Rasa lelah ketika menempuh perjalanan jauh demi mengeratkan jalinan silaturahmi, maka ganjarannya adalah pahala yang sangat besar. Begitu pula jika sang empunya rumah menyambutnya dengan tangan terbuka, menyuguhi minuman serta makanan dengan hati ikhlas, niscaya hidupnya pun akan berkah dan pahalanya juga besar. Memuliakan tamu adalah anjuran Rasulullah.
Ina mengingat bagaimana keluarga Akhyar menyambut mereka sekalipun mereka sibuk dengan acara haul yang menghadirkan ribuan santri dan alumni, tetapi mereka tetap menyisihkan waktu untuk keluarganya.
"Kita berhenti sebentar di sini!" Suara Zayyan menarik Ina dari lamunan panjangnya.
Sesaat ia mengedarkan pandangannya. Ternyata mereka sudah di seputaran Coet Geulungku. Tidak lama kemudian mobil Hauzan menyusul dan berhenti di samping mobil mereka.
Aroma pulut hijau panggang menguar di penciuman saat Ina membuka pintu mobil mengikuti suaminya keluar menuju pondokan kecil si penjual pulut.
Selain pulut hijau, ada juga kelapa muda dan berbagai jenis minuman serta makanan lainnya. Tetapi yang mendominasi adalah pulut panggang.
Sepanjang jalan Coet Geulungku memang banyak pondokan yang menjual pulut hijau sebagai khas kuliner Aceh. Pulut tersebut langsung dipanggang di tempat, selagi panas rasa pulut itu sungguh terasa enak. Sekali makan, minta tambah berkali-kali.
"Mahmahmahmah....!" Syameel merentang kedua tangannya ketika melihat Ina mendekat.
Mereka beristirahat sebentar. Duduk di bangku berhadapan dengan meja panjang di dalam pondokan. Sementara Zayyan memesan 2 teh botol dan 2 gelas kopi serta pulut hijau sebagai camilan sore hari untuk mereka berempat.
"Syameel mau digendong Ammah, ya, Nak?" tanya Zahra seraya menyerahkan Syameel pada Ina sambil tertawa geli karena suara cadel anaknya.
"Syameel maunya panggil Ammah apa Khallaty, sih, Nak?" Ina menjawil pipi gembul sang keponakan.
"Hahahaha... bingung dia, kakak sama abangnya cara manggilnya beda-beda!" Hauzan ikut menimpali.
Benar juga apa kata abangnya. Rayyan, anak Jiya memanggilnya Khallaty, sementara Syakira, kakaknya Syameel memanggilnya Ammah. Syameel yang masih berusia 1 tahun pun ikut bingung.
Seketika Ina terkekeh geli mengingat keponakan-keponakannya itu.
"Kenapa, nih?" tanya Zayyan ikut bergabung duduk di samping istrinya yang memangku Syameel.
"Lagi membahas kebingungan itu anak!" ungkap Hauzan menunjuk Syameel dengan dagunya. "Tadi rewelnya subhanallah, sekarang udah ketawa-ketawa aja dia. Mana ludahnya mencrot-moncrot lagi!"
"Isk... Abang! Tega benar ngatain anak sendiri!" Ina langsung menimpuk pundak abangnya tak terima ponakan tersayangnya dikatain.
"Waktu kamu kecil nggak jauh beda, kok, sama dia!" Lagi Ina memukul pundak abangnya yang memang hobi menggodanya.
"Abang...!" tegur Zahra pada suaminya.
Zayyan ikut tersenyum geli melihat secara langsung interaksi dua beradik abang itu. Sementara Zahra sudah biasa melihat mereka berdua saling menggoda. Lebih tepatnya hanya suaminya yang sering menggoda Ina daripada Ina sendiri.
"Biasalah, Kak, Bang Hauzan kalau belum ngebully Ina, harinya nggak sempurna! Iya 'kan, Dek?" tutur Ina seraya mencium pipi Syameel gemas.
"Bububububu...!" balas Syameel dengan bahasanya sendiri.
"Iihhh... jangan moncrot dong liurnya! Nanti gantengnya hilang!" Ina mengelap mulut Syameel.
Anak itu semakin senang. Ia berpikir sedang diajak main oleh adik dari abinya.
"Masih ingat, nggak? Kita pernah ke balik bukit sana waktu giliran kita tanam bibit sawit?"
Zayyan mengikuti arah pandang Hauzan, begitu juga dengan Ina dan Zahra. Ingatannya kembali ke masa silam. Hamparan tanah bergelombang terpampang di depan mata dipenuhi pepohonan-pepohonan yang menjulang.
Mengamati alam sekitar membuat senyum melengkung di bibir Zayyan. Ia ingat sekali bagaimana mereka menerjang rimba agar bisa sampai menjadi seperti sekarang ini. Dulu sebelum terlihat lapang dengan pepohonan sawit, kebun itu penuh semak belukar hingga tampak seperti hutan.
"Mana mungkin lupa, Bang, kita bahkan sampai tergores ranting tajam waktu membersihkan semak-semak di sana. Belum lagi ada ular sama binatang buas lainnya yang tiba-tiba datang. Memang kebun itu ada semasa alumni kita, ya, kalau saya nggak salah ingat?"
"Iya, kita juga ikut menjadi saksi bagaimana perjuangan Abu ketika meminta pihak sana untuk mensahkan sertifikat tanah secepat mungkin. Kalau nggak begitu sampai sekarang tanah itu nggak jelas fungsinya apa!" Hauzan menimpali.
Ina dan Zahra yang memang tidak tahu menahu tentang itu hanya diam dan mendengarkannya saja. Cuma suara lirih Syameel yang sesekali ikut menyertai suara abi dan amminya berbicara.
Pembicaraan mereka tentang tanah di balik bukit berakhir ketika pemilik pondokan membawa minuman dan pulut sesuai pesanan Zayyan.
"Buk, pulut empat puluh ribu lagi, ya, taruh 2 kantung plastik masing-masing dua puluh ribu," pesan Hauzan sebelum pemilik pondokan beranjak.
"Nggak banyak itu, Bang?" protes Ina.
"Buat kalian bawa pulang juga untuk orang rumah, cuma di sini kita bisa dapat pulut hijau dengan mudah!" Ina mengangguk paham.
Sambil memberi makan roti untuk Syameel, Ina mengedarkan pandangan memerhati sekeliling pondokan.
Asap mengepul dari tempat pembakaran pulut. Asapnya meliuk-liuk hingga menguap ke udara. Tidak jauh darinya terlihat tumpukan kelapa muda. Kulitnya yang masih berwarna hijau menggugah selera Ina.
Kemudian ia beringsut berbisik di telinga Zayyan. "Abang, kayaknya senja-senja begini enaknya minum itu, deh!" Liriknya ke tumpukan kelapa yang masih utuh.
"Bisik-bisik! Terdenger ke sini juga, woy!" Hauzan melempar remahan roti Syameel.
"Ina mau air kelapa muda, Bang Ojan jangan sirik, ya! Kak Zahra mau juga, nggak? Biar Ina pesan sekalian!" Ina beralih ke Zahra setelah membalas abangnya sambil memelet lidah.
Hauzan dan Zayyan serempak tertawa kecil. Pemandangan itu sudah biasa bagi Hauzan, tetapi bagi Zayyan ini adalah pemandangan yang sangat luar biasa. Biasanya ia melihat sosok Ina yang kalem. Mungkin beberapa hari lagi ia lalui bersama Ina, maka seluruh perangai Ina maupun kebiasaannya akan ia ketahui.
Meskipun begitu, Zayyan tetap cinta pada istrinya. Sudah mempersuntingnya, berarti siap menerima segala kekurangan pasangan. Karena sejatinya tidak ada makhluk Allah yang sempurna. Semua punya batasan tersendiri, begitu juga dengan dirinya sendiri.
"Boleh," jawab Zahra semangat. "Abang mau juga?" Kemudian beralih ke suaminya.
"Enggak! Kami cukup segelas kopi ini saja!" Lalu Hauzan menyesap kopi yang masih mengepul itu dengan pelan.
Zayyan beranjak menuruti keinginan sang istri.
"Beruntung sangat kamu, Dek! Dia itu ... masya Allah baiknya. Jaga suami kamu baik-baik, turuti kemauannya. Abang dengar sebelum dengan kamu, ada yang mau menjodohkan dia dengan anaknya, tapi Abang nggak tau siapa orangnya. Jadi, kamu harus benar-benar jadi istri yang baik, ya!" ungkap Hauzan setelah meletakkan gelas di atas meja.
Hauzan mengusap kepala adiknya dengan sayang. Meski suka menggoda sang adik, namun ia tetap menyayangi dan mengayomi kedua adiknya, Jiya dan Ina, walaupun keduanya kini sudah punya pemimpin masing-masing.
Mata bening wanita berinai itu kini menatap sang suami yang berjalan kembali ke arahnya setelah berbicara dengan pemilik pondokan. Wajah sang rupawan tersenyum manis saat manik matanya beradu dengan sang bidadari.
"Ada apa?" bisiknya ketika sudah duduk kembali di samping Ina.
"Lagi merekam wajah Abang di ingatan Ina!"
"Amboiiii...! masih ada kita di sini, Dek, euy...!"
Seketika pipi Ina berubah warna. Ia benar-benar tak sadar saat mengucapkan itu. Kata-kata itu terucap begitu saja.
"Sudahlah Abang...! Dari tadi tak puas-puas gangguin adiknya!" Zahra menegur suaminya.
"Kak Zahraaaa!!!" Ina beringsut ke arah kakak iparnya lalu memeluknya sayang. Syameel yang kini sudah duduk di atas meja memekik senang saat dua wanita itu berpelukan.
"Sini Syameel sama Ammi...!" Zayyan meraih bayi satu tahun itu ke pangkuannya.
"Gendong aja sekalian, Bro! Belajar sebelum punya bayi sendiri!" Kini Hauzan beralih ke Zayyan setelah puas menggoda Ina.
"Insya Allah, nanti bisa sendiri kalau sudah punya anak, Bang," sahut Zayyan santai. Kali ini ia tidak terkecoh dengan gurauan Hauzan. Mungkin karena ada Syameel yang menjadi tamengnya.
Keduanya lantas tertawa bersama.
Setelah beristirahat sejenak mereka melanjutkan perjalanan kembali. Membelah jalan raya berbaur dengan kendaraan lain. Berlomba-lomba dalam kecepatan agar segera tiba ke kediaman masing-masing.
Salah satunya adalah Hauzan. Butuh waktu dua jam untuk sampai ke Lhokseumawe sehingga ia mempercepat laju roda empatnya. Tapi tidak dengan Zayyan, laki-laki berkacamata itu melaju mobilnya dengan kecepatan sedang.
***
"Yeayy...! Kak Ina udah pulang!" Adalah sambutan pekikan Reny yang pertama kali menyambut Ina di depan pintu. Anak kecil itu melompat-lompat kegirangan.
Mereka tiba di rumah tepat pukul setengah delapan, hampir masuk waktu Isya.
"Asalamu'alaikum, Reny Sayang...! Mmmm... wanginya dia!" Ina merangkul Reny dalam pelukan setelah puas mencium dua pipi gembulnya.
"Abang mana, Na?" Ummi bertanya karena tidak melihat Zayyan masuk bersama Ina.
"Masih di luar, Mi!" Ina mendekat menyalami Ummi Dini lalu duduk di sampingnya. Kantong plastik berisi pulut hijau panggang yang ia bawa pulang ia letakkan di atas meja.
"Kak Ina bawa pulang apa?" Reny membuka kantong plastik. Seketika wajah yang tadi ceria berubah kecewa.
"Kenapa? Reny nggak suka? Ini enak loh! Iya 'kan Ummi?" Ina meminta persetujuan Ummi.
Ummi ikut mengintip isi di dalam kantong. "Masya Allah, ini enak loh, Nak! Coba deh dirasa dulu dikit!" Ummi Dini mengambil satu. Setelah dibuka ia suapi ke Reny. "Gimana? Enak, kan?"
"Enaaak! Eny suka!"
Selanjutnya gadis kecil itu menghabiskan tiga pulut panggang.
Ummi Dini dan Ina mengulum senyum melihat Reny sangat antusias memakan pulut. Tidak ada yang menduga bahwa sesaat tadi gadis kecil itu tidak menyukainya.
"Mau lagi!" Tiba-tiba Reny memekik saat Ummi Dini akan beranjak membawa kantong itu ke belakang.
"Belum cukup?" tanya Ummi.
Reny menggeleng. "Mau lagi!" ulangnya sambil menadah kedua tangannya.
"Awas lho, ya, kalau nanti nggak habis, mubazir," ucap Ummi mengingatkan.
"Janji Eny habiskan!"
"Betul?"
"Iya!" jawab Reny.
Demi keamanan seisi rumah, Ummi Dini memberikan satu buah lagi pulut panggang. Reny menerimanya sambil tersenyum lebar. Setelahnya beliau membawa ke belakang dan memindahkan ke dalam piring kecil. Menyimpan beberapa untuk abi dan Rendy.
Sudah menjadi kebiasaan abi ketika pulang dari masjid, beliau akan meminta segelas kopi dan kue, apapun itu yang penting kue-kuean.
"Grrpp!" Suara sendawa Reny memecah keheningan yang tercipta.
"Kenyang," katanya kemudian sambil mengelus-elus perut bulatnya.
Ina mengusap rambut gadis kecil itu penuh rasa sayang.
"Kalau sudah kenyang, bacanya apa, Sayang?"
"Alhamdulillah...!!!" serunya senang, lalu menggayut manja di lengan Ina.
"Kak Ina masuk ke kamar dulu, ya, mau ganti baju, udah gerah ini!"
Ina akan beranjak saat Reny berteriak ikut. Mereka berdua bergandengan tangan. Tidak lama kemudian Zayyan ikut bergabung dengan mereka.
"Kenapa lama kali di luar?" tanya Ina setelah keluar dari kamar mandi guna menyuci tangan dan kaki.
"Ada telpon penting tadi!"
Ina tak bertanya lagi karena ia pikir itu adalah hal pribadi suaminya.
"Malam ini Eny boleh tidur di sini?" ucap Reny menginterupsi dengan malu-malu.
Zayyan dan Ina saling memandang. Kalau Reny tidur bersama mereka, apakah artinya malam ini mereka tidur dalam artian yang sebenarnya?
Seakan menyadari isi pikiran masing-masing, keduanya lantas kompak tertawa bersama diikuti rasa penasaran Reny, tetapi akhirnya anak itu juga ikut tertawa meskipun tak tahu apa yang ia tertawakan.
Kumandang azan Isya terdengar dari pengeras masjid menghentikan tawa mereka. Gegas Zayyan berwudhu dan menggantikan pakaiannya untuk segera ke masjid. Tidak lupa ia bawa kitab Tafsir Jalalain. Ba'da Isya nanti jadwalnya mengisi kajian seperti biasa.
Setelah kepergian Zayyan ke masjid, Ina kembali masuk ke kamar mandi untuk berwudhu dan melanjutkan shalat Isya sendiri. Selepas shalat dan berzikir ia baru menyadari sejak tadi tak terdengar suara Reny. Ternyata anak itu tertidur pulas di atas tempat tidur Zayyan.
Ina memperhatikan wajah polos Reny yang tertidur lelap. Rasa sayangnya semakin besar melihat wajah tanpa dosa itu. Dengan lembut ia kecup keningnya. Berharap rasa sayangnya tersalurkan pada gadis kecil itu.
"Semoga kamu jadi anak yang shaleha, ya, Sayang...," bisiknya tulus.
Setelahnya ia ikut terlelap tanpa melepaskan mukenanya terlebih dahulu. Rasa lelah dan ngantuk benar-benar sudah menguras tenaganya.