Aluna menyipitkan matanya saat sinar matahari dari celah jendela menerobos masuk. Menyesuaikan pandangannya dengan kondisi kamar yang mulai terang. Aluna menggeliat kemudian beranjak bangun, bersandar di kepala ranjang, masih mengumpulkan kesadarannya.
Suara pintu terbuka, membuat Aluna mengalihkan pandangannya. Terkejut mendapati Arjuna yang pagi-pagi begini sudah ada di apartemennya. Laki-laki itu terlihat sudah segar, dengan setelan kemeja panjang dan celana jeans. Melirik jam di nakas, masih pukul 6 pagi dan laki-laki ini sudah muncul di pagi harinya yang cerah. Ya Tuhan. Cobaan apalagi ini?
Arjuna duduk di samping ranjang Aluna. Merapikan helaian rambut Aluna yang berantakan. Entah bagaimana jarak Arjuna yang begitu dekat, membuat jantung Aluna menggedor hebat, memenuhi rongga dadanya. Saat tangan besar Arjuna yang terasa lembut sesekali bergesekan dengan kulit wajahnya. Aluna terdiam, tidak protes seperti biasanya.
"Kamu kenapa tumben nggak marah-marah?" tanya Arjuna yang sudah menyelesaikan kegiatannya. Beralih mengusap lembut pipi Aluna yang berisi.
Aluna menepis tangan itu, melayangkan tatapan sebal seperti biasa. Membuat Arjuna tertawa gemas. Ternyata Aluna masih mengumpulkan nyawanya tadi dan sekarang sepertinya semua kesadaran Aluna sudah kembali. Membuat perempuan itu kembali berekspresi menggemaskan seperti biasanya.
"Kamu ngapain pagi-pagi di apartemenku?"
Arjuna menaikkan kedua alisnya, selanjutnya memberikan senyuman menggoda. Membuat Aluna kembali was-was. Refleks memeriksa pakaiannya yang ternyata masih lengkap, dan sama seperti baju yang dipakai kemarin.
Aluna mengingat-ingat, kemarin ia bekerja seperti biasa di butik, pulang sampai larut karena lembur, dan berakhir dipaksa pulang oleh Arjuna. Aluna juga mengingat semalam mereka saling diam di dalam mobil, sampai akhirnya Aluna ketiduran. Sudah, hanya itu yang Aluna ingat.
Tapi sekarang masalahnya, kenapa Aluna sudah berada di kamarnya dan Arjuna pagi-pagi begini sudah berada di apartemennya? Senyuman Arjuna yang semakin menggoda membuat Aluna menarik selimutnya, beringsut menjauhi Arjuna yang bersorak dalam hati.
"Kamu nggak ingat kita ngapain semalam?" tanyanya halus. Tangannya terulur mengusap pipi Aluna yang membuat Aluna merinding. Aluna kembali menepis tangan Arjuna membuat laki-laki itu semakin menyeringai. Nampak berkali-kali lebih menyebalkan.
"Jangan macem-macem Arjuna!" Aluna melotot tajam. Berusaha mengumpulkan keberaniannya, walaupun saat ini ia benar-benar ketakutan.
"Kenapa sih? Aku cuma ngelakuin semacam," jawab laki-laki itu santai.
Aluna semakin kelabakan. Ia benar-benar ketakutan. Aluna lagi-lagi memeriksa semua pakaiannya. Masih lengkap semua dan Aluna tidak merasakan sakit atau perih di sekujur tubuhnya. Tapi Aluna masih ketakutan karena respon Arjuna yang semakin menyebalkan.
"Benar-benar nggak ingat ya? Iya sih kamu nyenyak banget semalam," lanjutnya dengan nada semakin menggoda. Bahkan tangannya yang tadi mengusap pipi Aluna sekarang beralih mengusap bibir Aluna. Membuat pandangan Arjuna tertuju sepenuhnya pada benda kecil itu.
"Jun!" Aluna mencoba memanggil nama itu, walaupun suaranya tercekat. Menolak begitu jarak di antara keduanya kian mengikis akibat pergerakan Arjuna.
Aluna tidak mau dan tidak akan pernah mau. Tidak peduli dengan penolakannya yang sudah terjadi berkali-kali. Tidak peduli dengan Arjuna yang mungkin terluka berkali-kali. Aluna hanya mau menjaga dirinya. Di saat kondisi memaksanya berdiri dengan kakinya sendiri.
Namun nampaknya, Arjuna juga enggan kalah kali ini. Bukan karena keinginan semata. Tapi rasa yang sudah ia pendam sejak lama, selalu menyapanya dengan jelas setiap kali Aluna berada dalam jangkauan. Membuat pergerakannya tidak terkendali. Membuat otaknya berhenti sejenak untuk berpikir.
Sorot mata sayu Arjuna yang mengisyaratkan persetujuan membuat Aluna tidak tega. Mata kecoklatan Aluna bergerak gelisah, bingung apakah ia harus mengizinkan atau harus menolak? Yang terjadi selanjutnya, Aluna membalas tatapan itu dan menutup matanya erat.
Aluna kalah. Sedetik setelah matanya terpejam, ia bisa merasakan hal baru yang menyapa bibirnya. Membuat jantungnya berdebar kencang juga perasaan menggelitik yang tidak bisa ia deskripsikan. Karena memang ini yang pertama.
Arjuna memanfaatkan keadaan dengan sebaik-baiknya. Arjuna sudah menahan ini sejak lama. Bahkan semalam ia hampir saja mencurinya dari Aluna, tapi mengingat lagi Aluna akan sangat membencinya jika tahu apa yang ia lakukan, Arjuna mengurungkan niatnya. Saat ini, saat keinginannya dikabulkan membuat hatinya menghangat.
Arjuna benar-benar menyalurkan rasa rindunya dengan lembut penuh perasaan. Seolah menyampaikan bukti kekagumannya pada sosok Aluna. Perasaan mendalam yang sudah memenuhi keseluruhan hatinya sejak saat itu. Arjuna hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya dan memberi tahu Aluna betapa ia mencintai perempuan itu.
Aluna diam, tidak membalas tapi juga tidak menolak. Ia hanya bertugas menerima, dengan sepasang tangannya yang menyentuh d**a Arjuna. Merasakan debaran jantung Arjuna yang semakin memburu, bersamaan dengan tempo Arjuna yang semakin cepat.
Arjuna ingin terus melanjutkan, namun hati kecilnya berteriak melarang. Ia mencintai Aluna, ia harus menjaga Aluna sampai waktu yang tepat. Maka begitu Aluna mulai kehabisan napas, Arjuna menjaga jarak. Menatap mata Aluna yang juga sedang menatapnya. Memberikan hadiah penutup sebelum beralih merapikan rambut Aluna yang kusut.
"Kamu siap-siap, aku tunggu di meja makan."
Arjuna keluar, menyisakan Aluna yang sedang menetralkan debaran jantungnya. Tangannya menyentuh bibirnya yang terasa hangat. Ciuman Arjuna masih terasa sampai sekarang.
Itu adalah ciuman pertamanya dan entah bagaimana bisa ia serahkan begitu saja kepada laki-laki menyebalkan seperti Arjuna.
Ya Tuhan. Aluna mengacak-acak rambutnya. Kemudian berlari ke kamar mandi. Ia ingin segera melupakan kejadian tidak terduga pagi ini.
***
Suasana canggung melingkupi keduanya di meja makan. Arjuna dan Aluna sama-sama terdiam, sibuk dengan sarapan masing-masing. Pikiran Aluna masih belum bisa melupakan kejadian pagi ini. Sesekali melirik Arjuna yang fokus dengan sarapannya.
"Aku dan Ayah akan keluar kota untuk urusan bisnis, kamu bisa pulang nemenin Bunda?"
Aluna tersentak saat matanya bertemu tatap dengan Arjuna. Aluna gelagapan kemudian lebih memilih menunduk. Wajahnya terasa panas dan Aluna yakin pipinya sudah memerah. Arjuna yang menyadari keanehan dalam diri Aluna hanya bisa tersenyum. Ternyata Aluna bisa berubah menjadi perempuan pendiam seperti ini jika sedang malu. Mungkin Arjuna akan mulai mempraktikkan kegiatan tadi jika Aluna mulai marah-marah menyebalkan.
"Kenapa, kamu masih mikirin yang tadi?"
Entah sejak kapan Arjuna sudah berdiri di samping kursinya. Bersandar pada meja makan dengan tangan terulur memegang dagu Aluna. Membuat perempuan itu mau tidak mau menatap Arjuna.
"Aku rasa, aku nggak perlu minta maaf karena kamu juga setuju tadi," ucap Arjuna, menatap tepat di manik Aluna yang berbinar indah. Membuat pikiran Arjuna kembali melayang.
"Aku hanya perlu membuktikan kalau aku sungguh-sungguh sayang sama kamu," lanjutnya membuat Aluna semakin mengunci mulut. Tidak tahu harus merespon seperti apa. Otaknya tidak bisa memproduksi kata, dan napasnya sesak karena jarak mereka yang terlampau dekat.
Arjuna melepaskan tangannya dari dagu Aluna, beralih melihat jam di pergelangan tangan kirinya. "Aku harus segera berangkat, nanti Pak Rudi ke sini jemput kamu. Aku pergi tiga hari, nggak usah berangkat ke butik karena aku udah bilang Vigo dan Yena," pesan Arjuna.
Baru saja Aluna akan melayangkan protesnya, Arjuna kembali melanjutkan ucapannya. "Jangan coba-coba menentang, karena kamu akan tahu sendiri akibatnya."
Aluna mengembuskan napas kesal. Arjuna memang seperti ini, pemaksa dan harus dituruti. Mengalihkan pandangannya ke depan, mengabaikan Arjuna yang masih berdiri di sampingnya. Aluna kesal tapi tidak bisa berbuat lebih. Apa yang Arjuna katakan adalah ketetapan yang harus dituruti. Jika Aluna menentang, lelaki itu akan berbuat semena-mena yang menimbulkan rona kemerahan di kedua pipinya.
"Hati-hati di rumah, nanti aku hubungi kalau udah sampai," ucap laki-laki itu, mencium kening Aluna lembut sebelum meninggalkan si perempuan pujaannya yang masih sibuk merona.
***
"Apa hubungan kalian ada kemajuan?"
Aluna sudah sampai di rumah keluarga Arkharega sejak tiga jam yang lalu. Saat ini ia sedang membantu Bunda membuat makanan dan kue-kue kecil. Ini karena Arjuna yang tidak mengizinkannya berangkat ke butik, sehingga Aluna kebingungan akan melakukan apa seharian ini. Berakhir membantu Bunda yang memang hobby menghabiskan waktunya di dapur.
Aluna kebingungan akan menjawab apa. Cukup kaget karena tiba-tiba Bunda menanyakan masalah itu.
"Entahlah Bunda," jawab Aluna dengan senyuman paksa. Bunda mengusap kepala Aluna lembut, memberikan senyuman menenangkan.
"Bunda nggak akan maksa, Sayang. Tapi kalau Bunda boleh jujur, Bunda akan lebih bahagia kalau kamu yang jadi menantu Bunda."
"Tapi perjodohan Arjuna dengan anak teman Ayah, Bun?"
Bunda menghela napas sebelum mengucapkan kelanjutan kalimatnya. "Ayah bisa membatalkan itu baik-baik kalau kamu memang mau menerima Arjuna."
"Bunda, tapi Arjuna bisa mendapatkan yang lebih dari Aluna. Lagi pula Aluna bukanlah siapa-siapa, Aluna hanya anak dari salah satu teman Bunda. Aluna bukan perempuan yang baik untuk bisa mendampingi Arjuna, Bun."
"Ssstt … Sayang. Bunda udah bilang berapa kali jangan ngomong begitu. Bunda nggak peduli sama masa lalu, Bunda tahu yang terbaik untuk Arjuna dan Bunda mau Aluna bahagia di masa depan nanti."
Bunda menatap mata Aluna yang mulai bergerak gelisah. Mengusap kepala Aluna penuh kasih sayang.
"Luna udah terlalu banyak ngerepotin keluarga ini Bunda."
Air mata Aluna menetes. Membuat Bunda menarik anak perempuannya ke pelukannya. Menepuk pundak Aluna lembut. Memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu. Memberikan ketenangan untuk anak perempuannya yang selalu menahan rasa sakitnya sendirian.
"Dari Luna kecil, Bunda harus nyekolahin Luna yang bukan siapa-siapa, Bunda harus membuat nama Luna dikenal banyak orang sebagai bagian dari keluarga Bunda, Bunda bahkan begitu menyayangi Luna. Padahal Luna bukan siapa-siapa. Luna hanya anak dari salah satu orang yang pernah datang di kehidupan Bunda. Luna nggak layak dapatin lebih dari ini, Bun."
Aluna semakin terisak di pelukan Bunda. Membuat hati Bunda ikut teriris sakit. Mengingat lagi kenangan masa lalu yang benar-benar membuat putri kecilnya terpukul. Bahkan Aluna sempat tidak mau melanjutkan kehidupannya saat itu.
Bunda semakin memeluk Aluna erat. Ikut terisak saat ingatan itu kembali memenuhi kepala. Mengetahui dengan baik bagaimana Aluna tumbuh dengan rasa sakit yang mendalam.
Perempuan kecil yang hanya memiliki Ayah, tiba-tiba harus kehilangan ayahnya di usianya yang masih dua belas tahun. Jangan lupakan juga kondisi ingatan Aluna yang menurun setiap harinya. Trauma yang begitu menakutkan dalam ingatan, membuat Aluna enggan mengingat itu. Berakibat pada ingatannya yang semain menurun. Belum lagi kecelakaan yang terjadi membuat kondisinya kian memburuk.
Bersyukur karena Aluna tetap melanjutkan kehidupannya sampai sekarang. Walaupun kondisi ingatannya belum membaik. Setidaknya Aluna kembali mendapatkan semangatnya.
"Luna sudah besar, Bun. Luna sudah bisa menghidupi diri Luna sendiri, Bunda nggak harus terbebani oleh pesan Ayah. Bunda …." Aluna terisak hebat. Getaran tubuhnya menjalar, membuat Bunda ikut merasakan sakit yang sama.
"Bunda sayang Aluna sebagai anak Bunda. Bunda membesarkan Aluna bukan karena beban dari Ayah Luna. Bunda benar-benar menyayangi kamu, Nak."
Aluna semakin beringsut memperdalam pelukannya. Menumpahkan segala kepedihannya pada Bunda. Merasakan hangatnya pelukan Bunda, dan usapan kasih sayang yang selalu Aluna dapatkan semenjak saat itu. Aluna juga menyayangi keluarga ini. Menyimpan nama mereka di bagian hatinya bersama nama ayahnya yang tidak akan pernah ia lupakan.
***
Aluna hampir saja memejamkan matanya, saat deringan ponsel mengganggu pendengarannya. Tangannya memanjang, meraih ponselnya di atas nakas. Menarik napas beberapa kali dan menetralkan suaranya yang serak akibat menangis.
"Hallo," sapanya. Suaranya masih serak, membuat laki-laki di seberang sana keheranan.
"Kamu kenapa? Suara kamu serak, Aluna kamu baik-baik aja, ‘kan?" Suara Arjuna terdengar panik. Membuat Aluna sedikit menyunggingkan senyumannya, mengetahui fakta bahwa Arjuna mengkhawatirkannya.
"Aku baru bangun tidur," jawab Aluna. Berbohong? Jelas. Aluna hanya tidak ingin membuat orang lain semakin repot karenanya. Lagi pula kenapa bisa laki-laki itu selalu menelponnya di saat Aluna memang membutuhkan teman?
"Jangan bohong Aluna. Kamu di mana sekarang?" tanyanya dengan nada kesal tapi juga khawatir.
"Di rumah. Kamu yang nyuruh aku nginep."
"Bunda bicara apa sampai kamu nangis begini?"
"Aku nggak nangis Jun, aku baru bangun tidur."
"Huh … nggak nyangka Alunaku yang manis sudah pintar berbohong sekarang."
Aluna berdecak sebal dengan respon Arjuna, tapi juga merasa lucu.
"Saat aku pulang nanti kamu harus ceritakan semua yang terjadi hari ini. Ngerti!"
"Iya." Aluna menjawab dengan nada malas. Bisa membayangkan wajah tegas Arjuna di seberang sana. "Kamu kenapa siang-siang hubungi aku, bukannya kerja di sana?"
"Kenapa? Jelas aku kangen kamu."
"Kamu baru pergi tadi pagi Arjuna, nggak usah ngaco."
Suara tawa Arjuna dari balik ponsel mampu membuat senyuman Aluna terbit perlahan.
"Ya udah lanjutin tidurnya ya, Sayang, jangan kangen."
Kalimat terakhir sebelum laki-laki itu memutus obrolan. Aluna merasakan jantungnya berdetak kencang dengan pipi yang memanas sampai ke telinga. Merasa lucu sekaligus sebal dengan Arjuna yang memang hobby menggodanya.
Perlahan Aluna terpejam, menuju alam bawah sadarnya. Untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya yang sempat dibuat bekerja terlalu keras hari ini. Aluna berharap hari-harinya ke depan akan semakin baik.
***
"Sepertinya sudah banyak perkembangan." Ayah memandang Arjuna yang baru saja menutup telepon dengan perempuan mungilnya. Keduanya sedang makan siang sebelum nanti kembali melanjutkan pekerjaan.
Arjuna tertawa pelan, mengingat kejadian hari ini bersama Aluna.
"Apa Ayah batalkan saja perjodohan kamu dengan anak teman Ayah?" tanya Ayah sembari memasukkan sesendok makanan ke mulutnya. Menelisik putra tunggalnya yang tidak berhenti tersenyum sejak pagi tadi.
"Memang harus dibatalkan, Yah, karena Aluna yang akan jadi menantu Ayah," jawab Arjuna dengan percaya diri. Ayah mengangguk-angguk paham.
"Kalau aja kamu gerak dari dulu, nggak akan ada acara perjodohan begini, Jun."
Arjuna tidak menanggapi lagi. Sibuk menikmati makan siangnya. Senyumannya masih terpantri indah di lengkungan bibirnya.
"Bawa Aluna ke pesta yang diadakan kolega bisnis kita. Setelah itu Ayah akan mengumumkan pertunangan kalian."
Arjuna mengangguk-angguk paham. Tidak peduli Aluna yang belum sepenuhnya menerima cintanya. Aluna itu tipe perempuan yang harus dipaksa, maka pertunangannya pun akan Arjuna paksakan. Tidak peduli kemarahan Aluna nanti, karena Arjuna sudah tahu cara melunakkan amarah perempuan itu. Senyuman Arjuna kian melebar membuat Ayah geleng-geleng keheranan.
***