2. Dua

1455 Words
Pandangan pertama bukan untuk jatuh cinta, hanya sekadar berpapasan jalan hingga membawa sebuah petaka. Begitu menurut pemikiran Yoon Rahee. Hari itu di mana ia melihat seorang pria yang menghalangi jalannya, lalu memberi tahu nama yang dia sebut dengan bangga, menawarkan harga jual pada tubuhnya hingga pada serentet kalimat: Menikahlah denganku. Dia, Oh Sean. Pria yang sangat kurang ajar dengan selusin poker-face-nya. Sampai pada hari berganti, kehidupannya sudah tak senyaman dahulu. Sean selalu menghantui hari-harinya meski ketika ia sedang sibuk bekerja. Menunggu, menanti, atau apalah itu namanya dia lakukan. Hingga pada akhirnya Sean melakukan hal gila yang dia sebut sebagai lamaran. Sangat konyol! Setelah itu, apakah kalian tahu apa yang terjadi? Ya. Rahee menolaknya dengan keras, tegas, dan tanpa toleransi. Dia tak mau hidupnya terikat dengan lelaki yang tak dikenalnya itu. Yoon Rahee sempat mengukir jejak merah dari telapak tangan dan kelima jarinya itu di atas pipi putih Sean. Tepat ketika Sean menciumnya, membuat luka di bagian bawah bibirnya. Rahee merasa terhina saat itu. Namun sayang, pada akhirnya semua sia-sia. Hingga kini dia berkata, "Ya, aku bersedia." Sorak sorai para tamu undangan menggema memekakkan telinga, memenuhi sudut ruangan dengan suara tepukkan tangan mereka. Berbahagia atas kelancaran acara, sebuah janji suci yang berhasil lolos dari lisan kedua mempelai. Bahkan tak jarang dari mereka, para saksi yang berteriak meminta agar pasangan pria sudi untuk mencium bibir wanitanya. Sean tersenyum penuh minat. Bibir tipisnya melengkung membentuk sabit yang gagal ia ciptakan, sebuah seringaian seperti biasa. Namun, di mata mereka yang melihatnya justru terlihat seperti sebuah senyum ketulusan. Tapi, tidak dengan Yoon Rahee. "Sayang, lakukanlah dengan baik dan benar." Sean menjeda kalimatnya, mempersempit jarak antara ia dengan sang istri. Kemudian ia berucap, "Nikmati permainanku ...." Bisikannya sangat lembut di dengar, mengalir bagai air di dalam muara. Namun anehnya, Rahee merasa itu adalah kalimat kutukan hingga membuat hatinya bergetar ketakutan. Gadis itu memejamkan erat kelopak matanya, bukan karena berniat untuk menikmati atau pun berniat memberi kenikmatan. Melainkan, karena ia tak ingin melihat bagaimana cara dari bibir pria itu yang akan bermain dengan bibirnya. Rahee tak sudi! Sean melakukannya dengan pergerakan yang sangat lembut, menuntunnya agar terbuai dengan kelihaian yang ia bawa. Namun, bukan balasan yang ia terima melainkan rasa asin dari tetesan air mata. Padahal, baru saja mereka menikah. Lagi-lagi suara riuh gemuruh menyaksikan romantisme pasangan pengantin baru tersebut. Turut bahagia dengan peresmian lewat sebuah ciuman. Meraka tak tahu saja apa yang sebenarnya terjadi dengan sang mempelai wanita. Sean melepaskan tautan bibirnya, menatap Rahee dengan pandangan datar seperti biasa. Lalu, tangannya terulur untuk menyentuh bibir merah yang terus menggodanya itu, seakan memintanya untuk dicicipi setiap saat. Mengusap perlahan luka yang ia buat kemarin. Kemudian, Sean tersenyum. "Sepertinya kau harus terbiasa dengan ini," ucapnya berbisik sambil menekan bekas luka itu dengan ujung jarinya, "dengan begitu, kau akan mengenalku." ~Mimpi buruk. Aku tak pernah berharap untuk menikah dengan sosok lelaki sejenis dia! Namun sayang, kehidupanku yang sudah ia raih dengan segenggam ancaman. [Yoon Rahee] *** Hari sudah mulai larut, acara pernikahan sederhana mereka gelar tanpa ada serangkaian acara resepsi atau pelengkap lainnya. Rahee baru tahu jika lelaki yang baru saja resmi menjadi suaminya itu bukanlah seseorang dengan segudang emas atau harta berlimpah. Oh Sean, bukan seseorang seperti itu. "Apa pekerjaanmu?" Pertanyaan pertama ketika mereka duduk berbaris di atas sofa panjang ruang tengah. Rahee penasaran dengan hal itu. Sean menoleh sekilas pada istrinya, kemudian ia fokuskan kembali matanya pada layar hitam di televisi. "Tidak ada." Rahee menoleh cepat, ia terkejut. Tentu saja! "Kau pengangguran?" "Tidak juga." Hanya dua patah kata yang setia Rahee dengar setelah acara pernikahannya. Entah kenapa, Rahee merasa ucapan Sean yang katanya 'aku mencintaimu' itu adalah bohong. "Katakan dengan benar, Sean. Aku ingin tahu setidaknya beberapa hal penting tentang suamiku," ucapnya dengan menekan suku kata terakhir. Sean menyandarkan punggung lebarnya pada sandaran sofa dengan mata yang ia pejamkan sempurna. "Aku hanya pemilik sebuah toko buku. Tidak bekerja dan juga bukan pengangguran seperti yang kau katakan. Aku masih punya penghasilan untuk menghidupimu. Jika kau khawatir akan kelaparan, sebaiknya tidak perlu." Begitu penjelasanya. Rahee mengangguk, dalam alasan lain hatinya merasa lega. Sean masih mau banyak bicara padanya. "Lalu, kenapa kau menikahiku?" "Aku mencintaimu." "Kau bohong!" Sesungguhnya Rahee tak percaya dengan ini. Sean terdiam, tak berniat untuk menjawab atau sekadar memberi respons berarti. Akibatnya sudut kecil sebagian di hati Rahee merasa terluka. Ia tak tahu kenapa, tapi Rahee akui dia kecewa. "Aku tak tahu apa alasanmu menikahiku, Sean. Kau bahkan sampai hati mengancam untuk mencabut beasiswa adikku jika aku menolak saat itu." Sean tetap diam, membuat Rahee menelan bulat-bulat gumpalan salivanya. "Siapa pun dirimu, aku tak tahu. Tapi, kenapa kau bertingkah seolah kita sudah kenal lama?" lirihnya dengan hati terjepit. Ia merasa bodoh jika sudah membahas mengenai hal ini. Tanpa Rahee tahu, Sean sedang menahan gejolak hatinya. Kedua tangan kekarnya yang ia kepalkan erat-erat. "Sean—" Terpangkas dan disambung dengan pekikan. Ya, Rahee memekik. Dia terkejut dan takut di saat bersamaan. Sean melemparkan vas bunga yang sejak tadi hanya diam menghias meja. Tak pelak air matanya pun tumpah juga. "Tidak bisakah kau berhenti bertanya dan cukup diam saja?" geramannya yang terkesan santai. Sean menatap tajam wajah Rahee yang sedang menunduk bersembunyi. Rahee ketakutan. "Aku sedang menahannya agar kau selamat malam ini, tapi sepertinya kau begitu menginginkan untuk aku kuasai." Vokalnya memberat yang sarat akan nafsu. Rahee menggigit bibir bagian dalamnya, kepalanya semakin tertunduk kaku. Jika kalian ingin tahu, dalam pikiran Sean sejak ia mencium Rahee di atas altar adalah kata 'tidur bersama', bukan 'malam pertama'. Ia berangan akan melakukannya lagi dengan gadis itu, tapi Sean berusaha sekuat yang ia bisa agar tidak menyentuhnya. Sean takut lepas kendali. Namun, pergerakan tubuhnya berlainan dengan hati. Sean mendorong kasar tubuh wanitanya hingga sukses membentur bantalan sofa. Rahee memekik tertahan, matanya sudah merah berkaca, dia ketakutan hanya dengan melihat pandangan gelap di mata suaminya. Sean tersenyum mengerikan. "Jangan salahkan aku untuk apa yang akan terjadi nanti. Sekarang, nikmatilah ..." Rahee menggeleng, ia kalut dengan napas memburu. Sean mulai mencari celah untuk menciumnya lagi. Cengkeraman tangan Sean di bahunya terasa sangat nyata, kasar dan kuat. Mungkin setelah ini, bagian itu akan patah karenanya. Sekuat yang ia bisa, Rahee mencoba melepaskan diri. Memberontak dengan menendang apa pun menggunakan kakinya, hanya itu yang terbebas dari kukungan tubuh Sean. Sedangkan tangannya kini sudah terikat. Oh, lihat! Perlakuannya seperti binatang! Ingin sekali Rahee berucap, mengatakan seluruh isi j*****m, memaki Sean yang dengan tega menyentuhnya seolah ia adalah binatang peliharaan. "S-Sean ..." Tidak! Pria itu tak merespons, bibirnya berlarian melahap setiap inchi kulit leher sang istri. Meninggalkan bercak ungu di sana, bahkan sesekali dia menggigitnya dengan kasar. Seolah lupa bahwa yang dia kuasai adalah pujaan hatinya sendiri. Rahee menangis sia-sia, air matanya terbuang percuma, tenaga yang dia miliki tak sebanding dengan besarnya nafsu pria itu. Sean gelap mata, ia menyeringai. Menarik sabuk yang dikenakannya, lalu secepat itu dia melayangkannya. Plak! Rahee menjerit. Sangat sakit. Meski bagian pahanya masih tertutup kain sutra, tapi tetap saja rasa cambukkan yang Sean beri barusan terasa menyakitinya. "Ya, bagus. Menangislah, Sayang," bisiknya tepat di telinga Rahee. Kemudian dia menggigit gemas daun telinga istrinya membuat Rahee bergerak gelisah. Tubuhnya terasa perih dan berdenyut nyeri di setiap jengkal kulitnya. Rasa sakitnya bahkan sudah merangkak naik menuju hati dan perasaannya. Dia terluka, merasa terhina dan rendah akibat ulah suaminya sendiri. Yang amat sangat mengejutkannya. Sean semakin buas menyaksikan kesakitan wanita itu, dia bersemangat, kemudian merobek kasar baju tidur yang Rahee kenakan. Rahee terperanjat, kedua tangannya yang sudah berhasil Sean ikat sempurna dan diletakkan di belakang tubuhnya. Dalam hati dia memohon untuk sebuah penghentian yang semu. "Kumohon ... Sean, hentikan—ini sakit." Bahkan suaranya saja nyaris tak bersisa. Rahee tidak tahu apa yang merasuki tubuh Sean hingga berani berlaku demikian padanya, apakah ia sudah salah bicara sebelum ini? Sean tergerak, matanya ia alihkan pada pecahan keramik yang berserakan di lantai. Vas bunga itu yang menjadi incaran. Lagi-lagi, Sean tersenyum sebelah bibir. "Aku mencintaimu, kau tahu?" Rahee menggeleng. Cinta macam apa yang tega berlaku sekejam iblis? Lalu, Sean meraih satu pecahan itu dan mendekat ke arah Rahee. Mengelus paha putih istrinya yang sudah terbebas dari bahan. "Aku suka saat mendengar jeritanmu, Sayang." Air mata Rahee tak pernah berhenti mengalir diiringi dengan gelengan kepalanya. Perlahan namun pasti, gerakan yang sangat lembut namun menyayat. "AAARGH!" Erangan Rahee memenuhi sudut ruangan. Dia pun berteriak. Darah mengalir dari bagian yang terluka. Sean mengiriskan benda tajam itu pada kulit pahanya. Sangat sakit dan perih, tapi hatinya justru merasa jauh lebih terluka. Rahee menangis tersedu. Dan bertepatan dengan itu Sean bergumam, "Rahee ...." Sangat pelan. Suaranya nyaris terbawa angin lalu. Sean tertegun. Dengan Rahee yang menangis tanpa bahan penutup selain pakaian dalamnya, Sean bergeming sebelum kemudian meraih ponsel di atas meja dan menekan angka 1 sebagai panggilan tercepat. Dia berusaha menghubungi seseorang lewat ponselnya, mengabaikan istri sendiri yang sedang kesakitan akibat ulahnya. "Kei, siapkan wanita untukku malam ini! Kamar hotel, seperti biasa." Bahkan ketika Rahee menangis mendengar ucapannya barusan, Sean tetap diam tak lagi menyentuhnya. Sekadar menenangkannya saja, Sean tidak lakukan. Sakit sekali rasanya mendengar suamimu sendiri yang berkata terus terang mengenai kebiasaan hidupnya yang baru ia ketahui. Kemudian, Sean pergi membawa jaketnya dengan meninggalkan banyak luka di tubuh dan hati istrinya. Oh! Pria itu bahkan tak sedikit pun untuk meliriknya. Dengan susah payah Rahee mencoba melepas kedua tangannya yang masih terikat. ~Aku ingin membencimu! [Yoon Rahee] ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD