Bab 13 | Ajakan Makan Siang

1513 Words
“Assalamualaikum.” Itu salam dari seseorang yang kedatangannya tidak disangka-sangka, membuat mereka yang sedang sibuk dengan pekerjaannya itu menjadi sedikit canggung. “Waalaikumsalam, Gus Fayez, mencari Mba Hasna, ya? Tapi Mba Hasna sedang meeting dengan supplier kain, Gus Fayez mau saya panggilkan Mba Hasna atau menunggu saja?” Tanya Mahira yang terlihat luwes. “Tidak apa-apa, saya tunggu saja sekalian lihat-lihat, boleh kan?” Tanya Fayez membuat Mahira langsung mengangguk. “Tentu saja, Gus. Sebentar ya saya minta tolong Mba Salma untuk memanggilkan suaminya dan menemani Gus Fayez.” Ucap Mahira yang langsung menghampiri seorang wanita yang sedang sibuk di depan komputernya dan mencetak resi-resi orderan. Wanita bernama Salma itu langsung beranjak, tidak lama kemudian seorang pria yang usianya seumuran dengannya datang dan tersenyum begitu hangat. “Assalamualaikum, Gus. Mari saya antar ke ruang tamu. Oh iya perkenalkan saya Yahya, Mba Hasna mempercayakan saya untuk menjadi kepala gudang di Hanania Abaya ini.” Ucap Yahya memperkenalkan diri. Yahya membawa Fayez menuju ke sebuah ruangan yang memang mirip seperti ruang tamu. Lalu pria itu menuju ke sebuah pantry kecil di sudut ruangan. “Gus Fayez mau kopi atau teh?” “Kopi boleh.” “Siap, Gus. Baru pertama ke sini ya, Gus?” “Iya, saya kira tadi hanya ada karyawan perempuan saja.” “Oh, tidak Gus, Mba Hasna memang sangat menjaga para karyawannya terutama perempuan, untuk menghindari ikhtilat di antara kami, Gus. Jadi yang perempuan memang berada di ruko utama, jika harus komunikasi dengan stok dan list orderan hari itu yang perlu di-packing dan dikirim, biasanya istri saya koordinasi dengan saya. Atau ada Mba Dhea dengan suaminya.” “Oh iya? Dia memperhatikan sedetail itu?” Tanya Fayez sedikit terkejut, tidak heran tadi para perempuan yang bekerja itu rata-rata berkerudung panjang. “Iya, Gus. Insya Allah, Gus Fayez beruntung menikah dengannya, Mba Hasna wanita yang salihah dan mulia akhlaknya, dia banyak membantu kehidupan kami dan sudah menganggap kami seperti keluarganya. Ah, jika membicarakan kebaikan Mba Hasna pada kami rasanya tidak akan ada habisnya, Gus. Itu baru dengan kami, belum yang lain-lain.” Hari ini, dua kali dia mendengar dua orang yang berbeda mengatakan hal yang sama kepadanya. Dia beruntung menikah dengan Hasna. Dua orang yang sama-sama melihat ketulusan dan kelembutan hati Hasna. “Oh iya? Dari banyak kebaikannya, apa yang paling berkesan untukmu?” Tanya Fayez penuh minat, mendengar itu Yahya menarik napasnya dengan senyum yang terukir indah di bibirnya, sembari pria itu meletakkan secangkir kopi untuk Fayez. “Mba Hasna sengaja membangun mushola di sebelah ruko ini agar kami bisa berhenti bekerja sebelum adzan dan solat berjamaah. Saya tidak pernah membayangkan memiliki bos yang selalu menguatamakan akhirat sebagai tujuannya dalam berbisnis. Saat saya tanya, apakah beliau tidak merasa rugi memberikan waktu istirahat kita terlalu banyak karena beliau selalu mengingatkan kami untuk solat dzuhur dan ashar berjamaah, lalu beliau menjawab, aku berbisnis dengan Allah, untung dan rugi biarlah menjadi urusan-Nya, kewajiban kita adalah mendahulukan perintahnya di atas apapun. Wah, Gus. Di situ saya dan istri menangis haru, betapa beruntungnya kami bertemu dan bisa bekerja dengan Mba Hasna.” Fayez begitu menyimak ucapan Yahya, yang membuat hatinya tiba-tiba mencelos dan merasa tertampar, dia saja tidak pernah terpikirkan itu untuk karyawan-karyawannya, hanya memberi kebebasan untuk beribadah dan mengajak solat berjamaah jika memang bertemu di ruang solat. Hati Fayez berdesir dan merasa takjub dengan Hasna. Wanita itu, sekali lagi membuat Fayez melihat betapa luar biasanya Hasna saat ini, seolah topeng keburukan yang selama ini masih melekat pada dirinya dari pandangan orang-orang di pondok pelan-pelan terbuka oleh Fayez. “Oh, Gus. Ini istri saya WA katanya Mba Hasna sudah selesai meeting, mari saya antar ke ruangannya.” Ucap Yahya mempersilahkan Fayez. “Kamu tunjukkan saja di mana ruangannya, saya akan ke sana sendiri saja.” “Oh iya, Gus. Ada di lantai dua, hanya ada satu ruangan punya Mba Hasna di sana.” “Baiklah, terima kasih atas kopinya ya Yahya.” “Sama-sama, Gus.” Fayez tersenyum dengan kelegaan hati yang ia rasakan. Dia mengetuk pintu dan mengucap salam. “Waalaikumsalam, Mas …” Ucap Hasna membuka pintu dengan senyum yang terkembang sempurna di wajahnya, tadi Mahira sudah memberitahukan jika Fayez datang. Sungguh, Hasna tidak pernah mengira Fayez akan mengunjunginya, dia bahagia namun juga bertanya-tanya ada gerangan apa Fayez mengunjunginya. Hasna menyalami dan mencium tangan Fayez dan mempersilahkan pria itu masuk. “Mas, aku senang melihatmu datang. Tapi ada apa, Mas? Apakah ada sesuatu mendesak yang ingin Mas sampaikan?” Tanya Hasna dengan kening berkerut, membuat Fayez mengulum senyumnya dan menekan kening Hasna dengan telunjuknya yang masih berkerut-kerut. “Makan siang di luar yuk.” “Apa, Mas?” Hasna terkejut untuk yang kedua kalinya, ada angin apa Fayez mengajaknya makan siang di luar? “Iya, kamu mau kan makan siang di luar denganku? Aku ingin makan sesuatu.” Ucap Fayez lagi lebih jelas. “Mas mau makan apa? Bekal yang kubawa tidak enak ya? Maaf ya, Mas. Nanti aku belajar lagi.” Ucap Hasna dengan nada bersalah, karena tadi pagi dia membawakan bekal sama seperti yang dia kirim untuk Umi Ainun. “Tidak … Tidak, Na. Bekalmu habis dan masakanmu selalu enak.” Fayez mengangkat lunch bag miliknya seolah membawa bukti jika dia telah menghabiskan bekal yang disiapkan Hasna. “Tadi aku memakannya jam sepuluhan, soalnya aku terbayang-bayang nikmatnya sayur asem dan pindang dengan sambal, jadi aku makan, sekarang aku ingin makan gurami bakar, ada saung yang enak di daerah sini, kamu mau tidak?” Tawar Fayez lagi, kini tatapan bersalah Hasna telah berubah menjadi binar bahagia. “Gurami bakar? Mau, Mas. Aku sangat suka gurami bakar.” Ucap Hasna, nadanya berubah jadi antusias, membuat Fayez terkekeh lalu mengusap lembut puncak kepala Hasna yang tertutup jilbabnya. “Ya sudah, kita berangkat habis dzuhur ya, lima menit lagi masuk waktu dzuhur.” “Boleh, Mas. Tapi aku sedang tidak solat, aku tunggu di sini ya?” “Baiklah, tunggu ya. Aku ke masjid dulu, assalamualaikum.” Ucap Fayez “Waalaikumsalam.” *** Mereka tiba di salah satu rumah makan saung sunda yang terkenal di Surabaya itu. Sekali lagi Hasna dibuat takjub dengan kebetulan yang ada. Ini adalah restoran favoritnya untuk menikmati gurami bakar kesukaannya. Abinya sering mengajaknya ke sini karena tau Hasna sangat suka dengan gurami bakar dan rasanya belum ada restoran yang menandingi kelezatan gurami bakarnya. “Mas memang sering ke sini? Aku dan Abi sering makan di sini.” Hasna terlihat begitu berbinar-binar dan membuat Fayez terus mengulum senyumnya melihat senyum wanita itu karena alasan yang sederhana. “Tidak juga, ini pertama kalinya.” “Benarkah? Wah kebetulan sekali.” Hasna bertepuk tangan kecil, dan hal itu kembali membuat Fayez mengulum senyumnya. “Kebetulan … ya?” Tanya Fayez dengan penuh makna, namun Hasna sudah tidak terlalu memperhatikan karena pelayan menghampiri meja mereka dan menanyakan pesanannya. Hasna makan dengan lahap dan terlihat bahagia sekali, Fayez lebih sibuk memperhatikan wanita itu daripada menikmati makanannya. Wanita yang selalu memberikan kejutan kepadanya, seolah dia sedang membuka topeng demi topeng untuk bisa melihat dengan sebenar-benarnya siapa wanita yang kini menjadi istrinya ini. “Na …” Panggil Fayez saat melihat Hasna telah selesai dengan makanannya. “Iya, Mas?” “Jika ada sesuatu yang membuatmu terluka dan sedih, kamu bisa menceritakannya kepadaku, bukan berarti kamu membicarakan keburukan orang lain, kamu cukup membagi perasaan sedihmu kepadaku, suamimu.” Ucap Fayez dengan nada serius namun tatapannya begitu menenangkan. Mendengar itu membuat Hasna mengulum senyum tulusnya dan tatapannya yang penuh syukur. Betapa baiknya Allah menjodohkannya dengan pria ini, padahal begitu banyak dosanya di masa lalu. “Mas …” Panggil Hasna lirih dengan air mata yang menetes. “Aku bahagia sekali karena Allah menakdirkanmu sebagai jodohku. Insya Allah aku baik-baik saja, aku bahagia dengan hidupku, nanti … semoga tidak ada … Jika aku memiliki sesuatu yang ingin kubagi denganmu pasti akan aku lakukan. Mulai saat ini, aku akan selalu mengingat jika aku memiliki suami yang selalu bisa aku jadikan tempat bercerita.” Mendengar itu dari bibir Hasna membuat Fayez mengangguk dan tersenyum, dia menggenggam tangan Hasna dengan lembut. “Aku minta maaf ya … Hingga saat ini aku masih belum mampu mencintaimu.” Bisik Fayez penuh penyesalan, namun Hasna menggeleng dan tersenyum. “Aku yang berterima kasih, Mas. Kamu mau menerimaku dan memperlakukanku dengan baik sebagai istrimu.” Semoga suatu saat kamu mencintaiku karena kamu mencintai Allah dan hanya mengharap ridho-Nya, Mas. Sama seperti yang sedang aku usahakan saat ini, mencintaimu karena Allah dan berusaha mendapatkan ridho-Nya dengan menjadi istri yang berbakti. Hasna melanjutkan dalam hati. “Apa arti nama Hanania dalam bisnismu?” Tanya Fayez penasaran. Mendengar itu membuat Hasna kembali mengulum senyumnya. “Hanania artinya yang dicintai Allah. Aku berharap apa yang aku lakukan membuatku menjadi hamba yang Allah cintai, Mas. Aku ingin meneladani istri Rasulullah, Sayyidah Khadijah, perempuan mulia yang sukses dengan bisnisnya dan dia gunakan hartanya di jalan Allah.” Ucap Hasna dengan mata yang memanas, jika mengingat-ingat bagaimana dia telah berjalan sejauh ini, begitu banyak nikmat yang Allah berikan kepadanya, namun masih sedikit sekali dia mengucap syukur kepada Allah. Dan sekali lagi, Fayez kembali dibuat terpana dengan apa-apa yang ada pada diri Hasna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD