Bab 12 | Melunakkan Hati Umi

1110 Words
“Assalamualaikum, Umi. Ini Hasna …” Hasna mengetuk pintu rumah mertuanya, setelah Fayez berangkat Hasna meminta ijin pada suaminya itu untuk mengantar makanan untuk Umi Ainun dan Fayez mengijinkan. “Walaikumsalam.” Seseorang membuka pintu dan menjawab salamnya, ternyata itu Mbok Minah, yang membantu di rumah. “Mbok, Umi ada?” Tanya Hasna, membuat Mbok Minah mengangguk dan mempersilahkan masuk. “Ada, Mbak … silahkan masuk dulu, saya panggilkan sebentar.” “Umi, assalamualaikum.” Hasna mengulurkan tangannya untuk bersalaman dan menciumnya. “Walaikumsalam.” Jawab Umi Ainun datar. “Umi, Hasna bawakan makanan, ada sayur asam ikan pindang dan sambal, Mas Fayez mengatakan itu makanan kesukaan Umi.” Hasna tersenyum begitu indah, berharap senyumnya bisa menular ke Umi Ainun. “Yang benar saja, kamu mengantarkan sambal pagi-pagi untuk membuat saya sakit perut? Memang dari dulu kamu tidak berubah ya …” Umi Ainun menjawabnya ketus. “Bukan begitu, Umi … Ini bisa untuk makan siang nanti, Mas Fayez mengatakan jika biasanya Umi dan Abi sarapan jam tujuh.” Ucap Hasna yang memberikan pembelaannya, karena memang saat ini sudah jam sembilan. “Alasan saja kamu, jika ingin memberikan untuk makan siang, harusnya kamu mengantar jam dua belas. Kenapa harus sekarang? Tidak bisa ya? Sibuk bekerja? Kamu memang benar-benar tidak berubah. Seharusnya kamu tau perempuan di rumah itu lebih baik, memang Fayez tidak mampu menghidupimu?” Kini ucapan Umi Ainun merembet kemana-mana, membuat Hasna menundukkan kepalanya. Dia tidak ingin memberikan pembelaan lagi, karena memang apa yang dikatakan Umi Ainun benar, namun masih banyak pertimbangan lain yang Hasna pertimbangkan dengan memilih melanjutkan bisnisnya. “Hasna minta maaf, Umi.” Bisik Hasna lirih, memilih mengucapkan maaf saja karena telah menyulut emosi Umi Ainun di pagi hari. “Kamu selalu saja membuat saya naik darah, dari dulu hingga sekarang.” Umi Ainun memijit kepalanya dengan pandangan jengah pada Hasna. “Umi … Sungguh, Hasna benar-benar minta maaf atas apa yang telah Hasna lakukan dulu, maaf jika baru hari ini Hasna meminta maaf langsung kepada Umi. Tidak ada yang bisa Hasna katakan untuk membela diri atas apa yang Hasna lakukan dulu, begitu banyak kekacauan yang bahkan sampai mencemarkan nama baik pesantren dan membuat Umi juga Abi malu. Sungguh, Hasna minta maaf, Umi.” Ucap Hasna dengan nada yang serak dan mata yang memanas. Umi Ainun terlihat menghela napasnya panjang dan keras. “Pulanglah, saya masih tidak bisa melihatmu. Jika kamu tidak menikah dengan Fayez mungkin lebih mudah bagi saya untuk berdamai dengan apa yang telah terjadi di masa lalu. Tapi, kamu menikah dengan Fayez dan membuat saya kehilangan calon menantu yang saya cintai, wanita salihah yang baik akhlaknya dan mampu menjaga dirinya dan melakukan pekerjaan yang mulia yang memberikan pahala untuknya, pekerjaan yang membawa kebaikan untuknya di dunia dan akhirat, karena dia mengajarkan ilmu.” Ucap Umi Ainun dengan wajah lelahnya. Hasna menggigit bibirnya dengan kuat untuk menahan tangisnya, dia mengangguk dengan pandangan ke bawah, jika semalam dia mendengar orang asing menghinanya dan terasa menyakitkan, namun nyatanya pagi ini ada yang lebih menyakitkan dari hinaan itu. “Hasna minta maaf sekali lagi, Umi. Hasna pamit ya … Assalamualaikum.” Ucap Hasna dengan hati yang tercabik-cabik. ‘Ya Allah, ampuni aku yang menyakiti hati dari seorang Ibu dan membuatnya kecewa, ampuni aku juga atas ketidak mampuanku mengontrol hati ini untuk tidak kecewa atas perlakuan manusia kepadaku.’ Hasna membatin dengan hati yang merepih perih. “Mba Hasna … Assalamualaikum.” Salam itu membuat Hasna mendongak dan mendapati Zahra yang tersenyum manis ke arahnya. “Walaikumsalam Ustadzah Zahra, mau ke rumah Umi?” Tanya Hasna membuat Zahra mengangguk. “Iya, Mba. Panggil Zahra saja, Mba. Ini Umi minta dibuatkan sayur asam, ikan pindang dan sambal, katanya ingin makan ini.” Ucap Zahra masih dengan senyum lebar, menunjukkan lunch box bertingkat yang dibawanya. Mendengar itu membuat Hasna tersenyum getir. “Mba jangan salah paham, ya. Memang Umi kadang minta dibuatkan oleh saya, dia mengatakan ingin memiliki anak perempuan dan telah menganggap saya anaknya sendiri, sehingga dia sering meminta dimasakkan dan ditemani belanja atau mengaji.” Ucap Zahra lagi dengan nada yang lembut, membuat Hasna mengangguk. “Alhamdulillah jika Umi menyayangi Ustadzah Zahra, Umi juga jadi tidak kesepian lagi.” Ucap Hasna dengan senyumnya yang tulus. ‘Dan mungkin impian menjadikanmu anaknya bisa tercapai andai Mas Fayez jadi melamarmu.’ Ucap Hasna dalam hati, rasanya dia terus ditampar berkali-kali oleh kenyataan dari keadaan di sekitar dan orang-orang yang mengelilinginya, jika dialah orang ketiga yang menghalangi hubungan Zahra dan Fayez. “Ya sudah ya, Mba. Saya masuk dulu, takut Umi menunggu, soalnya beliau minta diantar juga untuk menemui Ustadzah Mita untuk membahas acara makan bersama anak yatim minggu depan, kami mau makan bersama dulu sebelum pergi.” Ucap Zahra lagi membuat Hasna mengangguk walau dadanya terasa nyeri dan merasa iri dengan keakraban Umi Ainun dan Zahra. Hasna langsung menggelengkan kepalanya dan beristighfar saat setan berhasil membisikkan godaan yang membuatnya merasa iri atas kebahagiaan orang lain. “Mbok Minah, mau ke mana?” Tanya Hasna saat melihat Mbok Minah keluar dengan wajah tak enak saat melihat Hasna ternyata masih di depan rumah, masalahnya dia membawa lunch box yang tadi dibawa Hasna untuk Umi Ainun. “Anu … Mba … Ini …” Mbok Minah terbata-bata, dia tidak bisa berbohong jika sudah tertangkap basah, padahal tadi dia sudah meminta kepada Umi Ainun untuk mengantarkan makanan itu nanti saja, tapi Umi Ainun memaksanya untuk mengantarnya sekarang. “Mbok jangan merasa bersalah seperti itu, Mbok. Setiap manusia lahir ke dunia ini dengan rejeki yang telah Allah tetapkan, termasuk setiap butiran nasi yang kita makan itu rejeki yang telah Allah tetapkan. Memang saya membuat makanan untuk Umi dan saya niatkan untuk menyenangkannya, namun jika Allah telah berkehendak jika makanan itu bukan rejeki Umi, maka makanan itu akan mendatangi sang pemilik rejeki yang telah Allah tetapkan untuknya.” “Ya Allah, Mba … Masya Allah …” Mbok Minah yang memang mudah terbawa perasaan sudah berkaca-kaca. “Indahnya lisan yang keluar dari lisanmu sekali pun ada sakit yang kamu rasakan. Mbok minta maaf sekali ya … Umi menyuruh Mbok untuk memberikan makanan ini untuk Pak Aziz, marbot masjid pesantren sini.” Ucap Mbok Minah yang sudah meneteskan air matanya, namun Hasna justru tersenyum lebar padanya seolah tanpa beban dan menepuk bahu Mbok Minah dengan lembut. “Itu artinya nasi dan lauk pauk itu memang rejeki Pak Aziz, Mbok. Mbok tidak memiliki salah apapun dan jangan meminta maaf.” “Iya, Mba. Terima kasih ya membuat saya menjadi lebih bersyukur pagi ini, Allah pertemukan saya dengan Mba.” “Alhamdulillah jika begitu, Mbok. Ya sudah saya pergi dulu ya Mbok, mau ke butik dulu. Assalamualaikum.” “Walaikumsalam, Mba. Hati-hati di jalan, semoga selalu dalam lindungan Allah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD