12. Akad

1424 Words
Hari yang di tunggu-tunggu akhirnya tiba. Suasana rumah Ina tampak ramai dan meriah, bahkan nada Shalawat Barzanji ikut memeriahkan hari pernikahan yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Sang penghuni rumah sibuk menyambut para tamu yang sudah hadir. Baik dari pihak abi maupun ibu mereka. Bahkan dari berbagai kalangan, mengingat keluarga mereka adalah salah satu keluarga terpandang. Apalagi almarhum kakek mereka dari pihak abi adalah seorang Ulama terkemuka. Ditambah lagi sang abang yaitu Hauzan adalah pengganti abi memimpin pondok pesantren yang telah berdiri sejak dari masa kakek mereka dulu. Pukul 09:00 WIB rombongan pihak Linto Baro, yaitu mempelai pria sampai di kediaman Dara Baro, sebutan untuk mempelai wanita. Zayyan terperangah saat melihat rumah calon istrinya adalah tempat di mana sahabat dan bidadari impiannya tinggal. Ummi dan abi mendekat. "Gimana, Bang? Apa kado pernikahan dari Ummi dan Abi terlihat istimewa?" goda Ummi sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Rasa puas tidak terhingga ketika melihat kebingungan yang tersirat dari wajah anak tersayang. "Inilah rumah calon istri kamu, Ina. Bukankah ini yang kamu impikan, Bang? Jadi Abi harap saat akad nanti kamu sudah tahu siapa nama calon istrimu itu." Abi pun tidak kalah dengan Ummi. Ia menepuk bahu Zayyan pelan dan memberikan senyum sayang sebagai seorang ayah yang mengabulkan harapan anak kesayangannya walaupun tiada ucapan yang keluar dari bibirnya. Semua kini sudah berkumpul di ruang Mushalla. Reny duduk di pangkuan ummi sedangkan Rendy sibuk mengabadikan acara sakral yang sebentar lagi akan dilaksanakan dengan HandyCam keluaran terbaru yang baru saja dihadiahkan oleh Zayyan kepadanya. *** Ketika akad telah terucap lalu disahkan oleh saksi dan seluruh yang menyaksikan secara langsung, haru menyeruak menyusup ke dalam kalbu. Air mata keharuan menitik laksana hujan di kala gersang, laksana angin di kala panas dan laksana oase di padang sahara. Ina berucap syukur ke hadhirat Ilahi, Sang Penguasa jagad bumi beserta isinya. Walau harapannya tidak terwujud, namun rasa haru dan bahagia mengisi relung hatinya yang terdalam. Impiannya yang tidak terwujud adalah keinginannya bahwa yang menikahkan dan yang menjadi wali nikahnya itu adalah abi yang amat ia sayangi, bukan abangnya yang menggantikan. Namun, ia tetap bersyukur. Hanya saja ada sedikit rasa kerinduan dalam hatinya kepada abi dan ibunya yang telah tiada. Kebahagiaannya kini tidak disaksikan secara langsung oleh kedua orang tuanya. Hatinya tiba-tiba sesak mengingat mereka. Di pelupuk matanya kini hadir abi dan ibunya dengan menyunggingkan senyuman bahagia. Mereka tersenyum melihat anak bungsunya kini sudah disunting oleh lelaki shalih yang insya Allah akan membawanya ke surga nanti. Dengan menahan isakan, Ina menghanturkan doa untuk kedua orang tuanya. Ia berharap Allah mempertemukannya dengan keduanya walaupun hanya sebatas dalam mimpi saja. Jiya yang melihat adiknya sesegukan menahan isakan mengusap lembut kepala Ina seraya berbisik, "Sayang ... jangan menangis, ya, ingat nanti riasannya berantakan." Dalam kemelut jiwa yang sendu ada saja bahan candaan dari sang kakak untuk adik tersayang. Bukan ia tak sadar kenapa adiknya bersedih, namun ia berharap tangisan itu berubah menjadi senyuman yang menghangatkan jiwa dikala duka. Ina mengusap pipinya yang berbekas air mata secara pelan dan hati-hati, Jiya membantunya agar riasan Ina tidak berantakan. Setelah prosesi akad dan di akhiri dengan doa dan shalawat, Zayyan dipersilakan untuk menjemput Ina. Sang bidadari pujaan yang selalu hadir dalam ingatan dan dalam doa istikharahnya. Ia tidak menyangka selama ini abi, ummi dan bahkan sahabatnya, Hauzan menutupi acara lamaran kepadanya. Padahal ia sang empunya badan yang harus tahu siapa calonnya, tidak diberitahukan oleh mereka. Bagaikan teka-teki, mereka benar-benar pintar bermain peran dalam mempersatukannya dengan Ina. Mereka berbakat menjadi aktor, tidak hanya ia yang tertipu bahkan sang gadis pujaan pun ikut tertipu. Air mata yang tebuang selama ini rasanya sia-sia saja. Mengingat itu menghadirkan segaris senyuman di bibirnya. Apa yang sudah berlaku, sekarang malah terlihat lucu untuknya. Tok! Tok! Tok! "Assalamualaikum...," ucap Zayyan pelan. "Suaranya jangan terlalu pelan," bisik Hauzan yang saat ini menemaninya menjemput bidadari. "Assalamualaikum...!" ulang Zayyan sedikit menaikkan volume suaranya. "Dek, itu Pangeran hatimu udah datang. Kakak keluar dulu, ya, ingat, jangan lupa apa saja amalan seorang istri terhadap suaminya." Jiya terkekeh pelan saat menggoda adiknya. Semburat merah kini menghiasi pipi chubby Ina. Di dalam hati ia berdoa semoga Tuhan menenangkan hatinya yang kini sudah bersenandung ria memainkan alunan musik yang bertalu-talu. Jiya membuka pintu dan menyambut Sang Putra Raja dengan senyuman. "Silakan masuk, Putri Raja tengah menanti kehadiran Putra Raja yang akan membawanya mengarungi samudera kehidupan." Tidak hanya Ina, bahkan Zayyan pun ikut dalam godaan Jiya. Zayyan berusaha menutupi rasa gugup yang tiba-tiba menjalari hatinya. Bahkan suara degup jantungnya tidak mau kalah ikut merayakan kebahagian yang menyelesup ke dalam hati. Semua bercampur padu bagaikan orkestra yang sedang menampilkan keahliannya di atas panggung. Hauzan dan Jiya meninggalkan Zayyan seorang diri memasuki kamar pengantin wanita. Mereka tidak ingin mengganggu keintiman yang akan tercipta di antara adik kecilnya dengan sang mempelai pria. Zayyan masuk dan menutup pintu pelan. Menarik napas sejenak kemudian ia keluarkan pelan-pelan. Setelah merasakan jantungnya berdegup normal, ia mulai berbalik dan melangkah mendekati gadis yang kini sudah sah menjadi permaisuri hatinya. Sementara sang gadis, menunduk dalam. Ia masih merasa malu dengan situasi yang tercipta antara dirinya dan lelaki yang telah mengisi relung hatinya secara diam-diam. Ia ragu bagaimana akan bersikap nantinya, mengingat selama ini mereka hanya berbicara sepatah dua patah kata saja. Ghalin Zayyina, benar-benar seperti bidadari. Dan inilah untuk pertama kalinya Zayyan merasa sangat beruntung. Ucap syukur tak terhingga ia lafadzkan di hatinya. Dengan suara yang begitu pelan dan kecil, Zayyan berbisik, "Assalamu'alaikum...." Gadis itu bergeming. Apa suaraku terlalu kecil? Batin Zayyan. Hening. Lima detik kemudian, Zayyan mencoba kembali dan volume suaranya ia naikkan sedikit meskipun berat dan bergetar karena gugup. "Assalamu'alaikum, ya Zaujaty...!" Ina mendongak dan menjawab salam dengan suara yang tegas dan juga dengan senyum yang terukir. "Wa'alaikumussalam, ya Zaujy...." Hening kembali tercipta, namun tiba-tiba.... Tok! Tok! Tok! "Sang pengantin silakan keluar untuk menandatangani surat-surat nikah." Suara orang di luar membuyarkan keheningan di antara mereka. Lalu mereka tertawa bersama. *** Pesta walimah sangat meriah. Tim Nasyid dan Tim Shalawat Barzanji menunjukkan kebolehannya. Semua berjalan dengan sangat mengesankan bagi siapa saja yang hadir pada hari itu. Tempat para undangan lelaki dan undangan perempuan dipisah dengan satir. Berupa tirai sebagai pemisah antara laki-laki dan perempuan. Zayyan dan Ina bersanding di pelaminan layaknya Raja dan Ratu. Senyuman menghiasi wajah keduanya. Tampak binar bahagia yang kini terpancar dari netra pasangan yang baru saja halal dalam ikatan pernikahan. Siapa saja yang melihatnya pasti ikut merasakan kebahagiaan mereka. Setelah acara berakhir dan tamu undangan telah banyak yang pulang, Zayyan dan Ina digiring ke dalam kamar untuk di foto. Berbagai macam gaya yang diarahkan oleh fotografer yang harus diikuti. Kedua pengantin masih saja malu-malu untuk bergerak bebas. "Linto, Dara Baro-nya didekap! Iya, seperti itu." "Dara Baro jangan kaku begitu, coba rileks sedikit." "Okey, sekarang saling menatap. Linto! Senyum...!!! Yaaak, bagus!" Dan banyak lagi komentar-komentar dari si fotografer kepada mereka berdua yang tidak ada habisnya. Sementara itu, hati Zayyan dan Ina semakin berdegup kencang. Tangan Ina mulai berkeringat dingin, tetapi ditutupi oleh inai berwarna merah kehitaman hingga terlihat samar. Setelah berfoto bersama keluarga dan kerabat dekat, Hauzan mendekat dan bertanya, "Gimana pengantin baru, kalian sudah siap?" Zayyan diam tidak menjawab, hanya senyuman yang ia berikan. "Baiklah Zayyan, berbahagialah kau malam nanti bersama istrimu. Kami tidak akan mengganggu, semoga hidup kalian penuh berkah," kata Hauzan sembari menepuk pundak Zayyan. Dari jauh abi dan ummi mendekat. Abi mengerling nakal menggoda anaknya. Ia merasa senang dan bahagia akhirnya rencana yang telah ia susun bersama Hauzan berhasil tanpa hambatan. "Abang, Ummi sama Abi pulang dulu. Ingat! Jangan lupa petuah Ummi tadi, Abang sekarang sudah punya tanggungan, dijaga dan disayang, semoga kalian berkekalan hingga ke surga nanti," pamit ummi dan di akhiri dengan doa untuk anak tercinta. Lalu ia beralih kepada Ina. "Sayang, Ummi pamit dulu, ya, jaga anak Ummi baik-baik, kalau dia pasif kamu yang harus aktif. Dia itu besar malunya terhadap wanita," bisik ummi di akhir kalimatnya seraya terkikik pelan. Mau tidak mau, Ina pun ikut tersenyum dengan kelakar ummi. Ada ya orang tua yang mengerjai anaknya sendiri? Jiya yang baru saja melepas kepergian keluarga suaminya juga ikut nimbrung. Ia mendekati adiknya setelah Ummi Dini kembali berbicara dengan Zayyan. "Dek, sekarang Adek sudah hidup di dunia baru, kuatkanlah dirimu dengan takwa. Kalau ada masalah, minta tolonglah kepada Allah dengan shalat dan kesabaran. Dan layanilah suamimu dengan sebaik-baiknya. Ingat! Ridha Allah terletak pada ridha suamimu dan suamimu adalah surgamu." Suara Jiya terdengar parau. Tiba-tiba ia mengingat orang tua mereka yang telah tiada. Satu per satu memeluk Zayyan dan Ina bergantian, kemudian mereka berlalu dan meninggalkan pengantin baru berdua dalam keheningan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Memikirkan cara untuk mulai memecah keheningan yang tercipta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD