16. Tamu Tak Disangka

1778 Words
Zayyan menatap wajah ayu sang istri yang kini terlelap di atas tempat tidur. Istrinya itu tertidur ketika menunggunya bekerja di depan laptop. Bahkan jilbabnya yang lebar tidak ia lepaskan. Meskipun begitu, paras Ina yang cantik di tambah dengan lesung pipinya yang terbit saat ia tersenyum pun tidak berkurang. "Ummi ... Bang Rendy jahat! Hiks...!" Suara tangisan Reny mengalihkan Zayyan dari wajah Ina. "Bang Rendy nggak kasih Reny coklat!" Zayyan keluar kamar. "Kenapa ini?" Suara yang tadinya menggebu-gebu kini berubah menjadi gumaman. Rendy yang tengah mengusap lengannya hanya meringis kecil. Sepertinya ia baru saja mendapatkan serangan dari makhluk mungil yang sedang menunduk dalam-dalam di sampingnya. Ummi Dini tertawa kecil melihat tingkah Reny yang mendadak berubah. "Ini si Reny minta coklat dia, padahal nggak dibolehin makan coklat sama dokter," kata Ummi. Sebelah alis Zayyan terangkat mendengar perkataan Umminya. Seakan tahu maksud dari reaksi muka Zayyan, Rendy pun ikut menimpali. "Reny selalu mencret kalau makan coklat." "Tapi Reny mau coklat...," gumam Reny. Ia masih menunduk. Tidak berani menatap Zayyan. Zayyan menggelengkan kepalanya sebelum masuk lagi ke kamar. Menghadapi anak kecil bukanlah ahlinya. "Reny kenapa dia, Abang?" Sontak Zayyan terkejut. Perlahan ia berbalik setelah menutup pintu dengan rapat. "Kamu sudah bangun?" Zayyan merutuki dirinya. Mengapa pula ia bertanya begitu setelah melihat sendiri istrinya memang sudah bangun. Ina membenarkan duduknya, lantas menarik-narik sprei yang terlihat kusut bekas ia berbaring tadi. "Iya, baru aja. Tadi Ina dengar suara Reny menangis, kenapa dia, Bang?" "Minta dibeliin coklat, tapi kata Rendy, Reny selalu mencret kalau dia makan coklat." Ina mengernyit. "Apa dia ada alergi coklat?" gumamnya pelan. "Entahlah, saya tidak bertanya lebih lanjut pada Rendy." Zayyan mengambil peci putih dia atas meja. "Abang mau ke mana?" "Ke Masjid." Ina menatap lekat sosok laki-laki di depannya. Sungguh tampannya pria itu. "Ada apa?" Pria berkacamata itu kini berbalik mendekat ke arah istrinya. Sebelah alisnya terangkat menunggu jawaban Ina. "Ada apa, hmm?" ulangnya sekali lagi. Ina menggeleng pelan. "Tidak ada!" "Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu, assalamu'alaikum!" Zayyan lantas keluar dari kamar setelah meninggalkan kecupan di kening sang istri. Setelah Zayyan menghilang dari pandangannya, seulas senyum terbit di wajah Ina. Ah, begini saja sudah membuat jantungnya bekerja ekstra. Bagaimana kalau setiap harinya ia diperlakukan seperti ini? Apakah jantungnya tetap kuat menerimanya? Menarik napas dalam lalu mengeluarkannya, begitulah ia lakukan berulang-ulang demi menstabilkan detak jantungnya. Setelah melepas jilbab yang sejak tadi masih bertengger di kepalanya dan meletakkan di atas tempat tidur supaya tidak kusut, lantas ia membuka tas dan mengambil baju daster. Tidak banyak yang ia bawa, hanya beberapa gamis, daster, dan jilbab serta seperangkat alat shalatnya. Selesai mengganti baju, barulah ia masuk ke kamar mandi tepat ketika azan Dzuhur berkumandang. Kamar Zayyan tempati memang paket komplit. Selain kamar mandinya di dalam dan dilengkapi dengan bathtup, ada juga dispenser dan kulkas kecil yang terletak berdampingan tidak jauh dari tempat tidur. Sesaat tadi ia sempat takjub melihat isi kamar suaminya. Alangkah bagusnya. Luasnya pun dua kali lipat dari kamarnya di Lhokseumawe. *** Seusai shalat Dzuhur, Ina bergabung dengan Ummi Dini dan Reny di gazebo. Ummi Dini sedang asyik mengajari Reny bacaan huruf-huruf hijaiyah ketika Ina datang. Mulai dari alif ba ta, hingga huruf ya. Satu per satu diikuti gadis kecil itu dengan sangat lancar. Sedang asyik menyimak, tiba-tiba suara orang memberi salam mengalihkan Reny dari bacaannya. "Ada yang datang," bisik gadis kecil itu pada kedua orang dewasa di depannya. "Biar Ina yang buka pintunya, Ummi," cegah Ina saat Ummi hendak bangun dari duduknya. Ina bersegera beranjak ke depan ketika suara salam kembali terdengar. "Wa'alikumussalam wa rahmatullah," sahut Ina seraya membuka pintu utama. Adalah dua perempuan muslimah berdiri di depannya. Ina merasa tidak mengenali keduanya, walaupun demikian ia tetap mempersilakan kedua wanita tersebut masuk ke dalam demi kesopanan sebagai tuan rumah. Mungkin mereka adalah kenalan ummi atau abi. "Ummi Dini ada?" tanya salah satu perempuan bercadar ketika mereka sudah duduk di sofa. "Ada, tunggu sebentar saya panggilkan," jawab Ina lalu meninggalkan kedua wanita itu. "Dia siapa? Baru pertama kali Ummi melihatnya," gumam salah satu wanita tadi. "Saudaranya mungkin," sahut yang satunya lagi. Meskipun ragu, wanita yang menyebut dirinya sebagai ummi tadi mengiyakan ucapan wanita satunya. "Siapa, Na?" tanya Ummi Dini begitu Ina kembali ke gazebo. Posisi gazebo terletak di samping rumah yang tak terhubung ke area depan, sehingga aktivitas mereka tidak terlihat ke sana. Apalagi dikelilingi oleh pohon palem dan beberapa tanaman hias lainnya. "Nggak tau, Mi, Ina nggak kenal." "Ya sudah, Ummi ke depan dulu. Reny udahan dulu ngajinya, ya, nanti pulang Bang Zayyan dilanjut lagi kalau kamu masih mau ngaji." Reny mengangguk lesu. Lagi enak-enaknya belajar ngaji tiba-tiba terganggu dengan kedatangan tamu. Ia tampak merengut. Hanya Ina yang menyadari perubahan mimik wajah gadis kecil itu. Sementara Ummi Dini sudah meninggalkan mereka sejak satu menit yang lalu. "Reny kenapa, Sayang?" Ina meraih pergelangan tangan Reny lalu mengajaknya masuk ke dalam. Mereka berbelok ke arah dapur. "Eny nggak kenapa-napa, kok, Kak," sahutnya dengan suara kecil. "Terus Reny kenapa lesu gitu, coba?" Reny menggeleng kecil. Gurat-gurat wajah mau menangis terlihat melalui cebikan bibirnya. Matanya pun tampak berkaca-kaca. "Reny nggak mau diajarin sama Bang Zayyan, ya?" tebak Ina. Kini mereka sudah di dapur. Ina mengambil beberapa cangkir dan teko untuk dibuatkan teh. "Bukan!" "Lalu?" "Eny malu," cicit gadis kecil itu. "Malu? Sama siapa?" Ina terkekeh kecil. Ia bisa menebak kalau gadis yang sedang memainkan cangkir di atas meja ini malu kepada suaminya. Gadis kecil itu tidak menjawab. "Boleh Kak Ina tahu Reny malu sama Bang Zayyan karena apa?" Ina menuangkan teh yang ia seduh ke dalam cangkir. Sambil menunggu jawaban Reny, ia menata satu per satu cangkir-cangkir tadi di atas nampan, lalu mengambil kue yang ia bawa tadi dan memindahkan sebagian ke dalam piring kecil. "Karena Abang Zayyan ganteng." Seketika Ina menghentikan pekerjaannya mendengar ucapan Reny. Si gadis kecil yang baru berumur 5 tahun sudah tahu kata-kata ganteng. Tak urung ia pun tertawa kecil seraya mengacak-acak rambut Reny pelan. Ada-ada saja! "Reny tahu apa itu ganteng?" tanya Ina penasaran. "Tahu, dong!" Wajah mungil itu kini mulai berseri. "Apa coba?" "Kalau Eny liat mukanya, Eny pasti jadi malu," ucap Reny polos. "Jadi, kalau Reny liat muka siapa aja yang bisa bikin Reny malu, artinya orang itu ganteng?" Ina menyimpulkan. Anggukan Reny semakin membuat Ina menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yuk, kita antar minuman ini ke depan," ajaknya. Mereka berjalan beriringan ke depan. Gelak tawa menyambut kedatangan keduanya. "Jadi ini mantu Ummi Dini?" tanya salah satu tamu perempuan. "Iya, Ummi Raihana. Dia tidak hanya sebagai menantu bagi saya, tetapi juga sudah seperti anak saya sendiri." Ummi Dini mengulas senyum menyambut Ina dan Reny. "Lalu yang kecil itu?" tunjuk perempuan yang dipanggil Ummi Raihana tadi pada Reny yang mencengkeram bagian belakang gamis Ina. Gadis itu menyembunyikan diri di belakang Ina. "Sini, Nak," panggil Ummi sembari menepuk ruang kosong di sampingnya. Malu-malu gadis kecil itu mendekati Ummi Dini. "Dia anak saya juga...." "Loh, bukannya anak Ummi Dini cuma Zayyan seorang, ya?" sela wanita itu cepat. "Ummi...," tegur perempuan bercadar pada wanita yang dipanggil ummi olehnya. "Isk... kamu..., Ummi kan ingin tahu. Udah lama juga kita nggak ke sini, eh tahu-tahunya Zayyan udah nikah, kecolongan dong kita!" bisik Ummi Raihana pada perempuan bercadar. Namun bisikan itu terdengar ke telinga Ina yang sedang menata cangkir di atas meja, tidak jauh dari keduanya duduk. Siapa, sih, perempuan ini? Kenapa dia merasa tenganggu dan juga tak nyaman dengan ucapannya, ya? Dan dengan beraninya mereka ingin tahu urusan orang lain. Astaghfirullah! Ina beristighfar di dalam hati. Tidak sepatutnya ia mengatai orang di dalam hatinya. "Silakan diminum?" Ina mengulas senyum ramah. Berusaha tidak menanggapi omongan yang sempat terdengar di telinganya. "Terimakasih," ucap wanita bercadar lembut. "Ummi ... Eny masuk ke kamar, ya," bisik Reny hati-hati. "Loh, kenapa?" Ummi balas berbisik. Gadis kecil itu tidak menjawab melainkan melirik dua tamu di depannya. Seakan tahu maksud lirikan mata Reny, Ummi Dini membolehkan Reny masuk ke kamarnya. "Ina, temanin Reny ke kamar, ya!" "Baik, Mi." Ina menggamit tangan kecil Reny dan membawanya ke kamar. "Yuk, Sayang!" Ina menunduk meminta maaf karena tidak bisa menemani tamu yang berkunjung ke rumah mertuanya. "Reny kenapa?" Setelah keduanya masuk ke kamar, Ina mengajak Reny mengobrol bersama. Sejak tadi ia merasakan ada perubahan pada raut wajah gadis kecil menggemaskan itu. Mata bulat itu kini tampak mulia berkaca-kaca lagi. Tidak lama kemudian terisak-isak kecil, menahan agar suara tangisnya tidak keluar. "Reny bilang sama Kak Ina, Reny kenapa tiba-tiba nangis gini, hmm?" Reny menggeleng kecil. Pun tangisannya semakin menjadi. Namun gadis imut ini masih mempertahankan suara tangisnya. Dengan perasaan sayang Ina meraih gadis itu ke dalam pelukannya. "Reny, tahu nggak? Kalau Kak Ina sedih, Kak Ina sering makan co..." Ina segera menghentikan ucapannya ketika ingatan tentang Reny yang tidak bisa makan coklat muncul di pikirannya. "Kalau Kak Ina sedih, Kak Ina makan apa?" Gadis kecil itu bertanya dengan suara sengau disertai isakan. Sebelum menjawab, Ina mengecup pucuk kepala Reny seraya mendekapnya erat. "Kak Ina makan buah-buahan biar Kak Ina nggak sedih lagi, terus minum susu." Tangisan Reny perlahan-lahan mulai berkurang. Bola matanya bergerak-gerak ke atas seakan tengah memikirkan sesuatu. "Kenapa Akak makan buah sama minum s**u kalau lagi bersedih?" "Karena kalau Kak Ina makan itu, maka kesedihan Kak Ina pergi jauh, dan nggak bikin Kak Ina sedih lagi." Manik mata gadis kecil nan imut ini menatap bola mata Ina dalam-dalam. Mencari kebenaran di sana. "Memangnya bisa?" Mata bulatnya mengerjap bingung. "Bisa, dong, insya Allah kesedihan Kak Ina baliknya lamaaa banget, karena Kak Ina juga berdoa sama Allah biar kesedihan yang Kak Ina rasa perginya lama-lama." "Eny juga mau makan," ucap gadis kecil itu tiba-tiba setelah satu menit memikirkan perkataan kakak cantik yang mendekapnya. Kalau boleh, Reny ingin selalu bersamanya. Mereka keluar kamar. Ruang tamu tampak senyap. "Apa tamunya sudah pulang, ya?" gumam Ina pada dirinya sendiri. Langkah Reny terhenti. Ia menarik-narik tangan Ina. "Kenapa, Sayang?" tanya Ina bingung. "Nanti aja Eny makan, Eny mau ke market aja, boleh?" "Reny makan dulu, nanti sore baru kita ke market sekalian jalan-jalan ke luar, gimana?" Jujur Ina masih bingung dengan perubahan mood gadis kecil ini yang tiba-tiba. Ada keraguan di manik mata Reny. Ina mencari keraguan itu. Tiba-tiba suara orang berbicara di ruang makan mengalihkan tatapan Ina dari Reny. Ia menoleh ke ruang makan yang sedikit terlihat dari tempat mereka berdiri. Barulah Ina tahu penyebab si gadis kecil ini tidak jadi melanjutkan langkahnya ke ruang makan. Rupanya di sana tamu-tamu tadi berada. Sedikit tidaknya kini Ina tahu mengapa perubahan mood Reny pada siang hari ini tidaklah bagus. Namun, untuk memastikan dugaannya, ia akan bertanya lagi nanti pada gadis ini. Semoga saja ia mau menceritakan kesedihannya padanya. "Kalau nanti sore kita bisa ajak Abang Zayyan sama Abang Rendy sekalian, mau? Kalau rame lebih seru, loh!" Akhirnya Reny mengangguk pasrah menerima ajakan Ina. Gadis kecil itu sampai tertidur menanti datangnya sore.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD