Tuk … tuk … tuk ….
Suara ketukan heels dengan lantai menggema di dalam ruangan dengan nuansa putih bersih. Menampilkan satu sosok ayu yang terlihat sama menawannya seperti hari-hari lalu, berkemeja light blue yang dipadukan dengan rok span berwarna krem di atas lutut, rambutnya tertata rapi, diikat ke belakang, menyisakan beberapa helaian yang menyapa di sebelah pipi, tas menggantung di bahu kiri, serta tangan yang mendekap sebuah buku desain dan buku catatan kecil.
"Selamat pagi," sapanya pada dua perempuan yang sudah mengisi kursi masing-masing, Mina dan Yuna. Keduanya tersenyum menyambut kedatangan Aluna.
"Pagi," jawab keduanya serempak.
"Tumben telat, Lun?" tanya Mina. Perempuan itu sudah mulai sibuk mengisi buku dengan gambaran dress-dress indah, yang nantinya akan dibawa pada rapat tim desain untuk mendapat approval dari Rieena selaku desainer utama. Melirik Aluna yang baru saja menghempaskan dirinya di sofa. Melemaskan ototnya. Kakinya yang mengenakan high heels terlihat lecet, Aluna sibuk mengurut.
"Nungguin taksi lama banget, dan berakhir berangkat naik bus," jawab Aluna masih sibuk dengan kegiatan mengurut kakinya.
Mina dan Yuna saling melirik heran. Yuna sampai duduk di samping Aluna karena sifat ingin tahunya kambuh lagi.
"Naik bus? Lo nggak dianter supir kaya biasanya?" tanya Yuna. Menelisik kaki Aluna yang memang terlihat tidak baik-baik saja. Aluna menegakkan punggungnya. Menggeleng sembari menyerahkan beberapa gambar buatannya pada Mina. Mina meraih gambar itu dan mengangguk-angguk setuju.
"Gue udah pindah ke apartemen,” jawab Aluna santai.
"Hah!”
Mina yang tadinya sibuk menggambar terkejut dan berjalan ke arah Aluna. Ikut duduk di sebelah Aluna. Jadi Aluna berada di tengah, diapit dua sahabatnya.
"Sejak kapan, Lun?" tanya Yuna.
"Kemarin sore."
"Arjuna ngizinin?"
Aluna mengerutkan dahi, merasa bingung dengan pertanyaan Mina. Memang harus dengan persetujuan Arjuna? Aluna pikir tanpa persetujuan lelaki itu pun tetap jadi. Lagi pula Aluna tidak pernah mendengarkan nasihat Arjuna. Lebih sering mengabaikan lelaki itu.
"Dia sempat marah, tapi biarinlah," jawab Aluna cuek. Kedua sahabat Aluna mengembuskan napas lelah. Keduanya tahu betul bagaimana tidak pekanya Aluna dengan sikap Arjuna selama ini.
"Luna lo coba deh pikirin lagi, mau sampai kapan ngebiarin Arjuna kaya orang b**o begitu? Dia kurang apa sama lo?" tanya Yuna, Aluna masih terlihat belum masuk ke dalam pembicaraan mereka. "Gini loh Lun, dia kaya, ganteng, punya segalanya, dan yang paling penting dia seperhatian itu ke lo."
Aluna diam. Masih menyimak kalimat panjang lebar yang diutarakan oleh sahabatnya itu.
"Lo sadar nggak sih kalau hati lo udah nyimpen nama Arjuna dengan baik?"
Kalimat Mina membuat pikiran Aluna melayang. Mengingat-ingat di sebelah mana ia pernah melupakan Arjuna. Hasilnya nihil. Aluna memang secara refleks bisa mengingat laki-laki itu, bahkan dari suara langkah kakinya.
"Lo itu gengsi, Luna. Lo terlalu ngikutin ego, lo terlalu stuck sama pemikiran tentang, Arjuna itu satu makhluk paling nyebelin yang harus lo hindari. Kalau Arjuna itu cowok kurang belaian yang nggak ada habisnya cari perhatian sama lo." Yuna menambahkan dengan kalimat supernya.
“Yang nggak suka Arjuna itu ego lo, Aluna. Tapi hati lo, nurani lo yang paling dalam itu nggak bisa ngelak. Hati lo selalu tahu kalau dia itu Arjuna, bahkan dari suara langkah kakinya, dari bau parfumnya. Mau sampai kapan sih lo ngikutin ego lo yang udah kegedean itu?”
Aluna terdiam, mencerna kalimat panjang sahabatnya. Ya, Aluna mengakui itu. Egonya yang membumbung terlalu tinggi sampai mengabaikan fakta jika Arjuna benarlah berarti bagi hatinya. Bahkan di saat ingatannya tidak bisa mendeteksi manusia lain, Aluna masih bisa merasakan keberadaan Arjuna, hanya dari bau parfumnya, hanya dari suara langkah kakinya.
Fakta lainnya adalah, Aluna memiliki ingatan yang lemah. Aluna tidak bisa mengingat kejadian di masa lalu, termasuk orang-orang yang pernah hadir di masa itu. Itu terjadi sampai sekarang.
Aluna kesulitan dalam mengingat nama orang, wajah, sampai kejadian-kejadian yang terjadi beberapa waktu ke belakang. Aluna hanya mampu mengingat orang-orang terpenting dalam kehidupannya, seperti Ayah, Bunda, Ayah Arkharega, dan Arjuna. Entah bagaimana Arjuna bisa menyempil di ingatannya. Padahal secara sadar, diakui dengan begitu lancar oleh lisan, Aluna membenci keberadaan Arjuna.
"Tanpa sadar lo udah nyimpen nama Arjuna di satu bagian otak lo Lun, dan cuma dia yang nggak akan pernah lo lupain," ucap Yuna lagi. Aluna tidak menanggapi lebih jauh, masih terlalu bingung dengan semuanya.
Bagaimana mungkin mulutnya begitu membenci keberadaan Arjuna, namun lelaki itu tersimpan dengan begitu rapi di dalam hati dan pikirannya?
Yuna menghela napas. “Hah … udahlah, terserah lo. Gue ada meeting sama tim fashion.” Yuna beranjak, meraih tas selempangnya, bersiap-siap meninggalkan butik untuk menuju kantor Vieena.
“Oh iya, Lun, lo ada janji sama klien hari ini. Jangan lupa!” pesannya yang diangguki oleh Aluna. Setelahnya Yuna berjalan cepat keluar butik. Menyisakan Aluna yang masih sibuk dengan pemikirannya sendiri, dan Mina yang hanya mampu menatap Aluna dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan.
“Lun, lo udah jalan sejauh ini, lo bahkan sering kali jatuh sampai nyasar karena nggak tahu arah. Tapi saat lo berbalik, selalu ada Arjuna di sana. Dia yang selalu nuntun lo, dia yang selalu arahin lo ke jalan semula, tanpa perlu banyak bicara.”
Mina tersenyum lembut, menepuk bahu Aluna beberapa kali. Setelahnya beranjak, melakukan apa yang Yuna lakukan sebelumnya. “Gue harus ketemu Mbak Yena untuk approval.” Mengangkat tangannya, menunjukkan beberapa lembaran kertas yang sudah berisi sketsa-sketsa dress cantik.
Aluna mengangguk gamang. Sepasang matanya memandang kepergian Mina, namun tatapannya kosong, menyiratkan kebingungan yang semakin memenuhi kepala.
Apa Aluna terlalu egois? Apa kepalanya sudah terlalu mengeras, sampai tidak bisa menerima keberadaan Arjuna selama ini?
"Hey melamun aja."
Aluna tersentak. Memegang dadanya yang sudah berdebar karena terlalu kaget. Di depannya sudah ada perempuan berponi, dengan mata sipit cantik. Tersenyum lembut padanya. Aluna mengingat-ingat sebentar, setelah menyadari satu hal senyumannya mengembang. “Selamat pagi. Silahkan duduk. Yang minggu kemarin bikin janji untuk pertemuan dengan Bu Rieena, ‘kan?”
Perempuan yang saat ini sudah menduduki kursi yang berhadapan dengan Aluna tercengang. Selanjutnya tertawa pelan, nyaris terbahak. Membuat Aluna tidak mengerti. Memang ada yang lucu, ya?
“Astaga, Aluna. Ya ampun, kamu lupa? Aku Yelena, Kak Yelen.”
“Kak Yelen?” tanya Aluna. Keningnya berkerut, menandakan jika Aluna sedang berpikir keras. Mencoba mengingat-ingat, apakah ada sosok perempuan cantik bernama Yelena yang dikenalnya?
Yelena tersenyum lembut, meraih ponselnya yang tersimpan dalam tas. Menunjukkan sebuah foto yang menampilkan dua objek perempuan, Aluna dan Yelena. Namun nampaknya, Aluna belum mengingatnya juga. Yelena beralih meraih buku catatan kecil milik Aluna, membukanya perlahan sampai pada halaman yang menunjukkan keterangan mengenai identitas Yelena.
Di sana tertulis, “Kak Yelen, kakak senior di kampus. Tunangannya Kak Arkan, sahabat dekat Arjuna.”
“Astaga, Kak Yelen. Maaf,” ucap Aluna dengan wajah yang sudah memerah. Merasa begitu malu, karena untuk kesekian kali tidak mengenali seseorang yang mengenalnya. Yelena tersenyum lembut, menggeleng, tidak apa-apa. Ia paham bagaimana kondisi Aluna, dan bukan masalah besar.
“Ehm, kita langsung aja sama pesanan Kakak,” ucap Aluna. Meraih iPadnya untuk mencatat gaun pernikahan keinginan Yelena. Sebenarnya Rieena yang seharusnya bertemu dengan Yelena pagi ini, tapi karena satu dan lain hal, Aluna yang menggantikan.
***
"Lun nggak usah kemaleman, desainnya bisa kita lanjutin besok."
Mina sudah menyampirkan tas di pundak kirinya. Menatap Aluna yang masih berada di meja kerja dengan kertas-kertas berisi gaun-gaun indah. Aluna menurunkan kacamatanya, menatap Mina yang sudah siap pulang.
"Lo pulang aja dulu, gue pulang kalau ini udah selesai."
Mina menghela napas lelah. Kalau bukan karena janjinya untuk bertemu calon ibu mertua, Mina pasti akan menemani Aluna. Tapi ya mau bagaimana lagi, jadwalnya sudah terisi malam ini. Yuna juga sudah pulang terlebih dahulu. Perempuan tinggi semampai itu harus mengurus ibunya di rumah sakit.
"Gue tinggal nggak apa-apa?" tanya Mina. Aluna tersenyum lembut.
"Nggak apa-apa, Min, lo ‘kan mau ketemu mama mertua. Udah sana!" Aluna menunjukkan gestur mengusir. Membuat perempuan manis itu tersenyum tidak enak karena harus membiarkan Aluna lembur sendirian.
"Kalau aja Malik belum jemput pasti gue temenin, Lun,” ucapnya dengan nada sendu. Aluna menggeleng, menunjukkan wajah meyakinkan. "Gue duluan yaa."
"Good luck, Min."
Mina keluar dari butik. Langsung disambut pelukan dari tunangannya, Malik. Rekan kerja Arjuna yang juga kakak tingkat Aluna sewaktu kuliah.
Aluna menatap kepergian mobil Malik. Menyunggingkan senyuman tipisnya.
Mengingat-ingat kejadian hari ini, Yelena yang akan segera menikah dengan tunangannya, dan Mina yang sepertinya akan segera menyusul. Mengingat itu membuat Aluna bahagia. Satu per satu sahabatnya akan mulai menjalani peran baru sebagai seorang istri.
Aluna kembali memakai kacamatanya. Meraih pensil dan mulai sibuk dengan kegiatan menggambar. Yelena sudah memberikan detail gaun pengantin pesanannya pagi tadi. Aluna memang yang menginginkan mendesain gaun untuk Yelena, tetap dengan persetujuan Rieena tentunya. Aluna sudah menganggap Yelena seperti kakak kandungnya. Jujur saja Aluna mencurahkan segala rasa sayangnya saat menggambar gaun pengantin untuk Yelena.
Bukankah pernikahan adalah sesuatu yang spesial? Yelena juga spesial untuk hidup Aluna. Oleh karenanya Aluna ingin menghadiahkan gaun spesial untuk Yelena.
Aluna semakin fokus dengan kegiatannya, sampai butik terasa sepi. Hanya detik jarum jam yang terdengar memenuhi area ini. Beberapa kali Aluna memutar kepalanya, melemaskan otot lehernya yang sebenarnya sudah terasa lelah, ingin diistirahatkan. Tapi karena Aluna adalah tipe yang tidak suka menunda, semua harus selesai malam ini.
Apalagi mengingat kedua sahabatnya yang juga sedang sibuk mengurus hal lain. Mina yang sepertinya akan segera menentukan tanggal pernikahan dan Yuna yang sibuk mengurus ibunya.
Ibu Yuna mengalami sakit parah sejak beberapa bulan lalu. Karena memang Yuna satu-satunya yang bisa diandalkan di keluarganya membuat perempuan itu harus kerja keras. Membiayai pengobatan ibunya dan menyekolahkan adiknya.
Aluna menggeram marah, saat telinga sebelah kanannya terasa hangat oleh napas seseorang. Rasa hangatnya menjalar sampai ke leher. Karena memang saat ini Aluna sedang menggulung rambut panjangnya ke atas. Menyisakan anak-anak rambut yang menjuntai indah.
"Berhenti menggangguku Arjuna!" sentak Aluna kesal. Tanpa melirik sosok laki-laki yang sudah membungkuk di sampingnya. Sibuk meniup-niup telinga Aluna dengan tujuan menghentikan kegiatan si perempuan.
Aluna tidak menghiraukan gangguan Arjuna. Masih memfokuskan dirinya pada gambar yang memang ditargetkan selesai malam ini. Tapi nampaknya laki-laki di sampingnya belum menyerah. Malah semakin gencar mengganggu Aluna. Membuat perempuan mungil ini melepaskan kacamatanya, menengok ke samping dengan tatapan tajam.
"Apa?" tanyanya kesal. Arjuna sudah menegakkan punggungnya. Tersenyum geli ke arah Aluna yang sudah menatapnya horor.
"Ini sudah pukul sepuluh dan kamu masih sibuk mengurusi desainmu?"
"Aku harus menyelesaikannya malam ini."
Kembali meraih pensil dan melanjutkan gambarnya yang sempat terhenti oleh gangguan makhluk paling menyebalkan seantero bumi. Arjuna berdecak sebal. Perempuan mungil ini memang keras kepala. Arjuna bisa jamin kalau sampai semalam ini Aluna belum makan malam.
Aluna memang sering kali melalaikan jadwal makannya. Tidak heran hal itu membuat Aluna memiliki penyakit maag, yang sering kali kambuh.
“Kamu nggak akan dipecat sama Vigo.”
Arjuna masih berusaha mengalihkan perhatian Aluna. Namun si perempuan masih enggan merespon.
“Kalaupun dipecat, aku masih bisa membiayai hidup kamu sampai tujuh turunan.”
Aluna memutar bola matanya malas. “Aku kerja di sini. Nggak bisa seenaknya!”
"Aku datang ke sini untuk menjemputmu, sekarang pulang!" ucap Arjuna tegas. Laki-laki itu sudah melipat tangannya di depan d**a. Menatap sebal ke arah Aluna yang masih belum bergeming. Arjuna menghela napas kesal. Benar-benar perempuan keras kepala!
"Aluna pulang!"
Arjuna mengambil pensil Aluna secara paksa. Membuat perempuan itu melotot tajam ke arahnya. Arjuna hanya menaikkan kedua alisnya. Laki-laki itu juga membereskan kertas-kertas di meja Aluna dan menyimpannya di rak samping meja itu. Tempat biasanya Aluna menyimpan desainnya.
Aluna melepas kacamatanya. Masih benar-benar kesal dengan laki-laki yang tidak pernah diharapkan kedatangannya ini.
"Aku nggak minta kamu jemput, ‘kan?" tanyanya menatap Arjuna yang sudah berdiri di depan meja. Sedang memasukkan barang-barang Aluna ke dalam tas.
"Kamu pikir aku tega biarin kamu semaleman di sini. Butik ini ada di samping jalan raya, dan ini bahaya Luna. Kamu sendirian dan ini udah malam!" ucap laki-laki itu dengan suara meninggi. Tidak melirik Aluna sama sekali karena masih sibuk dengan kegiatannya.
"Terus kenapa kamu peduli?"
Arjuna menghentikan kegiatannya, menatap Aluna dengan pandangan kesal. Arjuna juga baru pulang dari kantor, mengerjakan berkas-berkas memuakkan yang membuat kepalanya mendidih. Ia sempatkan datang kemari untuk Aluna. Dan perempuan mungil itu justru membuat kepalanya semakin mendidih.
Arjuna berjalan memutari meja. Memaksa Aluna untuk berdiri, dengan sebelah tangannya menyampirkan tas di bahu perempuan itu.
"Sekarang pulang!" perintah Arjuna, suaranya tidak sekeras tadi. Menarik tangan kanan Aluna secara paksa. Padahal si perempuan masih menatapnya nyalang.
"Aku nggak minta kamu jemput, aku nggak minta kamu khawatir, ‘kan? Kenapa sih kamu sepeduli ini sama aku?" teriak Aluna, menghempaskan tangan Arjuna yang menariknya membuat langkah Arjuna terhenti.
Laki-laki itu mengatur pernapasannya. Mencoba meredam amarahnya. Ia lelah dan harus meladeni perempuan keras kepala ini. Ya Tuhan. Sebenarnya Arjuna bisa saja bersikap cuek, toh Aluna sendiri yang meminta. Tapi Arjuna tidak setega itu membiarkan Aluna pulang malam-malam sendirian. Belum lagi ada banyak bahaya di luar sana.
"Masih perlu aku jelasin kenapa aku peduli sama kamu?"
Arjuna bertanya dengan suara rendah tapi tajam. Aluna terkesiap. Bibirnya mengatup rapat, tidak bisa membalas ucapan laki-laki di depannya.
Arjuna menarik napasnya lagi. Meredam emosi dan keinginan tidak benar yang sudah bergerumul di kepalanya. Melihat Aluna yang sudah dikagumi selama ini berpenampilan seperti sekarang tentu saja membuat pikiran Arjuna membayangkan yang tidak-tidak.
Wajah sayu Aluna, bibir mungil yang terlihat manis, rambut digulung ke atas menampilkan leher jenjangnya, dan kemeja dengan rok span sebatas lutut.
Ya Tuhan. Arjuna sedang kelelahan saat ini, pusing dengan urusan kantornya, dan disandingkan pemandangan seperti ini. Berhasil membuat darahnya mendidih.
Tapi Arjuna menyayangi perempuan di depannya. Membuat Arjuna tidak bisa melakukan hal yang lebih lagi. Apalagi Aluna belum bisa membuka hatinya untuk Arjuna.
Arjuna memang bisa saja melakukannya sekarang. Mereka hanya berdua, hari juga sudah malam. Tapi napsunya tertutup begitu saja oleh rasa sayangnya pada si perempuan. Arjuna ingin melakukannya bersama-sama Aluna untuk menyalurkan rasa sayangnya, bukan hanya napsu semata.
"Sekarang kita pulang dan jangan menentang. Aku nggak mau nyakitin kamu." Arjuna berujar final, berjalan pelan ke arah mobilnya yang sudah terparkir di depan butik.
Aluna tersentak, tidak bisa mencerna kalimat Arjuna. Segera mengikuti Arjuna yang masih berdiri di samping mobilnya.
Keduanya memasuki mobil dan meninggalkan halaman butik.
***
Tidak ada pembicaraan selama perjalanan. Arjuna benar-benar diam dengan kedua tangannya yang meremas kuat setir mobil. Kemeja kerja Arjuna yang digulung sampai siku membuat otot-otot tegas itu terlihat mengencang. Aluna menatap itu semua dengan pandangan ketakutan.
Arjuna tidak pernah begini sebelumnya. Aluna memang membenci Arjuna, tapi sikap diamnya justru lebih menyebalkan sekaligus menakutkan.
Aluna sesekali melirik Arjuna yang benar-benar fokus mengemudi. Biasanya laki-laki itu akan memaksa menggenggam tangannya saat mengemudi. Atau sesekali menanyakan kegiatannya hari ini walaupun Aluna akan menjawabnya dengan cuek. Tapi saat ini, Arjuna benar-benar diam, membuat Aluna ketakutan sendiri.
Apa sikapnya tadi membuat Arjuna marah?
Tapi bukankah memang biasanya Aluna selalu menolak Arjuna yang menjemputnya? Bahkan meneriaki Arjuna dengan kalimat menyebalkan. Laki-laki itu tidak pernah marah sebelumnya, malah semakin membuat Aluna kesal.
Tapi karena egonya, Aluna memilih mengalihkan pandangannya ke samping, menatap jalanan yang sudah sepi. Meredam pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Membiarkan Arjuna dengan pikirannya sendiri. Aluna memejamkan matanya saat tidak hentinya menguap. Beberapa menit kemudian Aluna sudah sibuk dengan alam mimpinya.
"Dasar keras kepala. Padahal kelelahan tapi bersikeras ingin lembur."
Arjuna mengusap kepala Aluna. Tangannya turun untuk menyentuh pipi itu. Matanya menatap leher jenjang Aluna yang semakin terlihat karena tidur Aluna yang miring ke kiri.
Menggelengkan kepalanya beberapa kali, sebelum memajukan wajahnya, mencium kening Aluna lama sembari meredam keinginan di dalam sana.
***