Sebelum keluar masjid, Zayyan diikuti Rendy mendekati abinya yang tengah berbicara dengan Ustadz Zacky. Sesekali tawa melengkung di bibir keduanya.
"Nah! Ini yang punya badan sudah datang," ucap Ustadz Zacky menepuk pundak Zayyan pelan.
Apa mereka sedang membicarakannya?
"Apa kabar Ustadz?" sapa Zayyan sambil menyalami tangan Ustadz Zacky. Rendy mengikuti apa yang dilakukan oleh abangnya.
"Alhamdulillah 'ala kulli haal, masih diberi kesempatan bertemu dengan kalian di sini," sahut Ustadz Zacky.
"Kebetulan lagi ada keperluan di Bireuen, sekalian saja kami datang ke sini," lanjut Ustadz Zacky memberitahukan keperluannya.
Abi dan Ustadz Zacky lanjut berbincang sambil berjalan menuju ke rumah, sementara Zayyan dan Rendy mengikuti dalam diam. Sesekali Zayyan ikut menimpali apabila obrolan mengarah kepadanya.
Karena jarak masjid dan rumah tak terlalu jauh, maka tidak butuh lama buat mereka sampai. Pintu rumah terbuka lebar. Suara orang berbicara terdengar dari belakang. Zayyan melangkah ke arah sumber suara setelah meminta izin meninggalkan dua orang tua di serambi luar.
"Eh, Nak Zayyan udah pulang! Bareng siapa?" Ummi Raihana yang pertama sekali menyadari kedatangan Zayyan.
"Itu di depan ada Ustadz Zacky," jawab Zayyan sambil menangkup kedua tangan di depan d**a.
"Ina mana, Mi?" Zayyan beralih pada Umminya menanyakan sang istri.
"Tadi lagi temenin Reny di kamar, coba lihat aja ke sana."
Zayyan menggangguk pada dua wanita selain umminya sebelum berlalu dari sana.
Perlahan Zayyan membuka pintu kamar yang ditempati Rendy bersama adiknya.
Beginikah perasaan setiap suami saat melihat istrinya terlelap bersama dengan gadis kecil di pelukannya? Seakan-akan yang dipeluknya itu adalah anak mereka. Ada sepercik perasaan aneh yang ia tak tahu bagaimana untuk menjabarkannya.
Dengan bibir melengkung ke atas, ia mendekati dua perempuan beda generasi itu.
"Sayang...!" panggilnya pelan, takut membangunkan si gadis kecil dalam pelukan istrinya.
Namun yang dipanggil tak juga terbangun. Akhirnya ia menyentuh lengan Ina pelan sambil memanggil namanya. Dan itu berhasil membangunkan Ina dari tidurnya.
"Ya Allah, maaf, Ina ketiduran," ucapnya merasa tak enak hati sambil mengurai pelukannya pada Reny secara perlahan-lahan agar gadis itu tidak terusik.
Senyum hangat bagaikan mentari pagi hari menyambut ketidakenakan hati Ina.
"Tidak apa-apa. Sudah makan?"
"Belum, Ina tunggu Abang."
"Yaudah, yuk, kita makan," ajaknya seraya memegang tangan Ina.
"Reny gimana?" Ina melirik Reny yang masih pulas dalam mimpinya.
"Kenapa dengan Reny?" Zayyan bingung dan ikut melirik Reny.
"Dia juga belum makan. Apa Ina bangunin aja, ya?"
"Jangan! Kasian dia tidur pulas gitu," larang Zayyan.
Meskipun masih diliputi rasa khawatir, Ina menuruti titah sang suami. Sebelum beranjak dari sana, sekali lagi ia menoleh manatap gadis kecil itu.
"Tadi ada tamu, tapi Ina nggak temani Ummi duduk bersama mereka, apa nggak apa-apa, ya?" kata Ina begitu mereka keluar.
"Tidak apa-apa, Dek Ina 'kan baru di sini!" Senyum teduh Zayyan rupanya tidak menenangkan Ina. "Anggap saja kita juga tamu, baru datang juga 'kan tadi pagi," katanya lagi sambil tertawa kecil berharap istrinya tenang.
"Ya ampun, menantu Ummi Dini dari tadi ke mana aja nggak ikut gabung sama kita?" Ummi Raihana menyambut langkah Zayyan dan Ina memasuki ruang makan.
Ina semakin merasa tak sedap hati saat netranya tertuju pada orang-orang yang kini kembali memenuhi ruang makan keluarga.
Di sana sudah duduk Abi bersama laki-laki sebayanya yang Ina tebak suami Ummi Raihana.
"Jadi nanti sore jalan-jalan temani Reny?" Ummi Dini mengalihkan topik pembicaraan. Ia menyadari ketidaknyamanan sang menantu yang ia sayangi.
Ummi Dini tahu bagaimana sifat temannya ini. Kalau dibiarkan akan menjadi-jadi. Ia tidak mau menantu kesayangannya terusik hanya karena masalah sepele.
"Insya Allah, Mi," jawab Ina. Ia merasa bingung dari mana umminya tahu kalau ia akan mengajak Reny jalan-jalan sore nanti.
Zayyan melirik Ina mencari jawaban. "Nanti Ina bagi tahu," bisiknya.
Apa yang dilakukan Ina dan Zayyan tidak luput dari perhatian seseorang yang sejak keduanya masuk ke ruang makan tadi hingga saat ini. Ada rasa cemburu di sudut hatinya melihat interaksi pasangan suami istri di depannya.
"Reny mana, Kak? Nggak ikut makan sekali?" Suara Rendy mengalihkan Ina yang sedang menuang air di gelas Zayyan.
"Lagi tidur dia."
"Oh...!" Rendy melanjutkan makan siangnya.
Sementara yang lain hanya menemani empat orang laki-laki dan satu orang perempuan yang sedang menikmati hidangan siang mereka.
"Ummi sama Shafiya nggak ikut makan?" tanya Ustadz Zacky pada istri dan anaknya yang sejak tadi tidak menyentuh makanan.
"Oh, kami udah duluan, Bi, biasa ibu-ibu, 'kan? Kalau udah waktunya, ya makan!" Tawa menyertai ucapan Ummi Raihana.
Dari cara berbicaranya, sepertinya Ummi Raihana seorang yang ceplas ceplos.
"Mmm... pantesan lauknya udah tinggal segini, rupanya udah Ummi sama Shafiya habiskan."
Gelak tawa kembali memenuhi ruang makan di siang hari ini. Secara perlahan rasa ketidaknyamanan tadi terkikis sedikit demi sedikit setelah suasana mencair dengan kehebohan Ustadz Zacky bersama istrinya.
Wanita bercadar yang rupanya bernama Shafiya, menarik perhatian Ina. Entah perasaannya atau bukan, tetapi Ina menyadari ada sesuatu dari sinar pancaran mata bening itu saat melihat suaminya.
Sampai pukul 03:00 WIB barulah keluarga Ustadz Zacky pamit pulang.
"Ada-ada aja si Zacky itu, masa dia mau jadikan Shafiya istri kedua Zayyan. Bener-bener dia!" Beritahu Abi pada Ummi Dini ketika mereka sudah di kamar.
"Hushht... Abi jangan beritahu Zayyan, belum seminggu mereka menikah kok tiba-tiba udah bahas poligami segala. Ummi nggak setuju," jawab Ummi cepat.
Abi Ali terkekeh melihat istrinya enggan punya menantu dua. Bukan berarti beliau setuju. Tidak ada pemikiran untuk punya dua menantu dari anak laki satu-satunya itu sama sekali.
"Yang bilang setuju siapa, Bidadariku?" Colek abi di dagu Ummi. Bibirnya semakin melengkung, merasa senang menggoda sang istri.
"Makanya, Abi jangan bahas-bahas masalah itu, sensitif, nih, kuping Ummi!"
Tak diduga, Abi merangkul Ummi lalu mencium telinganya yang masih berbalut jilbab "Udah Abi kasih obat, nggak sensitif lagi, kan?"
Mau tidak mau ummi akhirnya ikut tertawa. Sikap suaminya memang terkadang ajaib kalau mereka sedang berdua. Tiba-tiba ia teringat pada anaknya. Apakah Zayyan juga mengikuti abinya kalau sedang bersama Ina?
Sementara sosok yang dipikirkan saat ini tengah bersama Ina menemani Reny makan siang. Anak itu baru bangun setelah keluarga Ustadz Zacky keluar rumah.
"Tambah lagi?" tawar Ina.
"Enggak!" Reny menggeleng kecil.
Ina bangun dari duduknya dan membawa piring Reny yang isinya sudah tandas ke bak cuci piring.
"Reny sama Bang Zayyan dulu, ya? Kak Ina mau cuci piring kotor dulu, tuh lihat, udah banyak, kan?" tunjuk Ina pada tumpukan piring kotor.
Reny mengangguk malu-malu ketika melirik Zayyan.
"Sanggup sendiri?"
"Masa enggak!" Ina tertawa. Pertanyaan Zayyan aneh-aneh.
Aneh nggak, sih?
***
Janji Ina pada Reny tadi siang akhirnya terlaksana. Setelah shalat Ashar, mereka berempat sudah duduk di dalam mobil siap-siap berangkat.
"Kita mau ke mana dulu?" tanya Zayyan begitu mobil mulai membelah jalan raya.
"Ke Suzuyua aja, di sana ada permainan buat anak-anak."
Mendengar nama mall yang disebutkan Ina, bayangan masa lalu terbersit di ingatan Rendy. Kalau mengingat hari itu tentu saja rasa bersalah itu masih ada. Entah bagaimana ia menghapuskannya dari ingatan.
"Eny nggak bisa naik itu! Tangganya nggak mau berhenti, Eny takut!" pekik Reny ketakutan saat mereka berjalan ke arah eskalator.
Melihat tangga berjalan membuat Reny bergidik ngeri. Ia memegang tangan abangnya dengan sangat kuat.
"Tangganya nggak apa-apa, Dek, kan ada Abang juga di sini." Rendy menenangkan Reny. Ia gendong adiknya itu supaya kadar ketakutannya berkurang.
"Eny takut!" Ia mengeratkan pelukannya.
Meskipun digendong, Reny tetap merasa takut melihat tangga bisa berjalan begitu. Bagaimana mereka naik kalau tangganya tidak berhenti?
Dua sejoli di belakang abang beradik itu saling pandang. Ada apa dengan gadis kecil itu? Begitulah yang ada di pikiran Zayyan.
Ina mendekat. "Reny takut, ya? Takut karena apa?"
"Takut naik eskalator dia, Kak." Yang menjawab adalah Rendy.
Ina memaklumi ketakutan Reny. Baru ini kali pertama anak itu datang ke sini.
"Kalau Reny takut, merem aja matanya nggak papa, kok, nanti pas Reny buka kita udah di atas sana. Lagian di sini ada Kak Ina, Abang Zayyan, juga Abang Rendy, ya?" tutur Ina lembut mencoba mengurai rasa takut Reny.
Langsung saja Reny mencoba saran Ina untuk menutup matanya.
"Tapi Reny nggak nampak apa-apa," katanya kemudian sambil merengut.
"Kalau begitu Reny harus berani. Nih, Kak Ina udah naik, yuk, cepet nyusul!" Ina melambai pada Reny yang masih di gendongan Rendy.
"Ayok, Bang cepet! Kita ketinggalan!" seru Reny kemudian setelah Ina berhasil menjejakkan kakinya di tangga pertama.
Zayyan yang mengikuti di belakang hanya mengulum senyum menyaksikan drama kecil yang terjadi antara istrinya dan si gadis kecil. Mereka tidak memedulikan reaksi dari pandangan orang-orang sekitar. Yang penting si imut Reny bisa tersenyum bahagia.
Membahagiakan anak kecil bukankah berpahala. Dan Ina memang menyukai anak-anak kecil. Tiba-tiba ia teringat pada ponakan-ponakannya di rumah Lhokseumawe. Sedang apa ya mereka?
"Dek, hati-hati!" Seruan Zayyan menarik Ina dari lamunannya. Ternyata ia nyaris saja tersenggol oleh seorang lelaki.
"Maaf!" ucap laki-laki itu sebelum berlalu pergi.
Kini mereka sudah tiba di lantai paling atas di mana berbagai macam permainan berdiri kokoh di setiap penjuru setelah tadi kembali berpusing ria, karena Reny lagi-lagi memekik antara suka dan takut ketika melewati eskalator selanjutnya.
Suara bising anak-anak dan orang dewasa memenuhi seantero lantai tiga. Reny tidak lagi bersama abangnya. Menggait jari jemari ia mengikuti setiap langkah kaki Ina.
"Reny mau main apa?" Ina memberi pilihan.
Memindai setiap sudut akhirnya gadis cilik itu memilih perosotan yang dipenuhi bola-bola kecil. Sebelum masuk ke dalam kumpulan bola-bola itu, terlebih dahulu Ina membelikan kaos kaki untuk Reny sesuai anjuran yang tertulis. Diwajibkan memakai kaos kaki bagi anak-anak yang masuk ke lingkup itu.
Sementara Ina sibuk menemani Reny mandi bola, dua lelaki beda usia memperhatikan keduanya dari luar.
"Kamu nggak ikutan main?" tanya Zayyan tiba-tiba.
Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Rendy menggeleng pelan. Bermain game di situ membutuhkan uang juga, sedangkan ia tidak memilikinya.
"Pilih aja mumpung lagi di sini. Abang yang traktir," lanjut Zayyan lagi menyadari kebingungan Rendy.
Remaja tanggung itu pun memilih salah satu permainan yang sekiranya ia bisa.
"Kak Ina ... Kak Ina ... sini naik perosotan sama Eny!" teriak Reny memanggil Ina yang sejak tadi tidak melepaskan pandangannya dari anak itu.
Hanya tawa kecil, Ina menggeleng dan menyuruh Reny bermain sepuasnya.
"Kita ini macam orang tua yang lagi mengawasi anak-anak bermain, ya?" Zayyan berbisik di telinga Ina.
Seketika Ina menoleh lantaran terkejut karena tiba-tiba suaminya itu sudah berdiri di sampingnya.
"Melihat mereka sepertinya saya harus lebih berusaha lagi."
Sejenak Ina tak paham maksud suaminya, sejurus kemudian pipinya merona ketika memahami ke mana arah perkataannya itu. Menutupi rasa malunya, lantas ia berpaling ke arah lain. Yang jelas bukan ke arah suaminya.
Zayyan tersenyum kecil melirik istrinya. Jangankan Ina, ia sendiri juga merasa malu sebenarnya.
"Bahagia, ya, melihat anak kita senang!" ucap seorang ibu yang berdiri dekat dengan Ina melihat ke depan di mana anak-anak seusia Reny bermain perosotan dan juga mandi bola.
Ina menanggapi dengan senyuman.
"Kalian sepertinya pengantin baru," ujar ibu itu lagi saat melihat jari jemari Ina dipenuhi inai. "Lantas kalian menemani siapa di sini?"
Ibu-ibu ini kepo atau apa, ya? Untuk mengabaikannya Ina rasa pun tak bagus, su'ul adab nanti jatuhnya karena itu orang yang lebih tua daripada dia.
"Mereka adik-adik kami, Bu!" Ina bersyukur yang menjawab soalan ibu itu adalah suaminya.
"Owh....!" ibu itu manggut-manggut. Kemudian ia sibuk dengan anaknya yang tiba-tiba datang sambil menangis.
"Kak!" Rendy datang dengan membawa 4 kaleng jus. "Ini Rendy beli jus!" Ia menyerahkan kantong plastik pada Ina setelah mengambil satu kaleng jus apel untuknya sendiri.
"Maaf, Bang, duitnya Rendy belikan minuman!" cengirnya sambil menggaruk kepala yang memang tiba-tiba gatal.
"Nggak masalah! Cukup uangnya?" jawab Zayyan santai.
"Alhamdulillah, cukup!"
Setelah puas bermain, tak menunggu dipanggil dulu, Reny berlari kecil mendekati abang-abang dan kakaknya. Senyum merekah terukir di wajah gadis kecil itu. Ia benar-benar merasa senang sore hari ini.
"Udah puas mainnya?" tanya Rendy. Selama mereka bersama, baru ini ia melihat adiknya tertawa senang. Bahagia juga melingkupi dirinya saat melihat senyum tawa memenuhi hari sang adik.
Di Suzuyua ini pertama kalinya ia bertemu dengan Zayyan dan keluarganya. Lebih tepatnya ini terjadi karena masalah tas Ina yang sempat ia jambret sehingga membawanya mengenal keluarga baik ini.
Rendy sangat bersyukur, kalau bukan karena kebaikan keluarga Zayyan, mungkin saja saat ini ia sudah mendekam di balik jeruji besi bersama orang-orang lain yang juga melakukan pelanggaran hukum.
"Puaaasss banget!" seru Reny riang sambil melompat-lompat kecil membuyarkan ingatan beberapa waktu lalu yang ia jalani.
Zayyan dan Ina sama-sama mengulum senyum.
Tak terasa waktu Magrib hampir menjelang. Sebelum melanjutkan belanja-belanja, Zayyan mengajak Ina dan Rendy beserta Reny ke Mushalla mall. Dan Ina mengiyakan ajakan Zayyan. Reny sempat rewel, tapi setelah dirayu-rayu oleh Ina, akhirnya ia tenang dan diam sambil minum jus alpukat.
Mereka menghabiskan waktu di Suzuyua sampai menjelang Isya. Zayyan bahkan memberikan waktu sepuasnya buat sang istri apabila masih ada yang ingin dilakukannya bersama Reny. Selagi ia ada waktu, karena malam ini tidak ada jadwalnya mengajar ngaji seperti biasanya di masjid.