Bukan tanpa alasan Sean melakukannya. Dia pergi cepat-cepat hanya ingin menyelamatkan wanitanya.
"Pria setan! Kau menggumulinya lagi?" Itu Kei yang berteriak memaki Sean setelah kedatangannya di tempat ini.
"Mana pesananku?" Suaranya terdengar lelah dan frustrasi. Sean membaringkan diri di atas kasur kamar hotel yang sempat Kei pesankan. Lelaki Kim itu terkekeh. "Kau butuh pelepasan?"
Sean tak perlu menjawab, Kei sudah hafal betul dengan jawabannya.
"Usahaku bisa rugi jika setiap jalang yang harganya selangit kau gunakan. Kau tahu? Setiap kali kau menyewanya, mereka berakhir nahas di ranjang rumah sakit. Bersyukur karena mereka tidak mati." Begitu kata Kei.
Helaan napas kasar keluar dari bibir tipis pria Oh itu. Sean bertanya terlebih kepada dirinya sendiri, "Apa aku monster?"
"Kau manusia." Kei menjawab cepat dan menyambungnya kembali, "Berhati iblis dan perlakuan nafsu binatangmu sangat buruk sekali, menyerupai setan terkutuk!" Itu benar. Kei tahu segalanya, Sean mengangguk mengakui.
"Aku penasaran, barusan kau melakukan malam pertama dengannya, bukankah kau sudah berjanji untuk tidak melakukannya?" tanya Kei sambil berjalan dan mendudukkan diri di atas sofa putih berhadapan dengan ranjang tersebut.
"Aku lepas kendali. Saat menciumnya saja tubuhku terasa panas sampai mengetat. Rasanya masih sama seperti dahulu."
"Apakah dia wanitamu yang hampir mati saat kau perawani waktu itu?"
Sean memejamkan kelopak matanya. Ingatan tentang bagaimana cara dia menyampaikan hasratnya sangat tidak manusiawi. Sean akui, ia memang mencintai Rahee, semua pun tahu itu. Sejak dulu hingga saat ini perasaannya tak pernah pudar. Hanya pada Rahee, Sean mau berbagi cintanya. Meskipun sudah banyak wanita yang ia setubuhi.
"Aku sangat mencintainya, Kei. Aku tidak ingin dia terluka lagi karenaku," lirihnya tanpa mengindahkan pertanyaan Kei sebelum ini.
"Lalu, kenapa kau meninggalkannya? Dia mungkin sedang kesakitan sekarang."
Sean melirik Kei lewat ekor matanya sebelum dia berucap, "Jika aku terus ada di sana tadi, mungkin bukan hanya pahanya saja yang menjadi sasaran. Aku tidak mau Rahee tidur seharian karena sentuhanku. Kau tahu, kan? Aku sangat bernafsu padanya."
Selalu seperti itu, jika dihitung dengan jari kalimat Sean barusan adalah yang ketujuh dari yang pernah Kei dengar. Lalu ia mengangguk.
"Kau mengikatnya?" tanya Kei.
"Aku suka wanita yang tidak bisa apa-apa ketika kukuasai."
Biadab!
"Sebelum datang ke sini, apa kau melepaskannya terlebih dahulu?"
Lagi-lagi Sean mengembuskan napas kasar. "Aku sudah menyuruh Leon untuk itu."
Sontak kedua mata Kei membola sempurna, ia bertanya-tanya: Sean itu gila atau apa? Menyuruh lelaki lain yang mengobati luka di tubuh istri sendiri. Bukan tidak mungkin jika Rahee sedang telanjang saat ini. Kei menggeleng tak percaya.
Melihat itu, Sean bersuara lagi.
"Dia gay. Kau tak perlu bereaksi begitu."
Bedebah!
***
"Jangan takut, aku tidak akan melakukan apa yang kau takuti."
Rahee menggeleng lemah sambil tubuhnya berusaha ia tutupi. Meringkuk di atas pojokan sofa, ruangan itu senyap sepi. Sebelum kemudian datang seorang tamu tak diundang yang begitu asing baginya. Tentu saja, Rahee harus waspada.
Pria itu tersenyum, berjalan mendekat dan kemudian berucap, "Sean yang menyuruhku datang kemari. Aku memang bukan dokter, tapi setidaknya aku bisa mengobati lukamu."
Rahee tak percaya Sean melakukan itu padanya. Memerintah sosok lelaki sebagai ganti pertanggungjawaban yang harusnya dia lakukan sendiri. Di saat pakaian yang Rahee kenakan sudah robek sana-sini, mempertontonkan bagian yang selalu ia lindungi.
"Aku tidak tertarik dengan tubuh wanita, Nona Yoon. Jangan khawatirkan itu," katanya membuat kernyitan samar di kening Rahee tercipta. "Sekarang, biar kulepas ikatan di tanganmu."
Seolah tersihir, Rahee diam membatu. Membiarkan tangan pria itu untuk berkutat dengan ikatan talinya. Hingga pada akhirnya ia terbebas, tangannya sudah terlepas. Cepat-cepat Rahee membenahkan diri menutup bagian yang terbuka dengan kain seadanya.
"Tunggu sebentar, akan kuambilkan pakaian yang layak." Dia bergegas meninggalkan Rahee menuju sebuah kamar yang diketahuinya itu adalah kamar utama.
Sepertinya pria cantik itu sangat mengenal Sean, dia bahkan tahu jelas pelosok rumah ini. Begitu pikirnya. Selang beberapa menit, Leon datang dengan menyodorkan kemeja putih milik Sean. Dia juga membawa sekotak obat—P3K.
"Pakai ini," katanya. Dia tidak berani membuka koper besar milik Rahee, karena baginya barang wanita pasti memiliki banyak hal pribadi. Leon tidak selancang itu, meskipun sedang dalam kondisi terdesak.
Rahee menurut, ia memakainya. Lalu bertanya, "Siapa namamu?"
Ah, dia lupa. "Aku Leon. Teman dekatnya Sean. Terima kasih sudah bertanya."
Sangat ramah, bertolak belakang dengan suaminya. Bahkan senyuman Leon pun terasa manisnya.
Saat tangan Leon hendak menyentuh luka di tubuhnya, Rahee menolak. "Aku bisa melakukannya sendiri." Kemudian ia mengambil alih kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol. Melihat darah yang hampir mengering di atas pahanya, Rahee meringis.
Mereka terdiam beberapa saat, Rahee yang sedang sibuk membersihkan jejak merah itu dan Leon yang tenggelam dengan pemikirannya sendiri. Sebelum kemudian suara Leon memecah keheningan.
"Jangan membenci Sean setelah ini, dia punya alasan."
Sontak Rahee menghentikan aktivitasnya, memusatkan atensi ke dalam maik rusa milik pria di hadapannya.
"Sampai Sean memberitahumu, kau jangan menghakiminya terlebih dahulu. Dia tidak sejahat itu," katanya lagi. Rahee tak mengerti, dikata Sean tidak jahat? Lalu apa? Kejam? Itu sudah pasti!
"Apa maksudmu?" Suaranya berdesis tak suka. Rahee tak sepaham dengan kalimat Leon yang menurutnya hanya bualan.
Leon menatap tepat di lensa cokelat Rahee. "Ingin kuberitahu sesuatu?" tanyanya penuh misteri.
Rahee diam, bukan berarti tidak mau atau pun setuju. Dia hanya tak tahu harus menjawabnya dengan apa.
Leon mengerti. "Sean sangat mencintaimu, dari dulu sampai sekarang dia tidak berubah."
Pernyataan konyol yang sangat tidak masuk akal. Rahee terkekeh. "Begini, Leon ... aku bahkan baru kenal dengannya hari kemarin. Jadi, bagian mana yang harus aku percayai dari kata 'dulu' itu?"
Sekarang giliran Leon yang mengeryit bingung. Sifat penasaran yang tidak membebani lawan bicaranya itu ia keluarkan.
"Baiklah, sepertinya aku harus kembali. Sudah larut, sebaiknya kau tidur," pemungkasnya sebelum berlalu meninggalkan tanda tanya besar dalam otak cantik Rahee.
‘Siapa kau sebenarnya, Oh Sean?’ Adalah raungan dewi batin Rahee yang suci.
***
Tak terasa waktu cepat berganti. Malam yang sunyi penuh kebisuan kini berubah pagi. Namun, auranya masih sama menyakitkan dan sepi. Rumah ini seperti tak berpenghuni. Rahee berjalan terseok karena perih di kakinya. Bekas cambukan Sean pun masih terasa ngilunya. Dia tidak menemukan siapa pun saat membuka mata. Ranjangnya masih dingin dan rapi seperti semula.
Sean tidak pulang. Dan anehnya, Rahee merasakan hatinya tercubit. Kemudian ia menggeleng, tak acuh dengan perasaan anehnya. Rahee menuruni satu per satu anak tangga hingga ia mencium sebuah aroma.
Tepat di sana, Rahee melihat punggung lebar seseorang yang sedang sibuk dengan kompornya. Rahee mendekat tanpa suara. Oh Sean. Pria itu, dia sedang memasak.
Sudut bibir Rahee berjingkat naik tanpa alasan. Hatinya berdebar dengan detakan jantung seirama. Ada apa dengan dirinya?
"Oh, kau sudah bangun?" Sean menoleh, mendapati sang istri yang sedang mematung menghadap ke arahnya.
"Huh?"
"Duduklah, aku membuatkan sarapan untukmu. Tapi sepertinya ini tidak layak untuk dimakan," katanya bersedih. "Tapi aku akan membuatnya lagi. Tunggu sebentar!" sambungnya penuh semangat.
Rahee baru tahu ada nada suara lain selain datar, sinis, dan dingin dari penyampaian kalimat Sean. Kemudian, ia menurut. Duduk manis di kursi makan sambil melihat aktivitas suaminya yang kelewat repot sendiri itu.
"Perlu bantuan?" Mencoba menawarkan diri dan melupakan kejadian kemarin. Setidaknya, Rahee akan mencoba untuk mengenal Sean. Seperti yang Leon katakan.
"Tidak, diam dan duduk saja di sana. Ini perintah!" katanya mulai lagi.
Rahee memutar malas bola matanya, Sean memiliki banyak sekali kepribadian yang harus dia kenali. Seperti yang baru ia ketahui: Kejam, dingin, datar, manis, dan penuh printah. Ugh, psikopat!
"Makanlah, rasanya tidak seburuk yang awal." Sean menyodorkan sepiring nasi goreng telur buatan dia sendiri kepada istrinya. "Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dariku," imbuhnya sambil berdeham.
Rahee terdiam mengabaikan rasa takutnya ketika melihat obsidian pekat milik Sean, ia memberanikan diri untuk menatap tepat ke dalam manik hitam pria Oh itu.
"Kau mencintaiku?" selorohnya tanpa Rahee sadari.
Sean mengangguk. "Sangat mencintaimu," koreksinya dengan tegas.
Merasakan wajahnya terbakar merona, Rahee cepat-cepat mengalihkan atensinya dan berusaha tak mengacuhkan Sean dengan memakan sarapannya. Sekarang dia tahu: Aku jatuh cinta. Tapi Yoon Rahee, kenapa secepat dan semudah ini?
***