya.
"Hu'um! Abi dan Umminya secara langsung yang meminangmu." Hauzan terkekeh melihat roman kebingungan Ina. Ia menjulurkan lengannya dan mengusap kepala adiknya dengan lembut.
"Pasti Adek sudah bisa menebak, kan, siapa dia," lanjutnya tanpa mengalihkan tatapannya. "Abang harap ini juga pilihan Adek, sudah dari dulu Abang ingin menjodohkanmu dengannya, dan baru hari ini keinginan Abang terwujud." Hauzan menghela napas lega.
Ina tergugu, diam membisu. Ia tidak menduga bahwa rasanya kini bersambut walau hanya melalui orang tua. Pikirannya tiba-tiba dipenuhi oleh lelaki yang baru saja hadir dalam ingatannya.
Ia menyubit pergelangan tangannya. Ia merasa kalau ini semua hanyalah mimpi. Ah, ternyata cubitannya terasa sakit dan artinya yang ia rasakan sekarang bukanlah mimpi. Ia telah dikhitbah seseorang.
Hauzan tak menutupi rasa senangnya melihat raut wajah sang adik kesayangan merona bahagia.
Semoga pilihanku adalah yang terbaik untukmu, adikku.
***
"Hiks ... hiks ...."
Suara tangisan membuat Rendy menghentikan langkahnya ke kamar mandi.
"Kenapa, Dek? Di mana yang sakit?" tanyanya cemas.
Reny menunjuk tangannya yang berinfus. Dengan sabar dan telaten ia mengusap-usap lengan adiknya. Usapan Rendy membuat tangisan Reny berhenti dan kembali memejamkan mata. Keheningan memenuhi ruangan.
Tidak lama suara deritan pintu memecah keheningan yang sesaat tadi tercipta. Tampak Zayyan masuk. Ia baru kembali dari Mushalla rumah sakit.
"Kamu udah shalat?" Zayyan mendekat dan mengusap kening Reny.
"Belum, tadi Reny bangun, katanya sakit," jawab Rendy memberitahukan keluhan adiknya pada Zayyan.
Menggantikan Rendy, Zayyan duduk di kursi samping brankar dan melanjutkan elusan Rendy pada lengan Reny. Rasa haru menyeruak memenuhi d**a Rendy, setitik airmata menetes dari peraduannya. Selama ini tidak ada yang memerhatikan mereka seperti keluarga Zayyan yang memberi perhatian pada mereka. Terselip rasa syukur di hatinya karena telah menghadirkan keluarga yang sangat baik untuk mereka.
Mengusap wajah dan mengembuskan napas pelan, Rendy kembali melangkah ke kamar mandi. Setelah berwudhu, ia lanjutkan dengan shalat Ashar di Mushalla rumah sakit.
Setelah kepergian Rendy ke Mushalla, Abi Ali dan Ummi Dini datang mengunjungi. Pukul sepuluh malam barulah mereka meninggalkan rumah sakit setelah dokter visite dan Reny kembali tertidur nyenyak. Hanya beberapa jam saja, Reny sudah dekat dan bermanja-manja dengan Ummi Dini sekeluarga.
Reny semakin senang ketika Ummi Dini mengatakan kalau sudah sembuh ia akan dibawa pulang ke rumahnya. Tidak lama, hanya setelah tiga hari dirawat, akhirnya Reny diizinkan pulang oleh dokter.
Meskipun masih terlihat lemas, tetapi rasa bahagia lebih mendominasi. Semua itu tidak lepas dari manik mata Rendy, ia ikut tersenyum melihat adiknya yang masih kecil itu melengkungkan bibirnya ke atas.