Meski kedua sahabat gue terbilang absurd, terkadang perkataan mereka ada benarnya juga. Namun, gue bingung harus memulai rencana itu dari mana. Masalahnya, ini menyangkut harga diri gue kedepannya.
Gue juga takut, kalo sampai melakukan hal yang teman gue sarankan bakalan berakibat buruk untuk gue. Contohnya gue bakalan dicap sebagai cewe murahan karena berpenampilan menggoda, atau bisa saja lebih buruk dari itu. Misalnya, keperawanan gue akan sirna malam ini juga. Tapi, kalo tidak mengikuti saran mereka, bisa-bisa gue mati penasaran karena tidak bisa membuktikan sisi lain dari suami gue.
Masalahnya, sampai detik ini tidak ada tanda-tanda dia menatap ke arah gue.
"Aaah!!" teriak gue frustasi sembari mengepal lingerie yang di tempelkan ke wajah.
Tidak lama terdengar pintu dari arah toilet yang dibuka kembali setelah beberapa menit berlalu. Gue yang saat itu panikk sesegera mungkin langsung menyembunyikan benda yang sedari tadi ada di tangan gue.
Gue yang saat itu melihat Alex berjalan ke arah sofa dan membuka leptop, langsung mengambil alih untuk berlari ke arah toilet dengan lingerie yang masih di sembunyikan di belakang tubuh gue.
Entah Alex memperhatikan pergerakan gue atau tidak, gue tidak peduli sama sekali, karena gue yakin lelaki dingin itu tidak akan memperhatikan gue. Dan yang terpenting adalah gimana caranya gue harus membuktikan apa yang di ucapkan kedua sahabat gue.
Gue pun, saat itu kembali berunding melalui chat di grup w******p bersama Riri dan Ghea, setelahnya memutuskan untuk memakai lingerie super seksi yang sedari tadi di tangan gue, itupun karena didesak oleh mereka berdua.
"Semangat yah, Ze! anggap aja kalo lo lagi berjemur di pantai," sarkas Riri.
"Iya betul itu Zee. Biasanya juga kalo di pantai kita cuma pake bikini," timpal Ghea.
Gue pun menghela napas panjang tanpa membalas kembali chat dari mereka, dan memilih untuk segera keluar dari tempat persembunyian gue saat ini.
Entah apa yang akan di pikirkan Alex setelah melihat penampilan gue saat ini. Yang pasti perasaan gugup bercampur takut menyelimuti gue.
"Kamu belum ngantuk?" Tanya gue yang saat itu mencari posisi menggoda di atas kasur sembari menatapnya.
"Belum," jawab Alex datar tanpa menoleh ke arah gue sedikitpun.
"Ko ruangannya mendadak panas gini yah," kata gue asal sembari mengibaskan tangan ke wajah.
Gue mengertakkan gigi karena kesal saat melihat Alex tidak menjawab ucapan gue sepatah katapun.
Gue pun menghela napas kasar dan kembali bertanya. "Emang kamu gak kepanasan?"
"Ada Ac yang bisa kamu rubah suhunya setiap saat," jawabnya ketus dan membuat gue mendesis kesal.
"Nyebelin banget, sih! ko ada lelaki model begitu. Gak bisa apa manis sedikit ngomongnya," gumam gue kesal. "Sabar, Zee ... Kamu harus semangat! Kamu pasti bisa membuktikannya." Sambung gue dalam hati yang langsung beranjak dari kasur dan memilih berjalan melewati Alex.
Berharap Alex akan memperhatikan setiap pergerakan gue yang saat itu mondar-mandir di hadapannya dengan gaya mempesona, akan tetapi hasilnya nihil. Dirinya tidak monoleh sedikitpun ke arah gue.
"Kamu itu sebenarnya normal gak sih!" teriak gue yang saat itu menghentikan aktifitasnya. "Jangan-jangan lo itu pecinta sesama jenis,kan?"
Untuk kali pertama ucapan gue mampu mengalihkan pandangan Alex dan menatap ke arah gue yang sedang berdiri di depannya.
"Kamu barusan bilang apa? boleh di ulang lagi?" tanya Alex menatap gue dengan begitu sinis.
"Saya bilang kamu gak normal, memang kenapa?" jawab gue tak kalah sinis.
Alex yang saat itu seperti tidak terima dengan apa yang gue ucapkan, seakan murka dan melangkah mendekat ke arah gue sampai tubuh gue terjatuh ke atas meja kerjanya.
"Ka ... kamu mau apa?" Protes gue gugup. Karena tubuhnya semakin mendekat ke arah gue, Bahkan dia menahan tubuh gue dengan tangannya dan memposisikan tubuhnya di atas tubuh gue.
"Pecinta sesama jenis, maksud kamu saya, Gay?" tanya Alex menaikan sebelah alisnya.
"Iya, emang benar," timpal gue kikuk.
"Tau dari mana kalo saya itu seorang gay, Hah?" tanya dia membisikkan ke kuping gue yang membuat gue merinding saat mendengarnya.
Tidak mungkin gue bilang jujur sama dia kalo ini adalah pemikiran gue dan kedua sahabat gue.
"Tercetus gitu aja," jawab gue mencoba mengelak.
Bukannya menjawab ucapan gue dia malah semakin mendekatkan wajahnya ke wajah gue.
"Astaga ... dia mau ngapain gue," batin gue ketakutan yang mencoba merekatkan mata dan bibir gue agar tidak bisa menatapnya. Namun, dengan spontan Alex malah mengecup kening gue. Dan itu mampu membuat jantung gue berdebar begitu kencang.
"Ini yang kamu mau," kata Alex membuat gue membuka mata secara perlahan.
Ingin rasanya gue berteriak dan mendorong tubuhnya, tapi otak gue terlalu kotor saat melihat bibir Alex yang teramat seksi, bahkan gue juga tidak mampu melewatkan wajah tampan Alex dengan jarak dekat. Bagi gue Alex mempunyai karisma tersendiri di banding mantan-mantan gue yang sebelumnya. Meski hati dan sikapnya sedingin es di kutub utara, itu tidak bisa mengurangi ketampanannya sedikitpun.
Bibir gue seakan bergetar saat tatapan Alex semakin menadalam, hingga akhirnya kecupan yang gue tidak sangka-sangka itu mendarat tepat di bibir gue.
Kecupan yang mampu mengobrak abrik hati dan fikiran gue kini malah menyapu lembut permukaannya.
Bahkan gue yang tadinya takut ketika Alex akan berbuat kurang ajar, malah berharap lebih dari sekedar kecupan. Bagi gue sentuhan Alex yang lembut seperti magnet yang mampu menarik gue ke dalam sentuhannya. Semakin lama, lumatan itu mampu menggairahkan hasrat gue.
Tapi saat itu juga Alex malah melepaskan lumatannya dan kembali menatap ke arah gue yang baru membuka mata.
"Masih mau bilang saya Gay?" tanya dia yang gue jawab gelengan kepala perlahan.
"Sebaiknya kamu tidur, saya masih banyak kerjaan. Lain kali kamu juga tidak perlu berpakaian seperti ini." kata Alex datar yang saat itu mencoba membangunkan tubuh gue dan kembali duduk setelahnya.
Gue bener-bener bingung harus berbuat apa, selain menghindari Alex karena malu.