Kepalanya terasa pusing dan sakit. Entah berapa lama ia tertidur. Memijit pelan pelipisnya, baru rasa sakit itu sedikit berkurang.
"Ngghh!"
Suara Reny yang mendesah membuatnya menoleh. Anak itu masih tampak pulas. Ia tersenyum lalu menjulurkan tangannya mengelus kepala kecil itu kemudian mengecupnya pelan. Ia tarik selimut dan menutupi tubuh kecil itu. Sepertinya ia kedinginan karena suhu AC 18° celcius dalam mode cool.
Lampu kamar yang masih menyala, berarti suaminya belum pulang dari masjid. Ia lirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, rupanya ia tertidur selama dua jam. Pantasan lampu kamar masih menyala dan mukenanya pun masih membaluti kepalanya.
Gegas ia beranjak dari baringnya kemudian melepas atribut shalat dan melipat seperti semula. Tidak lupa ia sangkut pada sangkutan agar mukenanya tidak bertambah kusut karena telah ia bawa tidur tadi.
"Loh, baru selesai shalat?"
Pertanyaan seseorang membuat Ina berbalik dan mendapati suaminya telah berdiri di belakangnya.
"Abang kapan pulang?"
"Baru aja?"
"Ina nggak dengar pun Abang masuk."
Zayyan meraih Ina dalam dekapannya. "Mana tahu suaminya pulang kalau istrinya sibuk begini di depan lemari."
Ina mendongak, memindai wajah tampan sang suami dengan seksama. Bulu matanya lentik, mengalahkan bulu matanya sendiri. Hidung mancung, jelas! Alis yang menaungi kelopak matanya tebal. Rahangnya tegas di kelilingi cambang tipis-tipis. Kulitnya pun bersih dan cerah. Pokoknya dia tampan! Bahkan sangat tampan dari pria manapun yang pernah ia kenal.
Kalau kalian mengenal mursyid dari Negeri Seribu Menara yang sering ke Indonesia, maka seperti itulah ia.
"Selepas Isya Ina ketiduran, baru aja ini lepasin mukenanya!"
"Masih capek?"
Ina menggeleng. "Udah enggak, alhamdulillah! Abang belum sempat istirahat, pasti capek, ya? Ina buatkan teh hangat apa kopi?" Ina akan mengurai pelukan mereka, tetapi Zayyan mencegahnya.
"Begini dulu sebentar ... saya lagi mengisi daya untuk tengah malam nanti!"
Zayyan mengeratkan pelukannya. Ia mendekap Ina dengan erat. Sementara Ina yang memahami maksud ucapan sang suami menahan malu seraya menyembunyikan wajahnya di d**a Zayyan.
Wanita mungil ini memang bisa membuat Zayyan merasa nyaman dan tenang. Meskipun jantungnya bermain gendang, namun ia cukup pintar mengendalikannya.
***
Paginya Ummi Dini heboh karena tidak mendapati Reny di kamarnya.
"Rendy!" serunya. "Mana adik kamu? Kenapa bisa dia nggak ada di kamar?" Ummi Dini membangunkan Rendy yang masih terlelap. Setelah shalat Subuh, remaja tanggung ini malah tidur lagi tanpa peduli adiknya di mana.
"Ada, Ummi! Dia lagi tidur!" kata Rendy dalam keadaan setengah sadar. Kelopak matanya masih terpejam sempurna.
Ummi Dini keluar dari kamar Rendy dan Reny masih dengan kehebohannya.
"Ada apa, Mi, pagi-pagi udah ribut aja?" Abi yang baru pulang dari masjid mendekat setelah mendengar keributan yang istrinya ciptakan.
"Ini, Bi, Reny nggak ada di kamar. Nggak mungkin anak itu udah bangun jam segini!"
"Reny di kamar Abang, Mi!" Zayyan yang baru bergabung langsung memberitahu keberadaan Reny pada umminya.
"Ya Allah! Anak itu!" gemas ummi. "Kayaknya dia benar-benar menginginkan kalian berdua jadi orangtuanya!"
"Nggak cukup kita aja yang jadi orangtuanya?" Abi mengernyit menatap sang istri.
"Kita disuruh jadi kakek nenek, Bi!" Abi tak mampu menutupi kekehannya. Pun begitu dengan Zayyan.
"Ummi udah siap dipanggil nenek?"
"Kalau belum siap, mana ada Ummi suruh Abang cepet-cepet nikahin Ina!"
"Seingat Abang, Ummi nggak pernah suruh Abang cepat-cepat nikah, tahu-tahu Abang udah dijodohin aja," balas Zayyan.
"Jadi Ummi bilangnya sama siapa, ya, kalau bukan sama kamu?" Ummi Dini mengernyit halus mengingat siapa teman bicaranya kala itu. Ia tak menyadari seringaian suaminya.
"Istri Abi udah mulai lupa aja!" Abi mendekap bahu ummi seraya mengusapnya pelan.
Seketika Ummi Dini menoleh dan menatap tajam suaminya. "Sama Abi bukan Ummi bahasnya?"
"Ya, iya, Abi bahkan ingat Ummi sangat berkeinginan kuat ingin cepat-cepat Ina jadi menantu kita!"
"Rupanya Abi sama Ummi diam-diam udah ngatur semuanya, ya!"
"Ummi gitu loh, tahu sangat isi hati anaknya!" Ummi membanggakan diri.
"Tapi isi hati Abi, Ummi nggak tahu!" Abi mulai berdrama.
"Tahulah, Abi sayang Ummi, kan?"
Zayyan menggeleng-geleng tak habis pikir dengan aksi kedua orangtuanya.
"Itu lain lagi! Ini lain lagi!"
"Apa dia?"
Melirik arloji di pergelangan tangannya, Abi Ali menggumamkan kata lapar. Sontak saja Ummi Dini tertawa renyah seraya mencubit perut suaminya. Lantas menyuruh kedua pria beda usia itu langsung ke meja makan.
Sementara ummi kembali masuk ke kamar dan membangunkan Rendy. Selanjutnya ia memanggil Ina yang tengah bersama Reni di kamarnya untuk makan bersama. Ummi Dini membiasakan keluarganya menghadapi hidangan dan makan bersama supaya rasa kekeluargaan dan kasih sayang semakin erat.
"Kemarin setelah kalian berangkat, Ustadz Zacky datang bersama istri dan anaknya. Katanya mereka juga ke Al-Mudi. Ketemu sama mereka?"
Zayyan menggeleng. "Enggak, Bi!"
"Abi pikir kalian ada bertemu di sana karena Ustadz Zacky bilang akan menghubungi."
Abi menelisik raut wajah Zayyan saat membicarakan keluarga Ustadz Zacky. Yang ditelisik bahkan biasa saja, tidak tampak binar-binar yang berlebihan. Abi menghela napas pelan. Ingatan tentang ucapan Ustadz Zacky tempo hari yang berkeinginan anaknya jadi istri kedua Zayyan terngiang-ngiang di telinganya.
"Mungkin beliau lupa karena memang kemarin tamunya sangat padat," tutur Zayyan berpikiran positif.
"Ngghhh!!! Eny belum lapar!"
Suara Reny yang merajuk menghentikan pembicaraan singkat Abi Ali dan Zayyan. Mata keduanya kini mengarah ke pembatas antara meja makan dan ruang tengah.
Bibir anak kecil itu mencebik. "Kenapa cepat kali makan?" ujarnya.
"Biar cepat kenyang!" sahut Rendy sambil menarik kursi dan mendudukinya.
"Reny mau disayang Kak Ina sama Bang Zayyan, nggak?" cetus Ummi Dini yang diangguki cepat oleh Reny. "Kalau mau disayang, Reny mesti makan biar cepat besar dan bisa sekolah juga. Sini duduk dekat Ummi!"
Ina tersenyum menatap Reny dengan patuhnya naik ke kursi di samping Ummi Dini dan duduk tenang tanpa merajuk lagi. Ina sendiri langsung mengambil piring dan menyendok nasi untuk Zayyan.
Posisi Reny yang duduk di antara Ummi Dini dan Rendy, berseberangan dengan Ina dan Zayyan. Mereka makan dalam diam. Bahkan Reny yang biasanya mengoceh, pagi ini ia ikut diam.
***
"Acara perlombaannya dimulai kapan?" tanya Ina di telepon.
"Empat hari lagi. Kakak lupa kabarin waktu rapat kemarin," sahut Jiya di seberang sana.
"Ina bilang dulu ke Bang Zayyan, kalau Abang nggak ada jadwal nanti sore kami pulang."
"Udah hampir sebulan loh kamu di situ! Nggak kangen pulang kamu? Ini si Rayyan nanyain Khallaty-nya mulu dia. 'Kapan Aty pulan? kapan Aty pulan? Ayan indu Aty' begitu katanya." Jiya terkekeh meniru ucapan anak laki-lakinya.
"Insya Allah, Ina pulang, kok, tapi tergantung Abang juga, sih, Kak!"
Mendengar ucapan Jiya, sekonyong-konyong rasa rindu pada ponakannya mulai tak terbendung. Untung saja di sini ada Reny yang mengobati rasa rindu yang kerap kali muncul terhadap keponakan-keponakannya tersayang.
Tidak terasa ia sudah hampir sebulan tinggal di Bireuen. Semua itu karena Ummi Dini memang benar-benar menganggapnya seperti anak sendiri. Kasih sayang yang diberikan keluarga suaminya membuat Ina betah. Meskipun terkadang ia rindu rumahnya, akan tetapi ia menyadari bahwa sekarang ia telah menjadi seorang istri yang wajib mengikuti ke mana suaminya tuntun.
"Semoga Allah mudahkan langkah kalian, ya, Dek! Udah dulu, ya, ini si Rayyan udah rewel minta s**u dia, enggak tahu dia Mak-nya lagi melepas kangen ini!" Tawa kecil menutup pembicaraan adik kakak itu.
Ina menatap daun palem yang bergerak ke mana arah angin tuju. Hidupnya pun tidak jauh beda dengan daun itu. Ke mana suaminya bawa ia hanya mengikuti. Yang penting masih dalam asas koridor islami.
"Tak baik termenung sendiri di sini, nanti ada yang gaet, loh!" Ummi Dini mendekat, di belakangnya Reny berlari-lari kecil menyusul.
Ina tersenyum simpul. "Sejuk di sini, Ummi, anginnya sepoi-sepoi bikin mata Ina ngantuk!" ujarnya.
"Ummi juga kadang-kadang kalau duduk di sini mata pasti minta merem. Biasanya Ummi sendiri, sekarang udah ada Ina sama Reny yang temenin, jadinya Ummi nggak merasa sepi lagi. Ummi berterima kasih karena Nak Ina udah bersedia jadi mantu Ummi."
"Ina pun berterimakasih, karena Ummi sudi menyayangi Ina. Rasa rindu Ina untuk Allahuyarham Abi sama Ibu terobati karena Ummi."
Mata Ina mulai berkaca-kaca. Entah mengapa dirinya begitu sensitif apabila dalam obrolannya ada yang menyebut tentang orang tua.
Ummi Dini beringsut meraih Ina dalam pelukannya.
"Kak Ina sama Ummi kenapa menangis?" tanya Reny penasaran melihat dua wanita beda usia itu saling berpelukan.
Menyapu airmata untuk menghilangkan jejak, Ina tertawa lirih menanggapi ucapan si gadis kecil.
"Mata Kak Ina kemasukan debu!"
Ya, Rabb! Maafkan hamba karena telah berbohong! bisiknya dalam hati.
"Terus mata Ummi juga kemasukan debu? Ummi 'kan baru keluar sama Eny!"
"Biar mata kita bersih, sering-sering keluarin airmata. Mata Ummi 'kan lagi kering, jadi Ummi basahi pake airmata!"
Reny menganggukkan kepalanya seakan mengerti apa yang Ummi Dini katakan. Anak itu bahkan mencoba mengeluarkan airmata, tapi tak bisa. Lantas ia mengeluh kenapa airmatanya tak mau keluar. Kemudian Ina memberitahukan kalau mata gadis kecil itu masih jernih dan tidak kering.
"Berarti mata Eny masih bagus, ya, Kak?" tanya Reny dengan wajah polos.
Ina mengangguk. "Yeay...!!!" sorak Reny senang. Ia melompat-lompat kecil di lantai gazebo.
"Aduh! Kepala Ummi pusing!" Ummi Dini memegang kepalanya pura-pura merasa pusing.
"Maafkan Eny, Ummi!!!" Menghentikan lompatannya, gadis kecil nan polos itu memeluk Ummi Dini. Bibirnya mencebik seperti akan menangis.
"Mi, mau nangis dia," gumam Ina seraya tertawa sambil mengusap sisa-sisa airmatanya.
Hanya begini saja rasa sedihnya langsung mudah tergantikan dengan rasa senang. Sejenak ia melupakan kesedihannya tadi.
"Bang Rendy ke mana?" tanya Ina mengalihkan Reny.
"Bang Rendy asyik pergi ke Masjid! Eny selalu ditinggal!"
Waduh! Sepertinya Ina salah bertanya. Reny kembali mencebikkan bibirnya.
"Gimana, Mi, Ina malah salah nanya," lirihnya sambil menutup mulut dengan tangannya.
Ummi Dini tersenyum geli. "Ajak beli coklat aja," bisiknya.
Ina hendak beranjak, tetapi urung karena tawa Ummi Dini serta ucapannya. "Mana boleh dia makan itu, Na, mencret nanti."
Tawa kembali terdengar memenuhi gazebo. Zayyan yang akan keluar teralihkan dengan suara tawa dua wanita itu. Ia menoleh dan ikut tersenyum melihat pemandangan yang mwnggetarkan hatinya. Keakraban ummi dan istrinya adalah suatu hal yang sangat ia syukuri.
Ya Allah! Semoga kebahagiaan ini, tawa ini dan nikmat ini tak lepas dari ridha-Mu. Berikanlah kami senantiasa mengingatimu baik dalam senang maupun susah kami.
Pintanya dalam hati dengan senyum tipis mengurai di wajahya. Pun rasa syukur tak putus-putus ia bisikkan di dalam hatinya.